Kamis, 13 Mei 2010

Segelas Teh Manis dan Sepotong Waktu...

Ditemani segelas teh manis, Dian duduk di depan laptop, mencoba menulis sesuatu. Menulis... Belakangan ini jemarinya yang bermasalah atau otaknya yang bermasalah? Dian sendiri tak yakin. Tak banyak yang bisa dituangkannya di layar. Tulis, hapus, tulis, hapus... Seperti itu yang selalu terjadi belakangan ini. Ada virus yang tengah masuk dalam dirinya, pikirannya dan mungkin jiwanya...

Sesosok manusia yang tak pernah benar-benar hilang dari hidupnya, meski belakangan ini sempat berhasil dienyahkannya. Kini sosok itu masuk kembali menari-nari di benaknya. Bukan dengan tarian yang indah, tapi dengan tarian sendu yang menyedihkan. Membuatnya larut dalam rasa tak bahagia. Rasa sesal? Atau lebih tepatnya rasa bersalah? Tapi salahkah dirinya? Masih ada sisa ego yang tertinggal hingga hari ini yang membuatnya tak ingin duduk di kursi terdakwa.

Hidup hanya sebentar... Kalimat itu kerap diucapkan. Kalimat itu selalu terngiang di kepalanya, terutama saat ia teringat pada sosok itu. Tapi... Sekali lagi, tapi, tetap saja masih ada enggan muncul ketika ia terpikir untuk mengangkat telepon atau mengirimkan sebuah pesan singkat: Hai, apa kabar? Semoga baik-baik saja. Kedengarannya klise sekali, bukan? Sangat basa-basi? Sepertinya... Tapi bila tidak demikian bunyi kalimat tersebut, apa yang harus dituliskannya? Pengakuan bahwa dirinya rindu? Lalu bisakah ia juga mengakui bahwa di antara rindunya masih ada rasa tak rela menjadi orang yang dipersalahkan?

Dilema... Hidup ini memang penuh dilema. Dian tak mampu menuangkan rasanya dalam kalimat-kalimat apalagi dalam kata-kata kepada seseorang. Dia tak yakin ada yang mampu mengerti. Dia bosan mendengar penghiburan. Juga muak akan penilaian serta penghakiman dari yang tak benar-benar memahami dirinya dan semua cerita ini. Bahkan dari seseorang itu yang kini sering hadir dalam momok menakutkan. Ya, sosok rapuh yang terkadang berubah menjadi monster tak nyata yang meneror kebahagiaan dan kepercayaan dirinya.

Mungkin Dian harus membuat sebuah pengakuan. Tapi pengakuan seperti apa? Dia malah khawatir pengakuan polosnya akan membuat banyak sanggahan dan berakhir sebagai pertikaian baru. Hhhhh... Begitu rumitnyakah yang dinamakan perasaan itu? Seandainya mereka adalah pria-pria, mungkin semua ini lebih mudah diselesaikan. Bukankah pria selalu bangun dan hilang ingatan akan kejadian kemarin? Mungkin itu juga yang menjelaskan mengapa di sekitarnya kini yang tertinggal hanya pria-pria. Mungkin karena dia merasa nyaman berhubungan dengan mereka semua, dengan tidak banyak menuangkan perasaan di dalam hubungan itu. Terbekatilah para pria....

Teh manisnya tinggal setengah gelas. Tapi layar laptop masih kosong. Bukan benar-benar kosong, tapi telah dikosongkan kembali. Berkali-kali, bukan hanya sekali. Yang menandakan bahwa hari ini Dian masih belum mampu menuangkan gelisah hatinya. Dan hari ini ia masih harus membiarkan dirinya dipeluk keresahan. Akhirnya ia menutup laptopnya, memutuskan untuk menyerah pada hari ini. Masih ada besok, hibur hatinya. Dan masih akan ada segelas teh manis yang lain. Mudah-mudahan besok dan segelas teh manis yang lain tidak akan berkomplot seperti hari ini. Mudah-mudahan, doa hatinya sebelum meneguk isi gelas yang tertinggal...

Minggu, 09 Mei 2010

Bila Kubisa Hidup Sekali Lagi...


Mungkin kau tak akan pernah tahu rasa yang ada di hati ini. Atau mungkin kau sebenarnya pun tahu, hanya saja kau tahu akan batas yang tak seharusnya kau lewati. Aku tak tahu... Aku tak pernah yakin... Saat kau datang dan berbagi padaku tentang duniamu, sering aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Mengapa kau ceritakan begitu banyak padaku? Aku yang bukan siapa-siapa untukmu ini. Aku merasa kau meletakkan begitu banyak kepercayaan di diriku. Kepercayaan yang kini membuat hatiku lebih sering gundah.

Hidupku ini bak sebuah cerita sederhana yang tertulis dengan rapi dan indah. Itu sebelum kau datang dan menjadi bagian dalam cerita hidupku. Kini cerita itu tak lagi rapi tertulis. Semuanya menjadi tak beraturan. Bahagiaku tidak lagi menjadi sederhana, seperti kala aku membuka mata pada pagi hari menyambut mentari. Kini bahagiaku menyeruak hanya ketika kau datang. Seakan-akan kau telah menyingkirkan pesona sang mentari dan menjadi mentari itu sendiri bagi diriku.

Kau membuatku tersenyum dan tertawa, di saat awan muram merangkul hari-hariku. Bahkan kau kerap menjadi seperti malaikat penjaga jiwaku. Melakukan begitu banyak hal yang membuatku merasa begitu penting sebagai seseorang. Begitu beruntung. Begitu berharga. Meski sampai detik ini aku tak menemukan satu alasanpun yang sungguh-sungguh bisa menghapus raguku, untuk semua kebaikan yang telah kau lakukan.

Kau sering terdiam dengan sabar mendengarkan semua keluh kesahku, yang terkadang mengalir begitu lancar tanpa kusadari. Dan saat aku tersadar, aku tertegun. Cerita hidupku ini harusnya bukan cerita yang menarik untuk dirimu yang memiliki hidup yang penuh warna. Tapi kau bukan hanya mendengarkan saja. Kau sungguh-sungguh mendengarkan dan menyimak. Dari semua kesulitan dan ketidakbahagiaanku, kau mencoba melakukan banyak hal untuk mengubah hari-hariku. Tanpa menjelaskan padaku mengapa dirimu begitu peduli. Tanpa kumengerti mengapa kau bersikap seperti ini. Dan aku tak pernah punya keberanian untuk bertanya padamu. Aku takut, takut jawaban darimu akan menghancurkan seluruh cerita yang tak pernah kuinginkan berakhir ini.

Aku tak pandai bersandiwara. Aku bukan seorang aktor. Tapi aku kini pun bukan seorang bocah kecil yang bebas berlari dan mengekspresikan diri. Aku kini hidup dalam duniaku yang penuh dengan ikatan aturan dan tanggungjawab. Yang tak pernah bisa aku persetankan begitu saja hanya demi sebuah rasa dan hasrat diri. Karena inilah diriku, yang lahir dan terbentuk dari begitu banyak tangan-tangan kebaikan yang selamanya ini selalu mejagaku dengan baik. Yang tak bisa kulupakan atau kutinggalkan begitu saja tanpa rasa sesal yang tertinggal.

Hidup tak pernah menjadi mudah, bukan? Ketika kau berpikir bahwa bahagiamu telah utuh kau genggam erat dan tiba-tiba bahagia lain datang menggoda. Dengan wajah yang lebih bersinar indah, mengajakmu untuk pergi bersamanya. Bila kukatakan itu adalah bisikan hati, dari lubuk hati yang terdalam, lalu apakah semua ini akan bisa menjadi pembenaran diri? Ataukah selamanya, tak akan menjadi jelas antara kebenaran dan yang bukan kebenaran itu sendiri?

Aku kini bak seekor burung camar yang telah terkurung di pulau sunyi ini, pulau yang telah menjadi darah dan dagingku. Ketika dirimu datang, menyapaku, bermain denganku, baru kusadari ada indah dunia lain di luar sana. Dunia yang tak mungkin kujamah lagi. Namun, bila kapal yang akan membawa dirimu pergi telah siap berlayar suatu hari nanti, aku hanya bisa bersedih dalam diam, menatapmu pergi dari pulau ini. Tanpa bisa mengepakkan sayapku lagi, meski hasrat ingin terbang bebas mengikuti ke mana kau pergi.

Bila saja kubisa hidup sekali lagi, tak perlu kupertanyakan semua ini. Akan kupaparkan kejujuran hati dan pikiranku padamu. Sepolos lontaran kata seorang bocah kecil. Dan bila saja kubisa hidup sekali lagi, akan kuabdikan hidupku padamu, untuk membalas semua yang telah kau lakukan tanpa banyak kata padaku. Karena jujur, semua ini sungguh berarti dan menyentuh jiwaku. Namun hanya bila kubisa hidup sekali lagi, karena kini hidupku telah kuabdikan pada yang lain...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya