Kamis, 17 Desember 2009

Rearrange Items on Your Hard Disk to Make Programs Run Faster


Klik start, pilih setting lalu control panel, kemudian pilih performance and maintenance dan akhirnya klik 'rearrange items on your hard disk to make programs run faster'.

Setiap hari, proses itu kulakukan. Mengapa? Seperti yang telah dijelaskan kalimat panjang itu, mengatur kembali semua yang ada di hard disk agar program berjalan lebih cepat.

Pagi ini ketika aku akan melakukan hal itu lagi tiba-tiba terlintas di benakku. Ini seperti proses kehidupan juga. Harusnya dalam diri kita juga ada sistem 'rearrange items' untuk mengatur kembali semua file-file yang ada dalam diri kita. File-file yang jumlahnya sangat banyak dan menumpuk, yang sering kita ambil dan buka kembali lalu kita tutup lagi. Yang terkadang kita letakkan dengan asal-asalan saja, sehingga semuanya menjadi tak beraturan. Dan terkadang semua itu menjadi begitu berantakan yang akhirnya membuat kita sendiri menjadi merasa ada kekacauan di dalam diri, yang menghadirkan stress berkepanjangan.

Sesekali juga kita mungkin perlu meng-klik 'Free up space on your hard disk'. Pasti banyak file-file tidak berguna, yang selama ini kita biarkan tetap ada di dalam diri. Masalah-masalah lama yang tak berguna, yang tidak kita sempatkan untuk buang. Yang hanya memberatkan diri selama ini. Yang tanpa kita sadari, menjadi penghambat kebahagiaan diri. Juga ada perasaan-perasaan negatif, rasa sakit, rasa marah, rasa benci, rasa malu, rasa tidak percaya diri, dan masih banyak rasa-rasa lain, yang juga sebenarnya memperlambat diri untuk terus bergerak maju dalam kehidupan ini. Bila saja kita mau memilah-milah mana file-file yang tidak baik dan baik untuk diri. Dan kemudian membuang file-file yang tidak kita perlukan lagi dan mengaturnya kembali dalam susunan yang teratur...

Belajar dari cara kerja komputer, kita bisa setiap hari melakukan dua pekerjaan itu, menghapus dan mengatur kembali. Dan dengan begitu mungkin seperti komputer, diri kita dan hidup kita akan berjalan dengan lebih ringan dan cepat.

Photo Link: http://csg.trinhall.cam.ac.uk/tips/smb/img/xp-perfmaint.png

Rabu, 16 Desember 2009

Goyah...

Perjalanan ini terasa semakin berat. Langkah kakiku semakin tersendat. Semakin sering kuseret kakiku, memaksanya untuk terus melangkah maju. Terseok-seok, bak seorang pincang yang gemetar, tak punya kepercayaan diri.

Apa itu semangat? Aku kini tak mengerti arti kata sederhana itu. Adakah semangat itu tertinggal di diriku ini? Inikah bukti semangat dalam diriku dengan langkah yang terseok-seok berusaha untuk tetap maju? Ataukah ini bukti dari pupusnya semangat, dan sebentar lagi mungkin akan sirna selamanya? Dan saat itu mungkin aku hanya bisa terpuruk, tak mampu lagi melangkah, bahkan tak mampu lagi berdiri.

Belakangan ini saat mataku membuka kembali, menyambut mentari, mengapa dunia terlihat begitu gelap? Mengapa hidupku terlihat suram, tak berwarna? Mengapa sinar mentari itu tak juga menyinari hidupku ini? Apa gunanya dirinya di atas sana? Bila hanya jadi hiasan indah tak berarti? Ataukah aku yang telah buta? Hatiku yang telah buta tak bisa melihat sinar indahnya? Ataukah sinar itu sebenarnya ada di sana, hanya saja aku telah menutup pintu hatiku, sehingga mataku pun tak berfungsi lagi? Hatiku gelap, hidupku juga ikut menjadi gelap. Mungkinkah?

Berulang kali kudengar kalimat ini, buka pikiran, buka hati. Berulang kali kudengar mereka bilang, pikiran mau seluas samudera, hati mau sebesar langit di atas sana. Bagaimana mungkin aku bisa meluaskan pikiran dan membesarkan hatiku? Dengan cara apa? Dengan alat apa? Lagipula bagaimana aku tahu seluas apa samudera itu? Sebesar apa langit itu?

Apa aku yang terlalu bodoh, tak mengerti apa yang mereka katakan? Benarkah aku ini bodoh? Kadang aku merasa seperti seorang idiot. Kadang aku merasa seperti orang dusun yang dihadapkan pada tempat dan situasi yang terlalu rumit untuk bisa kuhadapi. Tapi aku tak rela dikatakan bodoh. Aku tak rela dipandang rendah. Tapi semakin aku tak rela, semakin aku merasa orang-orang meremehkanku. Seakan aku ini tak punya apa-apa untuk kubanggakan. Seakan aku ini begitu miskin. Miskin segalanya. Bahkan miskin cinta...

Terkadang aku benci melihat mereka tersenyum dan bahagia. Sebenarnya aku iri pada mereka. Aku tak tahu bagaimana bisa tersenyum dan bahagia. Aku juga ingin. Tapi aku berlagak seakan aku tak tertarik pada hal itu. Berlagak seakan hal itu tidak penting bagiku. Berlagak seakan aku tak kurang suatu apapun. Padahal aku selalu terpuruk di sudut duniaku, selalu kembali meratap sendiri. Meratapi hidupku. Meratapi diriku. Meratapi orang-orang yang seakan tak pernah peduli. Ya, kesombongan diri ini begitu menjerat diriku, mungkin suatu hari nanti akan membunuhku...

Sebenarnya aku butuh mereka. Aku butuh cinta dari mereka semua. Aku butuh ditolong. Aku butuh seseorang memegang tanganku untuk menguatkan kaki dan langkahku yang goyah ini. Hanya saja aku tak tahu bagaimana harus meminta. Bukan. Aku terlalu sombong untuk meminta. Tidak... Sebenarnya bukan karena kesombongan semata, tapi lebih karena aku tak punya kepercayaan diri. Aku tak punya cukup kepercayaan bahwa diriku ini berharga di mata mereka. Juga tak punya cukup kepercayaan pada mereka. Aku takut mereka akan menolakku. Aku takut mereka akan mengecewakanku. Terlalu banyak luka hatiku yang tak sanggup kurawat dan belum mampu kurelakan untuk sembuh. Karena aku tak berani untuk percaya bahwa ada bahagia di depan sana untukku. Bahwa aku ini pantas untuk dicintai...

Photo Link: http://farm1.static.flickr.com/213/508715784_b6124f74dc.jpg

Senin, 14 Desember 2009

Dear My Friend (2)


Berapa tahun telah berlalu? Dua belas? Sepertinya... Sejak terakhir pertemuan kita yang tak indah itu. Aku masih ingat hari itu ketika kita menghabiskan waktu berdua dengan berbagi cerita. Tak pernah menyangka itu hari terakhir aku melihatmu. Bila seandainya saja aku tahu, mungkin tak akan rela aku membiarkanmu melangkah pergi.

Kau tak selalu ada, tak selalu hadir. Tapi kau selalu kembali. Aku ingat tak peduli berapa lama jeda waktu yang tercipta di antara kita, kau pasti kembali lagi. Dan aku tak pernah menunggumu pulang karena aku begitu yakin kau pasti akan selalu pulang. Di sini, di sampingku, menjadi seorang sahabat yang sangat berarti bagiku.

Kita selalu punya cerita untuk dibagi. Bukan cerita yang istimewa, juga bukan rahasia diri yang tak terucapkan pada orang lain. Hanya cerita-cerita sederhana, tentang keseharianku dan keseharianmu. Namun rasanya, dirimu bak seorang karib yang telah jutaan tahun bersama. Selalu ada tawa dan canda kau bagi, membuat hidupku yang gersang sedikit berwarna. Di sanalah letak keindahan persahabatan kita, dalam kesederhaan kebersamaan kita.

Suatu hari aku tersadar bahwa waktu telah berlalu terlalu lama dan kau tak juga kembali... Seakan dibangunkan dari mimpi indah dan harus melihat kenyataan yang menyakitkan. Di mana dirimu kini? Sedang apa? Bagaimana kabarmu? Baik-baik sajakah? Aku ingin tahu. Aku ingin melihatmu lagi. Aku ingin mendengar suaramu berbagi cerita lagi. Dan juga begitu banyak cerita hidupku yang ingin kusampaikan padamu.

Seandainya kau tahu, aku telah banyak berubah. Diriku dan hidupku ini. Aku kini lebih banyak tersenyum dan tertawa. Hidupku kini dikelilingi banyak orang-orang yang menyayangiku. Sahabat-sahabat yang menemani langkahku yang terkadang masih goyah. Seperti yang dulu sering kau lakukan untukku. Mungkin kau sendiri tak menyadarinya. Namun meskipun kini banyak yang menggantikan tempatmu, namun sosokmu sendiri tak pernah sirna dari kenangan masa silam. Selalu ada di sana. Selalu hidup, tak pernah lekang dimakan waktu atau jarak.

Sepanjang perjalanan hidup yang berliku ini, kerap kali di saat aku sendiri, aku teringat akan dirimu. Kerap kali ada kesedihan menyusup, bertanya pada diri mengapa bisa kehilangan jejakmu. Dan selalu ada seuntai doa, menitip pesan kepada yang Di Atas sana, meminta-Nya untuk mempertemukan kita kembali. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu kini. Dan bila akhirnya aku tahu kau baik-baik saja, semua beban kekhawatiranku akan lepas dari diri ini.

Hari ini menemukanmu kembali. Tak bisa kutahan senyumku, bahagiaku... Melihat dirimu dan kehidupanmu kini dari mataku yang buram karena menahan airmata yang muncul karena hatiku yang dipenuhi rasa syukur. Terima kasih Tuhan... Setelah begitu lama penantianku yang serasa tak berujung ini. Kau kini begitu berbeda. Tapi aku tetap menemukan mata yang sama itu. Mata yang dulu sering bersinar jenaka. Kau kelihatan baik-baik saja. Bukan, harusnya kau lebih dari sekedar baik-baik saja. Kau sepertinya telah punya kehidupan bahagia di sana. Teman, aku ikut bahagia untukmu.

Teman, hidup ini tak pernah menjadi terlalu panjang. Membuatku mensyukuri setiap langkah yang kuayun. Juga orang-orang yang pernah datang menemaniku. Dirimu, jejak langkahmu, tak pernah aku lupakan. Selalu membekas, terkadang menjadi sebuah semangat ketika aku tengah jatuh. Terkadang menjadi sebuah penghiburan ketika aku tengah berduka. Tak ada kata yang bisa kuucapkan untuk melukiskan rasa hatiku ini. Sebelum waktu berlalu lagi dan mungkin membawamu pergi lagi, aku ingin mengucapkan terima kasihku padamu. Terima kasih, Teman... Terima kasih telah menjadi sahabatku dulu kala... Terima kasih telah membagikan senyum, tawa dan waktumu untukku...

Teman,
Kau bagai lantunan nada penghibur lara
Kau bagai sebuah tonggak yang kuat tempat kubersandar dan bangkit kembali
Kau bagai sepasang sepatu yang menemani langkah hidupku
Kau bagai matahari yang membagikan cahaya dalam kegelapan
Dan kadang kala di gelapnya malam, kau menjadi bintang kecil, yang begitu jauh di sana, kadang terlupakan olehku, namun kau selalu berkelip, mengirimkan pesan harapan bagiku...
Terima kasih...

Photo Link: http://www.crystalfloridaonline.com/images/spe429-C.jpg

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya