Jumat, 10 Juli 2009

Saat-saat Terakhir Bersamamu...



Tubuhmu tergolek di dipan kayu itu. Tak bergerak. Kelopak matamu tertutup. Entah sudah berapa lama seperti itu. Aku lupa. Aku bahkan sudah lupa sudah berapa kali mentari berganti rembulan semenjak engkau terbaring di sini. Rasanya waktu berjalan begitu cepat dan begitu lambat bersamaan.

Wajahmu yang penuh kerutan seakan tengah tertidur lelap. Aku tak tahu apa ini tidur panjang yang memang harus kau lewati. Ataukah hanya karena jiwamu tak mau bekerjasama lagi, meninggalkan tubuhmu di sana sendirian begitu lama. Aku tak berani membangunkanmu. Aku takut. Bukan takut kau terganggu. Aku takut suaraku tak mampu menggapaimu lagi dan aku harus menghadapi kenyataan akan sendiriku ini.

Sesekali aku mendekatkan jariku di dekat hidungmu. Dan setiap kulit jariku terhembus napasmu, ada kelegaan luar biasa yang mendekapku. Dan itu membuatku teguh memeluk harapanku bisa memiliki hari-hari lain bersamamu lagi. Meski rasanya hembusan napasmu terasa semakin lemah dan berat. Tidak. Aku tidak akan pernah berputus asa darimu, selama kau belum mengatakan selamat tinggal padaku. Karena aku tak akan pernah mau kau tinggalkan tanpa sepatah katapun. Ingat itu. Ingat akan janjimu padaku. Kau bilang, kau akan selalu menemaniku sepanjang hidupmu. Dan bila suatu saat kematian datang menjemputmu, kau akan memberitahuku. Tak akan meninggalkanku tanpa kata seperti yang dilakukan mereka. Yang menggoreskan sedih yang begitu dalam. Yang meski telah melewati beribu kehidupan, jejak duka itu tak akan pernah terhapus. Selamanya.

Aku masih ingat hari itu. Hari di mana kau muncul untuk pertama kalinya. Kau tersenyum padaku. Walau senyum itu tak semenawan senyumnya, tapi senyummu menghantarkan kelembutan dan kedamaian dalam hatiku yang saat itu begitu berduka. Kau tak pernah banyak berkata. Tak pernah banyak berpetuah atau berpesan. Tak pernah juga banyak berkomentar. Tapi kehadiranmu selalu begitu nyata dalam hari-hariku. Hanya dengan kehadiranmu, kau bawa begitu banyak cerita dan warna baru dalam hidupku yang sebatang kara. Dan dalam pelukan hangatmu akhirnya aku mampu meneteskan semua airmata kepedihanku yang selama ini terkubur dalam ruang jiwaku yang terdalam. Kepedihan karena rinduku pada mereka tak pernah terbalas. Kepedihan karena garis takdir yang begitu kejam, merampas segala keindahan hidupku.

Menengok ke belakang, ke cerita indah kita, bagai membuka kembali semua lembaran cerita hidupku. Dan kilasan itu begitu cepat berputar. Rasanya ingin kuperlambat. Ingin kucicipi lagi semua rasa dengan lebih perlahan. Ingin kurasakan lagi setiap kejadian itu detik demi detik, dari awalnya tercipta hingga berakhir. Aku tak akan pernah rela. Tak pernah rela melepas semua cerita ini sebagai bagian masa yang telah berlalu. Tidak! Aku tak rela! Jangan kau paksa aku untuk merelakannya. Karena sebuah kerelaan tak akan pernah bisa dipaksakan.

Tahukah kau bahwa dirimu adalah bagian terindah yang pernah ada dalam hidupku yang tak berarti ini? Aku sempat jatuh dalam keputusasaan akan hidup ini puluhan tahun yang lalu. Ketika satu persatu dari mereka pergi, tak dapat mengecoh takdir. Aku bahkan mulai meragukan arti keberadaanku di dunia ini. Dunia yang begitu sepi tanpa cinta. Dan saat itulah kau muncul, mengulurkan tanganmu, pelukanmu dan mengajakku untuk melangkah bersama, menciptakan sebuah kisah hidup yang lebih bermakna. Yang tak pernah berani lagi kubayangkan, meski cuma dalam angan.

Aku bahkan lupa, bila aku pernah menyatakan rasa terima kasihku padamu. Pernahkah aku? Tahukah engkau? Tahukah engkau akan arti dirimu di hatiku? Tahukah engkau bahwa aku mencintaimu melebihi dia yang memberiku napas kehidupan melalui jiwa, darah dan dagingnya? Meski tak ada satu pun bagian diriku yang berasal dari dirimu, tapi selamanya sosokmu melekat di hati dan jiwaku. Walau sosokmu tak pernah menjadi seindah sosoknya di dalam ingatanku, tapi cintamu tak dapat terbandingkan dengan cinta yang pernah diberikannya dalam singkatnya masa yang kami miliki.

Rasanya ingin aku memanggilmu, memaksamu membuka mata. Melihat ke arahku sekali lagi. Aku rindu mata teduh itu. Aku rindu merasakan kekuatan cinta dari matamu itu. Dan aku berharap bila saat itu ada, aku akan mengatakan padamu, "Aku mencintaimu." Dan aku berharap kata itu terucap, menjadi hembusan energi kehidupan untukmu, seperti energi kehidupan yang telah kau berikan padaku tanpa syarat. Ya, aku baru sadar kau tak pernah mensyaratkanku atas semua yang kau lakukan dan kau sodorkan padaku. Semuanya begitu tulus dan murni. Lebih murni dari air pegunungan yang mengalir. Lebih tulus dari cahaya mentari yang menyinari bumi.

Aku takut, takut kau tak akan pernah sempat mendengarkanku mengucapkan cintaku itu. Aku takut waktu tak mau menunjukkan wajah belas kasihnya pada kita lagi. Lalu, bila kau terlanjur pergi tanpa pernah tahu, apakah kau akan mengingatku di alam sana? Apakah kau akan tetap merindukanku seperti rinduku padamu di hari esok yang akan terus membayangi langkahku hingga napasku terhenti?

Kubelai wajah tuamu. Airmataku kini menetes. Aku tak mampu lagi menahan ekspresi bahagia semuku di wajah. Aku berharap bila jiwamu ada di sini, memperhatikanku, airmataku mampu menahanmu lebih lama. Meluluhkan keinginan jiwamu untuk pergi. Aku berharap kekhawatiranmu akan diriku akan memaksa jiwamu mengubah arah selanjutnya dan tinggal sekali lagi dalam tubuh lemahmu ini. Egois memang. Tapi keegoisanku ini karena aku terlampau mencintaimu! Karena aku belum siap hidup tanpa dirimu. Meski kau harus terus terbaring lemah di sini, tak mampu berbuat apa-apa, itu jauh lebih baik daripada aku harus hidup sendiri tanpa sosokmu lagi di tempat ini. Maafkan aku...

Tapi aku tahu betapa lelahnya ragamu. Lihatlah tangan kurusmu yang terbalut kulit yang keriput. Tangan yang telah bekerja puluhan tahun dalam hidupku. Tanganmu ini bagai tangan pelukis yang telah mencoretkan begitu banyak warna dan bentuk yang indah. Bagai tangan pemahat yang telah memahat sebuah batu biasa menjadi karya seni. Dan akulah karya seni itu. Karya senimu. Kuambil tangan itu dan kulekatkan di pipiku. Rasa hangatnya masih terasa. Menjalari kulitku dengan kedamaian. Seakan-akan kau tahu gundah hatiku. Dan seketika itu, aku merasa mendengarmu mengucapkan kata selamat tinggal padaku. Tanpa suara, tanpa kata. Mungkin kau bahkan tak mampu lagi mengucapkan perpisahan itu dalam kata karena kau tak memiliki sisa-sisa kekuatan lagi untuk itu...

Aku mencium tangan itu sekali dan mengangguk padamu. Pergilah. Biarkan para malaikat merengkuhmu dalam pelukan mereka. Aku akan melepas tanganku ini. Tak akan lagi menghalangi keinginan jiwamu. Karena aku tak mampu memberimu apa-apa lagi, selain kerelaanku. Cuma ini yang bisa kuberi untuk membalas semua pemberianmu. Walau masih ada sakit yang terasa menusuk hatiku, tapi bila ini menjadi kebahagiaan terakhirmu, biarlah kuhadiahkan padamu. Sebuah kerelaan. Tanda cintaku yang pertama dan terakhir.

Aku merasakan sekali lagi hembusan napasmu yang terakhir di rambutku, ketika kurebahkan kepalaku dengan perlahan ke atas dadamu. Dan itu yang terakhir. Tak ada lagi detak yang terdengar di sana. Tak ada lagi kehangatan yang tersisa.

Selamat jalan. Aku cinta padamu...

Photo Link: http://s140.photobucket.com/albums/r29/mccurleyq/?action=view&current=My_watery_grave___by_Rowiel.jpg

Selasa, 07 Juli 2009

Tentang Iri hati vs kecemburuan

Iri hati ya. Kecemburuan, tidak. Iri hati itu emosi wajar yg bahkan akan semakin mendesakmu utk berupaya lebih keras lagi. Itulah dambaan anak berusia 2 tahun yg sdg mendesak dirinya utk mencapai tombol pintu yg dpt dicapai abangnya. Tidak ada yg salah dlm hal itu. Tidak ada yg salah dgn rasa iri. Itu adalah sebuah motivator. Hasrat yg murni. Hal itu melahirkan kebesaran.

Kecemburuan, sebaliknya adalah emosi yg digerakkan oleh rasa takut, membuat seseorg ingin melihat agar sesamanya mendptkan lebih sedikit daripada dirinya. Itulah emosi yg didasari oleh kepahitan. Hal itu beranjak dr amarah dan menuntun ke amarah pula. Dan hal itu membunuh. Kecemburuan itu dpt membunuh. Siapa saja yg pernah berada dlm segitiga kecemburuan mengetahui hal itu.

Kecemburuan itu membunuh, iri hati itu memberi kehidupan.

Mereka yg memiliki iri hati akan diberi setiap peluang utk berhasil dgn cara mereka sendiri. Tak ada yg akan menghalangi dr segi ekonomi, politik, sosial. Bukan demi alasan ras, jenis kelamin atau orientasi seksual. Bukan demi alasan status kelahiran, kelas atau usia. Tidak demi alasan apapun. Diskriminasi demi alasan apa saja tidak akan ditoleransi.

Neale Donald Walsch CWG II (308-309)

Membaca penjelasan di atas di buku, mengenai perbedaan dari iri hati dan cemburu, saya baru disadarkan akan dilema yang selama ini terpikirkan. Terkadang iri hati dan kecemburuan itu dilihat sebagai sebuah reaksi atau sikap yang sama. Sikap yang negatif dan harus dibuang jauh-jauh. Tapi sejujurnya, siapa manusia yang tak pernah merasa iri atau cemburu?

Bagaimana bisa terus memiliki rasa ingin maju karena melihat kesuksesan orang-orang, tanpa merasa bersalah karena menyandang rasa iri/cemburu? Karena bila iri itu disamakan dengan cemburu, berarti kita telah bersikap negatif dan berbuat dosa. Tidak benar-benar berbahagia atas kesuksesan sesama karena terselip rasa iri/ cemburu. Karena dalam rasa cemburu, kita harus tak pernah menginginkan orang lain berbahagia/sukses lebih daripada kita. Jealous.

Seorang saudara pernah berkata seperti ini padaku, "I so envy you, with your life"
Kalimat itu diucapkannya tanpa ada nada negatif dan saya menerimanya sebagai suatu ungkapan yang kira-kira begini bunyinya, "Saya iri padamu, dengan kehidupanmu. Saya berharap bisa memiliki kehidupan yang seperti itu juga." That's all. Bahwa dia menginginkan bisa melakukan pencapaian yang telah saya capai, itu harapannya. Bukan menginginkan harus bisa 'melebihi' saya. Bukan posisi yang menjadi soal. Saya yakin itu, karena orang ini selalu menjadi salah seorang yang selalu memberikan dukungan cinta dalam hidup saya. Meskipun dia mengaku memiliki rasa iri terhadap saya. Dan dia mampu mengakui rasa iri itu tanpa merasa malu dan rendah. Satu sikap kejujuran yang sangat saya kagumi.

Karena itu mungkin kita harus mengecek kembali rasa yang ada dalam diri kita ketika melihat hidup dan kesuksesan orang lain. Apakah itu iri hati ataukah kecemburuan.

Saya sangat setuju dengan kalimat-kalimat Neale di atas bahwa kecemburuan bisa membunuh seseorang. Rasa cemburu lahir dari ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan ketidakbahagiaan atas pengakuan diri terhadap keadaan orang lain yang lebih baik dari diri sendiri. Seseorang yang diliputi rasa cemburu, menjadi sosok yang negatif yang bukan mengejar/mementingkan arti sukses dan bahagia itu sendiri lagi pada dirinya, tapi lebih terfokuskan pada keinginan bisa menempati posisi lebih baik/ teratas dibandingkan dengan orang yang di-cemburuinya. Karena kecemburuan, seseorang bisa jadi terdorong melakukan hal-hal tercela, sikap-sikap yang menjatuhkan dan juga melontarkan kata-kata yang sarkastik hanya untuk membuat dirinya merasa lebih dari orang lain. Karena kecemburuan adalah pernyataan ketidakpercayaan akan diri sendiri sama berharganya/mampu dibandingkan dengan orang lain.

Saya ingat dulu ketika saya pernah mencemburui suami saya karena hal-hal negatif yang terpikirkan di kepala saya (biasalah seorang wanita...hehehe), dia tidak akan memberikan seribu alasan supaya saya berhenti cemburu. Dia hanya akan berkata: "Percayalah kepada dirimu sendiri."

Masalahnya sifat kecemburuan ini bila dipelihara, tak akan ada habisnya dan tak akan berujung. Karena diri yang tidak pernah yakin pada kemampuan diri sendiri, akan merasa tidak aman/takut dan selalu berusaha mengalahkan keberadaan org lain yg selalu dilihat sebagai ancaman. Karena suatu pencapaian lain dari seseorang yg dicemburui, akan melahirkan kecemburuan yang baru lagi. Berlanjut terus, menjadi rantai setan yang menjerat. Karena selamanya, hati yang dipenuhi rasa cemburu tak akan pernah menemukan kebahagiaan dan ketenangan. Kecuali bila semua orang menjadi lebih sial dan lebih bodoh daripada dirinya sendiri. Tapi masalahnya itu tak akan pernah terjadi, karena selalu masih ada langit di atas langit.

Sementara berbeda halnya dengan rasa iri, rasa itu membuat kita menjadi terpacu karena sukses seseorang, ingin bisa seperti orang itu. Tanpa perlu menjatuhkannya ataupun mengharapkan yang terburuk untuknya. Tanpa rasa negatif. Karena iri hati hanya sebatas dorongan semangat untuk bisa maju. Tidak mengecilkan keberadaan orang lain. Ketika kita hanya iri, tanpa cemburu kepada seseorang karena kesuksesannya, kita bahkan meluangkan lebih banyak waktu untuk mempelajari kesuksesan itu. Karena dari sanalah kita dapat belajar memperoleh rumus sukses yang sama. Kesuksesan orang lain menjadi pemacu, bukan mimpi buruk atau musuh/ancaman bagi kita. Kita bahkan bisa tertawa bersama bila sampai di garis kesuksesan yang sama. Dan mengangkat jempol untuk kesuksesan orang lain yang belum kita raih. Dan dalam sikap ini, kita tidak merasa kecil hati pada diri sendiri tapi selalu merasa percaya diri akan kemampuan yang kita miliki, bisa meraih kesuksesan yang sama tanpa perlu menjatuhkan orang lain dengan berbagai cara yang tidak benar. Mungkin saat ini kita belum berada di garis sukses itu, tapi itu tidak mengurangi nilai dan kebahagiaan diri sendiri. Yang juga berarti dengan semakin suksesnya orang lain, kita pun memiliki peluang sukses yang semakin besar. Ini mata rantai juga yang melahirkan sikap positif. Dengan demikian, kita selalu berharap menemukan banyak kesuksesan yang lain untuk bisa kita ikuti.

Ini hanya mengenai perbedaan cara pandang. Tapi perbedaan cara pandang itu penting karena membawa kita ke arah yang mana. Sikap kitalah yang menentukan menjadi seperti apakah diri kita sekarang dan nanti. Juga menentukan sukses atau bahagia tidaknya kita ini.

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya