Selasa, 29 Desember 2009

Hidup Bagai Sebuah Jalan...


Duduk dalam mobil, menatap jalan di depan, tiba-tiba aku disadarkan akan hidup yang telah kulewati. Ya, hidup ini juga bagai sebuah jalan. Dan kita semua bagai kendaraan-kendaraan yang lalu lalang, yang mengarah ke suatu tempat dengan tujuan masing-masing. Ada yang searah. Ada yang setujuan tapi tidak searah. Ada yang hanya berjalan bersama sampai titik tertentu dan kemudian berpisah di tikungan tertentu, ada juga bisa yang terus bersama-sama hingga akhir.

Kerap kita berhenti di lampu merah yang sama, bersisian, saling memandang tanpa saling mengenal. Kerap kita saling memberi senyum ramah, sekedar sebuah tanda perkenalan yang singkat. Tapi kerap juga kita bersisian atau saling melewati tanpa saling memandang dan memperhatikan karena kita masing-masing sibuk dengan pikiran masing-masing.

Ada juga orang-orang yang kita ajak sekendaraan. Orang-orang yang telah kita pilih untuk bersama-sama berjalan dalam hidup ini. Suami, istri, anak-anak, orangtua, saudara dan sahabat-sahabat. Tapi sering pula terjadi bahwa pilihan itu akhirnya berubah. Sering kita terpaksa merelakan orang-orang tersebut memilih kendaraan yang lain, bersama dengan orang yang lain. Seperti dalam perceraian misalnya. Atau mereka yang memang tak bisa bersama-sama dengan kita karena telah sampai duluan pada tujuan mereka. Yang harus turun pada tempat tertentu. Ya, seperti saat kematian datang...

Dalam perjalanan panjang yang terkadang membuat kita bertanya-tanya berapa lama lagi kita akan sampai ke tujuan, kita selalu berharap perjalanan itu lancar-lancar saja. Tapi terkadang kita menemui hambatan atau musibah. Tanpa kita sangka-sangka terjadi kecelakaan. Kecelakaan ringan seperti terserempet kendaraan lain. Sama seperti dalam hidup ketika seseorang menyerempet kita baik dengan kata-kata atau perbuatan yang membuat kita terluka. Lalu apa yang terjadi saat kendaraan kita diserempet? Marah? Ya, reaksi pertama yang umumnya terjadi bila kita terserempet adalah marah atau kesal. Turun dari mobil dengan wajah tertekuk, memeriksa kendaraan kita dan minta pertanggungjawaban dari si penyerempet. Bila si penyerempet turun dengan wajah bersalah dan permintaan maaf, kita biasanya kemudian memilih jalan damai. Claim asuransi saja, atau bayar ganti rugi. Tapi bila si penyerempet yang jelas-jelas sudah salah malah turun dengan wajah marah dan balik menyalahkan kita, apa yang terjadi? Kita biasanya bertambah marah dan ngotot membela kebenaran kita. Logikanya memang kita berhak membela kebenaran kita. Tapi kejadian tak selalu harus seperti itu. Reaksi masing-masing orang berbeda. Ada yang mengalah dan memilih tidak mempermasalahkan kejadian itu. Ada yang menuntut ganti rugi hingga harus ke kantor polisi. Ada yang esok harinya sudah melupakan peristiwa itu. Ada yang bertahun-tahun masih menyimpan marah dan dendam. Mengerti... Mengalah... Kata-kata yang memang sulit untuk dijunjung. Tapi di balik sikap mengerti dan mengalah untuk tujuan damai, selalu ada sebuah berkah dan ketenangan untuk diri sendiri.

Terkadang pula kita yang tanpa sengaja, tanpa ada maksud, menyerempet orang lain. Terkadang kita bertemu orang-orang yang tidak mempermasalahkan kerugian atau kerusakan yang kita timbulkan. Orang-orang yang mau berbesar hati mengerti bahwa kita hanya kurang hati-hati tanpa ada maksud lain dan menerima permintaan maaf kita. Aku ingat kejadian nyata pertama kali membawa mobil dan belum tahu cara memarkir yang benar. Yang kemudian membuatku menabrak mobil belakang, milik teman kos. Waktu itu aku begitu ketakutan, meski ada asuransi yang bisa membayar. Sudah kubayangkan semprotan yang bakal dikeluarkan dari teman tersebut. Tapi sebaliknya orang itu hanya menghela napas beberapa kali dan menolak penggantian kerugian memakai asuransi. Dia malah memilih memperbaiki sendiri mobilnya yang penyok tanpa meminta ganti rugi dariku. Serta memaafkan kesalahanku saat itu juga. Yang akhirnya membuatku termenung sendirian. Masih ada orang baik berhati lapang seperti itu? Orang yang bahkan tidak aku kenal, yang hanya kutahu bahwa dia sekos-an denganku.

Kadang di perjalanan juga terjadi kecelakaan besar, yang membuat si penumpang luka berat dan kendaraan hancur tak berbentuk. Kasus besar. Ada orang yang menjadi korban. Ada orang yang harus disalahkan. Dalam kehidupan ini, peristiwa seperti itu bisa menjadi dendam yang membuat hubungan antar korban dan si pelaku putus selamanya. Tapi siapa sebenarnya yang mengira ini akan terjadi? Tak ada yang mengharapkan hal yang buruk terjadi. Tapi begitulah situasi jalan yang dipenuhi berbagai kendaraan. Serempet-menyerempet pasti terjadi. Sama seperti situasi hidup ini yang dipenuhi berbagai orang dengan kepentingan yang berbeda-beda. Akan terjadi gesekan-gesekan. Tinggal bagaimana kita memilih untuk menyikapinya. Inilah kenyataan hidup yang seperti suasana jalan. Bahwa hidup bukan hanya jalan yang lancar, yang berisi senyum, tawa dan bahagia. Tapi juga terkadang hidup diwarnai dengan perselisihan, ketidaksetujuan dan juga perbedaan akan kebenaran. Karena kita berjalan dalam satu jalan yang sama. Dalam hidup yang sama.

Aku percaya bahwa bisa bertemu orang-orang yang kini ada dalam hidupku adalah takdir dari Yang Di Atas. Aku juga percaya bahwa setiap peristiwa dan kejadian membawa sebuah pesan tersendiri. Juga bahwa setiap orang yang datang dalam hidupku membawa misi dan tujuan tersendiri. Dan semua itu harus disyukuri dan direnungkan kembali. Bukan disesali atau dibenci.

Tak ada yang terlalu penting di hidup ini untuk dijadikan dendam yang tak berakhir. Tak ada yang terlalu penting di hidup ini untuk tidak dapat dimaafkan. Karena kita semua sama. Suatu saat tanpa sengaja kita yang menyerempet dan meminta maaf. Suatu saat ada yang menyerempet kita dan mengharapkan maaf dari kita. Karena itu, mudah-mudahan kita bisa belajar berbesar hati dan mengikhlaskan segalanya untuk sebuah kedamaian dalam hidup yang singkat ini. Dan menghargai takdir kebersamaan yang telah diatur Yang Di Atas pada kita.

Photo Link: google

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya