Selasa, 15 September 2009

Selamat Datang Baby...


Saat mendengar berita kelahiranmu, rasanya semua yang saat itu mengisi kepalaku lenyap seketika. Hatiku meledak gembira. Tak bisa kutahan senyumku. Dan kakiku segera berlari dengan luapan energi membawa berita kedatanganmu ke dunia ini. Selamat datang, Baby...

Mataku terasa panas, ingin rasanya ku menangis. Bukan aku sedih. Bukan. Aku terlalu bahagia. Rasa syukur memenuhi diriku, membuatku mengucap terima kasih berulang-ulang kepada-Nya. Aku begitu mencintaimu, menantikanmu. Meski kau bukan darah dan dagingku, meski kau bukan berasal dariku. Tapi kita telah lama mengenal bukan? Sejak kau berada dalam rahim ibumu. Dia, wanita yang begitu tegar dan percaya diri. Dia yang pernah ditampar oleh getirnya kehidupan. Yang kemudian bangkit dari rasa terpuruknya dan berjalan lagi. Memutuskan untuk membawamu bersamanya, menghadapi dunia yang tak pernah ramah pada kalian.

Kau benar-benar adalah buah cinta. Lihat matanya saat dia mengelus-elus perut, tempat di mana kau berada. Bahkan ketika kau membuat sebuah gerakan di dalam sana, senyumnya selalu terkembang. Senyuman seseorang yang sedang jatuh cinta. Ya, dia jatuh cinta padamu. Ibumu.

Nak, bila kau besar nanti, akan kuceritakan kisah perjalanan hidupmu. Akan kuceritakan saat manis yang kita lewati bersama. Akan kuceritakan wajah ibumu ketika bercerita tentang dirimu. Akan kuceritakan perjuangannya yang sarat dengan beban dan kekhawatiran namun tak pernah meneteskan airmatanya. Bukan dia berpura-pura, juga bukan karena dia tak memiliki hati. Tapi karena dia tak mau merasa sedih di hadapanmu. Tak ingin setetes airmata pun menjadi ketidakbahagiaan jiwamu di dalam sana.

Dan karenamu, dia selalu tersenyum dan bahagia. Kau lah yang membuatnya memalingkan wajah dari dukanya yang mendalam. Dari sakit dan kecewanya pada cinta. Kau lah yang membawa energi itu dan mengalirkannya ke dalam setiap sel tubuhnya. Karena kalian selalu dan selamanya menyatu.

Nak, kudoakan kau jadi seseorang yang bahagia. Agar senyum dan tawa selalu menghiasi hari-harimu. Agar harapan selalu jadi cahaya untuk hidupmu nanti. Bila kau bersedih, aku akan nyanyikan lagu bahagia untuk mengusir sedihmu. Dan saat kau jatuh, aku akan ada di sana, memberimu semangat lagi untuk bangkit dan tak pernah menyerah.

Aku selalu mencintaimu. Seperti aku mencintai ibumu, sahabatku. Begitu panjang jalan yang telah kami lewati bersama hingga sampai di hari ini. Di mana kini kami telah sama-sama menjadi orang-orang yang mampu berdiri tegar menghadapi hidup ini. Saling menopang di kala langkah kaki goyah. Yang aku tahu, tak pernah ada rasa takut untuk melangkah karena dia selalu ada untukku. Begitu pun diriku untuknya. Dan kini, diriku untukmu.

Selamat datang, Nak... We love you :-)

Photo Link: http://www.fotosearch.com/CSP021/k0217149/

Senin, 14 September 2009

Topeng


Sadarkah kau topeng yang tengah kau kenakan?
Saat kau bersedih, saat hatimu hancur, kau ambil topeng dengan raut wajah bahagia, dengan bibir tertarik membentuk senyuman. Dan kau kenakan untuk menghadapi dunia, orang-orang di sekelilingmu. Tetap tersenyum. Tetap harus tersenyum, bisik suara di kepalamu. Meski sedih itu tetap mengiris, semakin menusuk. Meski airmatamu tak mampu menetes namun hatimu menangis tanpa henti.

Saat kau marah, hatimu memberontak untuk meneriakkan ketidaksetujuan, kau ambil topeng dengan raut wajah tenang dan mulut tertutup rapat. Kau kenakan dan hadapi mereka. Meski bara di hatimu semakin menyesakkan, tak pernah benar-benar menjadi ikhlas melepaskan kemarahan itu. Kau suarakan kebisuan tanda perdamaianmu, meski sebenarnya damai itu tak pernah jadi milikmu.

Saat kau gembira, hatimu dipenuhi oleh energi yang berlimpah ruah. Namun kau masih juga harus mengambil topeng dengan raut wajah biasa, tak berekspresi. Berusaha menekan habis energi dalam dirimu, membungkam semua bahagiamu karena bahagia itu tak pernah pantas kau tunjukkan di hadapan mereka. Mereka yang tak pernah bisa setuju atas sukacitamu.

Kasihan....
Kasihan sekali dirimu. Dengan begitu banyak topeng yang mesti kau kenakan bergantian. Tak pernah bisa lepas darinya. Tak pernah bisa menjadi benar-benar bebas memeluk rasamu. Tak pernah bisa menjadi benar membebaskan ekspresi jiwamu. Tak pernah bisa menjadi jujur berbicara mengenai dirimu. Tak pernah bisa menjadi tegar menghadapi reaksi dunia.

Kalau saja kau mau buang semua topengmu. Menyambut dunia dengan raut wajah dan rasa milikmu sendiri. Menebar senyuman milikmu sendiri. Andai saja kau sadar betapa indahnya senyuman yang tulus. Andai saja kau sadar bahkan dengan raut kesedihanmu, dunia bisa ikut menangis untukmu. Andai saja kau mau dengan segala kerendahan hati mengakui bahwa amarahmu hanyalah sebuah bukti bahwa kau dan aku tak berbeda. Hanya manusia biasa. Dan andai saja kau tahu betapa aku merindukan tawa bahagiamu. Tawa bahagia tanpa topengmu. Bahagia yang sesungguhnya...

Photo Link: http://caps.studentaffairs.duke.edu/images/behindMask.bmp

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya