Rokok
itu dihisapnya dalam-dalam, berharap asap yang masuk dapat memenuhi
paru-parunya dan melegakan hatinya. Menggelikan, bukan? Ya, sama seperti
hidupnya saat ini, ia berharap racun yang ditelannya setiap hari mampu membuat
dirinya menjadi wanita yang utuh, hebat dan luar biasa. Sementara ia sendiri
tahu persis racun itu semakin menggerogoti jiwanya. Menggoyahkan rasa percaya
dirinya dan membuatnya mulai membenci dirinya sendiri.
Teleponnya berdering. Ia menatap nama di layar telepon,
tanpa bergeming. Bram. Laki-laki itu lagi. Entah kapan laki-laki itu akan
menyerah mencari dirinya. Penolakannya, bahkan diamnya, seakan tak menggoyahkan
tekad laki-laki itu. Ia menghela napas, mengapa hidup ini begitu rumit?
Seandainya saja ia bisa menjadi wanita sederhana, seperti yang lain. Yang
memiliki kehidupan yang begitu mudah ditebak.
Ia teringat seorang sahabat baiknya yang kini sudah
memiliki tiga orang anak remaja. Cerita hidupnya begitu sederhana, berjalan bak
air mengalir tanpa ada bebatuan yang menghalangi. Bahkan seperti tanpa riak
sedikitpun. Selesai es-em-a, menemukan
seorang lelaki baik hati, tidak tampan, menerima pinangan lelaki itu,
melahirkan anak-anak untuk lelaki itu dan berbahagia dengan peran sederhananya
sebagai Ibu serta Istri yang baik. Sesederhana itu.
Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah seperti itu
pulalah impian dan imajinasinya. Menemukan seorang lelaki yang dicintai dan
mencintainya, kemudian hidup akan memberikannya kebahagiaan hingga mata
tertutup selama-lamanya.
Tapi ternyata tidak seperti itu yang terjadi. Tidak ada
yang sederhana, terutama pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Dan
hatinya yang begitu mudah berganti warna dan rasa. Mungkin ia yang tak mampu
menjadi sederhana. Mungkin ia sendiri yang mengundang dan menginginkan
kerumitan ini di dalam hidupnya.
Ia melirik layar laptopnya yang hampir kosong, hanya
berisi beberapa kalimat yang tak menarik sama sekali. Sudah seminggu ini, semua
imajinasi dan kreativitasnya hilang lenyap. Cinta ini lama-lama membunuhnya.
Cinta? Ia merasa terganggu dengan kata itu. Kata sakral yang dulu baginya
merupakan kata tertinggi dari semua kosakata yang dipunyainya. Kini? Kata itu
tak lagi terlihat murni baginya. Ataukah ia yang telah salah mengartikan
rasanya ini? Mungkin ini bukan cinta. Mungkin ini hanya nafsu berkedok cinta.
Jeane mengetuk pintu, membuatnya Gina tersentak dari
lamunannya.
“What’s up babe?”
Gina menggeleng pelan menjawab pertanyaan perempuan
cantik dengan wajah lembut itu.
“Kehabisan ide?”
Gina terkekeh. “Mungkin kebanyakan ide.”
“Kau sering melamun akhir-akhir ini.”
Tak sadar Gina menghela napas.
“Aku berharap bisa mempermudah semuanya dengan kata-kata
mutiara dariku. Tapi kau sendiri pun sebenarnya tahu apa yang harus kau
lakukan.”
Ya, ya, ya...
sahut Gina dalam hati. Ia tahu. Ia hanya tak mau melakukannya. Ia tak ingin
membuat keputusan apa pun dan asyik berkubang dalam rasa merananya.
“Wake up, girl...”
Gina mengalihkan matanya dari laptopnya. Menatap Jeane
lurus dengan raut serius.
“Bagaimana kalau kita pergi?”
“Ke mana?”
“Ke mana saja.”
Jeane duduk di hadapannya. Mengambil sebatang rokok dan
menyulutnya.
“Aku tak suka merokok,” katanya seraya menghembuskan asap
rokok pelan-pelan. Matanya yang indah menatap kepulan asap tipis yang terbang
sampai menghilang.
“Berarti kau dan aku berada dalam dilema yang sama,” kata
Gina dengan senyum meringis, seakan menertawakan dirinya sendiri.
“Maybe... Aku hanya suka menemanimu merokok.”
Kalimat itu menohok hati Gina. Ya, kalimat yang tepat. Sangat
tepat.
“Mungkin ini bukan cinta.”
Jeane menggeleng. “Itu cinta,” bantahnya lembut namun
tegas.
Gina memandangi Jeane, berpikir betapa beruntungnya
dirinya menemukan seorang sahabat seperti perempuan itu. Seseorang yang selalu
mencoba mengerti tentang dirinya dan hidupnya yang rumit. Tak pernah berusaha
mengubahnya atau menghakiminya.
“Hanya saja aku merasa kau berhak mendapatkan cinta yang
lebih baik dari itu,” lanjut Jeane dengan mimik wajah serius.
Entah ingin tertawa atau menangis mendengar kalimat itu,
kepala Gina tergeleng perlahan.
“Lalu mengapa aku begitu bodoh, Jeane?”
“Kau hanya perempuan biasa.”
Jeane meluruskan punggungnya, diraihnya jemari Gina
dengan tangan kirinya yang bebas.
“Kau yang mengajariku, apa pun keputusan yang ingin aku
ambil, jangan pedulikan apa kata orang. Tapi pastikan, aku mampu menerima
keputusan itu dengan bulat. Pahit, manisnya. Karena hanya aku sendiri yang akan
menjalani konsekuensi dari keputusan itu. Apapun itu yang terbaik untukmu, kau
sendiri yang tahu.”
“Ya, aku merasa seperti orang tolol, yang kehilangan
kebijaksanaanku di tengah perjalananku sendiri.”
Jeane tertawa. “Bukankah kita semua sering seperti itu?
Menjadi tolol sesekali dalam hidup yang rumit ini?”
Gina ikut tertawa.
“Kau ingat ketika aku kehilangan kepercayaan pada diriku
sendiri hanya karena perlakuan seorang lelaki yang aku panggil suami?”
“Aku sedang merasakan hal yang sama saat ini. Hanya saja
bukan dari seorang lelaki yang aku panggil suami,” balas Gina, tersenyum merasa
ingin menertawakan dirinya sendiri.
“Cinta itu seharusnya membuat kita merasa bahagia dan
berkembang. Bukan menyusutkan kepercayaan diri dan harga diri kita.”
“Dan bila itu menjadi beban, seharusnya kau pertanyakan
apakah itu benar-benar cinta yang kau inginkan,” ujar Gina melanjutkan
kata-kata Jeane, teringat pada kalimat-kalimat yang pernah ditulisnya sendiri di
dalam bukunya.
“Hey, aku tidak akan pernah menyalahkanmu. Aku pun akan
jatuh cinta pada lelaki seperti Hendra. Terlalu sempurna. Tidak ada satupun
cela dalam kategori lelaki impian. Tampan, baik, care, sukses. Tidak mudah
menemukan lelaki seperti itu.”
Gina mendesah. “Kau tidak mempermudahku, Jeane... Dengan
kata-katamu itu, hanya akan membuat hatiku semakin galau.”
“Ibaratnya batu berharga, Hendra itu seperti berlian,” lanjut
Jeane seakan tak menghiraukan kata-kata Gina barusan.
Bayangan lelaki tampan itu muncul di hadapan Gina. Lelaki
yang telah menempati dan menawan hatinya selama setahun ini. Hatinya
bergejolak, begitu banyak rasa yang tak mampu diartikannya sendiri.
“Hanya saja, aku sedih melihatmu tak bahagia meski kau
memiliki berlian itu.”
Gina menghela napas kembali.
“Aku merasa berlian itu bukan milikku,” akunya lirih.
“Rasanya seperti seorang koruptor yang berusaha menyembunyikan berlian yang
diberikan padaku. Berlian yang bukan hakku tapi ingin terus kusimpan. Sementara
hatiku mencela, melihat diriku sendiri begitu rendah, memiliki keinginan yang
seharusnya tak boleh ada. Bagaimana mungkin bisa kukatakan keinginanku ini
tulus, bila pada akhirnya akan merebut kebahagiaan orang lain? Bagaimana
mungkin aku bisa berdoa agar Tuhan merestui cintaku ini, bila cinta ini hanya
akan melukai banyak orang?”
Jeane mengangguk.
“Sudah kukatakan, kau tahu persis apa yang harus kau
lakukan.”
Setetes airmata Gina jatuh mengalir di pipinya.
“Dia terlalu sempurna. Terlalu indah. Hingga aku pun mau
berada dalam kubangan dosa dan rasa bersalah ini.”
“Bukan sesuatu yang harus kau sesali, bukan? Semua
konsekuensi dari keindahan itu juga telah kau bayar dalam penderitaanmu selama
ini. Meragukan dirimu sendiri, membenci dirimu sendiri, bahkan hampir lupa
bahwa kau berhak untuk berbahagia kembali.”
Telepon di meja berdering kembali. Dua pasang mata
menatap ke nama yang muncul di layar telepon. Bram lagi.
“Dia masih mencarimu,” kata Jeane.
“Ya. Sepertinya dia tak pernah lelah.”
“Bagus.”
Gina tersenyum kecut. “Mungkin...”
“Seorang lelaki yang mau memperjuangkan cintanya. Seorang
pejuang cinta.”
Mereka tertawa bersama.
“Hidup ini lucu,” kata Gina terdengar getir.
“Tidak,” bantah Jeane. “Kita ini yang lucu.”
Mereka saling bertatapan. Jeane mengangguk dengan senyum
terkulum di bibirnya yang merah.
“Terkadang kita tidak melihat sesuatu yang ada tepat di
hadapan kita. Membiarkan roh kita terpisah, berada di tempat lain. Dan kemudian
kita merasa kosong. Seandainya saja kita mau memusatkan diri kita berada di
satu tempat saja, di masa ini. Sekarang.”
Lama Gina terdiam, mencoba mencerna kalimat-kalimat
sahabatnya itu.
“Hey, he’s not bad looking too... I will happy to have
him, if you don’t want,” kelakar Jeane memecah lamunan Gina.
“Go ahead, dear,” balas Gina cepat.
Jeane menggeleng. “Aku tak mau menderita, hatinya sudah
dimiliki orang lain. Meskipun orang tersebut belum sadar sepenuhnya.”
Kata-kata Jeane seperti tamparan keras bagi Gina.
“Tapi aku tak yakin bisa memberikan hatiku ini, Jeane.”
Jeane mengangguk. “Ya. Tapi kau bahkan sama sekali belum
mencobanya. Bagaimana mungkin kau tahu kau tak bisa?”
“Sama
seperti seseorang yang ingin berhasil dan bertanya kepada gurunya, bagaimana
jika aku gagal?” lanjut Jeane. “Pertanyaan yang tidak memiliki jawaban, bukan?
Pertanyaan yang timbul karena rasa takut dan ragu.”
“Kau terlalu banyak bergaul denganku,” kata Gina
mendengar kalimat Jeane itu yang dulu juga pernah diucapkannya.
Jeane tertawa. “Aku murid yang baik.”
Gina terhenyak.
“Dan kau guru yang baik,” lanjut Jeane sebelum Gina
sempat membuka mulut.
“Kau tahu, aku perempuan yang sangat beruntung memiliki
sahabat seperti dirimu,” ungkap Gina.
“Well,” Jeane tersenyum. “Berarti kita punya rasa yang
sama.”
Gina tersenyum juga. Ia menarik napas panjang seraya
memandangi laptopnya yang masih menyala.
“Mungkin sudah saatnya mengganti tema cerita. Aku sudah
cukup frustasi memikirkan cerita yang tak mampu kutulis ini.”
Gina menekan tombol delete dan membiarkan satu persatu
huruf yang ada di layar terhapus hingga hanya menyisakan layar kosong.
“Well done,” ucapnya seraya menutup laptopnya. “Pesan dua
tiket ke Bali untuk lusa. Kita pergi mencari ide dan kreativitas yang hilang itu.”
Senyum Jeane terkembang lebar. Dipeluknya sahabatnya itu.
“I love you, Sis...”
* * *
Laki-laki itu menatapnya begitu dalam. Gina berusaha
tersenyum, meski ia merasa tekadnya sebentar lagi akan runtuh.
“Aku tidak mampu,” kata Gina lirih. “Tidak mampu
menghadapi diriku sendiri dan Tuhan.”
Tak ada balasan dari mulut laki-laki itu. Seakan ia
kehabisan kata-kata. Ia mengerti setiap patah kata yang diucapkan perempuan di
hadapannya itu. Perempuan yang sangat dicintainya.
“Sudah setahun aku berusaha membungkam nuraniku ini.”
Jemari lelaki itu bergerak menyeka airmata yang mengalir
perlahan di pipi Gina. Hatinya terasa begitu sakit. Bagaimana mungkin ia
bepura-pura tidak tahu perasaan perempuan itu?
“Maafkan aku, Na...”
Gina menggeleng. “Bukan salahmu. Keinginanku sendiri
untuk merasakan cinta ini. Dan keinginanku pula untuk melepasnya.”
Hendra menarik Gina dalam pelukannya. Memeluknya
erat-erat seakan ingin berkata ia belum rela melepaskan Gina. Lama ketika
akhirnya ia melepaskan pelukan itu.
Dan Gina merasa tekadnya luruh melihat mata lelaki itu
basah.
“Next life, dear...” ucap Hendra lirih. “Aku berharap kita
punya kesempatan itu.”
Gina tersenyum dalam tangisnya. Ia mengangguk, meskipun
ia merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Jemarinya bergerak perlahan,
menyeka mata lelaki itu. Dirasakannya kulitnya bersentuhan untuk terakhir
kalinya dengan wajah yang begitu dicintainya itu.
Hendra mengambil jemari Gina dan menempelkannya lama di
pipinya. Mata mereka bertemu, mengutarakan banyak rasa yang tak mampu lagi
mereka ucapkan, karena mereka sama-sama tahu seribu kata pun tak lagi berguna
saat itu. Lalu ia mengecup jemari itu perlahan. Matanya tertutup.
“You know i love you,” ucap Hendra lirih.
“Ya. Aku tahu,” balas Gina serak. “I know that...”
Lalu tangan mereka terlepas. Gina tersenyum, seraya
menyeka airmatanya.
“I have to go now.”
“Take care...”
“You too.”
Gina membalikkan badannya, merasa separuh jiwanya
tertinggal di sana. Namun ia tetap melangkahkan kakinya. Keputusannya sudah bulat,
ini jalan yang dipilihnya untuk membebaskan hati dan jiwanya.
Ini memang cinta,
bisik hatinya. Tapi bukan untukku...
* * *