Sabtu, 05 Juni 2010

Sepotong Catatan Hidup...

June 5, 2010
Jakarta

Pagi ini aku bersiap mengunjungi seorang teman baik di rumah sakit. Anaknya sakit. Sakit parah yang entah bisa disembuhkan atau tidak. Namun ada harapan sembuh, itu menurut data statistik yang ada. Hanya saja butuh waktu dan pengobatan yang mahal, panjang dan menguras energi. Energi sang Anak dan energi jiwa si Ibu. Entah ini kabar yang melegakan atau malah sebaliknya. Bagiku sama saja. Dari semenjak mendengar kabar itu, aku merasa tak pantas untuk bisa tersenyum lagi.

Dia bukan siapa-siapa untukku. Itu benar. Kalau ditinjau dari darah, kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Tapi dalam hidupku yang tidak ramai ini, yang diisi dengan hanya beberapa orang saja, dia benar-benar seseorang untukku. Aku ingat awal pertemanan kami dulu. Semuanya begitu lancar mengalir hingga hari ini. Dia bukan tipikal orang yang selalu ceria dan berbagi cerita. Tidak. Aku lah si pendongeng setiap kali kami bertemu. Dan dia, selalu mendengarkan dengan setia. Terkadang aku mengingatkan diri untuk tidak banyak berceloteh lagi di pertemuan berikutnya. Aku pikir, mungkin sebenarnya dia juga ingin bercerita tentang dirinya, hanya saja aku tidak memberinya kesempatan. Lalu pada kali berikutnya, tetap saja aku menjadi pendongeng. Tetap saja dia tersenyum, tertawa dan mendengarkan dengan serius. Butuh waktu yang lama hingga akhirnya aku mengerti, dia suka mendengarkan cerita hidupku. Mungkin seperti pergi menonton film atau membaca sebuah buku, atau makan ice cream sambil memperhatikan orang-orang sekitar. Sebuah kesenangan. Sebuah hiburan. Dan aku baru mengerti bahwa tidak semua orang suka bercerita. Dan tidak selamanya berteman berarti harus saling berbicara. Terkadang kau menemukan seorang teman baik, yang di mana saat bersamanya kau merasa nyaman tanpa perlu melakukan atau mengatakan apapun. Itulah bentuk hubungan kami. Hubunganku dengan dia.

Aku selalu menganggapnya sebagai sebuah bagian yang penting, meski kami jarang bertemu. Terkadang dengan kata-katanya yang sedikit, dia membagikan kebijaksanaan hidup padaku. Sering aku malah belajar tentang hidup dan manusia itu sendiri dari dirinya. Dan aku bangga memiliki teman sepertinya. Bukan karena kesempurnaannya, tapi lebih karena kesederhanaannya dalam sebuah diri yang sesungguhnya sangat hebat.

Belakangan menemaninya dalam sebuah jalan pendek berkerikil tajam, babak baru kehidupannya, aku sempat memaki kehidupan. Hidup yang tiba-tiba begitu kejam padanya. Seperti sebuah tsunami yang memporakporandakan kehidupan damai di sebuah tempat yang damai. Aku sempat khawatir, akankah kedamaian itu kembali lagi? Tapi ternyata, damai itu berganti dengan sebuah kebahagiaan baru ketika cahaya mentari datang menyinari tempat itu. Aku melihatnya memunguti serpihan-serpihan hidupnya. Dan aku melihatnya merekatkan serpihan-serpihan itu dengan sabarnya. Dan sepanjang waktu itu aku kembali belajar tentang kebesaran hati. Aku telah memaki, namun dia yang menjadi obyek penderita tak mengeluarkan sebuah kata umpatan.

Perjuangan hidupnya kuikuti bak sebuah cerita episode yang tak bisa kutinggalkan. Ada harapan di sini, di hatiku. Harapan bahwa cerita akan berakhir happy ending. Dan ketika sesosok manusia baru lahir dari rahimnya dan membawa kebahagiaan baru, aku menarik napas lega. Babak baru kehidupan dimulai. Episode baru. Episode yang menggembirakan. Episode kemarin yang penuh duka dan airmata telah berganti.

Tapi aku salah. Baru sepotong episode, cerita telah berubah. Berganti menjadi duka kembali. Cahaya yang ada perlahan meredup. Kabar buruk datang. Si anak sakit. Aku terpuruk. Kali ini bukan memaki kehidupan, tapi melontarkan protes pada si Pencipta. Apa yang Kau inginkan??? Sungguh, bukan aku ingin menjadi murtad. Tapi sakit ini, seperti sesuatu yang akan direnggut dariku. Dia bukan darah dagingku. Bukan juga siapa-siapa. Tapi anak itu, permata hatinya. Dia, sosok luar biasa yang telah kuikuti jalan hidupnya selama ini. Dia harusnya pantas mendapatkan yang lebih baik dari apa yang terjadi sekarang ini.

Tapi siapakah aku ini yang berhak menilai? Aku hanya seorang bodoh yang tak pernah mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya. Aku hanya terlalu tolol untuk bisa mengerti maksud sang Pencipta. Pasti ada maksud baik di balik semua ini. Yang terbaik menurut-Nya. Meski aku tak tahu apa itu. Meski aku tak bisa menerka hingga detik ini. Semoga. Aku berharap. Sangat berharap...

Hidup dan mati adalah sebuah misteri yang tak pernah benar-benar terpecahkan. Siapakah kita ini manusia, hingga mampu berbicara, berbuat dan mengerti secara sempurna? Kita yang selalu penuh dengan keinginan diri, harapan dan mimpi... Kini aku hanya berharap jalan berkerikil tajam ini akan cepat berakhir, jangan tak berujung. Dan hanya berharap, bila memang jalan ini harus dilewatinya, semoga aku dapat menjadi sepatu baginya. Ikut merasakan sakit dan perihnya, agar sakit dan perihnya bisa berkurang dan tak merobek-robek jiwanya.

Semoga...

Rabu, 02 Juni 2010

Cinta Yang Samakah?


Apakah kita bicara tentang cinta yang sama? Seperti apakah cintamu? Cinta tanpa batas dan syarat? Ataukah cinta yang hanya kebetulan juga bernama cinta, namun tak punya sayap untuk terbang bebas? Yang selalu dibalut dengan ikatan yang menyesakkan. Dengan berjuta alasan atas nama kebahagiaan yang tak pernah berwujud nyata. Hanya ada dalam impian yang terasa semakin mengabur. Ditemani harap yang tinggal memiliki napas satu-satu...

Tak tahu apakah telah mati ketika masih hidup. Ataukah berharap tetap hidup dalam kematian. Dan begitu tragisnya, tak tahu menghitung tahun, bulan, hari, ataukah jam, menit atau detik... Kau tetap tak punya secuil keberanian membebaskan cintamu. Melihatnya terbang bebas. Tersenyum. Bahagia. Merelakan bahagia mengisi seluruh relung jiwanya. Meski mungkin bahagianya tak menyisakan tempat untukmu. Atau mungkin masih ada tempat di sana? Siapa yang dapat menjawabnya? Kau? Aku tidak...

Jadi, apakah kita bicara tentang cinta yang sama? Karena telah kubuka ikatan pada sayap cintaku. Kini kulihat dia terbang bebas. Sebebas jiwaku kini. Dan bila mati mendekat atau hidup berulang, tak akan ada perbedaan apapun bagiku.

Karena setidaknya aku telah pernah bahagia..

Photo Link: google

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya