Kamis, 04 Juni 2009

Teman, be strong... I love you...

Di dunia ini aku punya beberapa teman yang selalu bisa kuajak untuk berbagi dari hati ke hati mengenai segala sesuatu. Dari tetek bengek kehidupan sehari-hari hingga ke pikiran-pikiran terdalam dan tersembunyi. Yang tak selalu bisa terungkapkan dalam bahasa yang tepat.

Namun, mereka seakan memiliki suatu getaran yang sama denganku. Tanpa harus memilih kata-kata yang benar-benar tepat atau mulai dengan teliti dari A hingga Z, mereka mampu menangkap apa kata hatiku. Merasakan dan memahami. Memberi sebuah perasaan menyenangkan, seperti perasaan 'berada di rumah' atau lebih keren-nya 'it feels like home...'

Orang-orang yang kuanggap anugerah terindah dalam hidupku ini. Yang muncul bagai 'guardian angel', menjagaku dan membimbingku dalam hidup ini. Walau terkadang aku masih harus berjalan sendiri, ketika kesibukan menyingkirkan mereka, aku selalu ingat akan mereka. Karena ingatan itu membuatku mampu tegar dan selalu tersenyum kembali ketika aku goyah...

Seorang 'guardian angel-ku' mengalami masa-masa sulit belakangan ini. Aku baru mengetahuinya. Karena jarak yang terbentang dan kesibukan yang melenakan, aku bahkan mengacuhkan perasaan hatiku sebenarnya yang telah beberapa lama terus memanggil, mengingatkanku akan dirinya. Sempat terbersit kekhawatiran akan dirinya, namun aku mengira itu hanya sebuah khayalan negatif. Sampai akhirnya aku dikagetkan akan kabar darinya. Dan aku akhirnya tahu bahwa ikatan batin kami lah yang waktu itu mencoba memanggilku untuk mencarinya.

Tak pernah terlintas, ada bagian kehidupan yang begitu kelam yang harus dilewatinya seorang diri. Dia, sesosok pribadi yang begitu nyaris sempurna. Dengan kecerdasan pikiran dan kebesaran hati yang dimilikinya serta latar belakang kehidupan yang begitu anggun, kini dihadapkan pada begitu banyak kebusukan dan kekejaman manusia, yang seakan-akan tak memiliki hati nurani. Batinku menjerit marah. Hatiku menangis pilu. Mengapa? Mengapa hidup begitu kejam padanya? Dia, yang selalu berjalan di jalan yang benar dengan kesadaran diri dan kesederhanaannya...

Teman, aku berharap bisa menghapus airmatamu. Aku berharap bisa mengobati luka hatimu. Bahkan kalau bisa, kugunakan segala cara agar luka itu tak berbekas sama sekali. Aku berharap ada di sana waktu itu, sebelum semuanya terjadi, sebelum mereka menganiaya batinmu. Maaf... Maaf karena aku tak menyadarinya. Maaf karena aku terlalu percaya diri membiarkanmu sendiri di luar sana. Mengira kau akan selalu baik-baik saja. Maaf karena kini aku tak mampu mengubah apapun untuk menghapus semua cerita pahit itu dari hidupmu...

Tuhan... Aku jarang menemuimu. Aku selalu mencoba menyelesaikan segala sesuatunya sendiri, karena aku percaya inilah yang Kau mau dariku. Menjadi sosok yang percaya diri. Aku selalu percaya bahwa aku memiliki semua kemampuan dalam diriku karena Kau telah menciptakan aku dengan cara yang terbaik. Namun, hari ini aku tak mampu berdiri. Kakiku terasa begitu lemah. Hatiku tak mampu bahagia. Kesedihan menemaniku sepanjang hari. Aku tak mampu bangkit. Aku bahkan tak mampu mengeluarkan semua kalimat-kalimat kebijaksanaan-ku yang biasanya selalu kugunakan untuk menghibur diri sendiri atau orang lain. Aku kehilangan kata-kata itu. Mulutku kelu, tak mampu menghiburnya.

Tolong aku Tuhan... Tolong hibur dia. Tolong kuatkan dia. Tolong hapus sakit dan lukanya. Tolong berikan kebahagiaan baru baginya. Tolong jaga dia dari semua yang berusaha menyakitinya. Tolong beri dia pengharapan dan wajah dunia yang baru. Yang lebih ramah dan menyenangkan. Yang lapang dan penuh warna keceriaan...

Aku berharap, esok adalah hari yang lebih baik untuknya. Aku berharap ada benih semangat dan kekuatan baru yang muncul di hatinya. Juga harapan akan cinta yang murni. Di sela-sela usahanya untuk menata kembali hatinya yang porak-poranda, aku berharap dia tidak berputus asa dan membenci kehidupan ini.

Dulu, dia adalah sebuah sosok yang begitu indah di mataku. Tolong jangan pernah biarkan dia berubah... Biarkan sosok itu akan tetap memancarkan keindahan yang sama, walau kini dan selamanya ada secuil goresan di sana. Karena bagiku goresan itu tak akan menodai keindahannya. Keindahan yang tak akan pernah sirna selamanya.

Teman, be strong... I love you...

Selasa, 02 Juni 2009

Jiwa

Aku mencoba mengenal jiwaku...
Seperti apakah dia? Aku terus bertanya-tanya. Pertanyaan yang terngiang-ngiang sepanjang hari ini. Di antara kesibukanku bersama orang-orang yang menemaniku, membicarakan macam-macam hal. Di antara kalimat-kalimat yang coba kupahami dari sebuah buku yang tengah kubaca berulang kali.
Yang pernah kudengar, kita manusia, terbagi dalam tiga bagian: tubuh, pikiran dan jiwa. Sering kita merasa tubuh lah yang terpenting. Banyak hal yang kita lakukan untuk kebaikan tubuh. Mungkin karena tubuhlah yang paling memiliki bentuk nyata daripada dua faktor lainnya. Juga mungkin karena tanpa tubuh, kita tak akan bisa eksis lagi di dunia ini.
Namun seringkali aku merasa bahwa tubuhku ini hanya seperti robot tanpa mesin atau remote bila pikiranku tak ada. Pikiran membuat tubuh melakukan banyak hal. Pikiran selalu mengendalikan tubuh, seperti seorang master yang mengendalikan hamba/budaknya. Bila pikiran kita baik, maka kita menjadi tubuh/sosok yang baik. Bila pikiran kita buruk, berubahlah kita menjadi sosok mengerikan.
Lalu di manakah peranan jiwa itu? Apakah jiwa bisa disamakan dengan hati/ perasaan? Yang kadang membuat kita tidak tenang saat kita telah memutuskan melalui pikiran untuk melakukan sesuatu? Yang membuat kita tetap ragu, padahal pikiran telah mencoba menjelaskan dengan rinci semua alasan terbaik untuk melakukan sesuatu? Kebingungan kita itu, apakah disebabkan oleh yang namanya 'jiwa?' Apakah itu caranya berkomunikasi dengan memberikan perasaan tidak nyaman mengenai sesuatu yang tidak disetujuinya?
Entahlah...
Yang aku tahu, banyak yang mengatakan jiwa tak pernah bisa mati. Jiwa selalu abadi. Jiwa tak pernah menjadi tua seperti halnya tubuh. Lalu apakah jiwa juga tak pernah menjadi negatif, seperti halnya pikiran? Ataukah jiwa kita pun bisa dinodai dengan sesuatu?
Kata orang-orang bila tubuh kehilangan kemampuannya atau berhenti, jiwa akan terlepas dan bebas, tapi tak pernah mati. Dalam artian, jiwa menghuni tubuh? Benarkah demikian adanya? Ataukah sebaliknya?
Beberapa orang menggunakan kata jiwa sebagai kata yang memiliki kedalaman tertentu. Pernahkah kau mendengar orang berkata,"Demi kepuasan jiwaku?" Atau kalimat yang kadang tragis terdengar, "Sakit jiwa." Mengapa tidak dikatakan, "Sakit pikiran?" Bukankah pikirannya yang terganggu? Apakah itu berarti jiwa tidak dapat mati, namun dapat menjadi sakit? Lalu mengapa jiwa bisa menjadi sakit? Ataukah sebenarnya penggunaan kata sakit jiwa, harusnya diubah menjadi sakit pikiran?
Kalau menilai dari fungsi dan kelebihan masing-masing, apakah kita dapat menyimpulkan bahwa jiwa memegang peranan terbesar dari semuanya? Karena jiwa yang sakit kemudian menyebabkan seseorang tak mempedulikan dirinya (tubuh) dan tak dapat lagi diajak komunikasi secara normal (pikiran)? Tapi tanpa tubuh dan pikiran, kemanakah jiwa itu akan pergi? Melayang-layang tak tentu arah, atau yang biasa disebut "Roh-roh penasaran?"
Seandainya dia tak memiliki bentuk pasti seperti tubuh dan tidak sebagai penggerak tubuh (pikiran), lalu di manakah fungsi sebenarnya? Membuat tubuh menjadi hidup?
Mungkin kalau diberikan pengandaian, tubuh adalah sebuah mobil, pikiran adalah orang mengendarainya dan jiwa adalah bensinnya. Bisakah digunakan perumpamaan itu? Tanpa bensin, walaupun memiliki pengendara, mobil tak dapat digerakkan. Lalu bila tanpa orang (pikiran), mobil dan bensin juga hanya dalam posisi 'parkir'. Konstan. Tak bergerak. Dan bila mobilnya rusak, tak dapat diperbaiki lagi, bensin dapat diambil dan dimasukkan ke dalam mobil lain, tetap bisa digunakan dengan orang sebagai pengendalinya? Seperti yang sering dikatakan dalam sebuah agama, 'Jiwa-jiwa akan terlahir kembali dalam tubuh yang berbeda...'
Aaaaaaaaaah..................
Semakin membingungkan.
Tadi aku bahkan berkata kepada diriku sendiri: "Hey jiwa, siapakah engkau sebenarnya. Tunjukkan dirimu, jelaskan padaku." Tapi tetap saja, terasa gamang, senyap.
Mungkin jiwa itu memang tak berbentuk, maka tak dapat kulihat. Mungkin juga dia berbicara dalam bahasa lain, tak seperti pikiran selalu menggunakan kata-kata yang jelas. Mungkin juga dia adalah sesuatu yang 'agung' dan 'sakral', yang hanya dapat dilukiskan dengan perasaan tanpa bisa diwakili lewat kata. Mungkin juga dia hanya dapat dimengerti dengan kebijaksanaan pikiran yang telah melewati batas tertinggi.
Aku pernah membaca buku yang mengatakan, "Jadilah seperti yang jiwamu inginkan..."
Tapi bagaimana kita tahu apa yang jiwa itu inginkan, bila kita tidak melihatnya dengan jelas. Apakah jiwa itu adalah penggantian dari kata, nurani atau lebih sederhana-nya 'hati'? Kalau iya, mengapa harus menggunakan kata jiwa? Mengapa membuatnya jadi sulit untuk dimengerti? Mengapa disebut 'soulmate?' Mengapa bukan 'heartmate?' Siapa yang menciptakan kata 'jiwa' itu?
Aku menunggu... Menunggu jiwa itu memperkenalkan dirinya padaku. Karena bila benar manusia terbagi atas tiga bagian: tubuh, pikiran dan jiwa, aku juga memilikinya. Aku ingin memiliki deskripsi yang jelas tentang jiwa itu. Tentang keberadaannya. Tentang keinginannya. Karena bila memang inilah tujuan dari kehidupan, aku juga ingin menjadi apa yang jiwaku inginkan.
Aku yakin, ketika aku menuliskan (mungkin) hal yang bodoh ini, dia di sana, di suatu tempat dalam diriku, mengetahuinya. Mungkin tengah menertawakanku karena tak mengenalinya. Mungkin juga tengah menangis kecewa. Atau mungkin dia malah memaafkan kebodohanku ini, karena dialah yang teragung. Dan mungkin juga, aku telah mengenalnya hanya saja saat ini tengah lupa akan dirinya. Lupa karena telah begitu lama, aku selalu disibukkan oleh tubuh dan pikiranku ini.
Wahai jiwa, bicaralah padaku... Tunjukkan wajahmu... Biarkan aku mengenalmu, seperti aku begitu mengenal pikiran dan tubuhku. Karena bila kalian semua adalah bagian-bagian yang membuatku menjadi 'utuh', aku juga ingin mencintaimu...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya