Senin, 29 Februari 2016

Biarlah Pergi



Rokok itu dihisapnya dalam-dalam, berharap asap yang masuk dapat memenuhi paru-parunya dan melegakan hatinya. Menggelikan, bukan? Ya, sama seperti hidupnya saat ini, ia berharap racun yang ditelannya setiap hari mampu membuat dirinya menjadi wanita yang utuh, hebat dan luar biasa. Sementara ia sendiri tahu persis racun itu semakin menggerogoti jiwanya. Menggoyahkan rasa percaya dirinya dan membuatnya mulai membenci dirinya sendiri.
            Teleponnya berdering. Ia menatap nama di layar telepon, tanpa bergeming. Bram. Laki-laki itu lagi. Entah kapan laki-laki itu akan menyerah mencari dirinya. Penolakannya, bahkan diamnya, seakan tak menggoyahkan tekad laki-laki itu. Ia menghela napas, mengapa hidup ini begitu rumit? Seandainya saja ia bisa menjadi wanita sederhana, seperti yang lain. Yang memiliki kehidupan yang begitu mudah ditebak.
            Ia teringat seorang sahabat baiknya yang kini sudah memiliki tiga orang anak remaja. Cerita hidupnya begitu sederhana, berjalan bak air mengalir tanpa ada bebatuan yang menghalangi. Bahkan seperti tanpa riak sedikitpun. Selesai es-em-a,  menemukan seorang lelaki baik hati, tidak tampan, menerima pinangan lelaki itu, melahirkan anak-anak untuk lelaki itu dan berbahagia dengan peran sederhananya sebagai Ibu serta Istri yang baik. Sesederhana itu.
            Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah seperti itu pulalah impian dan imajinasinya. Menemukan seorang lelaki yang dicintai dan mencintainya, kemudian hidup akan memberikannya kebahagiaan hingga mata tertutup selama-lamanya.
            Tapi ternyata tidak seperti itu yang terjadi. Tidak ada yang sederhana, terutama pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Dan hatinya yang begitu mudah berganti warna dan rasa. Mungkin ia yang tak mampu menjadi sederhana. Mungkin ia sendiri yang mengundang dan menginginkan kerumitan ini di dalam hidupnya.
            Ia melirik layar laptopnya yang hampir kosong, hanya berisi beberapa kalimat yang tak menarik sama sekali. Sudah seminggu ini, semua imajinasi dan kreativitasnya hilang lenyap. Cinta ini lama-lama membunuhnya. Cinta? Ia merasa terganggu dengan kata itu. Kata sakral yang dulu baginya merupakan kata tertinggi dari semua kosakata yang dipunyainya. Kini? Kata itu tak lagi terlihat murni baginya. Ataukah ia yang telah salah mengartikan rasanya ini? Mungkin ini bukan cinta. Mungkin ini hanya nafsu berkedok cinta.
            Jeane mengetuk pintu, membuatnya Gina tersentak dari lamunannya.
            “What’s up babe?”
            Gina menggeleng pelan menjawab pertanyaan perempuan cantik dengan wajah lembut itu.
            “Kehabisan ide?”
            Gina terkekeh. “Mungkin kebanyakan ide.”
            “Kau sering melamun akhir-akhir ini.”
            Tak sadar Gina menghela napas.
            “Aku berharap bisa mempermudah semuanya dengan kata-kata mutiara dariku. Tapi kau sendiri pun sebenarnya tahu apa yang harus kau lakukan.”
            Ya, ya, ya... sahut Gina dalam hati. Ia tahu. Ia hanya tak mau melakukannya. Ia tak ingin membuat keputusan apa pun dan asyik berkubang dalam rasa merananya.
            “Wake up, girl...”
            Gina mengalihkan matanya dari laptopnya. Menatap Jeane lurus dengan raut serius.
            “Bagaimana kalau kita pergi?”
            “Ke mana?”
            “Ke mana saja.”
            Jeane duduk di hadapannya. Mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
            “Aku tak suka merokok,” katanya seraya menghembuskan asap rokok pelan-pelan. Matanya yang indah menatap kepulan asap tipis yang terbang sampai menghilang.
            “Berarti kau dan aku berada dalam dilema yang sama,” kata Gina dengan senyum meringis, seakan menertawakan dirinya sendiri.
            “Maybe... Aku hanya suka menemanimu merokok.”
            Kalimat itu menohok hati Gina. Ya, kalimat yang tepat. Sangat tepat.
            “Mungkin ini bukan cinta.”
            Jeane menggeleng. “Itu cinta,” bantahnya lembut namun tegas.
            Gina memandangi Jeane, berpikir betapa beruntungnya dirinya menemukan seorang sahabat seperti perempuan itu. Seseorang yang selalu mencoba mengerti tentang dirinya dan hidupnya yang rumit. Tak pernah berusaha mengubahnya atau menghakiminya.
            “Hanya saja aku merasa kau berhak mendapatkan cinta yang lebih baik dari itu,” lanjut Jeane dengan mimik wajah serius.
            Entah ingin tertawa atau menangis mendengar kalimat itu, kepala Gina tergeleng perlahan.
            “Lalu mengapa aku begitu bodoh, Jeane?”
            “Kau hanya perempuan biasa.”
            Jeane meluruskan punggungnya, diraihnya jemari Gina dengan tangan kirinya yang bebas.
            “Kau yang mengajariku, apa pun keputusan yang ingin aku ambil, jangan pedulikan apa kata orang. Tapi pastikan, aku mampu menerima keputusan itu dengan bulat. Pahit, manisnya. Karena hanya aku sendiri yang akan menjalani konsekuensi dari keputusan itu. Apapun itu yang terbaik untukmu, kau sendiri yang tahu.”
            “Ya, aku merasa seperti orang tolol, yang kehilangan kebijaksanaanku di tengah perjalananku sendiri.”
            Jeane tertawa. “Bukankah kita semua sering seperti itu? Menjadi tolol sesekali dalam hidup yang rumit ini?”
            Gina ikut tertawa.
            “Kau ingat ketika aku kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri hanya karena perlakuan seorang lelaki yang aku panggil suami?”
            “Aku sedang merasakan hal yang sama saat ini. Hanya saja bukan dari seorang lelaki yang aku panggil suami,” balas Gina, tersenyum merasa ingin menertawakan dirinya sendiri.
            “Cinta itu seharusnya membuat kita merasa bahagia dan berkembang. Bukan menyusutkan kepercayaan diri dan harga diri kita.”
            “Dan bila itu menjadi beban, seharusnya kau pertanyakan apakah itu benar-benar cinta yang kau inginkan,” ujar Gina melanjutkan kata-kata Jeane, teringat pada kalimat-kalimat yang pernah ditulisnya sendiri di dalam bukunya.
            “Hey, aku tidak akan pernah menyalahkanmu. Aku pun akan jatuh cinta pada lelaki seperti Hendra. Terlalu sempurna. Tidak ada satupun cela dalam kategori lelaki impian. Tampan, baik, care, sukses. Tidak mudah menemukan lelaki seperti itu.”
            Gina mendesah. “Kau tidak mempermudahku, Jeane... Dengan kata-katamu itu, hanya akan membuat hatiku semakin galau.”
            “Ibaratnya batu berharga, Hendra itu seperti berlian,” lanjut Jeane seakan tak menghiraukan kata-kata Gina barusan.
            Bayangan lelaki tampan itu muncul di hadapan Gina. Lelaki yang telah menempati dan menawan hatinya selama setahun ini. Hatinya bergejolak, begitu banyak rasa yang tak mampu diartikannya sendiri.
            “Hanya saja, aku sedih melihatmu tak bahagia meski kau memiliki berlian itu.”
            Gina menghela napas kembali.
            “Aku merasa berlian itu bukan milikku,” akunya lirih. “Rasanya seperti seorang koruptor yang berusaha menyembunyikan berlian yang diberikan padaku. Berlian yang bukan hakku tapi ingin terus kusimpan. Sementara hatiku mencela, melihat diriku sendiri begitu rendah, memiliki keinginan yang seharusnya tak boleh ada. Bagaimana mungkin bisa kukatakan keinginanku ini tulus, bila pada akhirnya akan merebut kebahagiaan orang lain? Bagaimana mungkin aku bisa berdoa agar Tuhan merestui cintaku ini, bila cinta ini hanya akan melukai banyak orang?”
            Jeane mengangguk.
            “Sudah kukatakan, kau tahu persis apa yang harus kau lakukan.”
            Setetes airmata Gina jatuh mengalir di pipinya.
            “Dia terlalu sempurna. Terlalu indah. Hingga aku pun mau berada dalam kubangan dosa dan rasa bersalah ini.”
            “Bukan sesuatu yang harus kau sesali, bukan? Semua konsekuensi dari keindahan itu juga telah kau bayar dalam penderitaanmu selama ini. Meragukan dirimu sendiri, membenci dirimu sendiri, bahkan hampir lupa bahwa kau berhak untuk berbahagia kembali.”
            Telepon di meja berdering kembali. Dua pasang mata menatap ke nama yang muncul di layar telepon. Bram lagi.
            “Dia masih mencarimu,” kata Jeane.
            “Ya. Sepertinya dia tak pernah lelah.”
            “Bagus.”
            Gina tersenyum kecut. “Mungkin...”
            “Seorang lelaki yang mau memperjuangkan cintanya. Seorang pejuang cinta.”
            Mereka tertawa bersama.
            “Hidup ini lucu,” kata Gina terdengar getir.
            “Tidak,” bantah Jeane. “Kita ini yang lucu.”
            Mereka saling bertatapan. Jeane mengangguk dengan senyum terkulum di bibirnya yang merah.
            “Terkadang kita tidak melihat sesuatu yang ada tepat di hadapan kita. Membiarkan roh kita terpisah, berada di tempat lain. Dan kemudian kita merasa kosong. Seandainya saja kita mau memusatkan diri kita berada di satu tempat saja, di masa ini. Sekarang.”
            Lama Gina terdiam, mencoba mencerna kalimat-kalimat sahabatnya itu.
            “Hey, he’s not bad looking too... I will happy to have him, if you don’t want,” kelakar Jeane memecah lamunan Gina.
            “Go ahead, dear,” balas Gina cepat.
            Jeane menggeleng. “Aku tak mau menderita, hatinya sudah dimiliki orang lain. Meskipun orang tersebut belum sadar sepenuhnya.”
            Kata-kata Jeane seperti tamparan keras bagi Gina.
            “Tapi aku tak yakin bisa memberikan hatiku ini, Jeane.”
            Jeane mengangguk. “Ya. Tapi kau bahkan sama sekali belum mencobanya. Bagaimana mungkin kau tahu kau tak bisa?”
“Sama seperti seseorang yang ingin berhasil dan bertanya kepada gurunya, bagaimana jika aku gagal?” lanjut Jeane. “Pertanyaan yang tidak memiliki jawaban, bukan? Pertanyaan yang timbul karena rasa takut dan ragu.”
            “Kau terlalu banyak bergaul denganku,” kata Gina mendengar kalimat Jeane itu yang dulu juga pernah diucapkannya.
            Jeane tertawa. “Aku murid yang baik.”
            Gina terhenyak.
            “Dan kau guru yang baik,” lanjut Jeane sebelum Gina sempat membuka mulut.
            “Kau tahu, aku perempuan yang sangat beruntung memiliki sahabat seperti dirimu,” ungkap Gina.
            “Well,” Jeane tersenyum. “Berarti kita punya rasa yang sama.”
            Gina tersenyum juga. Ia menarik napas panjang seraya memandangi laptopnya yang masih menyala.
            “Mungkin sudah saatnya mengganti tema cerita. Aku sudah cukup frustasi memikirkan cerita yang tak mampu kutulis ini.”
            Gina menekan tombol delete dan membiarkan satu persatu huruf yang ada di layar terhapus hingga hanya menyisakan layar kosong.
            “Well done,” ucapnya seraya menutup laptopnya. “Pesan dua tiket ke Bali untuk lusa. Kita pergi mencari ide dan kreativitas yang hilang itu.”
            Senyum Jeane terkembang lebar. Dipeluknya sahabatnya itu.
            “I love you, Sis...”
*   *   *
            Laki-laki itu menatapnya begitu dalam. Gina berusaha tersenyum, meski ia merasa tekadnya sebentar lagi akan runtuh.
            “Aku tidak mampu,” kata Gina lirih. “Tidak mampu menghadapi diriku sendiri dan Tuhan.”
            Tak ada balasan dari mulut laki-laki itu. Seakan ia kehabisan kata-kata. Ia mengerti setiap patah kata yang diucapkan perempuan di hadapannya itu. Perempuan yang sangat dicintainya.
            “Sudah setahun aku berusaha membungkam nuraniku ini.”
            Jemari lelaki itu bergerak menyeka airmata yang mengalir perlahan di pipi Gina. Hatinya terasa begitu sakit. Bagaimana mungkin ia bepura-pura tidak tahu perasaan perempuan itu?
            “Maafkan aku, Na...”
            Gina menggeleng. “Bukan salahmu. Keinginanku sendiri untuk merasakan cinta ini. Dan keinginanku pula untuk melepasnya.”
            Hendra menarik Gina dalam pelukannya. Memeluknya erat-erat seakan ingin berkata ia belum rela melepaskan Gina. Lama ketika akhirnya ia melepaskan pelukan itu.
            Dan Gina merasa tekadnya luruh melihat mata lelaki itu basah.
            “Next life, dear...” ucap Hendra lirih. “Aku berharap kita punya kesempatan itu.”
            Gina tersenyum dalam tangisnya. Ia mengangguk, meskipun ia merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Jemarinya bergerak perlahan, menyeka mata lelaki itu. Dirasakannya kulitnya bersentuhan untuk terakhir kalinya dengan wajah yang begitu dicintainya itu.
            Hendra mengambil jemari Gina dan menempelkannya lama di pipinya. Mata mereka bertemu, mengutarakan banyak rasa yang tak mampu lagi mereka ucapkan, karena mereka sama-sama tahu seribu kata pun tak lagi berguna saat itu. Lalu ia mengecup jemari itu perlahan. Matanya tertutup.
            “You know i love you,” ucap Hendra lirih.
            “Ya. Aku tahu,” balas Gina serak. “I know that...”
            Lalu tangan mereka terlepas. Gina tersenyum, seraya menyeka airmatanya.
            “I have to go now.”
            “Take care...”
            “You too.”
            Gina membalikkan badannya, merasa separuh jiwanya tertinggal di sana. Namun ia tetap melangkahkan kakinya. Keputusannya sudah bulat, ini jalan yang dipilihnya untuk membebaskan hati dan jiwanya.
            Ini memang cinta, bisik hatinya. Tapi bukan untukku...
*   *   *

Jumat, 12 Februari 2016

Mommy, xie-xie Ni...

Berapa lama aku tak menghubunginya? Setahun? Lebih? Yang aku ingat sudah dua tahun berlalu sejak terakhir aku menemuinya. Ya, ketika akhirnya aku berhasil mengumpulkan seluruh keberanianku untuk datang menemuinya. Untuk membayar semua hutang maafku selama ini.

Pertama kali aku mengenalnya, keberanianku menciut. Harga diriku hilang separuh. Bagaimana tidak? Tatapan matanya yang tajam dan ekspresi wajahnya yang keras dan tanpa ekspresi, membuatku merasa tak diterima. Saat itu aku hanya diam, tak bersuara. Tak punya sesuatu untuk membela gambaran diriku di matanya. Hanya separuh harga.

Kesan pertama itu membuatku menilai dirinya sebagai seseorang yang tak cukup baik. Apalagi ditambah dengan cerita-cerita yang kudengar mengenai dirinya. Wanita yang bertangan baja, otoriter, pemarah, susah untuk dimengerti.

Beberapa kali pertemuan dalam tahun pertama, tidak banyak yang berubah. Aku belum mampu menjalin komunikasi dengannya. Berhubung terbatasnya kosakataku mengenai bahasa asing yang dipergunakannya, aku hanya mampu mengerti sepotong-sepotong yang diucapkannya. Tapi aku tak pernah menyerah untuk belajar, dengan keyakinan suatu hari nanti aku mampu berkomunikasi dengan baik dengan dirinya. Saat itu mungkin, dia akan bisa mengenal siapa diriku sebenarnya.

Tahun-tahun berlalu, dengan kesibukan yang luar biasa, membuatku sering lupa memikirkannya. Sampai suatu hari aku tersadar, dia bukan lagi wanita yang sama dengan wanita yang pertama kali bertemu denganku. Atau mungkin penilaianku saat itu salah mengenai dirinya. Penilaian yang muncul karena sikap dinginnya kepadaku.

Dia memang seorang wanita yang benar-benar perkasa. Cerita hidupnya yang sering dituturkannya sepotong-sepotong padaku bila kami punya kesempatan bersama, membuatku sering merasa iba sekaligus bangga padanya.

Dia lahir di keluarga yang bahagia. Dan dia menikah dengan lelaki tampan yang kemudian menjadi ayah dari keempat anaknya yang kini semua berhasil dalam hidup baik sebagai pribadi yang mandiri maupun sebagai anak-anak yang berbakti pada orangtua.

Kehidupan pernikahannya tidak mulus. Dia harus berbagi atap dengan ibu mertuanya yang merupakan wanita keras, penuh dengan aturan dan selalu harus dilayani. Setiap hari dia harus menyiapkan air hangat untuk ibu mertuanya mandi. Juga masakan yang sesuai dengan selera. Sering dia mendapatkan teguran dan kritikan, meskipun segala sesuatu telah coba dilakukannya dengan baik. Sejak menikah, kebebasannya sebagai pribadi lenyap. Dia bahkan tak bisa sering-sering mengunjungi orangtuanya, karena akan menimbulkan ketidaksenangan dari ibu mertuanya itu. Bahkan untuk pergi bersama suaminya tercinta, dia jarang mendapatkan ijin. Dia dituntut untuk selalu berada di rumah, mengerjakan semua pekerjaan rumah dan mengurus anak-anaknya, suaminya serta mertuanya.

Saat anak bayinya sakit dan akhirnya meninggal, dia bahkan tak tahu ke mana bayinya tersebut dikuburkan. Yang dia tahu hanyalah ibu mertuanya memanggil orang untuk membawa bayi tersebut dan dia tak diperbolehkan ikut. Sejak saat itu, hingga kini, dia tak pernah tahu di mana bayinya berada. Dan itu membuatnya selalu meneteskan airmata ketika bercerita, meskipun telah berkali-kali cerita itu kudengar dari dirinya.

Satu hal yang selalu dikatakannya menutup ceritanya mengenai masa lalunya yang berat, aku tak mau menjadi mertua yang sama, yang membuat hidup menantuku susah. Biarlah pengalaman itu hanya terjadi pada diriku ini. Cukup.

Dengan tangan bajanya dia membesarkan keempat anaknya, tanpa bantuan siapa pun. Dan ketika perekonomian suaminya memburuk, dengan tangan bajanya pula dia berusaha berdagang. Dan dari hasil investasinya, dia mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga berhasil. Bahkan hingga hari ini ketika umurnya telah senja, dia masih mampu menghasilkan uang, tak ingin bergantung sepenuhnya pada anak-anaknya.

Meskipun dia adalah wanita yang keras dan juga sangat suka mengatur, namun dia sangat menyayangi semua anaknya. Dari kecil hingga dewasa, mereka tak pernah kehilangan perhatian dari wanita itu. Dia tak pernah lupa mencari anak-anaknya, meskipun mereka pergi jauh untuk berdagang. Dan dia selalu menyambut kepulangan mereka dengan gembira.

Suatu hari aku tersadar. Aku yang tak punya hubungan darah dengan wanita itu, telah masuk di hatinya. Ketika berkali-kali aku datang dan menemukan masakan kesukaanku telah terhidang di atas meja. Ketika aku baru turun dari mobil dan menemukannya berdiri di depan pintu dengan wajah gembira dan sapaan yang begitu hangat menyambutku. Dan ketika aku akan pulang, aku selalu menemukan sedih di wajahnya.

Aku tak menyangka sama sekali. Aku ini, perempuan biasa ini, mampu menjadi seseorang yang berarti baginya. Mungkin dia tersentuh dengan ketulusanku. Mungkin dia tergerak melihat kejujuranku. Tak pernah mencoba berpura-pura di depannya. Bersikap adanya aku dan berusaha menerima apa adanya dirinya.

Lima tahun yang lalu ketika akhirnya aku memutuskan untuk pergi selamanya, satu penyesalanku yang terbesar adalah dirinya. Bagaimana mungkin aku bisa memutuskan hubungan dengan seseorang yang sudah begitu luar biasa menerima dan menyayangi diriku? Dia tak pernah tahu betapa hatiku hancur ketika telepon darinya berdering dan aku menahan diriku sekuat tenaga untuk tidak menjawab. Dia tak pernah benar-benar tahu betapa merasa bersalahnya diriku ketika aku mengingat dirinya, tahu bahwa aku telah menyakiti dan mengecewakannya.

Tapi ini jalan yang telah kupilih. Tak mampu kujelaskan dengan kata-kata mengapa harus kupilih. Aku telah mengadu pada Tuhan. Aku telah meminta-Nya untuk menunjukkan jalan yang terbaik. Dan dengan pertolongan-Nya lah aku mampu melewati jalan panjang yang sulit ini.

Dan tahun-tahun kulalui dalam diamku, berusaha menata kembali hidupku yang terjungkir balik. Dalam sunyi hidupku, selalu kupanjatkan doaku untuknya. Dalam malam-malam sepiku ketika kerinduan itu memanggil, kuucapkan permintaan maafku. Berharap suatu hari nanti aku masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, meminta maafnya dan melihatnya baik-baik saja.

Tuhan memang Maha Besar. Tidak ada yang tidak mungkin bila Dia menginginkan itu terjadi. Dan hari itu tiba. Dua tahun lalu, Tuhan akhirnya memberikanku kesempatan itu. Bertemu kembali dengan wanita itu. Wanita luar biasa yang telah merebut rasa sayangku.

Kakiku gemetar ketika aku turun dari mobil. Teringat kembali masa-masa lalu ketika dia menyambutku di depan pintu dengan wajahnya yang gembira. Akankah kutemui kegembiraan yang sama? Sempat kusesali keberanianku untuk datang kembali. Aku takut. Takut bila ternyata, selama ini, aku hanya terlalu berbesar kepala, berpikir aku cukup berarti untuk dirinya.

Dan dia di sana, muncul dari dapur, bergegas dengan senyum lebar menyebut namaku. Aku hampir menangis. Menangis di tengah orang banyak yang berada di rumah itu. Ini memang sesuatu yang luar biasa. Bagaimana mungkin orang-orang ini, wanita ini, bukan sedarah denganku, yang telah kutinggalkan, seakan-akan aku tak menginginkan mereka lagi, masih menyambutku seperti ini? Seperti tidak ada yang berubah. Seperti aku masih menjadi bagian dari mereka. Tuhan memang Maha Besar. Dan cinta ini, benar-benar ada. Benar-benar nyata.

Kami berbagi cerita. Cerita tentang tahun-tahun di mana kami tidak bersama. Dia masih seperti dulu, masih sibuk mengkhawatirkanku. Masih sibuk mendoakanku.

Saat kami hanya berdua, dia mengungkapkan kesedihan hatinya. Dia berkata, seandainya saat itu aku mengangkat telepon darinya, seandainya, semua ini tak perlu terjadi. Tapi sudahlah. Jodoh memang tak bisa dipaksa. Kami tak berjodoh sebagai mertua dan menantu. Biarlah aku menjadi anaknya saja...

Dan kulihat genangan airmata di sana. Aku tak mampu menahan tangisku. Kusentuh tangannya yang semakin kurus dan keriput. Dan kuucapkan permintaan maafku, meski aku tahu itu tak akan pernah cukup...

Aku tak pernah mengangkat telepon darinya saat dulu aku memutuskan untuk pergi, karena aku tahu bila aku melakukan itu, aku tak akan pernah bisa benar-benar pergi. Aku tak akan mampu mendengar tangisnya dan permohonannya untuk memintaku tetap tinggal. Aku tahu, dia akan melakukan apa saja untuk bisa tetap menahanku pergi. Dan selamanya aku tak akan mampu menjelaskan mengapa aku harus pergi. Bahwa ini bukan sebuah keputusan yang mudah. Tak ada yang tahu selain Tuhan, bahwa telah ribuan kali kupertanyakan pada diriku sendiri sebelum akhirnya aku melangkah pergi. Dan tak ada yang tahu, seperti apa kelamnya hatiku melewati semua ini. Sampai aku kehilangan diriku sendiri. Kebahagiaanku. Perlu waktu yang begitu panjang untukku menemukan kembali rasa percaya diri dan kebahagiaanku kembali.

Kemarin, aku meneleponnya lagi. Masih, ada keresahan di hatiku. Akankah dia senang mendengar suaraku? Ataukah dia telah berubah? Tapi wajahnya terus terbayang, karena itu kukuatkan hatiku. Keberanikan diriku untuk mencarinya lagi. Dan suara yang sama, kegembiraan yang sama yang menyambutku. Dan pertanyaan itu, membuatku merasa begitu diberkati oleh Tuhan. Kenapa tidak datang? Kapan mau datang?

Jarak memisahkan kami. Begitupun dengan waktu. Meskipun bertahun-tahun tak bersama, tak ada yang berubah. Begitu sulit untuk dimengerti. Bagaimana cinta ini bisa ada. Begitu banyak yang tak percaya cerita di antara kami ini benar ada. Tak ada kebencian atau dendam di sini. Tak pernah ada. Meskipun langkah kaki tak pernah sama lagi, tapi hati kami seperti tak terpisahkan. Dan dia di sana, masih selalu menantiku untuk datang.

Ini kisahku tentang wanita itu. Wanita yang pernah menjadi ibu mertuaku.

Mommy, xie-xie Ni...

Sabtu, 15 September 2012

Tanpa Cahaya...

Rasa...

Kembali lagi tentang rasa. Entah bagaimana harus mengontrol rasa ini. Seandainya aku mengerti, mungkin tidak akan sesulit ini melaluinya. Tapi aku sendiri tak paham, bahkan aku mulai putus asa. Mungkin selamanya aku tak akan pernah paham...

Kadang aku takut pada diriku sendiri. Diriku yang seperti saat ini. Ketika dia tak mau patuh dan bahagia. Ketika dia menjadi keras kepala dan hanya menuruti rasa itu. Meskipun hampir sepanjang waktu dia mau menjadi anak manis dan mendengarkanku memintanya untuk selalu punya harapan di setiap detik hidup. Tapi tidak di detik ini. Tidak di masa ini. Dia menutup telinganya rapat-rapat. Dan aku tak dapat berbuat apa-apa, selain mengikutinya menerima rasa itu. Rasa tidak dicintai siapapun...

Aku selalu ingin menjadi cahaya. Bila mampu seterang mentari. Bila pun tidak, setidaknya aku bisa menjadi lilin. Tapi bila sumbuku telah terbakar habis, dan tubuhku telah meleleh tak bersisa, bagaimana aku dapat tetap bercahaya? Di mana akan kuambil cahaya baru? Bukankah lilin pun tak abadi? Tapi begitu sulit untuk bisa menjadi mentari. Hhhh....

Selalu kucoba untuk meniupkan harapan di setiap kataku. Mengekspresikan kegembiraan di gerak dan langkahku. Mencintai hidup. Mencoba mengerti segalanya. Mencoba belajar memahami segalanya. Melihat semuanya dari sudut berbeda. Tersenyum pada siapa dan apa saja. Mencoba melihat wajah Tuhan di mana pun...

Tapi sungguh hari ini aku tak mampu. Maafkan aku Tuhan... Bukan aku tak berusaha, bukan aku tak bersyukur. Aku benar tak mampu. Aku tak mengerti. Mengapa hidup seperti ini?

Cahayaku padam. Hanya ada gelap gulita. Hanya ada sunyi dan kekosongan. Dan di sini aku sendiri, merasa sendirian. Hanya ada gaung isakku. Hanya ada dingin airmataku. Akankah ada yang datang membawakan cahaya untuk menolong?

Tuhan, tolong...

Rabu, 18 Mei 2011

Masih...

Saat kekosongan itu menjadi kebisuan yang panjang, tiba-tiba aku seakan dibangunkan dari mimpi yang tak berjudul. Dan terduduk aku di sana, di ranjangku yang dingin. Menatap ke sekeliling dengan rasa asing, tak bisa mengingat di manakah aku sekarang ini? Apa yang terjadi padaku? Apa yang terjadi pada hidupku?

Bak kilatan petir yang menghilang dalam satu kedipan mata. Ketika kubuka kembali mataku semua telah lenyap tak bersisa. Hanya tinggal bayang yang semakin menipis dan menjauh. Dan ketika ingin kugapai dengan tangan ini, mengapa tak mampu kuulurkan tangan ini?

Kukatakan ingin kutinggalkan pintu yang tertutup itu. Kutiupkan asa ke hatiku, akan selalu ada pintu lain yang terbuka dengan cahaya terang menerangi. Kukuatkan langkah yang gemetar dengan berjalan lebih cepat dan tak menoleh ke belakang lagi. Kutulikan telingaku, mencoba membisukan duniaku ini. Sesulit inikah Tuhan hidup untukku?

Dan ketika kekosongan itu kembali datang, setelah membawa lari semua, aku terbaring diam masih di ranjang yang sama, ranjangku yang dingin. Aku hanya ingin menangis...

Http://www.google.co.id

Kamis, 24 Februari 2011

Senandung Sunyi....


Bibirnya terkatup rapat. Telah habis kata. Bahkan rasa pun enggan berbicara lagi. Keberaniannya telah terkoyak, keyakinannya telah sirna. Hilang entah ke mana... Mungkin dia lelah. Mungkin dia telah patah asa, terus menerus hanya mendengar gaung suaranya sendiri. Memantul sia-sia kembali padanya.

Apa lagi yang penting untuk dikatakan? Apa lagi yang perlu untuk diucapkan? Bukankah kata-kata telah kehilangan makna? Bahkan rasa pun kini malu, menyembunyikan wajahnya. Tak mampu lagi ia bersorak dan menari-nari dengan wajah gembira. Ia merasa bak seorang aktor tanpa penonton. Di atas panggung megah berlawan dengan kursi kosong yang tak pernah terisi.

Lalu satu persatu pintu dikuncinya dengan rapat. Dikuburnya kunci-kunci itu jauh ke dalam. Berharap dengan tak melihatnya, ia akan lupa. Berharap pintu-pintu yang tertutup itu akan memutuskan semua ingatannya akan mimpi-mimpinya yang patah.

Dipejamkannya matanya. Tubuhnya menggigil, terangkul erat oleh sepi. Dibisikkannya sebuah pinta. Seandainya saja bisa, semua menghilang begitu saja saat mata kembali terbuka. Dan ada wajah dunia yang baru muncul di hadapannya. Yang punya warna, bukan hanya kelam. Yang hangat, tanpa dingin sepi...

Dan saat dibukanya kembali matanya, napasnya tertahan... Terdengar olehnya sebuah senandung lirih yang menyayat hatinya. Wajah sunyi tersenyum padanya, bersenandung dengan bahagia. Perlahan airmatanya menetes. Di sana, sendiri dalam kegelapan ia menikmati senandung sunyinya...


Photo Link: www.google.com

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya