Senin, 29 Februari 2016

Biarlah Pergi



Rokok itu dihisapnya dalam-dalam, berharap asap yang masuk dapat memenuhi paru-parunya dan melegakan hatinya. Menggelikan, bukan? Ya, sama seperti hidupnya saat ini, ia berharap racun yang ditelannya setiap hari mampu membuat dirinya menjadi wanita yang utuh, hebat dan luar biasa. Sementara ia sendiri tahu persis racun itu semakin menggerogoti jiwanya. Menggoyahkan rasa percaya dirinya dan membuatnya mulai membenci dirinya sendiri.
            Teleponnya berdering. Ia menatap nama di layar telepon, tanpa bergeming. Bram. Laki-laki itu lagi. Entah kapan laki-laki itu akan menyerah mencari dirinya. Penolakannya, bahkan diamnya, seakan tak menggoyahkan tekad laki-laki itu. Ia menghela napas, mengapa hidup ini begitu rumit? Seandainya saja ia bisa menjadi wanita sederhana, seperti yang lain. Yang memiliki kehidupan yang begitu mudah ditebak.
            Ia teringat seorang sahabat baiknya yang kini sudah memiliki tiga orang anak remaja. Cerita hidupnya begitu sederhana, berjalan bak air mengalir tanpa ada bebatuan yang menghalangi. Bahkan seperti tanpa riak sedikitpun. Selesai es-em-a,  menemukan seorang lelaki baik hati, tidak tampan, menerima pinangan lelaki itu, melahirkan anak-anak untuk lelaki itu dan berbahagia dengan peran sederhananya sebagai Ibu serta Istri yang baik. Sesederhana itu.
            Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah seperti itu pulalah impian dan imajinasinya. Menemukan seorang lelaki yang dicintai dan mencintainya, kemudian hidup akan memberikannya kebahagiaan hingga mata tertutup selama-lamanya.
            Tapi ternyata tidak seperti itu yang terjadi. Tidak ada yang sederhana, terutama pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Dan hatinya yang begitu mudah berganti warna dan rasa. Mungkin ia yang tak mampu menjadi sederhana. Mungkin ia sendiri yang mengundang dan menginginkan kerumitan ini di dalam hidupnya.
            Ia melirik layar laptopnya yang hampir kosong, hanya berisi beberapa kalimat yang tak menarik sama sekali. Sudah seminggu ini, semua imajinasi dan kreativitasnya hilang lenyap. Cinta ini lama-lama membunuhnya. Cinta? Ia merasa terganggu dengan kata itu. Kata sakral yang dulu baginya merupakan kata tertinggi dari semua kosakata yang dipunyainya. Kini? Kata itu tak lagi terlihat murni baginya. Ataukah ia yang telah salah mengartikan rasanya ini? Mungkin ini bukan cinta. Mungkin ini hanya nafsu berkedok cinta.
            Jeane mengetuk pintu, membuatnya Gina tersentak dari lamunannya.
            “What’s up babe?”
            Gina menggeleng pelan menjawab pertanyaan perempuan cantik dengan wajah lembut itu.
            “Kehabisan ide?”
            Gina terkekeh. “Mungkin kebanyakan ide.”
            “Kau sering melamun akhir-akhir ini.”
            Tak sadar Gina menghela napas.
            “Aku berharap bisa mempermudah semuanya dengan kata-kata mutiara dariku. Tapi kau sendiri pun sebenarnya tahu apa yang harus kau lakukan.”
            Ya, ya, ya... sahut Gina dalam hati. Ia tahu. Ia hanya tak mau melakukannya. Ia tak ingin membuat keputusan apa pun dan asyik berkubang dalam rasa merananya.
            “Wake up, girl...”
            Gina mengalihkan matanya dari laptopnya. Menatap Jeane lurus dengan raut serius.
            “Bagaimana kalau kita pergi?”
            “Ke mana?”
            “Ke mana saja.”
            Jeane duduk di hadapannya. Mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
            “Aku tak suka merokok,” katanya seraya menghembuskan asap rokok pelan-pelan. Matanya yang indah menatap kepulan asap tipis yang terbang sampai menghilang.
            “Berarti kau dan aku berada dalam dilema yang sama,” kata Gina dengan senyum meringis, seakan menertawakan dirinya sendiri.
            “Maybe... Aku hanya suka menemanimu merokok.”
            Kalimat itu menohok hati Gina. Ya, kalimat yang tepat. Sangat tepat.
            “Mungkin ini bukan cinta.”
            Jeane menggeleng. “Itu cinta,” bantahnya lembut namun tegas.
            Gina memandangi Jeane, berpikir betapa beruntungnya dirinya menemukan seorang sahabat seperti perempuan itu. Seseorang yang selalu mencoba mengerti tentang dirinya dan hidupnya yang rumit. Tak pernah berusaha mengubahnya atau menghakiminya.
            “Hanya saja aku merasa kau berhak mendapatkan cinta yang lebih baik dari itu,” lanjut Jeane dengan mimik wajah serius.
            Entah ingin tertawa atau menangis mendengar kalimat itu, kepala Gina tergeleng perlahan.
            “Lalu mengapa aku begitu bodoh, Jeane?”
            “Kau hanya perempuan biasa.”
            Jeane meluruskan punggungnya, diraihnya jemari Gina dengan tangan kirinya yang bebas.
            “Kau yang mengajariku, apa pun keputusan yang ingin aku ambil, jangan pedulikan apa kata orang. Tapi pastikan, aku mampu menerima keputusan itu dengan bulat. Pahit, manisnya. Karena hanya aku sendiri yang akan menjalani konsekuensi dari keputusan itu. Apapun itu yang terbaik untukmu, kau sendiri yang tahu.”
            “Ya, aku merasa seperti orang tolol, yang kehilangan kebijaksanaanku di tengah perjalananku sendiri.”
            Jeane tertawa. “Bukankah kita semua sering seperti itu? Menjadi tolol sesekali dalam hidup yang rumit ini?”
            Gina ikut tertawa.
            “Kau ingat ketika aku kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri hanya karena perlakuan seorang lelaki yang aku panggil suami?”
            “Aku sedang merasakan hal yang sama saat ini. Hanya saja bukan dari seorang lelaki yang aku panggil suami,” balas Gina, tersenyum merasa ingin menertawakan dirinya sendiri.
            “Cinta itu seharusnya membuat kita merasa bahagia dan berkembang. Bukan menyusutkan kepercayaan diri dan harga diri kita.”
            “Dan bila itu menjadi beban, seharusnya kau pertanyakan apakah itu benar-benar cinta yang kau inginkan,” ujar Gina melanjutkan kata-kata Jeane, teringat pada kalimat-kalimat yang pernah ditulisnya sendiri di dalam bukunya.
            “Hey, aku tidak akan pernah menyalahkanmu. Aku pun akan jatuh cinta pada lelaki seperti Hendra. Terlalu sempurna. Tidak ada satupun cela dalam kategori lelaki impian. Tampan, baik, care, sukses. Tidak mudah menemukan lelaki seperti itu.”
            Gina mendesah. “Kau tidak mempermudahku, Jeane... Dengan kata-katamu itu, hanya akan membuat hatiku semakin galau.”
            “Ibaratnya batu berharga, Hendra itu seperti berlian,” lanjut Jeane seakan tak menghiraukan kata-kata Gina barusan.
            Bayangan lelaki tampan itu muncul di hadapan Gina. Lelaki yang telah menempati dan menawan hatinya selama setahun ini. Hatinya bergejolak, begitu banyak rasa yang tak mampu diartikannya sendiri.
            “Hanya saja, aku sedih melihatmu tak bahagia meski kau memiliki berlian itu.”
            Gina menghela napas kembali.
            “Aku merasa berlian itu bukan milikku,” akunya lirih. “Rasanya seperti seorang koruptor yang berusaha menyembunyikan berlian yang diberikan padaku. Berlian yang bukan hakku tapi ingin terus kusimpan. Sementara hatiku mencela, melihat diriku sendiri begitu rendah, memiliki keinginan yang seharusnya tak boleh ada. Bagaimana mungkin bisa kukatakan keinginanku ini tulus, bila pada akhirnya akan merebut kebahagiaan orang lain? Bagaimana mungkin aku bisa berdoa agar Tuhan merestui cintaku ini, bila cinta ini hanya akan melukai banyak orang?”
            Jeane mengangguk.
            “Sudah kukatakan, kau tahu persis apa yang harus kau lakukan.”
            Setetes airmata Gina jatuh mengalir di pipinya.
            “Dia terlalu sempurna. Terlalu indah. Hingga aku pun mau berada dalam kubangan dosa dan rasa bersalah ini.”
            “Bukan sesuatu yang harus kau sesali, bukan? Semua konsekuensi dari keindahan itu juga telah kau bayar dalam penderitaanmu selama ini. Meragukan dirimu sendiri, membenci dirimu sendiri, bahkan hampir lupa bahwa kau berhak untuk berbahagia kembali.”
            Telepon di meja berdering kembali. Dua pasang mata menatap ke nama yang muncul di layar telepon. Bram lagi.
            “Dia masih mencarimu,” kata Jeane.
            “Ya. Sepertinya dia tak pernah lelah.”
            “Bagus.”
            Gina tersenyum kecut. “Mungkin...”
            “Seorang lelaki yang mau memperjuangkan cintanya. Seorang pejuang cinta.”
            Mereka tertawa bersama.
            “Hidup ini lucu,” kata Gina terdengar getir.
            “Tidak,” bantah Jeane. “Kita ini yang lucu.”
            Mereka saling bertatapan. Jeane mengangguk dengan senyum terkulum di bibirnya yang merah.
            “Terkadang kita tidak melihat sesuatu yang ada tepat di hadapan kita. Membiarkan roh kita terpisah, berada di tempat lain. Dan kemudian kita merasa kosong. Seandainya saja kita mau memusatkan diri kita berada di satu tempat saja, di masa ini. Sekarang.”
            Lama Gina terdiam, mencoba mencerna kalimat-kalimat sahabatnya itu.
            “Hey, he’s not bad looking too... I will happy to have him, if you don’t want,” kelakar Jeane memecah lamunan Gina.
            “Go ahead, dear,” balas Gina cepat.
            Jeane menggeleng. “Aku tak mau menderita, hatinya sudah dimiliki orang lain. Meskipun orang tersebut belum sadar sepenuhnya.”
            Kata-kata Jeane seperti tamparan keras bagi Gina.
            “Tapi aku tak yakin bisa memberikan hatiku ini, Jeane.”
            Jeane mengangguk. “Ya. Tapi kau bahkan sama sekali belum mencobanya. Bagaimana mungkin kau tahu kau tak bisa?”
“Sama seperti seseorang yang ingin berhasil dan bertanya kepada gurunya, bagaimana jika aku gagal?” lanjut Jeane. “Pertanyaan yang tidak memiliki jawaban, bukan? Pertanyaan yang timbul karena rasa takut dan ragu.”
            “Kau terlalu banyak bergaul denganku,” kata Gina mendengar kalimat Jeane itu yang dulu juga pernah diucapkannya.
            Jeane tertawa. “Aku murid yang baik.”
            Gina terhenyak.
            “Dan kau guru yang baik,” lanjut Jeane sebelum Gina sempat membuka mulut.
            “Kau tahu, aku perempuan yang sangat beruntung memiliki sahabat seperti dirimu,” ungkap Gina.
            “Well,” Jeane tersenyum. “Berarti kita punya rasa yang sama.”
            Gina tersenyum juga. Ia menarik napas panjang seraya memandangi laptopnya yang masih menyala.
            “Mungkin sudah saatnya mengganti tema cerita. Aku sudah cukup frustasi memikirkan cerita yang tak mampu kutulis ini.”
            Gina menekan tombol delete dan membiarkan satu persatu huruf yang ada di layar terhapus hingga hanya menyisakan layar kosong.
            “Well done,” ucapnya seraya menutup laptopnya. “Pesan dua tiket ke Bali untuk lusa. Kita pergi mencari ide dan kreativitas yang hilang itu.”
            Senyum Jeane terkembang lebar. Dipeluknya sahabatnya itu.
            “I love you, Sis...”
*   *   *
            Laki-laki itu menatapnya begitu dalam. Gina berusaha tersenyum, meski ia merasa tekadnya sebentar lagi akan runtuh.
            “Aku tidak mampu,” kata Gina lirih. “Tidak mampu menghadapi diriku sendiri dan Tuhan.”
            Tak ada balasan dari mulut laki-laki itu. Seakan ia kehabisan kata-kata. Ia mengerti setiap patah kata yang diucapkan perempuan di hadapannya itu. Perempuan yang sangat dicintainya.
            “Sudah setahun aku berusaha membungkam nuraniku ini.”
            Jemari lelaki itu bergerak menyeka airmata yang mengalir perlahan di pipi Gina. Hatinya terasa begitu sakit. Bagaimana mungkin ia bepura-pura tidak tahu perasaan perempuan itu?
            “Maafkan aku, Na...”
            Gina menggeleng. “Bukan salahmu. Keinginanku sendiri untuk merasakan cinta ini. Dan keinginanku pula untuk melepasnya.”
            Hendra menarik Gina dalam pelukannya. Memeluknya erat-erat seakan ingin berkata ia belum rela melepaskan Gina. Lama ketika akhirnya ia melepaskan pelukan itu.
            Dan Gina merasa tekadnya luruh melihat mata lelaki itu basah.
            “Next life, dear...” ucap Hendra lirih. “Aku berharap kita punya kesempatan itu.”
            Gina tersenyum dalam tangisnya. Ia mengangguk, meskipun ia merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Jemarinya bergerak perlahan, menyeka mata lelaki itu. Dirasakannya kulitnya bersentuhan untuk terakhir kalinya dengan wajah yang begitu dicintainya itu.
            Hendra mengambil jemari Gina dan menempelkannya lama di pipinya. Mata mereka bertemu, mengutarakan banyak rasa yang tak mampu lagi mereka ucapkan, karena mereka sama-sama tahu seribu kata pun tak lagi berguna saat itu. Lalu ia mengecup jemari itu perlahan. Matanya tertutup.
            “You know i love you,” ucap Hendra lirih.
            “Ya. Aku tahu,” balas Gina serak. “I know that...”
            Lalu tangan mereka terlepas. Gina tersenyum, seraya menyeka airmatanya.
            “I have to go now.”
            “Take care...”
            “You too.”
            Gina membalikkan badannya, merasa separuh jiwanya tertinggal di sana. Namun ia tetap melangkahkan kakinya. Keputusannya sudah bulat, ini jalan yang dipilihnya untuk membebaskan hati dan jiwanya.
            Ini memang cinta, bisik hatinya. Tapi bukan untukku...
*   *   *

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya