Minggu, 23 Agustus 2009

Cerita Tak Selesai

Seharian sudah aku berkutat membaca ulang cerita itu, menulis ulang, menambah ini dan itu, lalu menghapus itu ini... Dan tetap saja cerita itu tak juga selesai. Sudah kuhabiskan berapa jam? Sudah kukuras berapa banyak energi? Sudah kuhabiskan berapa gelas kopi? Yang tercipta malah rasa penasaran, tak puas dan kesal. Sangat-sangat menyebalkan ketika kau berusaha menulis cerita yang kau ciptakan awal ceritanya, yang kau punya ide ceritanya dan kemudian pikiranmu mogok di tengah penulisan. Tiba-tiba lanjutan ceritanya tak lagi indah terbaca. Lalu kau hapus. Kau pikirkan lagi dan kau punya ide yang baru yang kemudian coba kau tuliskan lagi. Tapi kembali lagi, rasanya tak pas. Kembali kau hapus lagi dan mulai bertanya, mempertanyakan pikiranmu sendiri, membuatnya gerah dan mulai berlari tak tentu arah, seperti orang kesurupan, tak mau menjadi dirinya sendiri lagi. Dan akhirnya kau menyerah. Sudah! Berhenti saja. Dan kau tutup sepenggal cerita itu, menggantung di sana. Bak sayur yang telah kau cuci bersih dan kau potong-potong tapi kau tak tahu mau diapakan. Mau ditumis? Dimasak sup? Atau diapakan? Dan ketika kau tinggalkan dapur itu begitu saja, pikiranmu masih terus menempel di sana, di dapur itu. Di sayuran itu. Menyebalkan!

Bila kau paksa dirimu memilih. Ayolah, kita tumis saja! Masalahnya, minyak habis, masa ditumis kering? Kalau begitu di-sup sajalah. Tapi airnya pun tinggal sedikit, tak cukup buat sup. Banyak hal-hal yang mesti mendukung keinginanmu itu terwujud. Tanpa itu semua, sayuran tetap sayuran, tak pernah jadi masakan. Kau mengerti maksudku? Semoga...

Tiba-tiba aku terpikir akan hidupku. Hidupku yang punya banyak cerita tak selesai. Ada berapa? Satu? Dua? Tiga? Tidak, lebih. Empat atau lima? Lebih. Kuingat-ingat, kuhitung-hitung dengan jariku. Ya, ampun, sepuluh jariku tak cukup. Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Terlalu banyak sayuran yang belum sempat dimasak!!!

Bukan karena aku orang yang terbiasa meninggalkan cerita yang belum selesai. Bukan gayaku untuk menyambut dan kemudian membiarkan begitu saja orang-orang yang datang dalam hidupku. Ini bukan pembelaan. Tapi sungguh, akupun tak pernah suka pada cerita tanpa akhir ini. Aku bahkan masih seorang pemuja happy ending.

Masalahnya, kadang aku tak punya kendali atas beberapa hal yang terjadi di dalam hidupku, apalagi itu menyangkut hubungan dan cerita bersama orang-orang. Kadang aku sendiri tak tahu harus berbuat apa. Kadang aku menunggu, dengan harap-harap cemas, semoga semua berjalan sesuai yang kuharapkan. Tapi terkadang bahkan tak ada yang terjadi di sana. Lalu, apa yang harus kulakukan? Maju selangkah dan menciptakan suasana baru dan melanjutkan cerita sesuai dengan ide di kepalaku? Tapi teman, masalahnya ini bukan cerita yang kutulis, yang bisa kukontrol sepenuhnya dalam kendaliku. Kau mengerti maksudku? Meskipun orang-orang yang berperan dalam cerita itu masih ada di sekitarku, tapi kadang kau tak bisa memaksakan sebuah hubungan tetap berjalan. Itu seperti menodongkan pistol pada seseorang untuk menyuruhnya melakukan sesuatu dengan terpaksa. Bukan cara yang baik. Pistol itu bisa meletus dan melukai salah satu pihak. Jadi, aku lebih suka dengan: let it flow...

Dan bagaimana dengan cerita yang orang-orang di dalamnya tiba-tiba menghilang entah ke mana? Aku juga tak punya kuasa akan hal tersebut. Hanya bisa kupasrahkan pada waktu dan takdir.

Aku ingat sebuah cerita masa lalu tentang seorang sahabat masa remaja dulu. Tiba-tiba hubungan kami terputus tak jelas. Sebuah kisah tak selesai. Aku cuma bisa menatapnya dalam diam, separuh karena tak berani bertanya. Separuh lagi karena egoku, tak mau duluan memulai. Dan dia pun tak bereaksi yang kuanggap sebagai keputusan tak ingin berteman lagi denganku, meski aku tak tahu apa alasan dibaliknya. Lalu kami pun dipisahkan waktu dan jarak. Dan setelah belasan tahun berlalu, aku tiba-tiba menemukannya. Seperti menemukan sebuah file cerita yang belum sempat kuselesaikan di dalam komputerku. Kubaca ulang lagi sepotong cerita itu, dan tiba-tiba aku tersentuh kembali akan keindahannya. Dan rasa penasaran itu, rasa tak puas itu masih ada di sana. Akhirnya kuberanikan diri menyapanya dengan resiko tidak dibalas. Tapi dia membalas, malah dengan keakraban yang sama seperti di awal cerita kami. Dan akhirnya cerita ini mampu kuselesaikan dengan manis. Aku akhirnya tahu alasan dibalik putusnya hubungan kami. Ketika dia berbicara jujur tentang segalanya, kami malah menertawakan ketololan sikap dan pikiran remaja kami dulu. Hanya karena salah paham yang membuat cerita itu terhenti di sana, belasan tahun yang lalu.

Kadang memang butuh waktu untuk bisa menyelesaikan cerita-cerita yang tak selesai. Entah itu cerita fiksi maupun cerita sebenarnya dalam hidup ini. Tapi terkadang, mungkin memang ada cerita-cerita yang tak pernah akan selesai selamanya. Tak bisa diselesaikan sekeras apapun kau berusaha berpikir. Seseorang pernah berkata padaku bahwa ketika sebuah cerita tak kau selesaikan di kehidupanmu ini, kau akan terus membawa cerita itu ke kehidupan selanjutnya. Bagaimanapun, sampai kapanpun, suatu hari nanti cerita itu pasti akan sampai pada titik selesai. Orang-orang akan bertemu. Kata, keinginan dan hasrat yang tak pernah tersampaikan akan menemukan titik temu juga. Benarkah demikian? Itupun bila kehidupan selanjutnya itu benar-benar ada...

Entahlah, aku tak tahu. Aku hanya berharap aku akan mampu menyelesaikan semua cerita tak selesai ini. Baik cerita dalam khayalku, maupun cerita hidup yang sebenarnya. Aku tak akan berhenti berharap. Berharap pada waktu, selama napasku masih ada. Semoga aku masih punya kesempatan menyelesaikan cerita-cerita ini. Dan semoga aku akhirnya memiliki bahan-bahan yang lengkap untuk membuat sayuran di dapurku menjadi masakan yang enak. Semoga...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya