Kamis, 27 Agustus 2009

Ubi Bapak

Asap mengepul dari ubi di piring kaleng yang tergeletak di atas kursi bambu. Titin kecil menunggu dengan tak sabar. Sesekali wajahnya mendekat, membiarkan asap itu mengenai wajahnya. Ia menghirup dalam-dalam wangi yang tercium. Dan ketika ibu menganggukkan kepala, tangan kecilnya segera meraih satu dari ubi tersebut. Panas langsung menjalari telapak tangan kecilnya yang terkatup, menutup ubi itu dengan tidak sempurna. Didekatkannya ke hidungnya, sekali lagi dihirupnya wangi ubi itu seakan tak puas-puasnya. Baru kemudian dikupasnya kulit ubi perlahan-lahan.

Selalu ada tiga ubi di piring. Satu untuknya, satu untuk ibunya dan satu lagi untuk bapaknya. Ubi yang terakhir selalu tergeletak lama, menanti sang Bapak pulang dari kebun.

"Untuk Bapak ya?" tanyanya setiap kali melihat ubi yang terakhir. Dan ibunya selalu mengangguk. "Iya Nak, untuk Bapak."

Titin kecil menemukan ubi yang sama setiap harinya. Suatu hari dia merajuk tak ingin makan ubinya. Ibunya membujuk dan berkata, "Ubi ini hasil keringat Bapak. Di dalamnya ada cinta Bapak untuk menguatkan tubuhmu. Dimakan ya, Nak..."

Mendengar kata-kata ibunya, seketika itu juga diambilnya ubi itu dan dimakannya dengan tersenyum. Titin kecil sayang sekali pada bapaknya, lelaki tua yang selalu menggendongnya di bahu. Baginya bapaknya adalah segalanya.

Suatu hari sepasang suami isteri datang ke rumah mereka yang reyot. Ibunya berkata bahwa mereka adalah keluarga jauh bapaknya yang akan membawa Titin berjalan-jalan ke kota. Titin kecil yang saat itu masih berusia lima tahun tentu saja senang dijanjikan akan dibawa berjalan-jalan. Apalagi kedua orangtua itu tampak baik dan ramah padanya. Sebelum pergi ibunya menciumnya, matanya berkaca-kaca. Tapi Titin masih terlalu kecil untuk menangkap keganjilan sikap ibunya tersebut. Bapaknya belum pulang dari kebun. Titin tak sempat berpamitan padanya.

Sesampai di kota, Titin kecil disuguhi dengan banyak makanan enak. Rumah tempatnya tinggal pun jauh lebih besar dan bagus. Setiap kali akan makan, ia teringat akan ibunya dan ubi di piring kaleng yang biasa ada di rumahnya di kampung. Ia teringat pada bapaknya yang tua. Senyumnya, tangannya yang keriput tapi kuat itu.

Setelah beberapa waktu berlalu, Titin kecil mulai bertanya pada kedua orang yang dipanggilnya Mama dan Papa itu. Ia ingin pulang ke rumahnya. Ia ingin bertemu Bapak dan ibunya. Dan mereka selalu berkata akan membawanya pulang sebentar lagi. Namun hari demi hari berlalu, janji itu tinggal janji.

Suatu hari Titin kecil tak mau makan lagi. Wajahnya tampak sedih. Ia tak mau bermain, juga tak bisa dibujuk lagi. Akhirnya Mama dan papanya membawanya pulang ke kampung tempatnya dulu tinggal.

Melihat rumah reyotnya, Titin kecil begitu bahagia. Ia bergegas turun dari mobil dan berlari ke pintu rumah.

"Bapaaaaak... Ibuuuuuu...." teriaknya seraya membuka pintu rumah yang tak terkunci.

Tapi rumah itu kosong, bahkan piring kaleng di atas kursi bambu juga ditemukannya dalam keadaan kosong, tak ada ubi di sana. Titin kecil berdiri bingung, matanya mulai berkaca-kaca. Seorang tetangga datang dan memberitahu bahwa si Bapak sudah meninggal karena sakit parah dan si Ibu telah pergi mengungsi ke rumah kerabatnya yang mereka tak tahu ada di mana. Titin kecil tak memahami apa yang mereka katakan. Ia hanya menangkap sebuah kata yang dimengertinya baik, pergi. Bapak dan ibunya telah pergi. Airmatanya jatuh, ia merasa ditinggalkan, ia merasa seorang diri.

Kembali ke kota, Titin kecil berubah menjadi murung. Suatu hari ia diserang demam tinggi. Orangtua yang menjaganya membawanya ke dokter, namun demam Titin tak juga turun. Dalam tidurnya Titin mengigau memanggil Bapak dan ibunya. Juga menyebut-nyebut "ubi..."

Titin kecil akhirnya membuka matanya ketika wangi ubi rebus tercium olehnya. Ia bangkit dari tidurnya, mengira ibunya ada di sana. Namun hanya wajah kedua orangtua baru itu yang dilihatnya di sana. Wajah-wajah yang tampak khawatir. Di pangkuan wanita yang dipanggilnya Mama itu ada sepiring ubi rebus. Ubi yang sama dengan ubi yang tiap hari disiapkan ibunya di kampung. Ubi hasil keringat bapaknya. Ubi Bapak.

Sejak hari itu, setiap hari ada ubi di rumah itu. Titin kecil berangsur-angsur sembuh dan kembali ceria. Kedua orangtua angkatnya tahu Titin sangat merindukan rumah dan orangtuanya. Karena itu mereka menyediakan sepiring ubi rebus setiap hari. Titin kecil selalu memegang ubi itu dengan kedua tangannya, menghirup wanginya dalam-dalam. Seakan-akan dengan begitu, dia bisa kembali merasakan kehangatan cinta bapaknya dan juga menghadirkan bayangan ibunya dalam hidupnya yang baru itu.

Sudah enam puluh tiga tahun berlalu. Titin kecil kini telah menua. Tapi ubi Bapak selalu ada di dalam hari-harinya.

Pagi itu seperti biasa Titin duduk di ruang makan, dengan hidangan sepiring ubi rebus di atas meja. Ia mengambil sebuah ubi, memegangnya lama. Membiarkan hangatnya menjalari kedua telapak tangannya. Matanya terpejam. Cinta bapaknya seakan mengalir masuk ke seluruh sel tubuhnya. Ia menghirup wangi ubi tersebut. Membiarkan wangi itu menarik semua kenangan akan ibunya masuk ke dalam ingatannya. Wajah ibunya. Kata-kata ibunya.

Entah kapan ia mulai mengerti mengapa ia bisa terpisah dari orangtuanya. Ibunya memberikan dirinya pada kedua orangtua yang kini menjadi Papa dan mamanya itu. Kedua orangtua baik hati yang mau mengasuhnya layaknya anaknya sendiri. Saat itu Bapak Titin terkena sakit TBC yang akut, karena tak ingin Titin tertular dan karena kemiskinan keluarga mereka, ibunya akhirnya memutuskan melepas Titin pada orang lain. Titin akhirnya bisa mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang baik. Bahkan kini ia telah menjadi seorang dokter ternama.

Titin akhirnya tahu mengapa dulu mereka tiap hari makan ubi. Mereka sangat miskin, tak mampu membeli segenggam beras. Bapaknya punya kebun kecil yang ditanami ubi yang tiap hari mereka makan untuk menyambung nyawa. Karena itu bagi Titin, selamanya ubi adalah hasil keringat dan buah cinta bapaknya. Bapaknya yang telah tiada, yang telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Seorang gadis kecil mendekat dengan pancaran mata ingin tahu.

"Nenek, kenapa ubinya dicium?" tanyanya.

Titin membuka mata dan tersenyum pada Cindy, cucunya. Ia meletakkan ubinya dan menarik gadis kecil itu ke pangkuannya. "Ini ubi Bapak Nenek."

"Nenek ingat Bapak Nenek?"

Titin mengangguk, sementara matanya mulai terasa panas. Ada kerinduan merebak di hatinya.

"Nenek suka makan ubi?"

"Ya, Nenek suka makan Ubi. Ubi ini cinta Bapak Nenek, membuat Nenek tumbuh dan menjadi kuat. Cindy mau makan?"

Bocah itu mengangguk seraya tersenyum lebar. "Cindy juga mau menjadi kuat, Nek."

Titin meraih sebuah ubi dan mengupasnya perlahan. Rasa itu muncul lagi. Rasa yang sama setiap kali ia melakukan hal tersebut. Rasa yang tak pernah pudar meski waktu telah berlari jauh. Ia merasakan dekapan Bapak dan sentuhan ibunya. Pengorbanan dan cinta mereka terhadapnya, hingga dia bisa tetap ada di dunia ini dengan hidupnya yang sekarang. Hidup yang dihadiahkan mereka padanya. Hidup yang dulu berasal dari ubi-ubi hasil keringat bapaknya. Ubi-ubi murah yang berisi cinta bapaknya yang tak ternilai harganya. Ubi Bapak.

Dalam hidup ini ada beberapa kenangan berharga yang tak akan pernah luntur dari ingatan kita selamanya. Kenangan-kenangan yang akan selalu menguatkan kita ke mana pun kaki kita melangkah.

Photo Link: http://wb7.itrademarket.com/pdimage/88/378088_sweetpotato.jpg

Selasa, 25 Agustus 2009

Kalau Aku Adalah Dirinya

Kalau aku adalah dirinya...
Akan kunyatakan diriku dalam setiap kata dan sikap. Akan kudobrak kekuasaanmu. Akan kubakar egomu dan kubuang dalam plastik sampah di sudut dapur. Dan akan kuberikan pada anjing tetangga untuk jadi makan siangnya yang mewah.

Kalau aku adalah dirinya...
Aku kutatap wajah sangarmu tanpa takut atau hormat. Karena kehormatan adalah sesuatu yang tidak pantas kau dapatkan. Akan kutegakkan kepala di hadapanmu, biar panas membara mendiami hati dan jiwamu. Biar tidur malam tak lagi jadi senyap untukmu.

Kalau aku adalah dirinya...
Akan kulempar semua makanan di meja ke tong sampah saat kau mengomel tak ada habisnya. Akan kubiarkan pakaian-pakaian baumu menumpuk di keranjang cucian. Biar kau tahu aku ini punya hati. Aku ingin butuh penghargaan.

Kalau aku adalah dirinya...
Akan kutinggalkan kau detik ini juga. Akan kubawa pergi diri dan hatiku ke tempat lain. Biar kau sendiri di rumahmu mati dalam kesepian dan penyesalan tak berkesudahan.

Aku kejam? Bukan, aku punya hati. Kau kejam. Dengan tatapan matamu yang tajam, kau bungkam semua kata yang ada di ujung bibirnya. Dengan kekuasaanmu, kau ikat semua kebebasan dirinya sebagai seorang manusia. Dengan kata-kata kasarmu, kau jatuhkan dirinya ke tempat yang paling tidak berharga dan hina.

Dia tak pernah berani menatapmu di depan orang-orang, katamu tak sopan.
Dia tak berani berbicara sepatah katapun ketika kau bersenda gurau dengan yang lain, kau bilang itu memang sudah seharusnya.
Dia tak berani membela diri ketika benar kau katakan salah, karena kau menuntut kepatuhan total.
Dia selalu menghabiskan seluruh waktu dalam hidupnya untuk melayanimu, karena kau bilang itu memang sudah jadi kewajibannya.

Semalam ketika melihatnya tersenyum padaku, aku biarkan dia berbicara. Dan kau melirik padanya, seakan dia telah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Dan dia tahu itu. Namun dia penuh dengan derita yang tak terucapkan. Dia gelisah, ingin memberontak tapi tak berdaya. Akhirnya dia meneguk minumannya dengan cepat dan berulang-ulang. Kau semakin melotot. Dia setengah tahu. Setengah dirinya telah membebaskan diri dari ikatanmu itu. Minuman itu yang membebaskan rasa takutnya. Akhirnya kau menyeretnya dengan kasar dan kata makian. Dia menangis. Kau terlalu!

Tahukah kau dia tersiksa?
Tahukah kau dia terhina?
Tahukah kau dia terluka?

Tangisannya itu untukmu. Dirimu yang tak pernah memberi cinta dan penghargaan padanya. Dirimu yang hanya tahu menuntutnya bersikap dan melakukan semua yang kau pinta seakan-akan dia hanya mesin tak bernyawa. Tangisannya itu untuk dunianya yang bagai penjara tak berwarna. Kelam, kusam, bau dan sempit.

Kau tak tahu apa itu cinta. Yang kau lakukan itu bukan tindakan cinta. Kau menindas, merampas dan memenjarakan dirinya dalam rumah yang kau sebut keluarga. Ketika kau pergi, dia teringat padamu dengan segala permintaan dan aturanmu. Bayang-bayangmu sungguh telah menjadi teror dalam hidupnya, mengikuti setiap langkahnya ke manapun dia pergi. Bahkan menjadi mimpi buruk di malam-malamnya yang pendek. Ketika kau datang, dia menunggumu dengan senyum dan harap. Namun tiap kali dia harus kecewa, menerima semua tumpahan makian, hinaan dan ketidakpuasanmu akan segalanya.

Dia bukan tawanan
Dia bukan peliharaan
Dia bukan kacung
Dia juga bukan tong sampah untuk menampung semua sampah kering dan basah yang kau bawa dari duniamu di luar sana.

Dia isterimu
Harusnya menjadi dewimu
Permaisurimu
Sahabatmu
Cintamu

Sayang aku bukan dirinya
Sayang dia bukan diriku
Karena kalau dia adalah diriku, akan dia tinggalkan semua drama hidup yang kau ciptakan ini. Dia tak pernah suka ceritanya. Dan dia tak akan pernah suka peranan dirinya di dalamnya.

* Sepenggal tulisan tentang isteri yang tertindas, tanpa bermaksud menyinggung harkat dan martabat suami-suami yang baik :-)

Cinta Yang Terpenting


Namanya Aini. Sosok kecil yang baru berumur delapan bulan itu tengah berdiri di dalam box tempat tidurnya. Jemarinya yang kecil memegang erat pinggiran box, berusaha untuk tetap berdiri di atas kakinya yang belum kokoh. Ia tengah menatap Jane. Dan ketika Jane tersenyum padanya, wajah mungil nan manis itu langsung balas tersenyum. Saat itulah Jane jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pada pemilik mata polos dan indah itu.

Aini tumbuh menjadi gadis muda yang ceria dan bahagia. Bundanya adalah seorang wanita yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan. Namun, pernah juga sekali ia menanyakan mengapa ia tak memiliki seorang Ayah. Bundanya berkata bahwa sang Ayah adalah seorang tentara yang telah meninggal dalam tugas. Sejak itu, Aini tak pernah lagi membicarakan topik tersebut, karena ia tak mau bundanya sedih. Pastilah sangat menyakitkan ditinggal sang kekasih, pikirnya.

Sampai suatu hari, ketika ia bertengkar dengan Dita, sepupunya jauhnya, yang juga sekelas dengannya. Persoalan sepele, namun tampaknya Dita begitu marah. Dita kemudian mengatakan sesuatu yang membuat Aini shock. Sesuatu yang tak ingin dipercayainya namun sekaligus membuat jantungnya berdetak begitu cepat. Ia langsung berlari ke kantor bundanya dan memaksa untuk masuk.

Saat itu jane sedang menemui seorang klien, namun karena mendengar dari Riris sekretarisnya bahwa Aini ingin bertemu dengannya untuk sebuah urusan mendesak, Jane minta diri sejenak dengan kliennya dan menemui Aini. Baginya, putrinya adalah yang terpenting dari segalanya.

"Ada apa, Nak?"

Wajah Aini merah dan tegang. Tampak menahan kemarahan.

"Dita bilang aku anak angkat."

Jane terhenyak kaget. Ia baru akan duduk di kursinya saat itu. Gerakannya langsung terhenti.

"Dita bilang aku tak punya Ayah. Ayahku yang Bunda bilang telah mati dalam tugas itu adalah karangan Bunda semata. Aku ini dipungut dari panti asuhan."

Wajah Jane memucat. Jantungnya seakan terhenti saat itu juga.

"Dita bilang Bunda berbohong padaku tentang semuanya. Dan Ayah bundaku tak pernah menginginkanku. Benarkah semua itu Bunda?" tanya Aini dengan nada mendesak.

Ia berharap bundanya menggeleng dan menghiburnya bahwa Dita hanya iri padanya sehingga mengucapkan kata-kata kosong itu. Ia berharap bundanya menyambar telepon di meja, menelepon Tante Giska, ibu Dita dan menegur wanita itu atas omong kosong anaknya. Tapi bundanya hanya berdiri terpaku, tak mampu berkata-kata.

"Bunda..." Aini tercekat. Debaran jantungnya semakin cepat. Keringat dingin mulai mengucur dari keningnya. "Jangan katakan semua yang dikatakan Dita benar."

Dan seperti mendengar berita kematian dirinya, Aini merasa dunianya runtuh seketika bersamaan dengan anggukan pelan bundanya.

"Aku anak angkat? Jadi Bunda selama ini membohongiku? Bunda bukan bundaku???"

"Aini, dengarkan penjelasan Bunda dulu..."

"Tidak!" Aini bangkit dari kursinya dengan kemarahan yang meluap. "Jadi ayahku tidak mati dalam tugas? Jadi siapa ayahku? Siapa bundaku???"

Jane mendekat, mencoba meraih Aini. Namun gadis muda itu menepis tangannya dengan kasar.

"Maafkan Bunda, Nak..."

"Kau jahat! Kau bukan bundaku! Aku benci padamu! Kau tak tahu apa yang kurasakan ini!" sembur Aini tanpa sadar lagi apa yang dikatakannya.

Jane terhenyak, airmatanya jatuh. "Nak, maafkan Bunda. Maafkan Bunda..." Hanya kata-kata itu yang mampu diucapkannya berulang-ulang.

"Siapa orangtuaku? Aku ingin tahu!"

Jane menggeleng sedih. "Bunda pun tak tahu, Nak. Bunda pun tak diberitahu. Tapi Bunda tak akan melarangmu mencari tahu."

Dan berbekal dari nama dan alamat panti asuhan tempat dulu dirinya diambil, Aini mendatangi tempat itu. Berharap bisa menemukan jejak kedua orangtuanya. Namun sayang, pengurus panti yang lama telah meninggal dunia. Panti itu sekarang dipimpin oleh seorang wanita setengah baya bernama Ibu Tini. Menurut Ibu Tini, lima tahun yang lalu panti tersebut ditimpa musibah kebakaran dan semua dokumen mengenai anak-anak yang pernah tinggal di sana telah hangus terbakar api, yang artinya tak ada jejak sedikitpun yang tertinggal bagi Aini. Hancur sudah harapannya. Seketika itu hidupnya gelap tak bercahaya.

Karena merasa putus asa dan marah, Aini kabur dari rumah dan tinggal di rumah Anna, sahabat karibnya.

Suatu sore, bundanya muncul di sana. Aini tak mau menemuinya. Akhirnya bundanya pulang dan hanya menitipkan sebuah tas ransel pada Anna untuk diberikan pada Aini. Tas itu berisi semua perlengkapan pribadi Aini, termasuk buku diary-nya dan boneka beruang kesayangannya yang sedari kecil menemaninya. Dan juga sejumlah uang. Jane tahu anaknya pergi dari rumah tanpa membawa apapun, karena itulah ia singgah untuk memberikan barang-barang tersebut. Sebenarnya ia ingin membujuk Aini untuk pulang, namun ia pikir mungkin Aini belum memaafkannya, karena itu Jane malah menyiapkan barang-barang Aini agar Aini tetap merasa nyaman selama berada di rumah Anna.

Tapi hati Aini tidak tergerak sedikitpun ketika menerima barang-barang tersebut. Ia tak mampu melihat cinta dan perhatian bundanya. Setelah beberapa hari di rumah Anna, Aini mulai merasa bosan dan berniat pergi ke rumah omanya. Namun sejenak ia merasa ragu, bukankah omanya kini bukan omanya lagi? Apakah omanya masih mau menerimanya? Lagipula harusnya ia merasa marah juga pada omanya yang selama ini juga ikut membohonginya. Namun karena rasa rindu pada wanita tua itu semakin menggebu di hatinya, akhirnya Aini membulatkan tekad untuk pergi ke sana.

Omanya menyambutnya seperti biasa. Pelukan yang erat, ciuman yang mesra di pipi kanan dan kiri dan secangkir teh manis. Tidak ada yang berbeda. Bahkan senyum dan mata wanita itu tetap memancarkan kelembutan dan kehangatan yang sama. Hanya saja Aini menjadi sedikit canggung, tak bisa melupakan kenyataan bahwa dirinya hanyalah seorang anak angkat. Seorang asing di tengah-tengah keluarga mereka. Harusnya omanya sudah mendengar dari bundanya bahwa dirinya telah tahu tentang rahasia itu.

"Oma sudah mendengar cerita dari Bunda?" tanya Aini ragu.

Omanya mengangguk. "Oma punya cerita untukmu. Kau mau mendengarnya?"

Aini mengangguk cepat. Rasa penasaran menguasainya seketika. Akankah Oma menceritakan kisah hidupnya?

"Waktu itu bulan Desember. Bundamu mengunjungi sebuah panti asuhan dengan niat memberi sumbangan. Saat itulah bundamu melihatmu di sana. Kau masih berumur delapan bulan. Sepulang dari sana, bundamu menyatakan keinginannya pada Oma dan Opa untuk mengadopsimu. Saat itu kami menentang keinginannya."

Oma berhenti sejenak melihat reaksi Aini. Gadis itu tampak menahan napas.

"Bukan kami tidak menyukaimu, kami bahkan belum sempat melihatmu. Tapi Jane waktu itu masih berumur dua puluh lima tahun dan belum menikah. Dia memang memiliki pekerjaan yang bagus sebagai pengacara, pasti mampu membiayaimu. Namun dia belum menikah. Kami khawatir, bila suatu hari nanti Jane jatuh cinta pada seorang lelaki, apakah dia akan dapat menikah dengan status memiliki seorang anak angkat? Akankah lelaki itu menerimanya? Tapi Jane berkeras dengan keinginannya. Ia bilang ia telah jatuh cinta padamu."

Mata Aini berkaca-kaca mendengar penuturan omanya. Ada rasa sesak membuncah dalam hatinya.

"Sebulan kemudian, Jane pulang membawamu. Dia benar, kau malaikat termanis yang pernah kami lihat. Dan kami juga ikut jatuh cinta padamu."

Airmata Aini jatuh. Rasa bersalah kini mendekapnya erat. Orang-orang ini, yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya bisa mencintainya sedemikian besar?

"Dan semenjak itu, Jane tak pernah memiliki hubungan khusus dengan laki-laki. Lama kelamaan, Oma dan Opa tidak pernah menyesali hal itu lagi karena setelah melihat Jane yang menjadi seorang Ibu, betapa bahagianya dia, kami tak bisa tak ikut merasa bahagia. Dia telah menemukan hidupnya dalam dirimu."

Oma berdiri dan pindah duduk di samping Aini. Dipeluknya Aini seraya menghapus airmatanya.

"Tahukah kau kalau bundamu juga anak angkat?"

Aini terperangah tak percaya. "Anak angkat?"

Oma tersenyum dan mengangguk. Matanya memandang keluar, menerawang, seakan melihat lagi kilasan peristiwa di masa lalunya. "Dulu, setelah Oma menikah dengan kakekmu hampir lima tahun, kami tidak dikarunia seorang anakpun. Akhirnya kami memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. Jane, bundamu. Kami menyayangi Jane seperti anak kami sendiri. Dan ketika Jane berusia dua puluh tahun, kami memutuskan untuk memberitahunya tentang jati dirinya. Awalnya bundamu terkejut, seperti juga reaksimu setelah tahu akan hal itu. Tapi setelah beberapa hari berlalu, bundamu datang berbicara pada Oma dan Opa. Kami bertanya apakah dia mau mencari orangtua aslinya? Kami bersedia membantu. Tapi bundamu menolak."

"Mengapa Bunda menolak?"

"Kata Bunda yang terpenting baginya bukan darah yang sama, tapi cinta yang ada di dalam hati kami dan hatinya." Oma mendekat,meletakkan tangannya di dada Aini. "Di sini. Cinta di dalam hati. Yang menyatukan kita semua sebagai satu keluarga."

Dan tangis Aini pun pecah. Ia teringat akan kata-kata kasar yang dilontarkannya pada bundanya beberapa hari yang lalu. Ia sungguh jahat, bundanya tak pantas menerima kata-kata itu. Bundanya tahu semua rasa yang dirasakannya karena bundanya pun sendiri pernah mengalami semua ini. Hanya saja bundanya tidak mempermasalahkan asal usulnya karena bundanya menghargai cinta yang begitu besar yang telah diberikan orangtuanya. Aini merasa malu. Malu karena tidak tahu akan pengorbanan bundanya untuknya. Malu karena lupa akan cinta bundanya untuknya. Bundanya benar, bukan darah yang terpenting. Cinta di hati lah yang terpenting. Cinta yang menyatukan mereka menjadi satu keluarga.

Senin, 24 Agustus 2009

Cinta Seorang Ayah

Lelaki itu terbaring di sana dengan mata tertutup. Wajahnya yang dipenuhi kerut-kerut seperti tertidur pulas. Tubuhnya tertutup selimut dan selang infus tertancap di lengannya. Suara mesin memperdengarkan detak jantungnya yang teratur.

Ketika Rey menemukannya di sana, dua hari yang lalu. Hatinya hancur berkeping-keping. Penyesalan menyergapnya. Harusnya dia bisa datang lebih cepat. Harusnya dia membatalkan perjalanannya yang terakhir itu. Sesi pemotretan di sebuah pegununungan nun jauh dari tempat ayahnya berada. Sam, lelaki muda berusia tiga puluhan yang selalu setia menemani ayahnya itu mengatakan telah berusaha menghubungi Rey selama hampir seminggu. Dan pesan itu baru diterima Rey tiga hari yang lalu, ketika dia kembali ke hotel tempatnya menginap. Bergegas, ia terbang pulang dan langsung menuju ICU tempat lelaki yang telah dipanggilnya Ayah sejak dua puluh lima tahun yang lalu itu berada. Tapi lelaki itu telah masuk dalam tidur panjangnya, entah kapan akan bangun dari komanya.

Sudah dua hari Rey berada di sana, menunggui ayahnya. Berharap cemas ayahnya akan membuka mata. Ia ingin berbicara padanya, ia ingin menyampaikan kata hatinya. Ia merasa selama ini telah melakukan banyak keegoisan. Dan ia berharap masih punya kesempatan untuk menyatakan sesal dan memperbaiki semuanya.

Hari itu, pukul dua dini hari ketika Rey terlelap dalam tidurnya, dengan kepala terkulai letih di sisi pembaringan ayahnya, lelaki tua itu membuka matanya. Kembali dari tidur panjangnya. Butuh waktu beberapa saat baginya untuk menyadari di mana dirinya kini berada. Dan ketika ia melihat anaknya tertidur di sisinya, senyum bahagianya terkembang perlahan.

Rey terbangun ketika merasakan sebuah belaian lemah di kepalanya. Dan ia terbelalak tak percaya melihat ayahnya tengah menatapnya. Tubuhnya gemetar, dipenuhi rasa bahagia. Air matanya jatuh tanpa disadarinya.

" Ayah, maaf. Aku tak tahu kondisi Ayah seperti ini. Aku selama ini terlalu sibuk dengan duniaku sendiri."

Lelaki tua itu masih tersenyum.

" Yah, aku sudah putuskan untuk kembali ke sini. Ayah jangan khawatir, aku akan urus perusahaan yang telah susah payah Ayah bangun. Aku tak akan biarkan kebanggaan Ayah hilang begitu saja."

Lelaki itu berusaha mencari tangan anaknya dan ketika ia menemukannya ia meremasnya erat, seakan ingin menyampaikan rasa cintanya.

" Ayah hanya ingin bertemu denganmu."

Rey mengangguk-angguk. Tak dapat menahan sedihnya lagi, airmatanya tak juga berhenti mengalir. Ia bukan seseorang yang melankolis atau emosional, tapi entah mengapa saat itu ia seakan-akan merasakan sesuatu yang berbeda. Seakan-akan ada yang berbisik di telinganya mengenai sebuah perpisahan.

" Ayah tidak khawatir soal perusahaan. Ayah sudah mengatur semuanya. Sam akan mengurus semua dan akan melaporkannya padamu, Nak. Dia dapat dipercaya."

Rey menggeleng. "Tidak, Yah. Aku akan tinggal di sini mengurus perusahaan Ayah. Dulu aku egois, demi cita-cita sendiri aku pergi meninggalkan Ayah dan sibuk dengan duniaku ini. Aku seharusnya membantu Ayah di sini, menjalankan perusahaan yang telah susah payah Ayah bangun. Aku sudah mengecewakan Ayah."

" Tidak, Nak. Ayah tidak ingin kau kembali. Pergilah, kejar apa yang kau impikan."

Rey tercekat, menatap mata ayahnya yang lembut itu. " Tapi, perusahaan Ayah? Aku akan menjaga dan mengurusinya. Aku harus bisa membuatnya berkembang dan terus berdiri kokoh. Karena aku tahu itu adalah kebanggaan Ayah."

" Jiwa bila sudah terlepas dari tubuh tak lagi punya rasa dan keinginan."

Kata-kata ayahnya yang pelan namun mengandung makna yang dalam itu membuat Rey terdiam. Ia berusaha mencernanya.

" Rey, melihatmu bahagia adalah keinginan terbesar Ayah selama ini. Ayah tak pernah kecewa padamu, Nak. Ayah selalu merestui jalan yang kau pilih, karena kau selalu berhak untuk menentukan hidupmu sendiri. Dan adalah sebuah kebahagiaan bagi Ayah mengetahui bahwa tanggung jawab sebagai orangtua telah dapat Ayah penuhi dengan baik."

" Tapi, Yah..."

Lelaki itu mengangkat tangannya dengan gerakan lemah. Sejenak ia memejamkan matanya dan menarik napasnya perlahan-lahan. Bukan lagi pekerjaan mudah baginya untuk menarik napas layaknya manusia normal. Rey menatapnya dalam khawatir.

" Rey panggilkan Dokter, Yah?"

Ayahnya kembali membuka mata dan menggeleng pelan.

" Ayah hanya ingin berpesan padamu, hiduplah selama kau masih hidup."

Dan setelah mengucapkan kalimat itu, lelaki itu menghembuskan napasnya yang terakhir dan meninggalkan Rey selamanya.

Ayahnya adalah seorang pengusaha handal yang memiliki perusahaan ternama di kota itu. Hal itu telah diketahui Rey dari ia masih kecil. Rey sering dibawa ayahnya ke kantor dan melihat begitu banyak orang yang bekerja di sana untuk ayahnya. Orang-orang silih berganti menemui ayahnya untuk sebuah urusan. Rey tak mengerti. Dan ia tak pernah berniat untuk tahu.

Ketika Rey berumur dua belas tahun, ibunya meninggalkan mereka selama-lamanya, direnggut oleh kanker rahim. Semenjak itu, ayahnya menjadi satu-satunya orang yang menjaganya. Meski sibuk, ayahnya selalu meluangkan waktunya bagi Rey. Rey tak pernah merasa kekurangan materi maupun kasih sayang.

Dan ketika menginjak dewasa, Rey menyatakan keinginannya untuk menekuni dunia photography, ayahnya mengiyakan keinginannya itu. Dan sejak itulah, Rey terbang ke luar negeri, mencari ilmu di negeri orang, jauh dari ayahnya. Karena begitu larut dalam dunianya sendiri, Rey bahkan tidak memperhatikan kondisi ayahnya yang semakin hari semakin menurun.

Dan kini lelaki itu telah pergi selama-lamanya.

Ketika para tim medis telah memindahkan jenazah ayahnya, Sam datang untuk membantu membereskan barang-barang. Lelaki itu kemudian menyodorkan sebuah kotak yang ditemukannya di laci pada Rey.

Dalam kotak itu Rey menemukan selembar foto dirinya yang masih kecil bersama Ayah dan ibunya. Dan sebuah album foto. Rey membuka album itu, melihat isinya dan terhenyak tak mampu berkata. Itu adalah album foto-foto hasil pemotretan Rey yang pertama. Masih tersimpan dengan baik. Dan di sampul belakang album itu tertulis: Photos by My Lovely Son. Itu tulisan tangan ayahnya. Tulisan itu menyiratkan sebuah kebanggaan yang disimpan ayahnya. Rey menangis, terharu akan penghargaan dan cinta ayahnya yang begitu besar padanya. Sebuah ungkapan cinta terbesar yang bisa diberikan oleh seorang Ayah untuk anaknya.

Minggu, 23 Agustus 2009

Cerita Tak Selesai

Seharian sudah aku berkutat membaca ulang cerita itu, menulis ulang, menambah ini dan itu, lalu menghapus itu ini... Dan tetap saja cerita itu tak juga selesai. Sudah kuhabiskan berapa jam? Sudah kukuras berapa banyak energi? Sudah kuhabiskan berapa gelas kopi? Yang tercipta malah rasa penasaran, tak puas dan kesal. Sangat-sangat menyebalkan ketika kau berusaha menulis cerita yang kau ciptakan awal ceritanya, yang kau punya ide ceritanya dan kemudian pikiranmu mogok di tengah penulisan. Tiba-tiba lanjutan ceritanya tak lagi indah terbaca. Lalu kau hapus. Kau pikirkan lagi dan kau punya ide yang baru yang kemudian coba kau tuliskan lagi. Tapi kembali lagi, rasanya tak pas. Kembali kau hapus lagi dan mulai bertanya, mempertanyakan pikiranmu sendiri, membuatnya gerah dan mulai berlari tak tentu arah, seperti orang kesurupan, tak mau menjadi dirinya sendiri lagi. Dan akhirnya kau menyerah. Sudah! Berhenti saja. Dan kau tutup sepenggal cerita itu, menggantung di sana. Bak sayur yang telah kau cuci bersih dan kau potong-potong tapi kau tak tahu mau diapakan. Mau ditumis? Dimasak sup? Atau diapakan? Dan ketika kau tinggalkan dapur itu begitu saja, pikiranmu masih terus menempel di sana, di dapur itu. Di sayuran itu. Menyebalkan!

Bila kau paksa dirimu memilih. Ayolah, kita tumis saja! Masalahnya, minyak habis, masa ditumis kering? Kalau begitu di-sup sajalah. Tapi airnya pun tinggal sedikit, tak cukup buat sup. Banyak hal-hal yang mesti mendukung keinginanmu itu terwujud. Tanpa itu semua, sayuran tetap sayuran, tak pernah jadi masakan. Kau mengerti maksudku? Semoga...

Tiba-tiba aku terpikir akan hidupku. Hidupku yang punya banyak cerita tak selesai. Ada berapa? Satu? Dua? Tiga? Tidak, lebih. Empat atau lima? Lebih. Kuingat-ingat, kuhitung-hitung dengan jariku. Ya, ampun, sepuluh jariku tak cukup. Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Terlalu banyak sayuran yang belum sempat dimasak!!!

Bukan karena aku orang yang terbiasa meninggalkan cerita yang belum selesai. Bukan gayaku untuk menyambut dan kemudian membiarkan begitu saja orang-orang yang datang dalam hidupku. Ini bukan pembelaan. Tapi sungguh, akupun tak pernah suka pada cerita tanpa akhir ini. Aku bahkan masih seorang pemuja happy ending.

Masalahnya, kadang aku tak punya kendali atas beberapa hal yang terjadi di dalam hidupku, apalagi itu menyangkut hubungan dan cerita bersama orang-orang. Kadang aku sendiri tak tahu harus berbuat apa. Kadang aku menunggu, dengan harap-harap cemas, semoga semua berjalan sesuai yang kuharapkan. Tapi terkadang bahkan tak ada yang terjadi di sana. Lalu, apa yang harus kulakukan? Maju selangkah dan menciptakan suasana baru dan melanjutkan cerita sesuai dengan ide di kepalaku? Tapi teman, masalahnya ini bukan cerita yang kutulis, yang bisa kukontrol sepenuhnya dalam kendaliku. Kau mengerti maksudku? Meskipun orang-orang yang berperan dalam cerita itu masih ada di sekitarku, tapi kadang kau tak bisa memaksakan sebuah hubungan tetap berjalan. Itu seperti menodongkan pistol pada seseorang untuk menyuruhnya melakukan sesuatu dengan terpaksa. Bukan cara yang baik. Pistol itu bisa meletus dan melukai salah satu pihak. Jadi, aku lebih suka dengan: let it flow...

Dan bagaimana dengan cerita yang orang-orang di dalamnya tiba-tiba menghilang entah ke mana? Aku juga tak punya kuasa akan hal tersebut. Hanya bisa kupasrahkan pada waktu dan takdir.

Aku ingat sebuah cerita masa lalu tentang seorang sahabat masa remaja dulu. Tiba-tiba hubungan kami terputus tak jelas. Sebuah kisah tak selesai. Aku cuma bisa menatapnya dalam diam, separuh karena tak berani bertanya. Separuh lagi karena egoku, tak mau duluan memulai. Dan dia pun tak bereaksi yang kuanggap sebagai keputusan tak ingin berteman lagi denganku, meski aku tak tahu apa alasan dibaliknya. Lalu kami pun dipisahkan waktu dan jarak. Dan setelah belasan tahun berlalu, aku tiba-tiba menemukannya. Seperti menemukan sebuah file cerita yang belum sempat kuselesaikan di dalam komputerku. Kubaca ulang lagi sepotong cerita itu, dan tiba-tiba aku tersentuh kembali akan keindahannya. Dan rasa penasaran itu, rasa tak puas itu masih ada di sana. Akhirnya kuberanikan diri menyapanya dengan resiko tidak dibalas. Tapi dia membalas, malah dengan keakraban yang sama seperti di awal cerita kami. Dan akhirnya cerita ini mampu kuselesaikan dengan manis. Aku akhirnya tahu alasan dibalik putusnya hubungan kami. Ketika dia berbicara jujur tentang segalanya, kami malah menertawakan ketololan sikap dan pikiran remaja kami dulu. Hanya karena salah paham yang membuat cerita itu terhenti di sana, belasan tahun yang lalu.

Kadang memang butuh waktu untuk bisa menyelesaikan cerita-cerita yang tak selesai. Entah itu cerita fiksi maupun cerita sebenarnya dalam hidup ini. Tapi terkadang, mungkin memang ada cerita-cerita yang tak pernah akan selesai selamanya. Tak bisa diselesaikan sekeras apapun kau berusaha berpikir. Seseorang pernah berkata padaku bahwa ketika sebuah cerita tak kau selesaikan di kehidupanmu ini, kau akan terus membawa cerita itu ke kehidupan selanjutnya. Bagaimanapun, sampai kapanpun, suatu hari nanti cerita itu pasti akan sampai pada titik selesai. Orang-orang akan bertemu. Kata, keinginan dan hasrat yang tak pernah tersampaikan akan menemukan titik temu juga. Benarkah demikian? Itupun bila kehidupan selanjutnya itu benar-benar ada...

Entahlah, aku tak tahu. Aku hanya berharap aku akan mampu menyelesaikan semua cerita tak selesai ini. Baik cerita dalam khayalku, maupun cerita hidup yang sebenarnya. Aku tak akan berhenti berharap. Berharap pada waktu, selama napasku masih ada. Semoga aku masih punya kesempatan menyelesaikan cerita-cerita ini. Dan semoga aku akhirnya memiliki bahan-bahan yang lengkap untuk membuat sayuran di dapurku menjadi masakan yang enak. Semoga...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya