Sabtu, 05 September 2009

Karena Cinta

Pertama kali melihat Kendra, Sam langsung jatuh cinta pada gadis yang masih berumur tujuh belas tahun itu. Hatinya telah terpaut oleh kecantikan Kendra. Sejak itu, ia mendekati Kendra dan menunjukkan kesungguhan cintanya. Tiga tahun kemudian Kendra berhasil disuntingnya.

Mereka berdua hidup berbahagia, dengan gejolak cinta yang membara. Meski terkadang perkawinan itu juga diselingi masalah-masalah kecil seperti, makanan yang terlalu asin, popok yang menumpuk tinggi atau malam-malam yang panjang ketika Sam mesti lembur di kantor. Selebihnya, hari-hari yang ada mereka lalui dengan tenang dan penuh kasih.

Banyak peristiwa yang mereka lalui bersama, yang membuat ikatan hati mereka semakin menguat. Kelahiran anak pertama, hari pertama masuk sekolah Dea, anak kedua mereka, dan wisuda Tony, anak ketiga mereka. Bahkan melihat pernikahan ketiga anak mereka.

Ya, puluhan tahun berlalu dengan cepat. Sam dan Kendra masih memiliki rasa cinta yang sama, yang tidak lekang oleh waktu, bahkan cinta itu telah berubah bentuk menjadi lebih matang seiring dengan umur mereka yang semakin bertambah.

Suatu hari Kendra divonis mengidap leukemia. Sam patah hati. Ia tak mampu mempercayai hal tersebut. Namun karena semangat Kendra untuk tetap hidup dan tetap mau menjalani hari-harinya yang berat dengan senyuman, Sam akhirnya belajar untuk pasrah. Ia berusaha untuk selalu tegar, memberi kekuatan pada istrinya yang tercinta.

Sam ingat, ia selalu berkata pada Kendra bahwa ia akan menemaninya hingga akhir hayat. Menjalani masa tua sebagai kakek dan nenek, tetap dengan cinta yang sama. Dan kini mereka telah tua, anak-anak telah besar dan berkeluarga. Ia ingat akan janjinya. Meskipun tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya bahwa masa tua ini akan dijalaninya dengan Kendra dalam keadaan tidak bahagia seperti ini.

Kendra akhirnya diopname di rumah sakit. Tubuhnya mengurus. Rambutnya mulai rontok, memperlihatkan bagian kulit kepalanya. Wajah cantiknya kini terlihat lesu. Bahkan gerakannya mulai melemah. Hanya satu yang tak pernah berubah dari Kendra, sinar di matanya. Ya, mata indah itu selalu bersinar ketika ia menatap Sam. Seakan-akan ingin mengatakan pada Sam bahwa ia tak akan pernah menyerah.

Tiap hari Sam menemani Kendra. Saat istrinya terbangun, ia akan tersenyum padanya, menggenggam tangannya dan berkata, "Jangan menyerah, Sayang." Dan Kendra akan tersenyum lemah padanya. Tapi mata itu tetap bersinar, seakan mengucapkan janji tanpa kata. Dan Sam akan merasa tenang kembali. Karena tiap kali melihat Kendra tertidur, Sam tak mampu mengusir ketakutannya bila Kendra tiba-tiba pergi meninggalkannya. Ia tak mau ditinggalkan teman hidupnya itu. Baginya hidup ini tak berarti lagi bila kekasihnya tiada.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Namun keadaan Kendra tidak juga membaik, malah semakin memburuk. Kendra jarang membuka matanya. Ia bahkan tak pernah lagi turun dari ranjangnya. Dokter mengatakan waktu Kendra tinggal sebentar, mungkin hanya dalam hitungan hari saja. Sam marah. Ia menyuruh Dokter tersebut pergi. Hatinya terasa sakit, tak mau menyerah. Dokter muda itu hanya menunduk tak mampu menghibur lelaki tua itu. Dia tahu betapa besar cinta Sam pada istrinya. Cinta yang dilihatnya setiap hari saat ia menyaksikan Sam duduk seharian menunggui istrinya.

Seminggu berlalu. Dua minggu berlalu. Tidak ada yang terjadi. Apa yang dikatakan dokter mengenai kematian Kendra tidak menjadi kenyataan. Sam merasa sedikit terhibur. Mencoba membangun kembali harapannya yang hampir runtuh. Namun, keadaan Kendra tampak semakin memburuk. Kadang seharian Kendra tak sadarkan diri. Bahkan tak tersisa sehelai rambut pun di kepala Kendra kini. Sam sangat sedih menyaksikan kondisi istrinya. Hatinya terasa sakit, tak mampu berbagi rasa yang dirasakan Kendra. Ia berharap seandainya saja ia bisa menggantikan posisi istrinya asalkan istrinya tersebut bisa kembali sehat dan tersenyum bahagia. Namun, semua itu tak mungkin terjadi. Ia hanya bisa duduk diam, tak melakukan apa-apa, terus berbisik ke telinga istrinya, "Jangan menyerah, Sayang..."

Pagi itu Sam datang ke rumah sakit seperti biasanya. Dan menemukan Kendra masih tertidur di ranjangnya. Ia mencium kening istrinya dan duduk di sampingnya. Ia mulai berbicara kepada istrinya seperti biasa. Berbicara tentang apa saja. Ia yakin Kendra mendengarnya. Dan ia berharap dengan mendengar suaranya, Kendra mampu terhibur dalam sakitnya. Dan Kendra bisa tahu bahwa ia tak akan pernah meninggalkannya sendiri.

Tiba-tiba Kendra mengerang. Lirih, namun panjang. Sam panik, memegang tangan istrinya dan bertanya, "Apa yang sakit, Sayang?" Tak ada jawaban dari mulut Kendra. Namun erangannya kembali terdengar. Matanya masih tertutup. Wajahnya memperlihatkan penderitaan yang sangat. Mata Sam terasa panas. Dielus-elusnya jemari Kendra. "Sakit, ya?" tanyanya sedih. Suara erangan Kendra seperti pisau mengiris-iris hatinya. Perih terasa. Ia benar-benar merasa tak berguna. Tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan penderitaan orang yang begitu dicintainya.

Airmatanya jatuh. Sam terisak bagai anak kecil. "Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku..." katanya di sela tangisnya. Dipeluknya kepala Kendra dalam dadanya. Mencoba memberi kekuatan pada istrinya. Namun erangan itu tak juga berhenti. Sam ingin sekali berkata sekali lagi seperti yang selalu dilakukannya, "Jangan menyerah, Sayang." Namun hari itu, kata-kata itu tak mampu keluar dari bibirnya. Ia merasa sangat egois. Selama ini ia terus meminta istrinya untuk jangan menyerah, memaksa wanita itu berjanji padanya agar tidak meninggalkannya sendirian. Dan karena itu Kendra terus bertahan dan harus terus merasakan penderitaan yang berat, yang seakan tanpa akhir.

Sam melepaskan pelukannya, menatap wajah istrinya dalam genangan airmata. Wajah itu puluhan tahun yang lalu telah memikat hatinya. Wajah yang telah puluhan tahun mengisi hari-hari dalam hidupnya yang bahagia. Kini wajah itu telah menua dan melemah. Hanya garis penderitaan dan sakit yang tampak di sana. Sam mengelus lembut wajah yang penuh kerutan itu. Betapa ia mencintai wanita itu. Wanita yang telah memberinya begitu banyak warna dalam hidup. Harusnya kini Kendra telah kelelahan mempertahankan napas hidupnya dalam tubuh sakitnya yang tak mau bekerjasama lagi.

Sam mendekatkan bibirnya ke telinga Kendra. "Pergilah, Sayang. Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja," bisiknya dengan suara bergetar. "Pergilah. Sudah waktunya untukmu pergi. Aku akan menyusulmu kelak. Aku tak mau melihatmu menanggung penderitaan ini lagi. Kau tak boleh menderita seperti ini."

Dan saat kalimat Sam terhenti, ia melihat Kendra menarik napas untuk terakhir kalinya. Tarikan napas yang panjang dan berat. Istrinya telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkannya. Airmata Sam masih menetes, namun ia tersenyum lembut membelai wajah sang istri dengan sayang. Ya, Kendra mendengarnya. Kendra selama ini menunggunya. Menunggunya memberi ijin padanya untuk pergi. Menunggunya merestui kepergiannya itu. Betapa baiknya wanita itu, menahan sakitnya untuk dirinya. Meski sedih namun Sam tidak menyesali ucapannya. Ia telah membebaskan Kendra dari sakit dan deritanya. Ia telah merelakan Kendra pergi. Ia merestuinya. Restunya ia berikan karena cinta...

Kamis, 03 September 2009

Tak Sempat Terucapkan...

Sejak berumur lima tahun Ahmad telah ditinggal mati oleh ibunya. Tinggal sang Bapak lah yang menemaninya. Ahmad tak memiliki saudara. Bapaknya pun sepertinya demikian. Karena semasa tinggal bersama bapaknya di kampung, setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama.

Bapak Ahmad adalah seorang buruh tani. Saat Ahmad masih kecil, bapaknya selalu mengajaknya ke sawah. Di sana, di sebuah gubuk bambu di tengah sawah garapan bapaknya, Ahmad selalu bermain sendiri. Kadang-kadang ia diperbolehkan bapaknya turun ke sawah, meski sebenarnya ia hanya asyik bermain tanah, tak dapat membantu apapun.

Kampung Ahmad adalah sebuah tempat terpencil, jauh dari keramaian. Belum ada listrik di sana. Mereka sehari-hari masih menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. Orang-orang di kampung tersebut hidup sangat sederhana. Sehari-hari mereka bekerja di sawah, mencari segenggam beras untuk makan.

Meski mereka tergolong miskin, namun Ahmad tak pernah merasakan kesusahan. Bapaknya selalu menyediakan makanan yang cukup untuknya. Meski pakaiannya lusuh, tapi Ahmad tak menyadari hal tersebut, karena rata-rata penduduk kampung tersebut pun demikian adanya.

Bapak adalah seorang teman terbaik bagi Ahmad. Lelaki itu tak pernah memarahinya. Ia bahkan selalu membuatkan Ahmad mainan, entah dari kulit jeruk atau potongan kayu dan bambu. Dan lelaki tersebut sangat menyayangi anaknya. Selalu memberi Ahmad dukungan yang besar. Ia membesarkan Ahmad dengan cara-cara yang sangat positif.

Saat Ahmad belajar mengayuh sepeda tua bapaknya dan terjatuh, bapaknya selalu menyemangatinya dan berkata, "Ayo, Nak. Bangun lagi. Kau pasti bisa..." Saat Ahmad berumur tujuh tahun dan ikut bersekolah pada Ibu Wita, wanita yang mengajar anak-anak membaca dan menulis di rumahnya tanpa bayaran, bapaknya setiap hari menepuk pundaknya dan berkata, "Bagus, Nak. Kau anak yang pintar dan rajin. Kelak pasti jadi orang berguna."

Saat Ahmad berusia lima belas tahun, Ahmad mulai bosan dengan kehidupan di kampungnya. Ia mulai bosan mengayun cangkul dan membajak sawah. Ia sering mendengar cerita dari teman-temannya tentang kehidupan ibukota yang bagus dan maju. Ia lalu menyatakan hasratnya untuk pergi ke ibukota mengadu nasib. Ia ingin mengubah kemiskinannya. Bapaknya diam sejenak sebelum kemudian mengangguk, merestui keinginan Ahmad.

"Pergilah, Nak. Kau pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik."

Berbekal ilmu yang tidak banyak dan beberapa lembar uang pemberian bapaknya yang diambil bapaknya dari simpanan seumur hidupnya, Ahmad pun berangkat. Namun ibukota tak seindah cerita. Suasana sibuk dan hidup yang keras menyambutnya di sana. Tidak ada yang peduli pada dirinya. Untuk mencari sesuap nasi dan tempat berlindung di malam hari, bukan sesuatu yang mudah baginya. Ia sering tidur di emperan toko, di bangku-bangku taman atau pasar dan mengemis-ngemis pekerjaan. Pekerjaan apa saja dilakukannya. Yang terpikirkan olehnya hanyalah bagaimana mengisi perutnya dan melewati satu hari lagi. Ia tidak memiliki ijazah apapun, membuat orang-orang memandang hina dan menolaknya.

Waktu berlalu dengan cepat. Ahmad mulai memiliki beberapa teman dan memiliki pekerjaan yang lebih bagus. Namun ia masih sering berganti pekerjaan karena tidak puas dengan apa yang didapatkannya. Sampai suatu hari seorang teman mengajaknya berjualan. Ternyata ia menyukainya. Ia sangat pandai berjualan. Mungkin karena tutur katanya yang manis dan sikapnya yang sopan membuat orang-orang mau membeli dagangannya.

Suatu hari, seorang teman yang mengetahui bakat berjualan Ahmad mengajaknya bergabung pada sebuah perusahaan besar sebagai salesman kontrak. Meski tanpa berbekal ijazah, Ahmad akhirnya diterima karena rekomendasi dari teman tersebut. Ia diberi tiga bulan masa percobaan. Tiga bulan itu dilewatinya dengan baik. Hasil jualannya melebihi salesman-salesman yang lain. Ia pun kemudian mendapat kontrak setahun dari perusahaan tersebut. Setahun berlalu dengan cepat, Ahmad mencetak rekor sebagai top salesman di sana. Sang pimpinan tertarik padanya dan menawarkan kedudukan sebagai manajer tim marketing. Ahmad semakin terpacu karena kehidupannya berangsur-angsur membaik. Sampai kemudian ia akhirnya menduduki posisi sebagai Sales Head dari seluruh tim marketing di kota tersebut.

Sejak meninggalkan kampungnya, Ahmad belum pernah sekalipun menengok sang Bapak. Awalnya karena tidak memiliki uang dan tidak ingin bapaknya tahu situasi kehidupannya yang sulit, Ahmad memutuskan untuk tidak pulang. Ia malu. Ia berkata pada dirinya sendiri, "Nanti. Suatu hari nanti kalau aku sudah punya uang banyak, aku akan pulang." Tapi seiring waktu berlalu, ketika kehidupannya mulai membaik dan uang mulai terkumpul, Ahmad tetap tidak pulang. Bukan karena lupa, tapi karena ia merasa tidak memiliki waktu. Yang dipikirkannya hanyalah bekerja dan bekerja. Ia tak ingin mengalami masa susah seperti dulu lagi. Ia benci akan kemiskinannya dulu. Dan itu telah menjadi momok menakutkan baginya, yang memacunya untuk bekerja lebih giat lagi.

Kini, Ahmad bahkan telah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Perhatian kini mesti terbagi antara kerja dan keluarga. Ia lebih-lebih tak memiliki waktu luang sedikitpun.

Suatu malam ia terbangun dengan peluh bersimbah membasahi bajunya. Ia mimpi bapaknya. Lelaki itu tampak kurus dan tua. Tiba-tiba ia menjadi khawatir, jangan-jangan ada yang terjadi dengan bapaknya. Selama ini dia belum pernah memimpikan orangtua itu. Saat itu juga Ahmad memutuskan untuk pulang.

Namun rencananya akhirnya tertunda kembali. Ada meeting penting yang tidak bisa dilewatkannya keesokan harinya. Dan begitu pula keesokan harinya. Dan esoknya lagi... Selalu ada saja sesuatu yang menghambat dirinya melangkah kembali ke kampung halamannya.

Sampai kemudian suatu hari di sela kesibukannya, ia akhirnya pulang juga. Ia bertekad menengok bapaknya meski hanya sehari, karena rasa tak tenang terus menghantuinya.

Ia sampai di kampungnya saat subuh menjelang. Rumahnya sepi dan gelap. Saat itu jantungnya mulai berpacu kencang. Ada sebuah firasat tak enak singgah di hatinya. Rumah itu terkunci. Berkali-kali Ahmad mengetuk dan memanggil nama bapaknya namun tak ada jawaban yang terdengar.

Seorang tetangga keluar, mendengar ketukannya.

"Cari siapa, Nak?"

Ahmad mengenali wajah yang telah menua itu. Wajah sahabat bapaknya, pak Sudiro.

"Pak Sudiro, saya Ahmad. Saya baru pulang."

Pak Sudiro tampak terkejut, sejenak tak mampu berkata-kata. Ia memandangi Ahmad dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Merasa pangling.

"Ya, Allah! Ahmad? Sudah sebesar ini? Bapak tidak mengenalimu lagi, Nak."

Ahmad tersenyum seraya sungkem pada Pak Sudiro.

"Bagaimana keadaanmu, Nak? Sehat? Baik?"

"Baik, Pak. Saya datang menjenguk Bapak. Tapi sudah saya ketok lama, tidak ada yang buka pintu. Bapak tahu ke mana Bapak saya?"

Seketika itu juga raut wajah Pak Sudiro berubah. Matanya berkaca-kaca.

"Pak? Bapak saya kenapa?"

"Bapak kamu sudah meninggal, Nak. Beberapa hari yang lalu."

Bagai petir lewat, Ahmad berdiri terpaku di tempatnya. Jantungnya seakan terhenti saat itu juga.

"Bapakmu sakit, Nak. Sebelum meninggal dia selalu menyebut-nyebut namamu. Tapi kami tak tahu harus mencarimu di mana. Selama ini kami tidak punya berita tentang dirimu."

Ahmad terjatuh berlutut di atas tanah tempatnya dibesarkan. Hilanglah semua harapannya untuk menemui sang Bapak untuk terakhir kalinya. Penyesalan datang bertubi-tubi menyerangnya. Harusnya dia pulang lebih awal. Harusnya dia datang menengok bapaknya meski dia tak punya uang. Harusnya ada sedikit waktu bisa dia sisihkan untuk melihat bapaknya yang begitu menyayanginya itu.

Kini bapaknya telah tiada. Meninggal dengan kerinduan yang tak tersampaikan. Ahmad merasa bak anak durhaka yang telah meninggalkan sang Bapak dalam rasa khawatir. Ia bahkan tak ada ketika bapaknya sakit dan membutuhkannya. Padahal bapaknya selalu ada untuknya. Selalu menyemangatinya, "Ayo, Nak! Kau pasti bisa!" Suara bapaknya terngiang-ngiang kembali dalam kepalanya. Suara yang selalu terdengar saat langkahnya terasa berat, saat kehidupan kota terasa terlalu kejam. Suara itu selalu ada di sana, menyemangatinya. Bapaknya tak pernah meninggalkannya sekejap pun dalam langkahnya.

Tangisnya luruh. Tak ada kata yang mampu diucapkannya lagi. Semua sudah terlambat. Kata maaf, kata cinta maupun kata sesal. Tak sempat terucapkan lagi, selamanya...

Kadang kita merasa memiliki waktu yang masih panjang dan menunda segala bisikan hati untuk melakukan sesuatu. Namun saat takdir telah berbicara, kita baru menyadari bahwa waktu datang dan pergi begitu cepat. Tak pernah menunggu kita. Akankah kita rela memeluk sesal dan berteman airmata selamanya?

* Friend, do it now, what you have to do. Maybe there is no tomorrow...

Aku Ingin Menangis...

Aku ingin menangis... Entah mengapa. Hari ini hatiku berawan, tak secerah biasanya. Tak sejernih langit biru. Dan awan hitam itu membuatku merasa sebentar lagi badai topan atau hujan deras bakal turun.

Aku tak punya pawang hujan. Tak kenal seorang pun yang bisa menjadi pawang hujan. Aku berharap aku bisa menghentikan hujan ini sebelum benar-benar turun. Aku berharap tahu caranya, rumusnya, manteranya. Seandainya saja...

Aku berharap ada seseorang datang dan menjetikkan tongkat ajaibnya, mengubah awan hitam ini menjadi awan putih yang terlihat bak kapas putih, lembut dan mencerahkan suasana. Aku berharap ada seseorang yang mau menghisap pergi semua udara menyesakkan ini dan menggantikannya dengan udara bersih dan sesejuk udara pegunungan. Aku berharap jika saja aku punya persediaan hati cadangan, pasti akan kulepaskan hati suram ini dan menggantinya dengan hati baru yang cerah dan lebih menarik.

Aku ingin menangis...

Hatiku sedih. Jiwaku merana. Dan pikiranku tak mau diajak diam dalam damai. Entah mengapa. Entah karena apa. Entah...

Mungkinkah memang tak perlu alasan untuk itu? Ataukah mungkin aku perlu menangis untuk membuang semua kotoran hati dan jiwa melalui setiap tetes airmataku yang langka ini?

Jangan tanyakan mengapa. Jangan hibur aku. Karena aku tak lagi ingin bercerita. Aku juga tak lagi ingin mendengar penghiburan apapun. Aku hanya ingin menangis. Biarkan aku menangis. Walau aku sendiri tak tahu untuk apa, untuk siapa...

Aku hanya berharap bila airmataku telah habis terkuras, semoga hatiku tak lagi suram dan udara ini tak lagi menyesakkan jiwaku...

Semoga...

Selasa, 01 September 2009

Yang Terbaik

Steven adalah seorang anak tunggal dari sebuah keluarga kaya. Papa dan mamanya adalah pengusaha. Dari kecil segala yang diinginkan Steven selalu didapatkannya. Orangtuanya sangat menyayangi anak semata wayang mereka. Karena itu, dalam diri Steven ada sebuah kecenderungan untuk harus selalu mendapatkan apa yang dia inginkan apalagi didukung oleh kecerdasan otaknya. Di sekolah, Steven selalu meraih ranking pertama. Baginya posisi teratas atau nomor satu, sangat penting. Ia tak pernah suka bila ada yang melebihi dirinya dalam hal apapun juga.

Dari kecil Steven telah menyukai olahraga renang. Dan karena kemampuannya berenang, orangtuanya mendaftarkannya dalam sebuah klub renang ternama. Klub itu sering melahirkan perenang-perenang berkualitas yang sering mengikuti perlombaan setempat, nasional maupun internasional.

Untuk golongan seusianya, Steven termasuk yang berada di peringkat teratas. Ia selalu bersungguh-sungguh dalam berlatih. Namun seperti halnya di sekolah, di klub itu pun Steven tidak memiliki banyak teman. Namun ia tidak terlalu peduli akan hal tersebut. Baginya persahabatan tidak lah lebih penting daripada kemenangan.

Sore itu sehabis selesai berlatih, Steven berniat untuk pulang. Saat ia keluar meninggalkan kolam, matanya tertumbuk pada dua orang anak laki-laki tak jauh dari tempatnya berada. Ia mengenal salah satu dari mereka. Ricky, seniornya yang selalu menjadi yang tercepat dalam golongan umurnya. Steven suka memperhatikan Ricky karena ia telah menetapkan tekad, suatu hari ia pasti akan mengalahkan rekor kecepatan Ricky.

Tak sengaja, Steven menangkap percakapan mereka berdua. Ricky tengah membujuk temannya itu untuk berlatih lagi. Tampaknya temannya tersebut baru mengalami kekalahan dalam lomba antar anggota tadi siang, yang memang tiap seminggu sekali diadakan. Steven mendengar Ricky memberikan begitu banyak kata-kata positif yang berusaha menyemangati temannya itu. Dan akhirnya anak laki-laki yang semula tampak murung itu tersenyum. Ricky menepuk bahu temannya, seakan ingin mengatakan bahwa ia bangga padanya.

Rasa heran menghampiri Steven. Dia tak mengerti mengapa Ricky berbuat seperti itu. Dia menunggu kedua anak laki-laki itu bangkit, berjalan menuju ke arah kolam. Dan ketika Ricky berjalan di sampingnya, hampir melewatinya, Steven menyapanya. Ricky menoleh dan tersenyum padanya. Langkahnya terhenti.

"Hai," sapanya dengan ramah. Lagi-lagi membuat Steven terheran-heran. Ia mengira Ricky tidak mengenalinya.

"Maaf, nama kamu siapa?" tanya Ricky seraya mengulurkan tangannya.

Ternyata memang Ricky tidak mengenalinya. Steven menjabat tangan Ricky. "Steven, aku perenang kelompok umur sebelas tahun."

Ricky mengangguk-angguk. "Steven, ya? Kayaknya aku pernah mendengar namamu."

Tentu saja pernah! batin Steven dalam hati, dipenuhi rasa bangga.

"Tadi aku melihatmu berbicara dengan temanmu itu," kata Steven melirik ke arah kolam renang. Anak laki-laki yang tadi berbicara dengan Ricky kini telah berada dalam kolam, tampaknya menunggu Ricky.

Ricky menoleh, "Oh, Pram. Kenapa?"

"Untuk apa kamu membujuknya berlatih?"

"Oh, tadi siang Pram kalah dalam lomba. Dia putus semangat, makanya aku mencoba memberinya semangat lagi."

"Untuk apa kamu lakukan itu?"

Ricky menatap Steven dengan bingung. Tampaknya ia tidak mengerti dengan pertanyaan Steven.

"Ya, untuk apa?" ulang Steven. "Dia kalah, itu urusan dia sendiri. Dia tidak berusaha dengan baik. Dia pantas untuk kalah. Untuk apa kamu capek-capek menghibur dan menyemangatinya lagi? Dia itu kan juga termasuk salah satu sainganmu juga. Kalau berkurang satu, malah bagus untukmu."

Ricky tertegun sejenak mendengar kata-kata Steven. Namun kemudian senyumnya terkembang perlahan.

"Pram itu sahabatku. Saat dia bersedih, aku ikut bersedih. Saat dia putus asa, aku harus menyemangatinya kembali. Itulah arti seorang sahabat."

"Tetap saja, menurutku itu tidak perlu kamu lakukan. Menang kalah tergantung kehebatan kita sendiri. Kalau dia akhirnya kalah ya itu salah dia sendiri. Itu adalah bukti bahwa kita lebih hebat dari mereka."

Ricky menggeleng. "Steven, menang itu memang penting, membuat kita puas akan kemampuan kita sendiri. Tapi kemenangan kita sebenarnya bukan hanya tergantung pada kehebatan kita sendiri. Banyak orang yang ikut membantu di dalamnya. Kita tidak mungkin menjadi hebat dengan sendirinya. Selalu ada bantuan pelatih yang mengajar kita, orangtua yang memberi dukungan, begitupun dengan teman-teman. Makanya kita harus saling membantu untuk meraih keberhasilan bersama."

Steven merasa seperti terkena tamparan keras.

"Lagipula, kemenangan bukan segala-galanya bagiku. Aku memang ingin menjadi yang terbaik, sebaik yang aku bisa. Tapi aku juga ingin melihat teman-temanku seperti itu."

"Mana mungkin? Hanya ada satu yang terbaik. Dan untuk itu harus kamu kalahkan semua orang," kata Steven bersikeras, tak mau kalah.

"Hari ini aku menang, besok mungkin Pram. Semua orang punya kesempatan yang sama. Lebih menyenangkan bila kita saling membantu dan berbagi mencapai kemenangan bersama. Lagipula semua orang punya kehebatan masing-masing. Kita bisa saling berbagi apa yang kita tahu dan punya. Dengan begitu, kita akan semakin hebat. Dan akhirnya kemenangan pribadi bukan lagi yang terpenting. Tapi kita bisa menjadi salah satu dari yang terhebat."

Ricky kembali tersenyum padanya. Menepuk bahunya dan berkata, "Tetap semangat, ya! Aku temani Pram dulu berlatih."

Lama Steven duduk memperhatikan Ricky dan Pram berlatih. Wajah-wajah ceria mereka tertangkap oleh matanya. Ricky tampak begitu bersemangat menemani Pram. Seakan-akan seorang Pram begitu penting artinya bagi dirinya. Steven tiba-tiba merasa iri akan persahabatan mereka. Ya, dia tidak memiliki sahabat seperti Pram. Dia juga tidak memiliki sahabat seperti Steven. Selama ini dia merasa tidak membutuhkan dukungan siapa-siapa. Dirinya sudah cukup hebat untuk bisa meraih semuanya sendiri. Dan mungkin karena itu, tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya.

Dulu, Steven selalu terobsesi ingin menjadi yang terbaik, The Best! Tapi kata-kata Ricky tadi mengusik obsesinya kini. Menjadi salah satu yang terbaik? Kedengarannya aneh di telinganya. Tapi tampaknya hal itu lebih menyenangkan daripada sendiri dalam dunia kemenangannya. Lagipula Ricky benar, dia tidak mungkin menjadi hebat seperti sekarang ini bila tidak ada orang lain yang membantunya. Orangtuanya, pelatih dan senior-senior serta orang-orang yang pernah dikalahkannya. Mereka semua yang membuatnya semakin kuat dan berlatih semakin giat. Steven dulu tidak menyadari hal itu, membuatnya tidak mempedulikan orang lain. Ia bahkan tidak pernah membagi kehebatannya pada orang lain. Kehebatannya hanyalah kehebatan kecil miliknya sendiri.

Tiba-tiba Steven merasa begitu kecil dan tidak berarti. Tiba-tiba di matanya Ricky menjadi sosok yang begitu hebat. Seorang juara yang siap mengulurkan tangannya bagi siapa saja di sekelilingnya untuk belajar menjadi sehebat dia. Ricky bahkan tak takut tersaingi, seakan-akan kehebatannya tak bakal bisa dicuri oleh orang lain. Kehebatannya tak akan habis bila dibagi dengan orang lain. Bahkan bisa semakin bertambah dan bertambah. Menjadikannya seseorang yang semakin hebat.

Steven merasa malu akan kata-katanya tadi. Malu akan sikapnya selama ini pada semua orang. Dia yang begitu kecil tapi selalu merasa paling hebat. Juga akan obsesinya menjadi yang terbaik. Steven bertekad, mulai detik itu harus mengubah dirinya dan sikapnya. Ia tidak mau hanya menjadi yang terbaik. Tapi ia mau menjadi bagian dari yang terbaik. Salah satu dari yang terbaik. Dan dia juga ingin membagi kemenangan dan keberhasilannya pada banyak orang, seperti yang dilakukan oleh Ricky.

Steven bangkit dari duduknya, menghampiri Ricky dan Pram yang masih berlatih.

"Boleh aku ikut bergabung?"


Terinspirasi dari seorang teman yang hebat, G. Lini Hanafiah, seseorang yang selalu mau berbagi kepada siapa saja, dengan mottonya: When someone does you a big favor, don't pay it back... Pay It Forward !

Senin, 31 Agustus 2009

Tuhan, terimakasih...

Sejak kecil Lilith selalu diajarkan untuk berdoa sebelum makan. Mengucap syukur atas makanan yang tersedia hari itu dan meminta berkat atas makanan tersebut. Doa itu biasa dipimpin oleh Ayah atau ibunya. Terkadang Della, kakaknya dan Lilith pun mendapat kesempatan memimpin. Namun bagi Lilith, itu hanya sebuah kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari. Tak ada makna yang tertinggal. Tak ada syukur yang benar-benar memenuhi hatinya. Sering ia hanya menutup mata, menundukkan kepala, mengatupkan kedua tangannya dalam sikap berdoa, namun ia tak benar-benar berbicara pada Tuhan. Pikirannya malah mengembara ke mana-mana.

"Tuhan, terima kasih atas makanan hari ini. Berkatilah makanan yang ada ini agar dapat menguatkan tubuh kami..."

Sepotong doa itu tak benar-benar ia resapi artinya. Bahkan sering kali ketika melihat hidangan yang tak membangkitkan selera makannya, Lilith berdoa dengan wajah cemberut. Hatinya tak merasa senang. Terkadang bila ia makan sendiri pada siang hari, ia bahkan tak berdoa sama sekali. Pikirnya, apa yang harus disyukuri? Makanannya tidak enak!

Suatu hari sepulang dari sekolah, Lilith melihat seorang pengemis sedang mengais-ngais tong sampah di pinggir jalan. Perempuan itu mengenakan pakaian compang camping dan tampak lusuh. Wajahnya kotor, rambutnya berantakan. Lilith segera menyingkir, mengernyit tak senang. Tak ingin berada dekat-dekat dengan wanita itu. Namun matanya tak juga lepas dari pengemis itu yang kini tengah membuka bungkusan bekas makanan yang telah dibuang. Lilith merasa jijik. Pikirnya, orang ini bukan manusia, masa makanan bekas dari tong sampah pun masih diinginkannya...

Beberapa hari kemudian, ketika melewati jalan yang sama Lilith kembali menemukan pengemis itu. Tapi kali ini perempuan itu tengah duduk di pojok yang sedikit menjorok ke dalam, samping sebuah toko. Lilith baru saja akan melenggang tak peduli ketika matanya menangkap dua sosok kecil yang berada bersama perempuan itu. Langkahnya terhenti melihat apa yang tengah mereka lakukan.

Seorang dari mereka adalah bocah kira-kira berusia tiga tahun. Wajah mungilnya itu terlihat begitu kotor, seakan tak pernah mandi. Begitupun dengan rambut ikalnya yang tipis. Seorang lagi sudah agak besar, kira-kira berusia enam atau tujuh tahun. Mereka berdua sedang duduk di tanah, mendongak ke arah si perempuan pengemis dengan mulut terbuka lebar, minta makan. Si pengemis dengan tangannya yang kotor meraup nasi dari bungkusan yang tampaknya mirip dengan bungkusan yang beberapa hari lalu Lilith lihat dipungut dari di tong sampah. Kemudian ia menyuapkan makanan itu ke mulut anak-anaknya. Mereka mengunyah dengan wajah gembira. Si bocah kecil malah menunjuk-nunjuk ke arah nasi tersebut, meminta sesuatu. Dan si pengemis kembali mengambil sesuatu dari sana dan menyuap bocah tersebut. Si perempuan sendiri tidak makan, hanya sibuk menyuap dan berbicara pada kedua anaknya. Bocah kecil itu menatap ibunya. Mata bulat yang masih polos itu tampak bersinar jernih. Lilith dapat melihat cinta di mata bocah itu. Cinta yang sama yang ditemukan Lilith di mata perempuan itu ketika ia menatap ke arah anak-anaknya. Mereka tampak saling menyayangi.

Lilith terpaku di tempatnya. Ia ingat masa kecil dulu, ibunya sering menyuapinya. Namun selalu menggunakan piring dan sendok yang bersih. Tangan ibunya pun putih bersih. Dan makanan yang disediakan untuknya selalu bersih dan sehat, dimasak sendiri oleh ibunya, bukan makanan sisa dari tong sampah. Dan selalu ada meja dan kursi untuk tempat makannya. Bukan tanah kotor di pinggir jalan. Tiba-tiba ia merasa sedih. Sedih melihat ketiga orang itu duduk di tepi jalan ini, makan makanan sisa yang telah dibuang yang berasal dari tong sampah. Betapa berbedanya kisah yang dilihatnya di depan matanya sekarang ini dengan kisah yang telah dialaminya.

Sesampainya di rumah, seperti biasa telah tersedia makanan di meja. Ada sayur, ikan, tahu dan nasi yang masih panas, baru saja dikeluarkan dari pemanas. Lilith ingat pengemis itu. Ia juga ingat dirinya sering tak berterima kasih atas apa yang terhidang di meja makan. Ia duduk di kursi, menatap semua hidangan di meja sejenak dalam diam. Matanya terasa panas. Dadanya terasa sesak. Ingat wajah bocah kecil yang gembira mengunyah makanan sisa yang diberikan ibunya. Seandainya saja dia dapat membagi makanan di meja ini pada bocah itu. Airmatanya menetes saat ia mengaitkan kedua tangannya dan menutup matanya. Dan untuk pertama kalinya dengan segenap rasa syukur, ia berucap lirih, "Tuhan, terima kasih..."

Dan sejak saat itu Lilith tak pernah lupa memanjatkan doa syukurnya sebelum makan. Selalu diucapkannya dengan penuh rasa syukur yang sebenarnya. Dan ia tak pernah lupa selalu memanjatkan sebuah doa berisi pengharapan untuk ketiga pengemis yang telah membuka mata hatinya. Juga untuk semua orang di dunia ini yang masih juga menderita kelaparan dan kemiskinan.

Minggu, 30 Agustus 2009

Cahaya Dalam Kegelapan

Anto seorang pemuda yang sejak kecil bercita-cita menjadi seorang pilot. Namun, apa hendak dikata, suatu hari Anto terserang penyakit pada matanya. Dokter mengatakan mata Anto mengalami infeksi parah. Hampir sebulan Anto mengobati penyakitnya tersebut dengan kekhawatiran yang amat besar. Akhirnya infeksi tersebut sembuh, namun meninggalkan bekas luka pada kornea mata Anto yang membuat penglihatan Anto bermasalah. Dan untuk itu Anto harus mengenakan kacamata. Pupuslah harapan Anto. Bayangan masa depan yang gemilang sirna seketika. Hatinya begitu hancur. Sejak hari itu Anto menjadi seorang yang pemurung. Semangat hidupnya raib.

Keluarganya sangat sedih melihat keadaan Anto yang sering mengurung diri di kamar. Bahkan nilai-nilai Anto di sekolah mulai menurun. Mereka mencoba berbagai cara untuk mendekati Anto dan menghiburnya. Namun tak ada yang berubah. Sampai suatu hari Ibu Anto mengajak Anto menemaninya ke panti jompo, tempat ibunya sering datang membantu secara sukarela.

Di panti itu, Anto melihat seorang gadis kecil bernama Ema. Gadis itu adalah anak pemilik panti jompo. Wajahnya cantik, namun sayang Ema buta. Menurut cerita ibunya, Ema dilahirkan dalam keadaan buta. Dia tak pernah sempat melihat wajah dunia.

Saat melahirkan Ema, ibunya sangat tergoncang. Hatinya sedih tak terkira. Namun karena naluri seorang Ibu untuk menjaga anaknya, wanita itu berusaha menguatkan diri menjaga dan membesarkan Ema. Tak mudah memang. Karena dibutuhkan cara berbeda membesarkan seorang anak buta. Ema tak dapat melihat apapun, hanya bisa mengandalkan penciuman, pendengaran dan perasaannya lewat sentuhan tangannya. Lewat penciumannya, sentuhan tangannya dan pendengarannya Ema kecil bertumbuh.

Seharian itu Anto memperhatikan Ema. Gadis kecil itu begitu sibuk, tak seperti orang buta layaknya. Ia membantu orang-orang di dapur, ikut bersih-bersih, dan merawat kebun kecil di belakang rumah. Anto terpana. Gerakan Ema yang lincah benar-benar membuatnya kagum. Meski matanya tertutup, Ema melakukan semuanya dengan baik. Tangan mungilnya membantunya mengenali benda-benda, bahkan sepertinya Ema telah menghapal baik tempat dan bentuk benda-benda dalam rumah tersebut.

Ibu Ema berkisah, saat Ema berusia tujuh tahun, wanita itu sempat jatuh kembali dalam kesedihan, mengingat kondisi putrinya dan mengkhawatirkan masa depannya. Anak-anak sering mengejek Ema, menertawakan kebutaanya. Suatu hari ibunya menangis tanpa suara. Ema kecil bertanya pada ibunya, "Ibu menangis?" Wanita itu menyangkal dan segera mengusap airmatanya. Kejadian itu berulang beberapa kali dalam hari-hari berikutnya. Suatu hari Ema kecil menyentuh wajah si Ibu dan berkata, "Ibu jangan menangis lagi. Meskipun Ema buta, Ema bahagia jadi anak Ayah dan Ibu. Ibu jangan khawatir."

Sejak itu, Ibu Ema memutuskan untuk berhenti bersedih. Ia tersadar akan kelebihan anaknya dibanding anak-anak yang lain. Ema lebih peka. Ema bisa tahu ia menangis, meski Ema tak melihat. Anaknya bisa merasakan perasaan orang-orang yang berada di dekatnya. Pendengaran Ema pun sangat tajam, ia mampu mengenali orang yang mendekati melalui suara langkah mereka. Juga dari penciumannya. Tak ada rasa syukur yang lebih besar dari seorang Ibu mengetahui anaknya dikarunia begitu banyak kelebihan.

Ema kecil selalu ceria. Ia mengenal keindahan tumbuhan dari sentuhan tangannya pada kelopak bunga dan daun. Juga dari wangi yang singgah di hidungnya. Ia tak bisa melihat terang mentari namun ia selalu bahagia bisa merasakan hangatnya di kulitnya. Dan ia tak dapat melihat wajah orangtuanya, namun ia menyimpan ingatan akan bentuk wajah mereka dari sentuhan tangannya.

Pribadi Ema yang ceria dan selalu mau belajar serta tak mudah berputus asa menjadikannya mudah menguasai banyak hal. Ema kecil bahkan menguasai bahasa Inggris dengan fasih. Ia belajar dengan menyenandungkan lagu-lagu dan mendengarkan kaset-kaset pelajaran bahasa. Ema juga sangat rajin dan bersemangat. Ia selalu membantu pekerjaan orang-orang di panti, tanpa merepotkan orang lain. Bahkan orangtua-orangtua yang tinggal di panti itu sangat dekat dan sayang padanya. Ema sering menghibur mereka dengan nyanyiannya atau menemani mereka bercerita.

Sore itu, pada saat jam minum teh, Ema duduk di depan piano. Jari-jarinya dengan lincah bermain di atas tuts-tuts piano, menciptakan sebuah alunan musik yang sangat merdu di telinga. Anto terpukau. Tak pernah ia mendengar alunan nan indah seperti itu. Kata Ibu Ema, sejak kecil Ema sangat menyenangi musik. Ia belajar memainkan piano dengan bantuan telinganya. Ema menciptakan musiknya sendiri.

Dalam hati Anto ada sebuah rasa iba pada Ema kecil yang tak pernah mengenal terang. Tak pernah punya kesempatan melihat indahnya dunia. Tapi juga ada rasa malu yang menyusup. Anto baru tersadar ia memiliki apa yang tidak Ema miliki, sepasang mata, bisa melihat dunia dan hidupnya dengan begitu jelas. Bisa menikmati banyak keindahan yang ada. Namun ia malah tidak berbahagia, larut dalam kesedihan dan keputusasaan hanya karena cita-citanya pupus di tengah jalan. Harusnya ia bisa lebih ceria dan tegar seperti Ema. Harusnya ia lebih mensyukuri hidup seperti Ema.

Selesai menghibur orang-orang di sana, ibunya memanggil Ema dan mengenalkannya pada Anto. Gadis kecil itu tersenyum. Wajahnya sangat cantik. Kembali Anto merasa iba dan sedih. Seandainya Ema bisa melihat betapa indahnya senyumannya itu... Tak sadar airmatanya menetes. Saat itu kepala Ema kecil menoleh ke arahnya.

"Kakak, kenapa bersedih?"

Anto terkejut, tak mampu berkata-kata. Ia segera menghapus airmatanya.

"Jangan sedih karena Ema, ya..." katanya seraya tersenyum. "Ema memang buta tapi Ema bisa melihat dunia di sini." Ema meletakkan tangannya di kepala kemudian di dadanya.

"Ya, Ema," kata Anto seraya tersenyum haru. Gadis kecil yang tegar. Gadis kecil yang memiliki hati yang begitu lembut dan peka.

Meskipun Ema tak dapat melihat dunia sekalipun namun ia telah menemukan cahaya dalam kegelapan. Dan Ema telah menjadi cahaya dalam kegelapan hidup Anto.


Terinspirasi melihat Andrea Bocelli dan Katharine McPhee menyanyikan The Prayer dalam konser David Foster & Friends.

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya