
Selalu ada tiga ubi di piring. Satu untuknya, satu untuk ibunya dan satu lagi untuk bapaknya. Ubi yang terakhir selalu tergeletak lama, menanti sang Bapak pulang dari kebun.
"Untuk Bapak ya?" tanyanya setiap kali melihat ubi yang terakhir. Dan ibunya selalu mengangguk. "Iya Nak, untuk Bapak."
Titin kecil menemukan ubi yang sama setiap harinya. Suatu hari dia merajuk tak ingin makan ubinya. Ibunya membujuk dan berkata, "Ubi ini hasil keringat Bapak. Di dalamnya ada cinta Bapak untuk menguatkan tubuhmu. Dimakan ya, Nak..."
Mendengar kata-kata ibunya, seketika itu juga diambilnya ubi itu dan dimakannya dengan tersenyum. Titin kecil sayang sekali pada bapaknya, lelaki tua yang selalu menggendongnya di bahu. Baginya bapaknya adalah segalanya.
Suatu hari sepasang suami isteri datang ke rumah mereka yang reyot. Ibunya berkata bahwa mereka adalah keluarga jauh bapaknya yang akan membawa Titin berjalan-jalan ke kota. Titin kecil yang saat itu masih berusia lima tahun tentu saja senang dijanjikan akan dibawa berjalan-jalan. Apalagi kedua orangtua itu tampak baik dan ramah padanya. Sebelum pergi ibunya menciumnya, matanya berkaca-kaca. Tapi Titin masih terlalu kecil untuk menangkap keganjilan sikap ibunya tersebut. Bapaknya belum pulang dari kebun. Titin tak sempat berpamitan padanya.
Sesampai di kota, Titin kecil disuguhi dengan banyak makanan enak. Rumah tempatnya tinggal pun jauh lebih besar dan bagus. Setiap kali akan makan, ia teringat akan ibunya dan ubi di piring kaleng yang biasa ada di rumahnya di kampung. Ia teringat pada bapaknya yang tua. Senyumnya, tangannya yang keriput tapi kuat itu.
Setelah beberapa waktu berlalu, Titin kecil mulai bertanya pada kedua orang yang dipanggilnya Mama dan Papa itu. Ia ingin pulang ke rumahnya. Ia ingin bertemu Bapak dan ibunya. Dan mereka selalu berkata akan membawanya pulang sebentar lagi. Namun hari demi hari berlalu, janji itu tinggal janji.
Suatu hari Titin kecil tak mau makan lagi. Wajahnya tampak sedih. Ia tak mau bermain, juga tak bisa dibujuk lagi. Akhirnya Mama dan papanya membawanya pulang ke kampung tempatnya dulu tinggal.
Melihat rumah reyotnya, Titin kecil begitu bahagia. Ia bergegas turun dari mobil dan berlari ke pintu rumah.
"Bapaaaaak... Ibuuuuuu...." teriaknya seraya membuka pintu rumah yang tak terkunci.
Tapi rumah itu kosong, bahkan piring kaleng di atas kursi bambu juga ditemukannya dalam keadaan kosong, tak ada ubi di sana. Titin kecil berdiri bingung, matanya mulai berkaca-kaca. Seorang tetangga datang dan memberitahu bahwa si Bapak sudah meninggal karena sakit parah dan si Ibu telah pergi mengungsi ke rumah kerabatnya yang mereka tak tahu ada di mana. Titin kecil tak memahami apa yang mereka katakan. Ia hanya menangkap sebuah kata yang dimengertinya baik, pergi. Bapak dan ibunya telah pergi. Airmatanya jatuh, ia merasa ditinggalkan, ia merasa seorang diri.
Kembali ke kota, Titin kecil berubah menjadi murung. Suatu hari ia diserang demam tinggi. Orangtua yang menjaganya membawanya ke dokter, namun demam Titin tak juga turun. Dalam tidurnya Titin mengigau memanggil Bapak dan ibunya. Juga menyebut-nyebut "ubi..."
Titin kecil akhirnya membuka matanya ketika wangi ubi rebus tercium olehnya. Ia bangkit dari tidurnya, mengira ibunya ada di sana. Namun hanya wajah kedua orangtua baru itu yang dilihatnya di sana. Wajah-wajah yang tampak khawatir. Di pangkuan wanita yang dipanggilnya Mama itu ada sepiring ubi rebus. Ubi yang sama dengan ubi yang tiap hari disiapkan ibunya di kampung. Ubi hasil keringat bapaknya. Ubi Bapak.
Sejak hari itu, setiap hari ada ubi di rumah itu. Titin kecil berangsur-angsur sembuh dan kembali ceria. Kedua orangtua angkatnya tahu Titin sangat merindukan rumah dan orangtuanya. Karena itu mereka menyediakan sepiring ubi rebus setiap hari. Titin kecil selalu memegang ubi itu dengan kedua tangannya, menghirup wanginya dalam-dalam. Seakan-akan dengan begitu, dia bisa kembali merasakan kehangatan cinta bapaknya dan juga menghadirkan bayangan ibunya dalam hidupnya yang baru itu.
Sudah enam puluh tiga tahun berlalu. Titin kecil kini telah menua. Tapi ubi Bapak selalu ada di dalam hari-harinya.
Pagi itu seperti biasa Titin duduk di ruang makan, dengan hidangan sepiring ubi rebus di atas meja. Ia mengambil sebuah ubi, memegangnya lama. Membiarkan hangatnya menjalari kedua telapak tangannya. Matanya terpejam. Cinta bapaknya seakan mengalir masuk ke seluruh sel tubuhnya. Ia menghirup wangi ubi tersebut. Membiarkan wangi itu menarik semua kenangan akan ibunya masuk ke dalam ingatannya. Wajah ibunya. Kata-kata ibunya.
Entah kapan ia mulai mengerti mengapa ia bisa terpisah dari orangtuanya. Ibunya memberikan dirinya pada kedua orangtua yang kini menjadi Papa dan mamanya itu. Kedua orangtua baik hati yang mau mengasuhnya layaknya anaknya sendiri. Saat itu Bapak Titin terkena sakit TBC yang akut, karena tak ingin Titin tertular dan karena kemiskinan keluarga mereka, ibunya akhirnya memutuskan melepas Titin pada orang lain. Titin akhirnya bisa mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang baik. Bahkan kini ia telah menjadi seorang dokter ternama.
Titin akhirnya tahu mengapa dulu mereka tiap hari makan ubi. Mereka sangat miskin, tak mampu membeli segenggam beras. Bapaknya punya kebun kecil yang ditanami ubi yang tiap hari mereka makan untuk menyambung nyawa. Karena itu bagi Titin, selamanya ubi adalah hasil keringat dan buah cinta bapaknya. Bapaknya yang telah tiada, yang telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Seorang gadis kecil mendekat dengan pancaran mata ingin tahu.
"Nenek, kenapa ubinya dicium?" tanyanya.
Titin membuka mata dan tersenyum pada Cindy, cucunya. Ia meletakkan ubinya dan menarik gadis kecil itu ke pangkuannya. "Ini ubi Bapak Nenek."
"Nenek ingat Bapak Nenek?"
Titin mengangguk, sementara matanya mulai terasa panas. Ada kerinduan merebak di hatinya.
"Nenek suka makan ubi?"
"Ya, Nenek suka makan Ubi. Ubi ini cinta Bapak Nenek, membuat Nenek tumbuh dan menjadi kuat. Cindy mau makan?"
Bocah itu mengangguk seraya tersenyum lebar. "Cindy juga mau menjadi kuat, Nek."
Titin meraih sebuah ubi dan mengupasnya perlahan. Rasa itu muncul lagi. Rasa yang sama setiap kali ia melakukan hal tersebut. Rasa yang tak pernah pudar meski waktu telah berlari jauh. Ia merasakan dekapan Bapak dan sentuhan ibunya. Pengorbanan dan cinta mereka terhadapnya, hingga dia bisa tetap ada di dunia ini dengan hidupnya yang sekarang. Hidup yang dihadiahkan mereka padanya. Hidup yang dulu berasal dari ubi-ubi hasil keringat bapaknya. Ubi-ubi murah yang berisi cinta bapaknya yang tak ternilai harganya. Ubi Bapak.
Dalam hidup ini ada beberapa kenangan berharga yang tak akan pernah luntur dari ingatan kita selamanya. Kenangan-kenangan yang akan selalu menguatkan kita ke mana pun kaki kita melangkah.
Photo Link: http://wb7.itrademarket.com/pdimage/88/378088_sweetpotato.jpg