Sabtu, 21 November 2009

Ketika Aku Ingat Padamu...


Pagi ini aku bangun dan mengingat dirimu. Tiba-tiba ada rasa rindu yang tak bisa kuenyahkan. Lalu kuputuskan untuk menulis sebuah surat untukmu.

Hai, apa kabar? Lama tak ada berita darimu. Baik-baik saja? Semoga. Aku di sini baik-baik saja. Hanya saja aku tiba-tiba ingat padamu. Entah mengapa, aku tak tahu. Mungkin aku rindu padamu...

Tak sadar jariku menekan tombol delete, menghapus semua kalimat yang telah kutulis. Terlalu jujur... Bukan. Terlalu murah? Bukan... Sebenarnya aku tiba-tiba merasa takut memikirkan apa reaksimu ketika kau membaca kalimat-kalimatku itu. Takut bila kau tak senang akan kerinduanku. Takut bila ternyata kau salah mengartikan kalimat-kalimat jujurku. Dan kemudian kau akan salah paham, menghindariku dan akhirnya bukan kerinduanku yang akan terbalas.

Hey! Aneh... Padahal biasanya aku menyuratimu langsung tanpa pernah berpikir apa-apa. Biasanya kalimat-kalimatku mengalir begitu saja tanpa pernah aku pertanyakan sendiri. Lalu, mengapa hari ini berbeda?

Mungkin sebaiknya aku meneleponmu langsung. Bisa langsung mendengar suaramu dan juga bisa bercanda denganmu. Bukankah kita sering saling bercanda lewat telepon? Bukan sesuatu yang luar biasa, bukan? Tidak ada yang aneh bila saat ini aku meneleponmu, bukan? Ya, ide yang bagus. Kuraih telepon dan menekan nomor teleponmu yang sudah kuhapal di luar kepala.

Tut.....

Kira-kira kau sedang apa, ya?

Tut....

Kira-kira kau akan senang tidak mendapat telepon dariku?

Tut....

Tunggu! Apa yang harus kukatakan padamu? Hai, apa kabar? Baik. Ada apa? Ngg... tidak apa-apa, aku hanya ingin mendengar suaramu....

Tak sadar kutekan tombol off, mematikan sambungan telepon. Belum apa-apa aku sudah paranoid sendiri. Belum apa-apa keringat dingin sudah membasahi keningku. Dan jariku gemetar. Dan dadaku, di dalam sana seperti ada ribuan drum, terdengar pukulan bertalu-talu...

Ya ampun, ada apa ini? Aku tiba-tiba bukan diriku lagi. Lihat! Semua rasaku tak dapat kuatur lagi. Bahkan gerakan dari tubuhku juga tak dapat kukendalikan lagi. Seakan tubuhku juga bukan lagi milikku. Hanya karena sebuah ingatan padamu... Begitu hebatkah dirimu padaku? Seakan aku ini sebuah robot yang bisa kau kendalikan dari tempat yang jauh. Ataukah karena aku sendiri yang merelakan alat pengendali diriku padamu? Begitu bodohkah diriku? Tidak. Aku tidak bodoh, tapi mengapa aku merasa menjadi bodoh hari ini?

Entahlah... Aku tak tahu. Aku sendiri tak mengerti. Aku hanya ingin rasa ini cepat-cepat berlalu. Aku hanya ingin bisa mengenyahkan semua bayanganmu yang terus menguntit langkahku. Rindu ini bukan sesuatu yang manis lagi, yang bisa kunikmati pelan-pelan. Rindu ini mulai mematikan semua akal sehatku dan menjadikanku lumpuh tak berdaya. Aku ingin bebas menjadi diriku lagi. Diriku yang kemarin bahagia dan damai tanpa rasa ini...

Photo Link: http://i.mynicespace.com/297/29775.jpg

Senin, 16 November 2009

If Tomorrow Never Comes...

Dulu, if tomorrow never comes, hanya sebuah judul lagu bagiku. Lagu yang indah, sendu dan romantis. Pernah seorang teman bertanya padaku, if tomorrow never comes, what you will do today? Aku terdiam sejenak, berpikir dan berpikir. Tapi tak menemukan jawaban yang meyakinkan diriku sendiri. Akhirnya kujawab, jangan dulu, masih banyak yang belum sempat aku lakukan. Sebenarnya itu adalah jawaban yang bukan jawaban untuk pertanyaan tersebut. Hanya sebuah kalimat untuk berkelit, tak ingin memikirkan hal tersebut.

Beberapa malam yang lalu seorang teman di China City menyanyikan lagu Ronan Keating tersebut. Masih, seperti dulu selalu terdengar sendu di telingaku. Tap kali ini kalimat-kalimat lagu tersebut mengalir lebih perlahan, menyusup ke dalam jiwaku. Bagaimana jika esok tak pernah datang? Menghadirkan resah yang tak mampu kuusir.

Pernahkah terpikir olehmu tentang hal ini? Bila baru sekarang terpikir, ketika kau membaca tulisanku ini, lalu apa jawabanmu? Bagaimana bila esok tak pernah datang?

Semalam aku tak bisa memejamkan mata. Tiba-tiba kalimat itu terus terngiang-ngiang, menuntut sebuah jawaban. Tak mampu bersembunyi lagi, menghindar, atau berkata, nanti saja, aku belum memikirkannya...

Selama ini aku belum pernah memikirkan pertanyaan ini dengan serius, karena kata kematian selalu merupakan kata asing, yang hanya kadang-kadang terdengar namun begitu jauh tak terlihat olehku. Tapi kini aku seakan dipaksa duduk menatap lurus pada kenyataan yang telah mempunyai bentuk yang tak bisa diubah lagi. Kenyataan bahwa seseorang ditakdirkan harus menjawab pertanyaan itu. Dan kini ia mesti mulai menghitung langkah yang tersisa di dunia ini.

Kata esok kini bukan lagi sebuah kata yang pasti. Esok, seakan sebuah mimpi dan janji yang tak pernah berwujud nyata. Begitu dekat terasa, tapi kadang aku tak yakin kita dapat menggapainya. Karena ia tak pernah bisa menjadi milik diri. Ketika ia masih datang menghampiri ada rasa syukur terucap. Namun jika ia benar-benar tak datang lagi, haruskah aku mengutuknya?

Aku tak pernah takut akan kematian. Bagiku hidup dan mati adalah sebuah proses alami. Bila pun kini aku harus melepas hidup, mungkin aku akan menutup mata dengan rela. Namun aku takut ketika mendengar kata kematian bagi orang-orang di sekelilingku. Aku tak pernah bisa melepas rasa khawatir tak dapat menemukan mereka lagi di sampingku. Aku tak pernah berani kehilangan orang-orang yang kucintai. Dunia ini tak akan pernah memberi bahagia yang sama lagi ketika langkahku harus sendiri.

Dan kini, aku merasa terpuruk di sini, memikirkanmu. Maaf, bukan kata-kata penghiburanku selama ini hanya kata-kata kosong belaka. Tidak. Itu setulus hatiku, berharap yang terbaik bagimu. Aku tersenyum, mengirimkan semangat hidup bagimu dalam kata maupun tatapan mataku. Aku bahkan mengajakmu menertawakan kematian. Kita bahkan merencanakan akhir yang indah. Tapi di sini sendiri, aku tak mampu menutup pintu hatiku bagi sedih yang telah lama menyelinap masuk. Ya, sejak aku mendengar kabar tentangmu, hatiku hancur. Malam itu aku menangis tanpa suara. Tangis yang kusimpan lama, tak ingin kau melihatnya. Tidak. Aku harus selalu tegar dan bahagia di matamu, karena aku akan menjadi sumber semangat dan sisa cahayamu.

Aku tak pernah tahu bagaimana rasamu menghadapi semua ini. Terlalu angkuh diriku bila kukatakan aku mengerti. Tidak. Aku tak pernah mengerti berapa besar ketakutan dan bebanmu saat ini. Itu yang membuatku merasa tak berarti dan tak berguna. Bila saja mampu kuangkat sebagian beban itu, biar kita pikul bersama di jalan ini... Andai Tuhan memberi kita kesempatan untuk tawar-menawar, bahkan untuk sebuah kata kematian...

Perbuatan memang tak pernah sebijaksana kata. Meski aku tahu di sana, di ujung kehidupan ini akan kau temukan damai dan bahagia, meski aku tahu kematian adalah pelepasan jiwa dari segala beban, masih saja lara ini tak mau pergi. Aku bahkan berharap langkah kakiku yang pertama sampai pada ujung kehidupan sebelum orang-orang di sekitarku. Ya, ini egois-nya diriku. Yang tak pernah ingin ditinggalkan.

Belakangan ini, kucoba untuk menikmati setiap detik yang aku punya dengan semua orang di sekitarku. Ketika kau tertawa, aku berhenti sejenak, memperhatikan tawa itu. Ingin menangkap dengan jelas semua ekspresi, suara dan rasa hati yang ada. Dan setiap detik itu kucoba menghadirkan syukur di hati. Terima kasih Tuhan untuk saat ini... Tak pernah lagi ingin membiarkan waktu berlalu begitu saja dengan cepat tanpa pernah teramati.

Meski begitu aku tahu, bila esok akhirnya aku harus kehilanganmu, tetap airmataku akan kembali menetes. Dan hatiku akan kembali berduka. Setegar apapun diri ini, sebaik apapun pengertianku akan hidup dan mati, tetap bahagiaku tak akan menjadi sama dengan kosongnya hadirmu di sini. Namun, tak peduli tinggal berapa esok lagi yang tersisa, tak peduli sependek apa jalan di depan sana, aku akan berjalan menemani langkahmu dengan semua semangat yang kupunya. Dan tak akan kubiarkan kau melihat dan merasakan sedihku. Aku akan selalu tersenyum bahagia dan ceria. Sepanjang sisa jalan ini bersamamu, aku berjanji tak akan pernah lagi memikirkan pertanyaan itu, bagaimana bila esok tak pernah tiba? Biarlah, seandainya esok tak akan tiba untukmu atau pun untukku, akan kunikmati hari ini, sisa waktu yang ada ini, dengan seluruh rasa dan bahagia yang masih ada...

Photo Link: http://rullyeist.files.wordpress.com/2009/09/kepergiaan-dan-perpisahan-pic.jpg

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya