Selasa, 21 Desember 2010

Sepotong Rindu Untukmu...


Belakangan ini aku sering tertinggal dengan sang waktu. Tak lagi melihat wajahnya dengan jelas. Seperti hari ini, ketika aku tiba-tiba teringat padamu. Dan saat aku menoleh pada sang waktu, aku tersadar. Besok...

Selama ini aku telah meninggalkan semua ingatan tentangmu di belakang sana. Dan kudirikan sebuah tembok yang tinggi, agar aku tak bisa melihatmu lagi. Bila sepotong ingatanku masih juga berkeras menoleh, aku katakan padanya, sudah tak perlu kau pikirkan lagi...

Ya, waktu dan jarak telah membawa dirimu jauh. Tak terjangkau lagi olehku. Meski terkadang rasanya tak pernah ingin diri ini menjangkaumu lagi. Bukan karena aku telah kehilangan rasa itu. Tidak. Hanya saja terlalu banyak rasa sakit di sini. Rasa sakit yang tak ingin kuulang lagi, menyayat dan merobekkan hati. Karena kau tak pernah bisa kugapai meski jarak hanya setipis benang...

Menyedihkan memang... Yah, setelah tahun berganti tahun, aku masih juga menangis ketika memikirkanmu. Memikirkan semua yang terjadi di antara kita. Masih terus bertanya pada diri sendiri, apa yang salah? Mengapa niat hati tak pernah cukup? Mengapa kata cinta itu sendiri tak pernah bisa menunjukkan wajahnya saat kita bersama? Bahkan masih ada sepotong rasa bersalah yang tertanam di sini, tak pernah bisa kucabut dan kubuang. Mungkin aku tak pernah cukup baik untukmu...

Tapi saat itu aku sendiri tak tahu bagaimana caranya agar bisa membuatmu mencintaiku. Mungkin aku terlalu bodoh. Tapi hingga kini pun, aku masih tetap tak juga mampu menyibak misteri tentangmu. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berjalan meninggalkanmu dan membawa pergi hatiku yang compang-camping ini.

Aku sering mencoba membayangkan bagaimana rasanya bila tangan kita menyatu dalam genggaman erat. Mungkin akan ada rasa hangat mengalir darimu, menghangatkan hatiku yang terkadang rapuh ini. Atau mungkin genggaman itu akan menguatkan langkahku yang masih sering terseok-seok ini. Tapi sayang, bayangan itu tak pernah mampu menjadi utuh di sini.

Tahukah kau, ada banyak malam ketika aku meringkuk sedih, berharap kau datang, bertanya padaku, ada apa? Atau sekedar mengusap kepalaku dan berbisik, semua akan baik-baik saja. Tahukah kau, ada banyak saat di mana aku begitu berharap kau memelukku dengan erat dan membuatku merasa dicintai olehmu? Seandainya kau tahu...

Aku selalu merasa tak pernah menjadi sempurna di matamu, di antara mereka. Dan seringkali aku berharap melihat kilat bangga di matamu untukku, seperti saat kau melihat mereka. Dan ketika hanya keluhan dan kritikan yang kau hadiahkan padaku, terpuruk aku dalam rasa diri yang tak pernah cukup pantas untuk ada di sisimu.

Dan di sini aku kini, berdiri sendiri pada kakiku yang telah cukup kuat. Namun tak pernah hilang jejak dirimu dari setiap inci tubuhku. Juga dari setiap detik hidupku. Masih ada rasa sedih dan penyesalan yang sama. Juga masih ada kerinduan yang sama. Tak pernah pudar. Tak pernah bisa hilang. Meski terkadang aku ingin mengingkarinya, memalingkan wajahku darinya dan darimu, tetap, kau tak akan pernah bisa tergantikan.

Esok adalah harimu. Ingin kuucapkan selamat untukmu. Kutiupkan kerinduan dan doaku untukmu di sana, dari hatiku yang terdalam. Semoga kau selalu diberkati oleh-Nya di sepanjang hidupmu...

Photo Link: http://www.google.co.id

Jumat, 17 Desember 2010

Abu-abu...


Putih...
Sebersih salju
Selembut kapas
Secantik merpati

Hitam...
Seanggun malam
Sepekat tinta
Sekelam gagak

Ketika putih dan hitam saling merangkul, memagut dan melebur menjadi satu
Ketika tak jelas lagi wajah siapa yang terlihat
Ketika semua garis memudar, lalu terhapus, hilang tak kentara
Ketika hakikat terburai, luruh tak bersisa

Yang ada kini hanya...

Abu-abu

Photo Link: http://www.google.com

Jumat, 24 September 2010

Hilang...


Aku tahu dia masih ada. Tapi di mana? Kucari dan kucari. Harusnya ada di sini. Bersembunyikah dia? Mungkin dia tengah memeluk sepi di sudut gelap itu, seperti yang kadang-kadang dilakukannya ketika dia tengah bersedih. Kusingkap tirai hati, berharap menemukannya di sana. Tapi sudut itu kosong. Bahkan sepi juga sedang pergi, seakan tak ingin memeluk hampa sendirian.

Dinding putih di hadapanku ikut bungkam. Polos, kosong. Seakan ikut mengacuhkanku. Hanya hening yang tinggal. Tapi hening ini bukan hening damai. Hening ini kebisuan yang membosankan. Kutajamkan telinga, coba menangkap suara. Biasanya dia sering berdendang kecil. Atau mungkin aku bisa mendengar isakannya. Apapun itu, aku berharap bisa mendengar suara darinya. Tapi meski semua suara lain di sini telah berlari pergi, aku tak mampu menemukan suaranya. Membuat kerinduanku semakin menggila. Apakah dia tengah membisu? Tapi mengapa?

Mungkin dia sedang meragukan keseriusanku untuk bertemu dengannya. Kupejamkan mata, membaur dengan hening. Kulapangkan hati dan kutenangkan pikiran. Kupusatkan tarikan napasku, menyebut namanya tanpa suara. Kubayangkan sosoknya, utuh dan jelas. Seindah tampaknya, berpendar dalam cahaya yang dulu selalu menyelimutiku dengan kehangatan. Biar aku melihatmu. Biar aku mendengarmu. Datanglah dan duduk di sini bersamaku. Aku membutuhkanmu...

Tapi semua sia-sia saja. Di mana dia? Mungkinkah dia tengah tertidur lelap? Namun mengapa tarikan napasnya pun tak bisa kudengar? Ataukah dia telah pergi selamanya? Tidak. Dia masih ada. Aku tahu itu. Hanya saja aku tak bisa menemukannya. Ataukah dia sedang tak ingin ditemukan? Tapi mengapa? Apakah dia telah begitu membenciku? Tak ingin lagi melihatku? Tapi apa yang telah kulakukan padanya?

Kupanggil dia lagi. Kali ini dengan suaraku. Bukan hanya dengan hatiku saja. Berharap kali ini kesungguhanku akan membawa hasil. Namun hanya udara kosong yang memantul kembali. Kukeraskan suaraku. Mungkin tadi dia tak mendengar. Tapi masih, tak ada balasan. Kuteriakkan namanya dalam kekesalan dan putus asa. Ayolah! Aku sedang menunggumu di sini. Harusnya kau tahu. Harusnya kau bisa mendengarku. Tapi tetap... Detik demi detik berlalu begitu saja. Tak ada sahutan. Kutarik napas dengan sisa asa. Kuhembuskan bersama tetesan airmata. Kubiarkan sedih akhirnya masuk menyusupi hatiku. Sesulit inikah untuk menemukanmu?

Kau ke mana? Apa yang tengah kau lakukan? Mengapa tak juga kembali? Aku perlu untuk berbicara denganmu. Karena aku mulai panik dengan kekosongan ini. Dan selamanya diri ini tak pernah lengkap tanpa dirimu. Aku adalah kau. Dan kau adalah aku. Selamanya kita harus bersama, kecuali takdir dan maut telah bertitah dan kita harus memisahkan diri. Namun kini di dunia fana ini, aku di sini sendiri, tanpa dirimu. Hanya sebagai raga tak bernyawa. Bagaimana mungkin mampu hidup lagi dengan sempurna? Di manakah kau, wahai Aku?

Photo Link: http://www.google.co.id

Rabu, 22 September 2010

Tarian Kumbang


Mengerjap silau kemilau
Tebaran warna warni
Hamparan luas menggoda
Goyah terayu rasa

Imajinasi terbang terbebas
Meluncur singgahkan hati
Mabuk wangi semerbak
Hasrat manis tercicip

Nikmati anugerah dunia
Manis tertelan tawar
Sayap terkepak pasti
Manis lain menanti


Photo Link: http://www.google.co.id

Senin, 06 September 2010

Sangkar Emas...


Kilau emas silaukan mata
Buai hati bahagia semu
Sangka berdunia istana megah
Tak kurang segala apa

Janji memukau tidurkan mimpi
Terlena lupa siapa diri
Ribuan masa mati suri
Isakan jiwa terbungkam sunyi

Terbangun sayap terkepak kuat
Terbentur jatuh terpuruk bingung
Tak beratap langit luas
Pintu istana terkunci rapat

Terhimpit sesak berbatas jeruji
Kilau tahta meredup gelap
Rindu peluk cakrawala bebas
Tuan, sudikah buka pintu?

Photo link: http://www.google.co.id

Rabu, 01 September 2010

Belenggu...



Sesak menghantam himpit bahagia
Dinding-dinding kian mendekat
Tak sisakan banyak udara
Panik menyergap cepat

Sisa asa dan doa
Berangkulan dorong kuat
Tetap diam angkuh membatu
Bisakah airmata pecahkan?

Jatuh dalam pasrah terpaksa
Payah habis segala
Teriakan jiwa bergaung sunyi
Memantul dinding terkutuk

Terkapar meski mata nyalang
Gelap gamang melayang
Celah tak lagi bersisa
Cahaya di mana?


Photo Link: http://www.google.co.id

Minggu, 22 Agustus 2010

Bingkisan Yang Bernama Hidup...


Hidup ini mungkin bisa diibaratkan sebagai bingkisan-bingkisan yang dikirimkan untukmu. Ada bingkisan yang berisi tetesan airmata dan ada bingkisan yang berisi senyum dan tawa. Terkadang ketika kau membukanya, kau akan menemukan indahnya bahagia di sana untukmu. Tapi terkadang pula kau hanya menemukan airmatamu di sana. Lalu seringkali kau berpikir untuk menyimpan bingkisan itu, karena rasa sayangmu padanya. Akan manis rasanya. Tapi terkadang pula kau ingin membuangnya, karena tak ingin mengingat tetesan airmata yang telah kau jatuhkan. Tapi selamanya bingkisan-bingkisan itu akan selalu menjadi bagian dari dirimu. Yang tak akan pernah bisa kau lenyapkan atau hadirkan nyata selamanya. Karena waktu terus bergulir, tak pernah mengijinkanmu untuk menghentikannya. Tak peduli betapa besar cintamu padanya atau berapa besar kebencianmu untuknya.

Di sini, aku telah membuka sebagian dari bingkisan-bingkisanku. Dan di sini aku tengah mengenang semua waktu yang telah berlalu. Yang sebagian ingin kubuang dan sebagian lagi ingin kusimpan selamanya. Tapi bukankah tak ada yang abadi? Bukankah kita harus belajar untuk tidak memeluk terlalu erat dan tidak meronta melepaskan sesuatu sebelum waktunya tiba? Bukankah ada masa untuk segalanya?

Ada yang berkata, tertawalah ketika kau menangis. Tertawakan tangisanmu. Mungkin dengan begitu, tawa itu akan membuat tangisanmu menjauh pergi, bukan merajai hatimu. Dan ketika kau bahagia, menangislah. Mungkin dengan begitu, tangisan itu akan membuatmu merasakan syukur yang dalam karena kau masih bisa rasakan bahagia sekali lagi.

Masih banyak bingkisan yang menungguku, yang harus kubuka. Tapi, biarkanlah aku tertawa saat ini, karena aku baru saja membuka bingkisan yang berisi airmata. Biarkan tetesan-tetesan airmataku ini menguap dalam tawaku...


Photo Link: http://www.google.co.id

Jumat, 20 Agustus 2010

Melepasmu Pergi...


Perahu mengayun sendu
Selendang putih terlepas perlahan
Berat guci seberat rasa
Ikhlas masih terikat kenangan
Di mana simpul untuk dilepas?

Kusentuh lembut dirimu
Jemari gemetar terbuka perlahan
Angin datang merangkulmu pergi
Tertelan ombak tak berbekas
Hati berteriak dalam harap bisu

Laut masih biru
Hatiku merah berdarah lagi
Airmata menetes seiring cinta
Menyatu dalam laut bersamamu
Separuh jiwa telah kau bawa pergi

Binar ceria matamu
Celoteh riang indah suaramu
Lembut sentuhan tangan kecilmu
Hangat napasmu di kulitku
Menggetarkan sukma dan jiwa hampa

Hilang sudah semua
Tinggal kenangan bukan nyata
Mata terpejam hati berserah
Lirih melantun doa untukmu
Nak, selamanya aku cinta padamu...

(17 Agustus 2010, Bandengan Jepara, In Memoriam Baby Emma...)

Photo: Angel Li

Kamis, 12 Agustus 2010

Selamat Jalan, Baby...


Aku mendapat kabar kepergiannya saat aku baru membuka mata pagi itu. Membaca sms yang sudah masuk pada pukul dua dini hari, aku serasa lumpuh. Sudah pukul delapan lewat. Sudah hampir enam jam berlalu. Sesaat duniaku menjadi kosong. Senyap.

Dia sudah pergi... Seperti ada sebuah bisikan singgah di telingaku. Aku duduk, masih menatap layar telepon, tak tahu mesti melakukan apa. Kubaca kembali dengan lebih perlahan huruf-huruf di layar. Baby sudah pulang... Pulang? Pulang ke mana? Pulang ke rumah? Atau pulang kembali ke atas sana? Tapi kemarin Baby masih di ICU, mungkinkah bisa secepat itu dia pulang ke rumah? Bukankah mestinya dilanjutkan perawatan ke kamar biasa? Seketika itu juga harap yang tadi sempat memunculkan wajahnya padaku, langsung lenyap tak berbekas. Jantungku berdegup kencang ketika akhirnya kubalas sms itu...

Hampir pukul sembilan ketika aku meluncur menuju ke Krematorium Nirwana. Ya, Baby telah pulang. Berpulang tepatnya. Aku menerima sms yang mengabarkan bahwa dia akan dikremasi pagi itu juga. Harapanku untuk melihatnya sekali lagi musnah sudah. Petinya sudah ditutup. Ingat saja saat dia masih lucu ya... Itu sms yang kuterima tadi, membuat aku terbayang kembali pada saat aku mengunjunginya pertama kali di rumah sakit, saat ia menjalani kemoterapi untuk pertama kalinya. Baby masih bisa tertawa, masih bisa bermain denganku, bahkan masih berceloteh riang dengan bahasanya sendiri. Meskipun selang obat dan selang makanan melekat di tubuh dan wajahnya. Dia sangat manis. Sangat cantik. Seperti tidak merasakan penderitaan apapun atas sakitnya.

Semuanya begitu cepat. Terlalu cepat. Baru kemarin rasanya ketika aku dipenuhi sukacita mendengar berita kelahiran Baby. Empat belas September tahun lalu. Lalu detik demi detik berlalu, menjadi menit, jam dan hari. Bulan demi bulan berlalu. Aku masih ingat pertama kali melihatnya tertawa dan mulai belajar mengenal dunia. Tapi belum lagi perkenalan itu berjalan lama, aku telah mendapat kabar tentang dirinya yang sakit. Tapi ia masih tersenyum dan tampak seperti layaknya bayi-bayi lucu lainnya, meskipun menjalani proses pengobatan yang panjang dan berat. Dan tiba-tiba tampak secercah cahaya menyinari ketika mendengar berita bahwa Baby memasuki masa remisi, di mana sel kankernya telah berada di bawah batas normal. Dan harapan kami pun tumbuh dengan lebih cepat. Baby pasti bisa sembuh! Tapi sayang seperti secepat munculnya harapan itu, kini harapan itu telah meredup, layu dan mati...

Ketika Baby menjalani pengobatan lanjutan, ia kembali terserang demam. Dan kali ini tubuhnya sempat membiru, yang kemudian diketahui bahwa paru-parunya meradang. Karena itu Baby terpaksa dimasukkan ke ICU. Dan ketika aku mengunjunginya, ia telah berpindah kamar, ke kamar ICU utama, dengan alasan agar bisa lebih mendapat perhatian perawat. Yang artinya, keadaannya mulai mengkhawatirkan.

Saat aku melihatnya di balik kaca, dari jarak yang cukup jauh, aku hanya bisa memandangi tubuhnya yang tergolek pasrah. Dengan bantuan mesin di kiri dan kanan serta selang-selang yang entah untuk apa. Dia tertidur pulas dalam pengaruh obat bius. Dan begitu juga ketika aku kembali lagi menjenguknya minggu lalu. Padahal ingin sekali aku mendekatinya. Menyentuh tangan mungilnya dan berbisik di telinganya, "Nak, kamu pasti bisa sembuh. Yang kuat ya... Kami semua mencintaimu. Menunggumu kembali..."

Aku khawatir. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Aku bahkan tidak punya kata-kata penghiburan untuk sahabatku, sang Ibu yang selalu menemani Baby dengan tabahnya. Ya, aku tahu sebenarnya dirinya pun sangat sedih dan khawatir. Namun tak pernah ada ekspresi cemas dan takut di wajahnya. Juga tak pernah terlontar keluh kesahnya. Semuanya hilang dalam diam dan doanya.

Aku tak pernah suka ke tempat pemakaman atau tempat-tempat seperti itu. Begitupun dengan krematorium ini. Suasananya membuatku ingin berlari jauh. Aku tak pernah suka akan perpisahan. Apalagi perpisahan yang terjadi tiba-tiba dan tidak diinginkan. Tapi di sinilah aku, berdiri di pintu, tak berani beranjak masuk. Dan ketika ia muncul, dengan selendang putih di bahunya, aku kembali merasa lumpuh. Selendang itu pernah digunakannya untuk membalut tubuh Baby. Dan senyum Baby kembali muncul di hadapanku, membuat tempat itu menjadi terlihat tak sungguh-sungguh nyata.

Matanya sembab. Pasti ia telah banyak menangis sejak jam dua tadi. Namun tak ada sisa airmata di sana. Mata itu bicara padaku, tentang kepasrahannya. Dan aku hanya bisa merangkulnya, tanpa sepatah kata pun.

Tak ada peti. Hanya ada pintu besi yang telah tertutup rapat. Baby telah masuk ke sana lima belas menit yang lalu. Tak ada ucapan selamat tinggal lagi yang bisa kuucapkan. Aku hanya bisa menunggu dalam diam. Masih merasa semua ini tak nyata. Terlalu cepat. Benar-benar terlalu cepat semuanya ini terjadi...

Semua yang ada di sana menunggu proses kremasi selesai. Dan ketika petugas yang berpakaian biru itu datang dan mengumumkan bahwa pintu sudah bisa dibuka, aku bangkit, mendekat. Pintu terbuka perlahan. Dan sebuah meja yang sepertinya terbuat dari marmer, terdorong keluar dengan perlahan. Tak ada peti. Hanya ada puing-puing di atas meja. Aku mendekat lagi, ingin melihat lebih jelas. Tulang-tulang kecil berserakan di sana, bercampur dengan abu. Aku menoleh padanya. Dia mendekap mulutnya dengan tangan, menahan tangis dan sedihnya.

Bayi itu tak ada lagi. Yang tersisa hanya tulang-tulang putih dan abu. Habis sudah. Hilang selamanya... Seperti itulah adanya kita semua, dari abu kembali menjadi abu. Begitu sederhana. Lalu apa yang selama ini begitu kita sombongkan? Apa yang membuat kita begitu yakin bahwa kita ini berbeda dengan yang lain? Bahwa kita lebih hebat, lebih tinggi dan lebih terhormat dari yang lain? Pada akhirnya kita semua akan kembali menjadi abu. Abu yang sama...

Aku belum menangis. Aku tak bisa menangis. Hatiku berduka, tapi airmataku tak juga mau menetes. Aku kehilangan, tapi apa yang bisa aku lakukan? Masa-masa sulit itu telah dijalaninya dengan berat. Dia telah berjuang dengan kekuatan yang sangat besar meskipun tubuhnya begitu kecil dan lemah. Tapi bila pada akhirnya napasnya terhenti, apakah itu sebuah kekalahan? Tidak. Bagiku dia tetap seorang pemenang yang hebat. Bagiku dia tetap sosok yang sangat-sangat mengagumkan. Sosok yang telah datang dan pergi dengan begitu cepat namun telah menyentuh banyak hati dan sisi hidup. Sosok yang telah mengajarkanku begitu banyak tentang hidup. Hidup ini hanya sebentar. Hidup ini rapuh. Kita hanya seorang manusia yang pada akhirnya juga tak bisa lari dan mengelak dari kematian dan kehendak Yang Di Atas. Juga bahwa, hidup ini sangat berharga. Begitu banyak yang berjuang demi sebuah napas, sementara kita sering menghabiskan detik demi detik dengan penyesalan diri dan semua omong kosong tak berguna...

Belum setahun waktu berlalu. Dia bahkan tak sempat meniup lilin ulang tahun di atas kue tart pertamanya. Tak sempat membuka kado ulang tahunnya yang pertama. Bahkan tak sempat mengenakan sepatu perak cantik yang kubelikan untuknya minggu lalu. Tapi bila memang ini adalah akhir dari perjalanannya yang singkat, biarlah dia pergi dengan damai. Biarlah dia melepaskan semua sakit dan derita yang ada. Dan semoga dia beristirahat dengan tenang di atas sana. Dan tersenyum serta tertawa kembali merangkul bahagianya yang abadi...

Selamat jalan, Baby... We love you...

(*finally my tears going down...)

Photo Link: http://www.google.co.id

Selasa, 10 Agustus 2010

Kangen...


Baru lima menit berlalu darimu, bayangmu sudah memenuhi seluruh isi kepalaku. Menyingkirkan semua hal-hal lain yang penting dan selalu penting bagiku. Aneh. Ini sesuatu yang tidak biasa. Seperti juga hari ini, bukan hari yang biasa. Aku telah menghabiskan waktu yang begitu panjang bersamamu, hanya dengan berbagi cerita dan tawa tentang hal-hal konyol dalam hidup.

Apa yang terjadi? Aku, yang selalu menghargai setiap detik dalam hidupku. Yang selalu menghabiskan waktuku dengan semua hal rutin yang seakan tak pernah ada habisnya. Yang selalu merasa tak pernah cukup waktu untuk break sejenak dan do nothing. Dan hari ini semuanya menjadi terbalik. Seperti bukan hidupku. Seperti bukan diriku.

Mengamati mimik wajahmu yang selalu penuh dengan ekspresi jujur dan spontan sesuai dengan suasana hatimu, aku terbius. Mendengarkan celotehanmu, nada yang naik dan turun, gembira dan sedih, seakan mendengarkan alunan musik, aku terbuai. Dan saat itu, seluruh isi pikiranku seakan berlarian keluar, tak mampu melawan kekuatan pesona dirimu yang merajai pikiranku ini. Dan waktu tiba-tiba tak lagi bisa menampakkan wajahnya, menghilang entah ke mana.

Baru lima menit ketika kutinggalkan dirimu di sana, tapi bayangmu, suaramu, masih ada di sini. Begitu jelas, begitu nyata. Mengikuti diriku bak sebuah bayang diri yang tak bisa lepas. Mengapa? Aku bingung. Dan ketika kucoba mengusir semua bayang itu tiba-tiba ada hasrat untuk memutar langkah, berbalik mencarimu hanya untuk berkata, Aku kangen...

Photo Link: http://www.google.co.id

Minggu, 08 Agustus 2010

Janji Bapak...


Malam itu sekali lagi terlintas di pikiran Thea untuk mengakhiri hidupnya yang pahit itu. Setelah lelah menghabiskan waktu dengan menangis dan meratap sementara tak ada satu pun orang yang peduli. Seakan-akan tak pernah ada cinta untuk dirinya. Meskipun dari orang-orang yang sedarah dan sedaging dengannya.

Thea membenci hidupnya. Meski telah berulangkali mencoba merenungkan arti hidupnya, ia tak menemukan satu alasan pun mengapa ia harus tetap hidup. Dari hari ke hari ia semakin terpuruk dalam keputusasaan dan rasa sendirinya. Dan pikiran untuk mengakhiri semuanya terus datang menggoda. Sampai malam itu, ia memandangi sebuah pisau lipat. Jantungnya berdetak kencang. Ada ragu dan ada bujukan merdu. Ia tak mampu mendengar suara-suara itu dengan jernih. Saat hatinya mulai goyah dan ia mencoba mengumpulkan keberanian diri, tiba-tiba dia mendengar suara yang memarahinya.

"Kalau mau bunuh diri jangan di sini!!!"

Thea mendongak kaget dan melihat wajah Ibu yang tengah mengintip di jendela kamar yang terbuat dari kawat tipis, menangkap basah dirinya. Thea terhenyak. Apa tadi yang dikatakan ibunya? Jangan di sini? Jadi, sebenarnya wanita itu tak peduli bila dia bunuh diri? Yang penting jangan di sini? Jangan di rumahnya? Kenapa? Karena ibunya takut menjadi susah karena dirinya? Itukah pembuktian bahwa memang ibunya tak mencintai dan menginginkannya?

Dan saat itu Thea tak perlu waktu lagi untuk mengumpulkan keberanian, pisau itu langsung mengiris kulit dan dagingnya. Thea kalap. Gelap mata. Tak ada lagi nalar yang bekerja. Hitam semua.

Dan entah berapa banyak irisan yang singgah di kulit dan dagingnya sampai pintu kamar berhasil didobrak dari luar. Theo kakaknya masuk, merampas pisau itu dari tangannya. Sementara Andita, kakak perempuannya mencoba memegangi Thea yang mulai histeris. Thea memberontak dalam jeritan dan tangisnya. Dan kemudian sebuah hantaman keras membuatnya terlempar dan terdiam sejenak. Pandangannya berkunang-kunang. Sakit yang luar biasa terasa di sebelah kepalanya. Theo melayangkan tinjunya padanya. Mata lelaki itu melotot dan dia berteriak pada Thea, "Sadar!!!"

Bukannya sadar, Thea balas memelototinya dengan mata basah dan merah serta berteriak, "Ayo pukul lagi! Pukul! Pukul sampai mati!!!"

Dan entah berapa lama pergumulan itu terjadi hingga Bapak datang, menarik Thea dan memeluknya kuat. Meski Thea masih berusaha memberontak. Bapak lalu berbisik dengan suara bergetar, "Nak, nanti kita pergi dari tempat ini. Kita hidup berdua saja." Sebuah bujukan atau janji? Entahlah... Namun ketika Thea melihat padanya, Thea menemukan mata tua itu basah. Untuk pertama kalinya Thea menemukan cinta untuk dirinya. Dan seketika itu juga perlawanannya terhenti. Thea hanya menangis, tanpa jeritan lagi. Hanya menangis dengan isakan yang menyayat hati.

Namun tak ada yang berubah setelah hari itu. Meski luka-lukanya berangsur sembuh. Ada guratan-guratan yang tertinggal di tangannya, yang selamanya mengingatkannya akan hari kelam itu. Hari di mana ia memberontak marah pada hidup. Hari di mana pemberontakannya itu terhenti karena suara dan janji Bapak padanya. Tapi tetap saja tak ada cinta dan perhatian untuk dirinya setelah hari itu berlalu. Sikap Ibu yang sinis dan selalu penuh celaan masih tetap menjadi santapan batinnya. Pertengkaran dan makian masih menjadi warna rumah itu. Dan Bapak? Di mana Bapak? Masih di sana. Di dalam rumah itu. Sesekali menghilang, namun selalu ingat untuk pulang. Dan tidak pernah mengeluarkan satu patah kata pun padanya lagi. Seakan tak pernah berada di sana dan tak melihat apa yang terjadi dalam rumah itu. Dan seakan ia tak pernah mengucapkan kalimat itu pada Thea. Janji itu... Hilang begitu saja. Seperti hanya sebuah khayalan kosong dari hatinya sendiri yang haus akan cinta.

Waktu berlalu begitu cepat. Kini, Thea telah terbawa jauh dari bayangan gelap masa lalu dan kesedihan pahit hidupnya. Meski masih terseok-seok, kini ia telah mampu menatap hidup dengan lebih berani. Langkahnya pun telah jauh meninggalkan tempat dan orang-orang yang dulu meninggalkan begitu banyak kepedihan dan cerita sedih dalam hidupnya. Termasuk Bapak...

Tadi malam Thea mendengar sebuah kabar yang mengguncangkan jiwanya. Bapak telah pergi. Dan ketika Thea pulang, ia hanya menemukan sebuah peti yang telah tertutup rapat. Bahkan sosok Bapak tak bisa lagi dilihatnya untuk terakhir kalinya. Thea hanya bisa mendekati peti itu, merabanya dengan tangan yang bergetar. Dan suara Bapak terdengar kembali, "Nak, nanti kita pergi dari tempat ini. Kita hidup berdua saja..." Suara yang tak pernah mau hilang dari dalam hati dan ingatannya. Selalu membayangi langkahnya dan mengikat jiwanya dalam harap tak pasti.

Airmata Thea menetes jatuh satu persatu. Selama ini dia berusaha melupakan janji Bapak itu. Selama ini dia berpura-pura tak peduli pada janji itu. Meskipun sebenarnya janji itulah yang membuat hatinya yang telah hancur menjadi luluh. Janji itu yang dibawanya dalam setiap detik perjuangannya untuk tetap hidup. Janji yang membuatnya merasa bahwa Bapak mungkin menyayanginya, atau setidaknya pernah menyayanginya. Dan kini, lelaki itu pergi begitu saja meninggalkannya. Meninggalkan janjinya itu, tanpa pernah mampu membuatnya menjadi nyata. Mengikis semua sisa harapan yang tertinggal di hati Thea, selamanya.

Thea memeluk peti keras yang terasa dingin itu. Membuat tubuhnya semakin menggigil. Dan lirih ia berbisik, "Thea telah lama menunggu Bapak, berharap bisa tahu, apakah Bapak menyayangi Thea? Hanya itu..."

Peti kayu itu basah oleh airmata Thea. Namun hanya kebisuan yang memantul di udara hampa. Sehampa hati Thea kini, ditinggalkan oleh sang Bapak, tanpa sebuah jawaban. Selama-lamanya...

Photo Link: http://www.google.co.id

Sabtu, 31 Juli 2010

Terbang Pergi...

Aku bertanya pada Tuhan, jalan mana? Bukan ingin melepas kewajiban diri, namun suara hati tak terdengar jelas. Lalu mentari kembali terbit, seakan tak pernah lelah. Dan suara itu berkata perlahan, ini titik akhirnya, Sayang...

Jatuh tetes airmata, tertutup sudah pintu hati. Terkunci dengan pasrah. Sudah, akhiri saja. Tak sanggup lagi biarkan tanya dan ragu mengintip. Biarkan kunikmati sedih ini. Tak perlu ada yang mengerti.

Mimpiku telah terbang pergi. Kutatap dirinya untuk terakhir kali dengan senyum perih. Lama sudah ia memohon pembebasan ikatan, yang telah melemahkan sayap-sayapnya. Kasihan dia. Terbelenggu dalam ingin tanpa ketulusan. Menodainya, kehilangan kemurnian.

Dan biarkan aku sekali lagi, mengenang rasa manis itu. Yang pernah jadi milik jiwa. Yang pernah menjadi warna hidup. Yang selamanya menjadi lukisan indah yang tak selesai, karena hasrat yang telah lenyap tak berbekas.

Biarkan aku memberikannya sebuah pelukan selamat tinggal... Selamanya, hanya ada goresan cinta di sini, bukan kebencian, Sayang...

Rabu, 28 Juli 2010

Bagaimana Kubisa Hidup Lagi...


Ingin rasanya kutuliskan sepucuk surat untukmu, wahai kekasih hatiku. Lama sudah kita tidak bertukar kata. Meski raga bersua, tapi tatap selalu tak berpelukan. Begitupun hati yang kini mulai menolak untuk menyenandungkan nada-nada cinta.

Apa yang salah? Tangan-tangan waktukah yang telah menarikmu jauh dariku? Ataukah harap diri yang terbang terlalu tinggi hingga tak mau lagi kembali di sini? Tak pernah mau menurut lagi, bak seorang bocah yang telah melihat dunia bebas. Tak lagi bahagia bermain dalam pekarangan rumahnya.

Bila saja kubisa buka ikatan keangkuhan diri, ratapan hati akan terdengar. Membelah kebisingan dunia. Menceritakan tentang rindu pada kekasih. Akankah dia kembali, menjadi ksatria yang menolong sang puteri? Ataukah memang dia hanya seorang raja yang begitu mencintai singgasananya?

Bila seluruh telah kuberikan dan tak bersisa lagi, bagaimana kubisa hidup lagi?


Photo Link: http://www.google.co.id

Senin, 26 Juli 2010

Kucium Bintang...


Tujuh malam sudah aku duduk di sini. Menanti rembulan menyapaku. Tapi dia tak jua bergeming. Larut dalam bisu. Duniaku pun luruh, sehitam malam...

Kusapa dia dengan cinta yang tersisa. Berharap ada senyum penghiburan lara. Mungkin aku yang tak punya kepekaan. Tuli rasa karena impian yang bersembunyi tak berani menampakkan wajahnya.

Sepi kini menjadi teman tak tampak. Menyatu dalam aliran darah, hidup dalam napas. Bergembira di sana, dalam denyut kehidupan. Senyumnya adalah dukaku. Bahagianya adalah tangisku.

Kerlip cahaya memanggil di kegelapan. Aku terpukau, lupa akan lara. Dan sepi menampakkan wajah tak ramah, tak lagi cinta pada napas dan darahku. Dan dia pun pergi begitu saja, tak sudi lagi menawan diri.

Bintang tersenyum, kirimkan salam dan kalungkan cahaya. Membelai hati, menidurkan lara. Impian mengintip, menampakkan wajahnya untuk pertama kalinya. Begitu cantik berkilau tanpa riasan.

Dan kucium bintang, lupakan rembulan. Sejenak saja, ingin memeluk bahagia di malam ini. Esok? Aku tak tahu. Aku tak peduli...

Photo Link: http://www.google.co.id

Minggu, 25 Juli 2010

Tertelan Bimbang...


Hanya bayang setipis asap
Kala menghilang menyisakan tanya
Kala nyata terbius mimpi
Antara ada dan tiada...

Saat kupeluk erat, rasa mengabur
Saat kulepas, dia datang membelai sukma
Tanya dan harap bermain bersama
Menyiksa jiwa hingga menangis tersedu

Jerat mengikat, mengiris sukma
Hasrat ingin melepas terbalut ragu
Jiwa terbelah, tak lagi utuh
Bak istana megah telah terbelah dua

Malam berwajah pagi
Rembulan menguning
Mentari tak lagi bercahaya
Di manakah aku?

Tuan, siapa aku?
Cermin jiwa telah retak
Bayang diri terpantul kabur
Puteri ataukah hamba hina tak bernilai?

Photo Link: http://www.google.co.id

Kamis, 22 Juli 2010

Hidup Bukan Milik Kita Sendiri...


Satu hari lagi. Hari yang baru. Hari yang samakah? Tidak benar-benar sama. Berbeda. Namun tak cukup berbeda jauh. Masih dengan keadaan yang sama, orang-orang yang sama. Hanya saja hari ini mengingatkan akan panjang langkah yang telah terayun selama ini. Satu tahun lagi berlalu. Satu angka lagi untuk umur. Angka yang terus menjadi pengingat akan jejak-jejak yang telah ditinggalkan di dunia ini. Angka yang selalu mengingatkan tujuan yang belum tercapai.

Napas selamanya adalah anugerah. Meski awal perjalanan tak pernah mudah. Terseok-seok, jatuh dalam ribuan tanya untuk diri dan hidup. Berjuang sendiri untuk menguatkan kaki hingga mampu berdiri dengan tegar. Melihat dunia yang tak pernah menjadi sempurna, dipenuhi parut-parut yang menyedihkan. Namun saat mata hati terbuka, ketika akhirnya penderitaan dan kebahagiaan yang lain menjadi lebih penting di atas kebahagiaan diri sendiri. Akhirnya menemukan sebuah keyakinan serta tujuan baru yang lebih layak untuk diperjuangkan. Agar hidup ini bisa menjadi indah, bukan hanya untuk diri. Tapi juga bagi sesama.

Airmata dan sakit selalu menjadi bagian dari hidup. Jangan disesali. Berhenti berontak. Belajar menerima. Menerima itu indah. Terima hidup dengan senyum. Berkarya selalu. Hidup bukan hanya milik sendiri. Anugerah hari ini adalah titipan bahagia untuk dibagikan pada sekitar. Buat sesuatu untuk orang-orang yang tidak memiliki kesempatan meski untuk bermimpi. Masih banyak tangan-tangan yang perlu diraih. Menunggu hati tergerak dalam kasih yang besar. Masih banyak hidup yang bisa disentuh. Dengan sentuhan berarti yang bisa mengubah warna hidup menjadi lebih cerah dan bersinar. Belajar seperti lilin kecil yang mengorbankan diri demi terang dunia.

Masih banyak yang harus dilakukan. Masih setumpuk harapan dan keinginan diri yang belum terlaksana. Masih akan ada hari-hari berat dan panjang yang harus dilewati. Ditemani sunyi malam dan lelah jiwa dan raga. Namun lelah tak pernah menjadi penghalang melainkan harga yang pantas untuk dibayar demi napas-napas hidup yang lain. Yang membuat semakin besar bara semangat di dalam diri. Pasti mampu tercapai dengan restu sang Pencipta. Tak akan pernah surut meski dihadang badai dan topan. Waktu terus berputar. Segalanya akan berubah. Musim akan berganti. Bunga-bunga akan bermekaran lagi. Bila tiba saatnya nanti. Hanya perlu memupuk kesabaran dalam detik-detik yang ada. Disertai doa dalam penyerahan diri sempurna pada sang Kuasa.

Selamat Ulang Tahun. Semoga segala cita dan impian terwujud dan terlukis dalam senyum di wajah-wajah mereka yang telah tersentuh oleh karya dirimu.

* Dedicated for someone who teach me that life is a place for sharing and happiness comes from giving yourself to others. Thank you, Sir...


Photo Link: http://www.google.co.id

Minggu, 18 Juli 2010

Rasa...


Kau bicara tentang rasa yang sama. Tapi mampukah kau tuangkan rasamu dengan tepat dalam kata-kata? Mampukah kata-kata mewakili seluruh unsur dari rasamu itu, agar aku bisa tahu bahwa rasamu dan rasaku ini memang sama?

Tapi tahukah kau bila rasa itu tak pernah menjadi zat yang padat dan tetap? Ia selalu berubah wujud. Dan bila saat ini matamu melihatnya dalam wujudnya yang sekarang, tahukah kau bila esok mungkin wujud itu tak akan kau temukan lagi di sana? Akankah kau mengerti, ataukah kau akan mengutuknya, merasa telah terperangkap dalam wajah palsunya?

Tak penting apakah rasaku ini, karena akupun tak dapat menaruh seluruh kepercayaan hati padanya. Bukan tak berani. Bukan tak yakin. Bukan. Tapi karena aku begitu mengenalnya. Mengenal rasaku. Rasaku yang selalu berubah wujud dalam hitungan waktu. Karena itulah hakikat dirinya, yang sesungguhnya.

Jadi bila kau tanyakan apakah rasa kita sama, aku tak punya jawabnya. Karena mungkin saat ini mereka, rasaku dan rasamu, menampakkan wajah yang sama. Namun nanti, esok atau lusa, mungkin mereka tampak sama sekali berbeda. Mungkin... Mungkin juga tidak...

Jadi biarlah rasa itu menjadi rasamu. Dan rasa ini menjadi rasaku. Tak perlu kita tanyakan atau bicarakan. Biarlah ia menjadi seperti hakikatnya. Bebas, tak terikat. Karena ikatan hanya akan membuatnya kehilangan kemurnian wajah dan dirinya...

Dan bila memang rasa kita ini sama, biarlah mereka menari bersama untuk saat ini...

Photo Link: http://www.google.co.id

Lukisan Kita...


Dulu aku kira cerita cinta dalam hidupku akan seperti cerita Cinderella. Aku, akan menjadi pangeran yang akan menemukan seorang gadis sederhana, baik hati dan lemah lembut yang akan menjadi puteri hatiku. Akan kulindungi dirinya dan kuberikan cintaku seutuhnya. Dan puteri-ku begitu memujaku, mencintaiku dengan sepenuh hati dan jiwanya. Dan akan bahagia selamanya.

Dan ketika kutemukan sosok itu padamu yang begitu memukau hatiku, menjadi pusat duniaku, segera kupinang dirimu. Manis. Hidup kala itu begitu manis. Dan aku menjadi pangeran sesungguhnya dalam dunia nyata, bukan lagi hanya sebuah angan dan mimpi.

Tapi waktu seakan begitu cepat berlalu. Perlahan-lahan bagian demi bagian lukisan itu memudar, menghilang, menyisakan sebuah lukisan nyata yang tak lagi terlihat indah. Bahkan terkadang tampak begitu menyedihkan, membuatku tak berhasrat lagi memandanginya. Mencoba melupakannya, menatap ke arah yang berbeda. Meski diriku masih berada di dalam lukisan itu sendiri. Tak pernah cukup keberanian diri untuk melangkah keluar dan meninggalkannya.

Kemarin ketika kau duduk di sampingku, aku menatapmu. Ada rasa asing yang menampakkan wajahnya padaku. Tapi juga ada sebuah wajah lain yang mengucapkan salam padaku. Wajah yang begitu kukenal. Wajah yang dulu sering datang menemani. Wajah kerinduan. Ya, kerinduanku akan dirimu. Baru kusadari begitu lama waktu telah berlalu, membawa jiwamu jauh dari jiwaku. Meski sosokmu masih ada di sini. Selalu di sini...

Di mana cinta itu, Sayang? Mengapa tak lagi terasa? Dan mengapa seakan tak berarti sedikitpun untukmu? Seakan kau hanya inginkan ragaku di sini. Meski jiwa dan rasaku telah terbang jauh, kau tak peduli. Tak pernah menjadi begitu penting lagi bagimu. Seakan bahagia itu hanya ada dalam selembar kertas jaminan hidup dan atap yang sama yang kita naungi. Aku sedih.

Aku tak lagi merasa menjadi seorang pangeran tampan yang hebat. Dan kau tak lagi terlihat indah seperti Cinderella-ku. Lalu harus kuapakan impian ini? Buang jauh dan lupakan? Tapi dia telah melekat kuat dalam hati dan jiwa ini. Melebur dalam kekecewaan dan hasrat yang semakin melemah.

Aku masih seorang pangeran dan kau masih menjadi puteri itu. Tapi hanya dalam lukisan sempurna tak nyata. Yang menjadi lukisan yang terpajang di dinding dunia. Yang hanya bisa terlihat sempurna di mata dunia. Namun ketika mata hati ini menatapnya, bagian-bagian indahnya telah luntur menyisakan warna pudar. Tapi tak pernah mampu kubuang lukisan lama yang telah tergantung bertahun-tahun itu. Hanya karena dunia. Dunia, yang selalu berbicara. Meski dia tak pernah sungguh-sungguh tahu dan mengerti tentang aku. Tentang kau. Tentang kita.

Dan di sinilah kita, memakai topeng pangeran dan puteri dengan wajah bahagia. Menutupi wajah kecewa dan sedih yang ada. Dan di sinilah kita, dalam panggung sandiwara yang mengisahkan kisah Cinderalla. Memerankan tokoh-tokoh penting dengan baik bak aktor kawakan. Menyimpan rapat-rapat semua sakit dan sedih selama raga masih berada di atas pentas. Dan berkubang dalam derita dengan wajah sempurna kebahagiaan...

Photo Link: http://www.google.co.id

Minggu, 27 Juni 2010

Mawarku...


Mawarku mekar
Oh indahnya...
Seperti wanita dibalut sutera
Tak lepas mata mengaguminya

Belum puas lagi hati ini
Kutemukan kelopaknya menguning
Aku resah
Berbisik padanya, Jangan layu Sayang...

Kelopaknya jatuh perlahan
Di tanah merah yang basah
Sungguh kasihan
Dia tak lagi secantik kemarin

Tak rela hati ini
Bolehkah temani aku sebentar lagi?
Kelopaknya jatuh satu persatu
Dalam kebisuan mengajarkanku tentang hidup

Bukankah hidup pun seperti itu?
Mekar pada waktu tertentu
Dan kemudian layu ketika masa telah tiba
Hakikat alam yang tak bisa kau ubah

Akhirnya kurelakan mawarku pergi
Kupotong tangkai yang telah layu
Dia menatapku dan tersenyum
Jangan sedih Sayang, hidup ini terus berputar...

Mawarku berbicara tentang dirinya dan hidup
Harus kupotong saat waktunya telah tiba
Jangan ada sesal dan sedih
Dia telah berjanji akan selalu mekar kembali

Alam telah membuat aturannya
Dan aku hanya perlu belajar menerima
Kapan mawarku harus kurelakan
Kapan bagian dari hidupku harus kututup

Dan seperti janji alam padaku
Mawarku akan tumbuh dan mekar kembali
Begitupun dengan hidupku akan indah kembali
Bila saatnya telah tiba nanti...

Rabu, 23 Juni 2010

Sepeda Tua


Teguh memandangi bapaknya yang sedang mengelap sepeda tuanya. Tak habis pikir dia, sepeda itu sudah kelihatan sangat tua, meskipun selalu dirawat bapaknya dengan baik selama ini. Namun sudah banyak bagian yang berkarat dan aus di makan waktu. Tapi bapaknya begitu menyayangi sepeda tua itu. Bukan apa-apa, kalau dulu mereka tinggal di kampung, bagi orang-orang kampung, sepeda tua itu adalah pemandangan biasa. Namun kini, meski sudah setahun ikut dengan Teguh, tinggal di perumahan elit, bapaknya masih tetap lengket dengan sepeda itu. Ke mana-mana mengendarai sepeda itu. Membuat orang-orang se-kompleks berbisik-bisik. Lama-lama Teguh menjadi risih juga. Setengah malu, setengah takut kalau-kalau orang menilainya sebagai anak yang tidak berbakti. Membiarkan orangtuanya mengendarai sepeda butut sementara dirinya sendiri memiliki rumah megah dan mobil yang bagus.

"Pak, sepedanya sudah tua. Ganti, ya?"

Tangan keriput lelaki itu terhenti. Bapak mendongak, menatap Teguh.

"Teguh beli motor buat Bapak, ya? Kan capek mesti ngayuh sepeda terus."

Bapaknya tersenyum. "Bapak tidak tahu cara naik motor, Nak. Lagipula kelihatannya bahaya."

"Kalau begitu Teguh beli mobil saja. Nanti pakai supir, jadi ke mana-mana ada yang mengantar. Bapak tidak perlu repot lagi."

Bapak bangkit, duduk di samping Teguh. "Mobil? Mobil itu mahal. Lagipula naik mobil itu membosankan. Kalau dengan sepeda, Bapak bisa menikmati tiupan angin. Hitung-hitung juga sebagai olahraga."

Teguh mendesah. Jalan buntu. Bapak tetap bersikeras bersama sepeda tuanya. Tidak ada cara membujuknya lagi.

Bapak balik memandangi Teguh. Diamatinya wajah teguh lama.

"Kamu malu dengan sepeda Bapak?"

Teguh menelan ludah, wajahnya merona merah mendengar pertanyaan bapaknya yang seakan bisa membaca keresahan hatinya.

"Bukan begitu, Pak...," Teguh berusaha mengelak. "Hanya saja Teguh sekarang sudah mapan. Tak sepantasnya Teguh membiarkan Bapak naik sepeda tua. Bapak juga sudah tua, harusnya bisa menikmati sisa hidup yang ada."

Lelaki itu terdiam mendengar kata-kata anaknya. Ia memandangi sepeda tuanya. Ada kesedihan terpancar di wajahnya, seperti seseorang yang sebentar lagi akan dipisahkan dari kekasih hatinya.

"Sepeda ini menemani Bapak melewati banyak hal bersama-sama," katanya perlahan dengan pandangan menerawang, seakan bisa menembus masa lalu. "Saat ibumu akan melahirkanmu, Bapak mengantarnya ke Bidan dengan sepeda ini. Juga saat pertama kali kamu pulang ke rumah. Sepeda ini juga yang mengantar Bapak setiap hari ke sawah dan pulang dari sawah. Sudah banyak yang dilakukan sepeda tua ini untuk kita. Bapak merasa sayang untuk melepasnya, Nak..."

Teguh tertegun mendengar kata-kata bapaknya. Bayangan masa lalu tiba-tiba terhampar di hadapannya. Saat ia kecil, ia selalu merasa begitu senang ketika Bapak memboncengnya dengan sepeda itu. Ia duduk di belakang, tertawa girang sambil memegangi baju Bapak kuat-kuat. Teguh kecil bahkan sering tak sabar menanti saat di mana ia boleh mengayuh sendiri sepeda itu. Dan ketika hari itu tiba, ketika kaki-kaki kecilnya telah memanjang dan Bapak memperbolehkannya membawa sepeda itu berkeliling, Teguh merasa sangat bahagia. Dikayuhnya sepeda itu cepat-cepat dan ia menikmati hembusan angin di wajahnya. Ya, hembusan angin itulah yang dibicarakan bapaknya tadi! Teguh baru tersadar. Dan waktu telah bergulir dengan begitu cepat. Ia sendiri telah lupa akan rasa itu. Juga telah lupa dulu ia pernah begitu mengagumi sepeda itu. Saat sepeda itu masih muda, belum setua hari ini.

Teguh menatap sepeda tua itu, yang kini terlihat menyedihkan, seakan tahu dia tak diinginkan lagi. Kemudian tatapannya beralih pada lelaki di sampingnya, yang juga kini telah menua. Lelaki yang telah mendampingi dirinya dan membesarkannya dengan penuh kasih. Tiba-tiba Teguh merasa begitu malu pada dirinya sendiri. Hanya karena memikirkan gengsi dan rasa malunya, ia telah mengesampingkan perasaan bapaknya.

"Kalau memang menurut kamu sepeda ini tidak pantas lagi, ya sudah," kata Bapak perlahan dengan wajah pasrah, memecah kesunyian di antara mereka.

Teguh menggeleng cepat. "Maafkan Teguh, Pak. Teguh lupa akan jasa-jasa sepeda Bapak ini. Teguh juga sekarang mengerti mengapa Bapak begitu menyayangi sepeda ini. Karena sepeda ini membawa begitu banyak kenangan dalam hidup Bapak. Kenangan hidup yang tidak ingin Bapak lupakan."

Bapak menoleh, menatap Teguh dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya terlihat gemetar ketika sebuah senyuman tipis terbentuk. Ditepuk-tepuknya bahu Teguh.

"Kamu memang anak yang baik, Guh. Bapak bangga punya anak sepertimu."

Bapak lalu bangkit berdiri dan menghampiri sepeda tuanya. Dielus-elusnya kembali sepeda itu dengan rasa sayang.

Kini, sudah hampir setahun Bapak pergi meninggalkan Teguh, namun sepeda tua itu masih terparkir di halaman rumahnya yang luas. Dan kini setiap sore Teguh selalu terlihat asyik mengelap sepeda itu, sama seperti yang dikerjakan bapaknya dulu. Bahkan sesekali Teguh mengayuh sepeda itu berkeliling kompleks dengan wajah ceria. Ia tak peduli tatapan aneh dari tetangga-tetangganya. Ataupun bisikan-bisikan celaan mengenai sepeda tuanya yang terlihat tak sedap lagi dipandang mata. Biarlah mereka bicara. Mereka hanya menilai penampilan luar dari sepeda itu saja. Mereka tak pernah tahu kalau sesungguhnya sepeda itu menyimpan begitu banyak kenangan berharga yang mahal harganya. Yang tak akan pernah bisa digantikan dengan uang...


Photo Link: http://www.google.co.id/imglanding?q=foto sepeda tua&imgurl

Selasa, 22 Juni 2010

Inikah Persimpangan Itu?


Inikah persimpangan itu?

Kau mungkin tak pernah tahu apa yang telah kulewati. Jalan ini tak pernah menjadi mudah bagiku. Meski mungkin terlihat mudah di matamu. Tidak. Aku telah jatuh dan bangun berulangkali dalam usahaku untuk tetap bertahan. Namun perih di luka-lukaku ini tak tertahankan lagi. Meski aku selalu berharap luka-luka itu bisa sembuh dan aku dapat kembali kuat melangkah. Tapi tidak seperti itu adanya.

Kau tak pernah benar-benar ada di sini. Ketika aku butuh sebuah tangan untuk kupegang, hanya udara kosong yang dapat kugapai. Dan ketika langit hidupku begitu gelap dan membuat langkahku gentar, aku berharap ada sebuah pelita yang kau hadirkan di sini. Namun selalu, kembali aku hanya mampu sendiri memaksa diri meredam kegentaran jiwa ini. Memaksa untuk terus melangkah maju. Berharap bisa menemukanmu di depan sana. Mungkin tinggal beberapa langkah lagi. Atau hanya tinggal selangkah lagi...

Namun kau tak pernah ada di sini ataupun di sana. Seperti seorang pemimpi yang tak pernah ingin bangun dari tidurnya, aku pun terus melangkah dan berdendang, menghibur laraku sendiri. Membisikkan kata-kata penghiburan untuk telingaku sendiri. Dan meniupkan doa ke atas sana. Tuhan, tolong pertemukan kami...

Tapi, kakiku terasa begitu lelah kini. Tak mampu kuseret lagi. Meski masih ada sedikit asa yang tertinggal yang bercampur dengan ketidakrelaan untuk melepas impian hati. Tapi aku sungguh tak mampu lagi melangkah. Dan meskipun telah kuhabiskan waktu di sini, merenungkan perjuangan ini, berusaha mengumpulkan kembali semangat yang menyala seperti dulu, tak ada yang berubah. Tak ada yang terjadi. Masih, hanya aku di sini. Sendiri dalam lelahku. Di mana kau? Akankah ada hari di mana kau datang membawa pelita itu dan menggenggam tanganku untuk berjalan bersama?

Penantian ini serasa tak memiliki akhir. Seperti juga jalan ini, seakan tak berujung. Aku tak ingin lagi melangkah. Tak mampu. Jiwaku telah berontak. Meminta sebuah pembebasan untuk memilih jalan yang lain. Jalan yang dinaungi terang. Begitu menggoda. Begitu ingin kulepaskan jiwaku berlari serta mengajak ragaku ikut bersamanya. Meninggalkan jalan berliku ini, tempat kuberharap menemukanmu. Tapi aku masih tak rela. Tak rela melepaskan semua rasa dan asaku tentangmu. Tahukah kau? Rasakah kau apa yang kurasakan ini?

Apa itu bahagia? Bila hati dan jiwa terpenjara pada ikatan janji yang entah kapan menjadi nyata. Bagaimana mungkin bahagia itu bisa kugapai? Dan bila penjara ini kudobrak dengan paksa, akankah kusesali suatu hari nanti? Siapakah yang tahu? Kau? Tapi bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan jawab darimu, sementara dirimu sendiri tak mampu kutemukan di sini.

Inikah persimpangan itu? Bila akhirnya aku melangkah di jalan yang berbeda, akankah kecewa dirimu ketika kau tak menemukanku di sini, setia menunggumu? Bila kulakukan semuanya untuk bahagia diri ini, akankah kau tahu bahwa telah kuhabiskan ribuan malam menantimu di sini? Bahwa akhir seperti ini tak pernah kuinginkan terjadi?

Photo Link: google

Sabtu, 19 Juni 2010

Andai Aku Seekor Elang...


Andai aku seekor elang, akan kukepakkan sayapku ini sekuat yang aku bisa. Saat amarah menguasai dan membungkam semua kata yang telah berbaris, memaksa untuk mendobrak kebisuan yang memuakkan ini. Biar saja kubawa pergi semua ketidaksetujuanku akan sikapmu. Dan saat aku menggapai angkasa bebas itu, akan kuteriakkan amarahku. Biar dia lepas ditelan udara kosong dan tak bersisa meninggalkan goresan luka di dirimu dan juga di diriku ini. Karena bukan itu yang kumau. Bukan luka di sana atau di sini. Bukan. Aku hanya ingin didengarkan sebagai makhluk yang punya harga diri.

Tapi tidak seperti itu adanya. Aku bukan elang. Tapi seandainya pun aku elang, sayap-sayapku ini telah melemah termakan janji diri. Hanya bisa kutelan semua amarah, meracuni diriku sendiri. Membuatku sesak dan sekarat, tanpa kau sadari. Ataukah selama ini kau mengira diriku sekuat elang, karena sorot mataku tajam tak pernah membiarkan perihku terlihat? Atau karena kedua kakiku yang terlihat kokoh karena selalu kupaksa meredam gemetar yang ada? Atau karena selalu kutegakkan kepalaku meski hatiku remuk redam?

Aku bukan elang. Tapi saat ini aku ingin menjadi seekor elang. Terbang jauh ke dunia antah berantah, di mana tak ada satupun makhluk yang kukenal dan mengenalku. Biar tak ada masa yang mengikuti kepakan sayapku. Biar tak perlu basa dan basi menjadi topeng diri. Biar semua rasa ini bisa terurai dalam sapuan angin. Dan bila aku akhirnya lelah, akan kucari sebuah persinggahan, untuk sejenak berhenti. Sendiri dalam keheningan. Mencoba berteman dengannya dalam kepasrahan bukan keterpaksaan.

Akh... Andai aku seekor elang...

Photo link: google

Sabtu, 12 Juni 2010

Tolong Beri Aku Cinta...


Aku selalu benci rumah ini. Aku benci kamar ini. Aku benci seluruh isinya. Aku benci seluruh isi rumah ini. Ayahku, ibuku juga kakakku. Ya, aku benci semuanya. Bahkan diriku sendiri. Aku benci diriku.

Aku tak tahu saat ini ayahku ada di mana. Dia selalu tak ada di sini. Hanya muncul sekali waktu dan menghilang dengan cepat. Tak pernah berbicara padaku, bahkan rasanya dia tak pernah memandangku. Seakan-akan aku ini tak pernah kelihatan. Tapi aku tak peduli, seperti halnya dia tak pernah peduli padaku. Bagiku tak ada bedanya bila dia ada atau tidak. Benar-benar tak ada perbedaan. Ibuku? Dia selalu ada di sini. Di rumah ini. Bahkan seperti tak pernah beranjak dari tempatnya duduk. Di kursi malas reyot yang sudah bertahun-tahun menopang tubuhnya yang semakin hari semakin gemuk. Dia juga seperti ayahku, tak peduli padaku. Dia hanya peduli padaku ketika butuh seseorang untuk dimaki atau dijadikan sasaran kemarahan. Kadang-kadang aku sengaja memancing kemarahannya, mencoba menunjukkan kebencianku padanya. Seperti kemarin siang ketika aku menemukan nasi yang separuh basi di atas meja makan. Aku memuntahkan suapanku ke dalam piringku dan melempar piring kaleng itu ke tempat sampah, membuat bunyi kelontang yang membuatnya terlompat kaget. Saat itulah kata-kata makiannya meluncur, tapi aku sungguh tak peduli. Meski wajahnya seakan mau meledak dan urat lehernya membengkak tegang, aku berlalu meninggalkannya begitu saja.

Kakakku? Aku lebih-lebih benci padanya. Aku benci melihat rambut gondrongnya yang selalu licin berminyak dan lengket. Menjijikkan. Aku benci melihat lirikan matanya yang genit pada gadis-gadis tetangga dan aku benci melihatnya terus berjongkok di depan pagar rumah, menunggu seseorang untuk digodanya. Lelaki bodoh! Dia tak pernah sadar wajahnya selalu terlihat tolol!

Aku paling benci hari Sabtu dan Minggu. Aku benci hari yang panjang, hari di mana aku tak tahu harus ke mana. Tak ada sekolah tempat ku pergi, tak ada lapangan bola di samping sekolah tempat ku menghabiskan waktu seharian tak peduli tak ada yang bisa kulakukan di sana. Sebenarnya aku bisa saja berjalan kaki dari rumah ke tempat itu, tapi dengan langkah kakiku ini butuh waktu satu jam perjalanan. Aku tak suka berjalan kaki. Mengingatkanku pada mobil Pingky yang setiap hari parkir di halaman depan sekolah. Mengingatkanku pada kemiskinanku. Aku benci menjadi miskin. Aku benci ingat bahwa aku ini miskin. Tapi aku tak punya uang untuk naik ojek pada hari Sabtu seperti ini. Ibuku tak pernah memberiku uang lebih. Selalu pas. Pas untuk naik ojek, pulang dan pergi, Senin sampai Jumat. Bahkan aku tak pernah punya sepeser pun uang untuk jajan di sekolah. Huh! Aku benci saat bel istirahat berbunyi, itu tandanya sebentar lagi aku akan menyaksikan geromboralan orang berkumpul, menikmati bermacam-macam jajanan sambil bercanda ria. Tiap kali aku selalu harus bersembunyi di dalam toilet sekolah selama waktu itu agar tak terlihat sebagai makhluk aneh di antara mereka. Aku benci toilet sekolah. Aku benci baunya!

Hari ini aku bangun kesiangan, menyeret kakiku ke dapur. Tak ada makanan di meja. Memang tak pernah ada sarapan di rumah ini. Mengapa harus merasa heran? Ibuku yang pemarah itu sedang sibuk dengan cuciannya di kamar mandi. Dan ayahku seperti biasa sudah menghilang. Dia bagai hantu yang datang dan pergi secepat kilat. Mungkin dia juga sama sepertiku, benci rumah ini, benci istrinya yang semakin membengkak dan jelek, dan benci anak-anaknya yang menjijikkan dan yang juga membencinya. Kadang aku merasa udara di rumah ini telah teracuni. Racun kebencian yang kuat memenuhi udara, yang terkadang membuat napasku sesak pada malam hari ketika aku akan tidur. Dan aku sering merasa heran, entah mengapa aku masih juga hidup keesokan harinya. Aku benci harus bangun lagi!

Kakakku yang selalu merasa ganteng itu tengah berselonjor santai di kursi reyot ibuku. Di jarinya terselip sebatang rokok kretek yang sesekali dihisapnya dalam-dalam. Satu hal lagi yang sangat kubenci. Asap rokok itu, yang melayang ke mana-mana. Udara rumah ini bukan saja teracuni kebencian tapi juga nikotin sialan itu. Aku tak tahan lagi. Semua ini membuatku muak!

Kusambar tas selempangku, yang aku tahu persis apa isinya. Tak ada benda berharga. Hanya sebuah buku catatan jelek yang biasa kugunakan untuk menumpahkan kebencianku bila sedang memuncak. Dan sebuah dompet robek yang hampir kosong, yang hanya terselip sebuah kartu pelajar dan beberapa uang logam. Kubanting pintu depan keras-keras, sebagai pemberitahuan pada seisi rumah kalau aku pergi. Juga sekaligus melampiaskan kebencianku. Dadaku mulai terasa sesak, aku butuh udara segar.

Aku berjalan tanpa arah. Mau ke mana? Tak tahu. Jalan saja terus, ke mana saja. Ke neraka pun boleh! Bodoh amat! Mau tersesat, mau hilang, tak ada yang peduli padamu! Apa yang kau risaukan? Apa yang kau takutkan? Mati? Kau bahkan selalu mengemis-ngemis kematian pada Tuhan. Aku mendongak ke atas, ke langit biru. Dan kutemukan biru kosong di sana, seakan mengejekku tanpa wajah.

Kakiku melangkah lebih cepat. Napasku pun semakin cepat. Dadaku sesak. Angin berhembus kencang. Debu-debu jalan berterbangan, membutakan mataku. Aku menutup mataku. Tiba-tiba terdengar suara klakson dan ban berdecit keras yang memekakkan telingaku. Langkahku sontak terhenti. Mataku terbuka, mengerjap, mencoba melihat di antara perih.

Sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Kurang lima senti lagi, mencium tubuh kurusku ini. Seorang lelaki dengan wajah merah penuh kemarahan melongokkan kepalanya dari kaca jendela mobilnya.

“Mau mati yaaaa!!!!”

Aku menantang tatapannya dengan penuh kemarahan juga. “Kalau iya, kenapa???”

Dia memakiku gila sebelum memundurkan mobilnya sedikit dan melanjutkan perjalanan, lewat di sampingku.

Laki-laki kurang ajar! Kenapa tadi dia tidak menabrakku? Seandainya dia tidak mengerem, menabrak tubuhku ini sejauh lima meter ke depan dan kemudian digilas truk lagi dari belakang, mungkin sekarang aku sudah rata dengan aspal jalan tapi terbebas selamanya. Bebas dari tubuh tak berguna ini. Bebas dari kebencian ini. Bebas dari dunia menyebalkan ini. Bebas dari sesakku ini. Dan bayangkan, Ibuku yang pemalas itu terpaksa harus meninggalkan kursi reyotnya untuk menyambut tubuhku yang tak bernyawa lagi. Dia pasti akan marah sekali, karena aku membawa kesialan untuknya dengan kematianku, membuatnya tak bisa duduk tenang untuk satu hari ini di kursinya menikmati siaran televisi. Dan ayahku yang tak pernah ada di rumah itu, terpaksa harus pulang mengurusi pemakamanku, karena bagaimanapun besarnya kebencian yang dimilikinya, aku yakin dia tak akan meletakkan tubuhku di depan rumah untuk menjadi santapan anjing liar. Juga kakakku yang tolol itu, aku tertawa membayangkannya tak bisa melakukan kegiatan membosankan itu, menunggui gadis-gadis tetangga, karena hari ini dia terpaksa harus mau menunggui mayat adik yang dibencinya.

Angin bertiup semakin kencang. Aku berjalan lagi, tak peduli pada debu bercampur pasir yang berlomba masuk ke mataku yang terasa semakin perih. Rasanya ingin menyumpah-nyumpah orang itu. Menyumpah ketepatan kakinya menginjak rem. Ini pasti perbuatan Tuhan. Belum saatnya tiba, terdengar sebuah suara di kepalaku. Kurang ajar! Aku menengadah ke langit yang kini tampak abu-abu. Aku tidak minta dilahirkan! Aku tidak minta ada di dunia ini! Kau tahu itu! Kau tidak berhak memaksaku hidup! Bila aku tak ingin hidup, tak seorang pun bisa memaksaku! Tak juga dirimu yang Kau sebut Maha segalanya!

Petir menggelegar di atas kepalaku. Aku melihat beberapa orang berlarian, dan motor-motor sepanjang jalan itu berlari lebih cepat. Tiba-tiba wajahku terasa basah. Hujan. Bagus! Kini aku harus berhujan-hujan. Aku tak pernah membawa payung. Aku benci payung. Aku benci hujan. Aku benci dinginnya. Kutengadahkan wajahku ke atas dengan amarah yang memuncak. Aku benci Kau, Tuhan!!!!

Dan air hujan menyiram wajahku, bercampur dengan airmataku yang mengalir deras, masuk ke dalam mulutku saat gigiku yang belum sempat kusikat saling beradu akibat kemarahan yang tak bisa kuredam lagi. Tubuhku menggigil akibat dingin dan emosi yang berlebihan. Napasku semakin sesak, terhalang air hujan, udara yang basah dan setan kebencian di napasku. Aku mulai berlari, berlari lagi. Berlari lebih cepat. Lebih cepat lagi. Secepat yang aku bisa. Lari! Lari! Aku hanya ingin berlari. Berlari jauh. Lari dari hidup ini. Lari dari hujan ini. Lari dari kebencian yang semakin menyesakkan ini. Lari dari Ibuku yang gembrot itu. Lari dari rumahku yang kumuh dan beracun itu. Lari! Lari! Lari!!!

Napasku seakan terhenti. Seluruh urat-urat di tubuhku seakan mengejang kaku. Dan darahku rasanya membeku, seperti mesin pembuat botol yang tiba-tiba berhenti berputar, menyisakan botol-botol tolol berdiri diam dalam antrian. Seperti itulah bayangan sel-sel tubuhku terlihat saat itu. Dan aku terjatuh, celanaku basah, kotor, berlumpur. Wajah ibuku dengan kemarahannya terbayang di kepalaku. Ugh!!! Aku benci sekali padanya! Aku ingat sebutannya untukku, perempuan sial! Ya, aku memang sial. Selalu sial. Bisa lahir di dunia ini saja sudah cukup sial, apalagi terlahir di rumah sialan itu. Lututku terasa sakit, lecet. Tanganku pun demikian, menempel pada aspal keras yang basah. Aku terengah-engah, waktu seakan berhenti berputar saat itu. Tubuhku terguncang keras. Tak sanggup kutahan lagi semua ini. Isi hatiku ini, isi pikiranku ini, semuanya berdesakan ingin keluar. Dan teriakanku pada dunia. Aku berteriak keras. Aku sendiri tak tahu apa yang kuteriakkan. Aku tak peduli. Aku menangis, meraung-raung. Tak sadar lagi akan sekelilingku. Dan entah berapa lama itu terjadi, sampai kemudian aku membuka mataku dan seakan-akan diberi sebuah pencerahan, tepat di depan sana, tak jauh dari tempatku terjatuh, aku melihat rel kereta itu, di depanku, tertidur dengan damai seakan tersenyum padaku.

Perlahan aku bangkit. Ya, itu jawabannya. Jawaban atas tangis, jerit dan benciku. Aku terus berjalan. Pakaianku kini lengket, membungkus tubuh kurusku yang kedinginan. Tapi tak mengapa, sebentar lagi semua rasa yang kubenci ini akan hilang. Hilang selamanya. Dingin terkutuk ini. Sesak sialan ini. Rel itu semakin tampak jelas, kosong di sana. Aku mempercepat langkahku. Sebentar lagi, sebentar lagi…

Dan akhirnya kakiku menginjak besi rel itu. Aku tersenyum, tak pernah merasa sepuas ini. Teringat olehku Ridwan yang mengangkat piala juara umumnya pada perlombaan pidato kemarin. Seperti itu barangkali rasanya. Aku merebahkan diri di sana, mengatur posisiku tepat di tengah-tengah rel. Tanganku kubentangkan, membayangkan seandainya napasku terhenti tangan itu akan langsung berubah menjadi sayap yang mengembang dan menerbangkanku ke langit di atas sana, meninggalkan kehidupan busuk ini. Air hujan jatuh deras di wajahku, terasa sakit bagai butiran-butiran kristal yang dilemparkan. Tak mengapa. Sebentar lagi, semua sakit ini akan hilang. Semua benci ini. Semuanya…

Kututup mataku perlahan. Kuhirup napas-napas terakhirku dalam tarikan yang dalam, ingin menyalami sesakku dengan ucapan selamat tinggal. Meski aku membencinya, tapi dia selalu setia menemaniku. Ya, kebencian ini selalu setia menemaniku. Meski terkadang di tengah malam aku meringkuk sendirian di sudut ranjangku, ketakutan merasakan kebencian itu diam-diam mencekik leherku, ingin mengambilku dari hidup ini. Bukan aku takut mati. Tidak. Aku sangat mendambakan mati. Tapi aku tak mau bila mati itu berarti dibawa ke dunia lain oleh kebencian yang sama. Aku sudah muak padanya. Muak pada kebencian itu! Ia mengisi diriku terlalu penuh, menjadikanku seperti makhluk terkelam di muka bumi ini. Dan tak menyisakan sedikitpun tempat untuk hadirnya cinta.

Cinta? Huh! Aku tak mengenalnya sama sekali. Aku bahkan tak percaya dia ada. Dia itu hanya ilusi, sesuatu yang kosong. Sesuatu yang selalu dibicarakan orang-orang hanya sekedar agar ada bahan pembicaraan. Sesuatu yang jadi alasan, sebab dan akibat untuk semua yang terjadi di hidup ini. Orang menikah karena cinta, orang patah hati karena cinta, orang bunuh diri karena cinta, orang menangis karena cinta. Tapi dalam hidupku, pada diriku, tidak demikian adanya. Aku tak menemukan cinta itu dalam pernikahan Ibu dan ayahku. Aku patah hati karena kebencianku pada mereka, aku sekarang ingin bunuh diri karena kebencianku pada dunia dan benci itu sendiri. Aku sering menangis karena kebencian pada apa saja, siapa saja. Tidak ada cinta dalam hidupku. Meski sedikitpun. Yang ada hanya kebalikannya, kebencian. Hidupku penuh dengan kebencian yang berlimpah ruah.

Aku merasa diriku tengah melayang ketika sayup-sayup di antara suara hujan kudengar suara melengking. Tak jelas. Malaikat maut kah itu yang datang? Tanah di bawahku terasa bergetar. Jadi rasanya seperti ini, kematian itu? Seperti dunia terbelah? Tiba-tiba kurasakan tubuhku ditarik, diangkat. Dan kurasakan rasa panas menjalari tubuhku, bergesekan dengan sesuatu. Rasanya aku seperti dibawa berlari. Terdengar suara napas yang memburu di sela air jatuh. Kupaksa membuka mataku. Berat. Terdengar suara menggelegar datang tiba-tiba dan kemudian menghilang dengan cepat. Dan hembusan angin yang kencang menyambar bersamaan dengan suara itu. Lalu tubuhku terasa terhenti. Dan suara tarikan napas itu terdengar jelas kembali. Dan kurasakan sesuatu yang berdetak, menempel di kulitku. Kupaksa membuka mataku sekali lagi, bersiap melihat wajah kematian untuk pertama kalinya.

Wajah tua keriput begitu dekat dengan wajahku. Bahkan kurasakan napasnya yang masih memburu. Dia tengah menatap ke arahku dengan mata sendu dan iba. Mata itu basah, berlinang airmata.

Itu bukan wajah kematian. Itu wajah seorang kakek tua! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi???

“Nak, nak… Mengapa mau bunuh diri? Kau masih muda, apa yang membuatmu tak mau hidup lagi? Untung Bapak sempat menolongmu, Nak… Untung… Tuhan masih sayang padamu, Nak…”

Ia berkata padaku dengan suara penuh syukur, seakan-akan aku ini seseorang yang berarti baginya. Ia menggeleng-geleng, penuh penyesalan, seakan-akan ikut menyesali keputusanku untuk mengakhiri nyawaku. Mengapa dia peduli? Dia bukan siapa-siapa. Dia bukan ayahku yang selalu tak ada. Dia bukan ibuku yang selalu marah. Dan dia bukan kakakku yang selalu tak peduli padaku dan hidup dalam dunia tololnya. Dia bukan siapa-siapa. Lalu mengapa dia peduli?

Airmataku mengalir. Tapi kali ini aku menangis bukan karena aku benci padanya. Bukan karena aku benci tak jadi mati. Aku menangis karena kata-katanya, Untung, Tuhan masih sayang padamu, Nak… Benarkah itu? Benarkah Tuhan sayang padaku? Aku menangis karena airmatanya, karena kepeduliannya menyeret dan menggendongku lepas dari gilasan kereta api. Aku menangis karena dia begitu menghargai nyawaku yang tak berarti ini. Aku menangis karena untuk pertama kalinya aku melihat apa yang disebut cinta itu. Cinta itu kutemukan di wajah lelaki tua itu. Bukan di wajah ibuku, ayahku atau kakakku…

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memohon, berbisik penuh harap padanya dan pada Tuhan di atas sana, Tolong, beri aku cinta…

Photo Link: http://www.google.co.id/imglanding?q=sad%20woman%20photo&imgurl

Apa Kabar

Hai, apa kabar?
Sudah lama tidak bersua
Berbagi cerita
Bercanda riang

Ingat masa lalu?
Ada tawamu di ingatan
Merdu celotehmu
Indah terngiang

Ketika mendung datang
Katamu pun menjadi bisu
Tersisa isak
Mengiris hati

Selalu ada senyum
Saat mentari kembali bersinar
Kita bergandengan
Melangkah bersama

Saat genggaman terlepas
Langkah tak lagi searah
Hati melekat
Selamanya denganmu

Hai, apa kabar?
Masih ingatkah kau padaku?
Aku ingat
Aku rindu...

Jumat, 11 Juni 2010

Sepak Bola


Suami masuk ke kamar dengan wajah cerah.

Isteri: "Bolanya uda abis?"

Suami: "Udah."

Isteri: "Siapa menang?"

Suami: "Draw." Senyum lebar. "Gue menang setengah."

Isteri: "Apaaa????" (Melotot)

Suami: "Gue menang, kok lu marah? Gue menang, Say..."

Isteri: "Gue marah bukan karena lu menang atau kalah. Gue marah karena lu judi!"

Suami: (_ _)"


Questions:

1. Kenapa orang-orang sering berkata: Gak seru nonton bola kalo gak taruhan?

2. Jadi sebenarnya pro ke sebuah team sepak bola itu karena nge-fans ama permainan team-nya atau karena faktor investasi duitnya di kemenangan team itu? (Soalnya dari cerita pendek di atas, si suami hepi-hepi aja karena 'menang setengah' walau pun team unggulannya kagak menang).

3. Sebenarnya yang bikin piala dunia itu rame, pertandingan bolanya sendiri atau taruhan di balik pertandingannya?

Lagi bingung mengamati perilaku orang-orang seputar piala dunia yang bikin heboh sekitar televisi dan bikin sepi sepanjang jalan raya... Ada yang pengen menjawab? Atau malah ada yang pengen ikut bertanya???

Rabu, 09 Juni 2010

Hidup

Dengan kondisi masih melayang-layang, Fika membuka pintu toilet wanita. Baru saja kakinya melangkah masuk, ia tertegun melihat ramai orang yang berkerumun, tengah memandangi sesuatu di lantai. Fika mendekat. Ia tercekat.

Seorang gadis muda terkapar di lantai. Mulutnya mengeluarkan busa dan tubuhnya mengejang sekali-sekali. Matanya masih terbuka, menatap lemah, kosong ke udara. Dan seorang gadis lain, yang tampaknya teman gadis yang terkapar itu, berjongkok di sebelahnya. Panik memanggil-manggil nama gadis itu, yang tampaknya sudah setengah sadar.

Terdengar gumaman tak jelas dari orang-orang di sekeliling. Tak ada yang membantu. Tampaknya semuanya ketakutan dan bingung. Ataukah memang tak ada benar-benar peduli, selain menjadikan hal itu sebagai tontonan?

Fika mendekat. Jantungnya bertalu cepat. Keringat dingin membasahi keningnya. Masih ada sisa pengaruh dari sebutir obat yang diminumnya tadi ditambah dengan rasa shock-nya melihat kejadian di depan matanya itu. Begitu nyata. Begitu menyedihkan. Dan tiba-tiba ia merasa ditampar keras. Kepalanya terasa semakin berat. Ia mundur, bersandar pada wastafel. Matanya mengabur. Tiba-tiba ia ingin menangis.

Gadis itu, dengan tatapan kosong dan lemah, seakan sedang mengiba pada kehidupan. Akankah dia mati? Sadarkah dia apa yang tengah dialaminya? Menyesalkah dirinya? Ataukah ia telah pasrah, sengaja mengundang kematian itu sendiri?

Bukankah dirinya pun seperti itu? Mengejek dan menantang kematian? Bila tidak, lalu apa yang dilakukannya di sini? Di diskotik yang dipenuhi orang-orang tak bahagia yang mencari kebahagiaan semu ini? Menggunakan segala cara dan mempersetankan nilai sebuah kehidupan itu sendiri. Menyampahkan kehidupan, tidak menginginkannya dan terus-menerus meneriakkan rasa putus asa dan kecewa pada kehidupan. Tapi sebenarnya mereka tak pernah benar-benar sadar bagaimana bila akhirnya kehidupan itu benar-benar pergi? Dan kini, ketika ia menyaksikan sendiri di depan matanya kematian begitu dekat, ia begitu terguncang.

Seorang wanita berseragam masuk. Sepertinya karyawan dari gedung itu. Ia mendekat, menyuruh semua orang menjauh. Ia lalu memberi pengarahan pada gadis satunya lagi. Dan akhirnya bersama-sama mereka memapah gadis yang OD itu keluar dari toilet.

Fika hanya mampu memandangi kepergian gadis itu dengan sebuah harap dalam hatinya, semoga gadis malang dan tak bahagia itu tertolong.

Di luar toilet seorang lelaki baik hati telah menunggunya. Lelaki yang belakangan ini menemaninya, menggantikan kekosongan hatinya. Lelaki itu tampak khawatir melihat wajah pucat Fika. Namun Fika tak mampu berkata, tak mampu menceritakan apa yang telah terjadi di dalam sana. Lelaki itu, bukan lelaki yang dicintainya. Tapi juga bukan lelaki yang telah membuatnya melangkah masuk ke dunia kelam itu. Bukan. Bukan dia. Tapi lelaki yang lain. Lelaki yang telah menghancurkan hatinya menjadi kepingan-kepingan tak berharga. Lelaki yang sangat dicintainya, dipujanya dan menjadi harapan hidupnya. Lelaki yang telah datang, menawarkan cinta dan memberikan cintanya di awal. Namun lelaki itu pulalah yang kemudian menghempaskannya jatuh tanpa perasaan. Meski kata maaf terucap. Meski ia menyatakan ribuan penyesalan. Namun tetap saja, Fika merasa tak berharga lagi ketika cinta itu harus pergi.

Di dalam kamarnya yang remang-remang dan sepi malam itu, Fika duduk sendiri. Mengambil kertas dan pena. Ia harus menuliskan sebuah surat. Surat untuk lelaki itu. Lelaki yang telah memporakporandakan hati dan hidupnya.

Tadi, aku melihat seorang gadis terkapar OD di lantai toilet. Kasihan sekali. Ekspresi wajah gadis itu sarat akan kesedihan dan keputusasaan. Tapi entah mengapa, aku mendengar sebuah teriakan minta tolong darinya. Minta agar bisa dilepaskan dari kematian yang seakan sudah siap menjemputnya. Dan aku melihat diriku di sana, terbaring tanpa daya, sama seperti gadis itu. Dan aku tiba-tiba merasa begitu iba pada diriku sendiri. Diriku yang belakangan ini begitu kubenci. Yang juga begitu membenci hidup tapi sekaligus takut pada kematian. Ya, belakangan ini aku berusaha membuang hidup dan mengundang kematian. Semua ini karena dirimu. Kau yang membuatku begini.

Tahukah kau kalau aku mencintaimu dengan begitu besar? Lebih besar dari cintaku pada diri dan hidupku sendiri? Dan ketika kau mengecewakanku, aku marah pada diriku sendiri. Marah karena aku tak cukup pantas untuk kau cintai. Marah karena aku tak mampu membuatmu mencintaiku sebesar rasa cintaku ini. Dan aku menghukum diriku sendiri dengan mencoba menghancurkan diriku sendiri. Serta mencoba menghancurkan hidup yang aku miliki. Karena hidup ini tak lagi menjadi indah tanpa kau di sini.

Tapi aku juga marah padamu. Marah karena cintamu tak pernah menjadi benar-benar baik, seperti apa yang terucap dulu. Ketika kau melangkahkan kakimu menjauh dariku, jalan di hadapanku langsung menghilang, tak berbekas. Dan aku merasa seperti dihadapkan ke tepi tebing yang tinggi dan curam. Begitu ingin diri ini melompat ke bawah sana. Melayang jatuh dan hancur berkeping-keping tanpa bentuk lagi. Biar saja. Bukankah kau tak peduli? Aku pun tak peduli lagi. Biar mati sekalian rasa ini. Biar punah sekalian diri ini. Menghilang selamanya.

Tapi, tahukah kau di balik semua rasa marahku ini? Hatiku sebenarnya bersedih. Bersedih karena cintaku telah terbang meninggalkanku. Dan meski aku telah mengemis dan mengiba pada kehidupan, dia tetap saja begitu arogan, tak berbelas kasih padaku. Karena itu aku membencinya, tak ingin lagi menyambutnya. Dan aku tak pernah mau mengakui kesedihanku ini. Memakai topeng kemarahan ini, padahal di dalam diri ini sebenarnya ada harap bila kehidupan mau menampakkan wajah baiknya kembali padaku. Dan tadi, di wajah gadis itu aku melihat topeng yang sama. Aku merasakan harapan yang sama. Sama seperti diriku.

Aku tak tahu apa yang akan kutemui esok hari. Juga tak tahu harus bagaimana menghadapi hidup yang masih terus berlanjut ini. Tapi, aku tak mau lagi menantang kematian. Tidak. Aku tak ingin seperti gadis itu. Aku berharap dia baik-baik saja dan masih diberi kesempatan oleh kehidupan. Karena aku tahu dia pun tak benar-benar menginginkan kematian. Hanya saja ia telah begitu putus asa dan kecewa dalam menemukan cinta bagi dirinya sendiri.

Aku akan mencoba memulai hidupku yang baru, di lembaran yang baru. Tanpamu. Tanpa mengingatmu dan semua rasa indah serta sakit yang pernah ada. Akan kulepaskan semua, agar aku mampu bernapas lagi dalam hidup ini. Aku tak ingin tenggelam dalam duka dan perihku ini. Juga tak ingin lagi memakai topeng ketegaran palsu. Aku ingin belajar mencintai diriku kembali. Dan belajar merangkak maju. Semoga suatu hari nanti aku akan dapat berdiri dan berjalan kembali di atas kedua kakiku. Semoga...

Fika melipat surat itu, memasukkannya dalam amplop dan meletakkannya di meja. Mungkin besok akan diposkannya. Mungkin juga tidak. Tidak penting lagi. Yang terpenting, dia telah mengungkapkan semua kejujuran hatinya. Dan juga telah membuat pilihan untuk kembali menyambut hidup seperti dulu lagi...

Selasa, 08 Juni 2010

Di Mana Kunci Jiwaku?

Rasanya berat untuk membuka mata. Ada apa? Entah... Jam tidur yang kurang? Tidak juga. Malah belakangan ini tidur selalu menjadi lebih panjang. Hampir setiap hari bangun ketika matahari telah naik tinggi. Tapi tidur tidak juga menjadi pelepas lelah dan beban. Malah selalu rasanya begitu lelah untuk bangun dan menyambut dunia kembali.

Sering terbangun dalam tidur. Berpikir tentang banyak hal. Hal-hal penting yang sebenarnya tidak penting. Ya, terlalu banyak hal tidak penting dalam hidup ini yang terlihat seakan-akan penting atau dibuat menjadi penting. Dan rasanya mulai muak sendiri.

Terlintas di pikiran, apakah tidur ini kini telah menjadi kegiatan untuk melarikan diri dari kehidupan dan dunia? Mungkin. Hanya ingin menutup mata selama mungkin dan tidak mempedulikan apapun, siapa pun. Bahkan diri sendiri, juga pikiran sendiri dan hati ini. Hati yang belakangan ini tak pernah merasa bahagia, mengecil dan merasa terasing.

Walau telah mencoba menghibur hati dengan nyanyian gembira, dengan wajah-wajah ceria, namun tetap saja ia masih merajuk. Dan pikiran ini entah berkelana ke mana, tak pernah mau diam sejenak. Tak mau bersahabat dengan hening. Berlari, berputar, tersesat... Meski saat mata telah menutup, mencoba melupakan semua. Melupakan hati dan pikiran. Tak pernah mampu.

Aku lelah, dan sangat lelah karena tak tahu darimana lelah itu berasal. Aku butuh bicara pada sang Jiwa. Karena dia yang tahu segalanya. Segalanya tentang aku, hatiku dan pikiranku. Mengapa mereka tak bahagia, mengapa mereka tersesat. Dan mengapa energi jiwaku perlahan menghilang. Entah terhisap ke mana dan oleh apa.

Tapi di manakah kunci pintu jiwaku? Hilang? Aku mencari dan mencari. Mengapa tak jua terlihat? Tahukah kau di mana bisa kutemukan? Tolong beritahu padaku. Tolong bantu aku mencarinya. Agar aku bisa membuka pintu itu, masuk ke dalam dan bicara pada jiwaku...

Sabtu, 05 Juni 2010

Sepotong Catatan Hidup...

June 5, 2010
Jakarta

Pagi ini aku bersiap mengunjungi seorang teman baik di rumah sakit. Anaknya sakit. Sakit parah yang entah bisa disembuhkan atau tidak. Namun ada harapan sembuh, itu menurut data statistik yang ada. Hanya saja butuh waktu dan pengobatan yang mahal, panjang dan menguras energi. Energi sang Anak dan energi jiwa si Ibu. Entah ini kabar yang melegakan atau malah sebaliknya. Bagiku sama saja. Dari semenjak mendengar kabar itu, aku merasa tak pantas untuk bisa tersenyum lagi.

Dia bukan siapa-siapa untukku. Itu benar. Kalau ditinjau dari darah, kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Tapi dalam hidupku yang tidak ramai ini, yang diisi dengan hanya beberapa orang saja, dia benar-benar seseorang untukku. Aku ingat awal pertemanan kami dulu. Semuanya begitu lancar mengalir hingga hari ini. Dia bukan tipikal orang yang selalu ceria dan berbagi cerita. Tidak. Aku lah si pendongeng setiap kali kami bertemu. Dan dia, selalu mendengarkan dengan setia. Terkadang aku mengingatkan diri untuk tidak banyak berceloteh lagi di pertemuan berikutnya. Aku pikir, mungkin sebenarnya dia juga ingin bercerita tentang dirinya, hanya saja aku tidak memberinya kesempatan. Lalu pada kali berikutnya, tetap saja aku menjadi pendongeng. Tetap saja dia tersenyum, tertawa dan mendengarkan dengan serius. Butuh waktu yang lama hingga akhirnya aku mengerti, dia suka mendengarkan cerita hidupku. Mungkin seperti pergi menonton film atau membaca sebuah buku, atau makan ice cream sambil memperhatikan orang-orang sekitar. Sebuah kesenangan. Sebuah hiburan. Dan aku baru mengerti bahwa tidak semua orang suka bercerita. Dan tidak selamanya berteman berarti harus saling berbicara. Terkadang kau menemukan seorang teman baik, yang di mana saat bersamanya kau merasa nyaman tanpa perlu melakukan atau mengatakan apapun. Itulah bentuk hubungan kami. Hubunganku dengan dia.

Aku selalu menganggapnya sebagai sebuah bagian yang penting, meski kami jarang bertemu. Terkadang dengan kata-katanya yang sedikit, dia membagikan kebijaksanaan hidup padaku. Sering aku malah belajar tentang hidup dan manusia itu sendiri dari dirinya. Dan aku bangga memiliki teman sepertinya. Bukan karena kesempurnaannya, tapi lebih karena kesederhanaannya dalam sebuah diri yang sesungguhnya sangat hebat.

Belakangan menemaninya dalam sebuah jalan pendek berkerikil tajam, babak baru kehidupannya, aku sempat memaki kehidupan. Hidup yang tiba-tiba begitu kejam padanya. Seperti sebuah tsunami yang memporakporandakan kehidupan damai di sebuah tempat yang damai. Aku sempat khawatir, akankah kedamaian itu kembali lagi? Tapi ternyata, damai itu berganti dengan sebuah kebahagiaan baru ketika cahaya mentari datang menyinari tempat itu. Aku melihatnya memunguti serpihan-serpihan hidupnya. Dan aku melihatnya merekatkan serpihan-serpihan itu dengan sabarnya. Dan sepanjang waktu itu aku kembali belajar tentang kebesaran hati. Aku telah memaki, namun dia yang menjadi obyek penderita tak mengeluarkan sebuah kata umpatan.

Perjuangan hidupnya kuikuti bak sebuah cerita episode yang tak bisa kutinggalkan. Ada harapan di sini, di hatiku. Harapan bahwa cerita akan berakhir happy ending. Dan ketika sesosok manusia baru lahir dari rahimnya dan membawa kebahagiaan baru, aku menarik napas lega. Babak baru kehidupan dimulai. Episode baru. Episode yang menggembirakan. Episode kemarin yang penuh duka dan airmata telah berganti.

Tapi aku salah. Baru sepotong episode, cerita telah berubah. Berganti menjadi duka kembali. Cahaya yang ada perlahan meredup. Kabar buruk datang. Si anak sakit. Aku terpuruk. Kali ini bukan memaki kehidupan, tapi melontarkan protes pada si Pencipta. Apa yang Kau inginkan??? Sungguh, bukan aku ingin menjadi murtad. Tapi sakit ini, seperti sesuatu yang akan direnggut dariku. Dia bukan darah dagingku. Bukan juga siapa-siapa. Tapi anak itu, permata hatinya. Dia, sosok luar biasa yang telah kuikuti jalan hidupnya selama ini. Dia harusnya pantas mendapatkan yang lebih baik dari apa yang terjadi sekarang ini.

Tapi siapakah aku ini yang berhak menilai? Aku hanya seorang bodoh yang tak pernah mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya. Aku hanya terlalu tolol untuk bisa mengerti maksud sang Pencipta. Pasti ada maksud baik di balik semua ini. Yang terbaik menurut-Nya. Meski aku tak tahu apa itu. Meski aku tak bisa menerka hingga detik ini. Semoga. Aku berharap. Sangat berharap...

Hidup dan mati adalah sebuah misteri yang tak pernah benar-benar terpecahkan. Siapakah kita ini manusia, hingga mampu berbicara, berbuat dan mengerti secara sempurna? Kita yang selalu penuh dengan keinginan diri, harapan dan mimpi... Kini aku hanya berharap jalan berkerikil tajam ini akan cepat berakhir, jangan tak berujung. Dan hanya berharap, bila memang jalan ini harus dilewatinya, semoga aku dapat menjadi sepatu baginya. Ikut merasakan sakit dan perihnya, agar sakit dan perihnya bisa berkurang dan tak merobek-robek jiwanya.

Semoga...

Rabu, 02 Juni 2010

Cinta Yang Samakah?


Apakah kita bicara tentang cinta yang sama? Seperti apakah cintamu? Cinta tanpa batas dan syarat? Ataukah cinta yang hanya kebetulan juga bernama cinta, namun tak punya sayap untuk terbang bebas? Yang selalu dibalut dengan ikatan yang menyesakkan. Dengan berjuta alasan atas nama kebahagiaan yang tak pernah berwujud nyata. Hanya ada dalam impian yang terasa semakin mengabur. Ditemani harap yang tinggal memiliki napas satu-satu...

Tak tahu apakah telah mati ketika masih hidup. Ataukah berharap tetap hidup dalam kematian. Dan begitu tragisnya, tak tahu menghitung tahun, bulan, hari, ataukah jam, menit atau detik... Kau tetap tak punya secuil keberanian membebaskan cintamu. Melihatnya terbang bebas. Tersenyum. Bahagia. Merelakan bahagia mengisi seluruh relung jiwanya. Meski mungkin bahagianya tak menyisakan tempat untukmu. Atau mungkin masih ada tempat di sana? Siapa yang dapat menjawabnya? Kau? Aku tidak...

Jadi, apakah kita bicara tentang cinta yang sama? Karena telah kubuka ikatan pada sayap cintaku. Kini kulihat dia terbang bebas. Sebebas jiwaku kini. Dan bila mati mendekat atau hidup berulang, tak akan ada perbedaan apapun bagiku.

Karena setidaknya aku telah pernah bahagia..

Photo Link: google

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya