Sabtu, 12 Juni 2010

Tolong Beri Aku Cinta...


Aku selalu benci rumah ini. Aku benci kamar ini. Aku benci seluruh isinya. Aku benci seluruh isi rumah ini. Ayahku, ibuku juga kakakku. Ya, aku benci semuanya. Bahkan diriku sendiri. Aku benci diriku.

Aku tak tahu saat ini ayahku ada di mana. Dia selalu tak ada di sini. Hanya muncul sekali waktu dan menghilang dengan cepat. Tak pernah berbicara padaku, bahkan rasanya dia tak pernah memandangku. Seakan-akan aku ini tak pernah kelihatan. Tapi aku tak peduli, seperti halnya dia tak pernah peduli padaku. Bagiku tak ada bedanya bila dia ada atau tidak. Benar-benar tak ada perbedaan. Ibuku? Dia selalu ada di sini. Di rumah ini. Bahkan seperti tak pernah beranjak dari tempatnya duduk. Di kursi malas reyot yang sudah bertahun-tahun menopang tubuhnya yang semakin hari semakin gemuk. Dia juga seperti ayahku, tak peduli padaku. Dia hanya peduli padaku ketika butuh seseorang untuk dimaki atau dijadikan sasaran kemarahan. Kadang-kadang aku sengaja memancing kemarahannya, mencoba menunjukkan kebencianku padanya. Seperti kemarin siang ketika aku menemukan nasi yang separuh basi di atas meja makan. Aku memuntahkan suapanku ke dalam piringku dan melempar piring kaleng itu ke tempat sampah, membuat bunyi kelontang yang membuatnya terlompat kaget. Saat itulah kata-kata makiannya meluncur, tapi aku sungguh tak peduli. Meski wajahnya seakan mau meledak dan urat lehernya membengkak tegang, aku berlalu meninggalkannya begitu saja.

Kakakku? Aku lebih-lebih benci padanya. Aku benci melihat rambut gondrongnya yang selalu licin berminyak dan lengket. Menjijikkan. Aku benci melihat lirikan matanya yang genit pada gadis-gadis tetangga dan aku benci melihatnya terus berjongkok di depan pagar rumah, menunggu seseorang untuk digodanya. Lelaki bodoh! Dia tak pernah sadar wajahnya selalu terlihat tolol!

Aku paling benci hari Sabtu dan Minggu. Aku benci hari yang panjang, hari di mana aku tak tahu harus ke mana. Tak ada sekolah tempat ku pergi, tak ada lapangan bola di samping sekolah tempat ku menghabiskan waktu seharian tak peduli tak ada yang bisa kulakukan di sana. Sebenarnya aku bisa saja berjalan kaki dari rumah ke tempat itu, tapi dengan langkah kakiku ini butuh waktu satu jam perjalanan. Aku tak suka berjalan kaki. Mengingatkanku pada mobil Pingky yang setiap hari parkir di halaman depan sekolah. Mengingatkanku pada kemiskinanku. Aku benci menjadi miskin. Aku benci ingat bahwa aku ini miskin. Tapi aku tak punya uang untuk naik ojek pada hari Sabtu seperti ini. Ibuku tak pernah memberiku uang lebih. Selalu pas. Pas untuk naik ojek, pulang dan pergi, Senin sampai Jumat. Bahkan aku tak pernah punya sepeser pun uang untuk jajan di sekolah. Huh! Aku benci saat bel istirahat berbunyi, itu tandanya sebentar lagi aku akan menyaksikan geromboralan orang berkumpul, menikmati bermacam-macam jajanan sambil bercanda ria. Tiap kali aku selalu harus bersembunyi di dalam toilet sekolah selama waktu itu agar tak terlihat sebagai makhluk aneh di antara mereka. Aku benci toilet sekolah. Aku benci baunya!

Hari ini aku bangun kesiangan, menyeret kakiku ke dapur. Tak ada makanan di meja. Memang tak pernah ada sarapan di rumah ini. Mengapa harus merasa heran? Ibuku yang pemarah itu sedang sibuk dengan cuciannya di kamar mandi. Dan ayahku seperti biasa sudah menghilang. Dia bagai hantu yang datang dan pergi secepat kilat. Mungkin dia juga sama sepertiku, benci rumah ini, benci istrinya yang semakin membengkak dan jelek, dan benci anak-anaknya yang menjijikkan dan yang juga membencinya. Kadang aku merasa udara di rumah ini telah teracuni. Racun kebencian yang kuat memenuhi udara, yang terkadang membuat napasku sesak pada malam hari ketika aku akan tidur. Dan aku sering merasa heran, entah mengapa aku masih juga hidup keesokan harinya. Aku benci harus bangun lagi!

Kakakku yang selalu merasa ganteng itu tengah berselonjor santai di kursi reyot ibuku. Di jarinya terselip sebatang rokok kretek yang sesekali dihisapnya dalam-dalam. Satu hal lagi yang sangat kubenci. Asap rokok itu, yang melayang ke mana-mana. Udara rumah ini bukan saja teracuni kebencian tapi juga nikotin sialan itu. Aku tak tahan lagi. Semua ini membuatku muak!

Kusambar tas selempangku, yang aku tahu persis apa isinya. Tak ada benda berharga. Hanya sebuah buku catatan jelek yang biasa kugunakan untuk menumpahkan kebencianku bila sedang memuncak. Dan sebuah dompet robek yang hampir kosong, yang hanya terselip sebuah kartu pelajar dan beberapa uang logam. Kubanting pintu depan keras-keras, sebagai pemberitahuan pada seisi rumah kalau aku pergi. Juga sekaligus melampiaskan kebencianku. Dadaku mulai terasa sesak, aku butuh udara segar.

Aku berjalan tanpa arah. Mau ke mana? Tak tahu. Jalan saja terus, ke mana saja. Ke neraka pun boleh! Bodoh amat! Mau tersesat, mau hilang, tak ada yang peduli padamu! Apa yang kau risaukan? Apa yang kau takutkan? Mati? Kau bahkan selalu mengemis-ngemis kematian pada Tuhan. Aku mendongak ke atas, ke langit biru. Dan kutemukan biru kosong di sana, seakan mengejekku tanpa wajah.

Kakiku melangkah lebih cepat. Napasku pun semakin cepat. Dadaku sesak. Angin berhembus kencang. Debu-debu jalan berterbangan, membutakan mataku. Aku menutup mataku. Tiba-tiba terdengar suara klakson dan ban berdecit keras yang memekakkan telingaku. Langkahku sontak terhenti. Mataku terbuka, mengerjap, mencoba melihat di antara perih.

Sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Kurang lima senti lagi, mencium tubuh kurusku ini. Seorang lelaki dengan wajah merah penuh kemarahan melongokkan kepalanya dari kaca jendela mobilnya.

“Mau mati yaaaa!!!!”

Aku menantang tatapannya dengan penuh kemarahan juga. “Kalau iya, kenapa???”

Dia memakiku gila sebelum memundurkan mobilnya sedikit dan melanjutkan perjalanan, lewat di sampingku.

Laki-laki kurang ajar! Kenapa tadi dia tidak menabrakku? Seandainya dia tidak mengerem, menabrak tubuhku ini sejauh lima meter ke depan dan kemudian digilas truk lagi dari belakang, mungkin sekarang aku sudah rata dengan aspal jalan tapi terbebas selamanya. Bebas dari tubuh tak berguna ini. Bebas dari kebencian ini. Bebas dari dunia menyebalkan ini. Bebas dari sesakku ini. Dan bayangkan, Ibuku yang pemalas itu terpaksa harus meninggalkan kursi reyotnya untuk menyambut tubuhku yang tak bernyawa lagi. Dia pasti akan marah sekali, karena aku membawa kesialan untuknya dengan kematianku, membuatnya tak bisa duduk tenang untuk satu hari ini di kursinya menikmati siaran televisi. Dan ayahku yang tak pernah ada di rumah itu, terpaksa harus pulang mengurusi pemakamanku, karena bagaimanapun besarnya kebencian yang dimilikinya, aku yakin dia tak akan meletakkan tubuhku di depan rumah untuk menjadi santapan anjing liar. Juga kakakku yang tolol itu, aku tertawa membayangkannya tak bisa melakukan kegiatan membosankan itu, menunggui gadis-gadis tetangga, karena hari ini dia terpaksa harus mau menunggui mayat adik yang dibencinya.

Angin bertiup semakin kencang. Aku berjalan lagi, tak peduli pada debu bercampur pasir yang berlomba masuk ke mataku yang terasa semakin perih. Rasanya ingin menyumpah-nyumpah orang itu. Menyumpah ketepatan kakinya menginjak rem. Ini pasti perbuatan Tuhan. Belum saatnya tiba, terdengar sebuah suara di kepalaku. Kurang ajar! Aku menengadah ke langit yang kini tampak abu-abu. Aku tidak minta dilahirkan! Aku tidak minta ada di dunia ini! Kau tahu itu! Kau tidak berhak memaksaku hidup! Bila aku tak ingin hidup, tak seorang pun bisa memaksaku! Tak juga dirimu yang Kau sebut Maha segalanya!

Petir menggelegar di atas kepalaku. Aku melihat beberapa orang berlarian, dan motor-motor sepanjang jalan itu berlari lebih cepat. Tiba-tiba wajahku terasa basah. Hujan. Bagus! Kini aku harus berhujan-hujan. Aku tak pernah membawa payung. Aku benci payung. Aku benci hujan. Aku benci dinginnya. Kutengadahkan wajahku ke atas dengan amarah yang memuncak. Aku benci Kau, Tuhan!!!!

Dan air hujan menyiram wajahku, bercampur dengan airmataku yang mengalir deras, masuk ke dalam mulutku saat gigiku yang belum sempat kusikat saling beradu akibat kemarahan yang tak bisa kuredam lagi. Tubuhku menggigil akibat dingin dan emosi yang berlebihan. Napasku semakin sesak, terhalang air hujan, udara yang basah dan setan kebencian di napasku. Aku mulai berlari, berlari lagi. Berlari lebih cepat. Lebih cepat lagi. Secepat yang aku bisa. Lari! Lari! Aku hanya ingin berlari. Berlari jauh. Lari dari hidup ini. Lari dari hujan ini. Lari dari kebencian yang semakin menyesakkan ini. Lari dari Ibuku yang gembrot itu. Lari dari rumahku yang kumuh dan beracun itu. Lari! Lari! Lari!!!

Napasku seakan terhenti. Seluruh urat-urat di tubuhku seakan mengejang kaku. Dan darahku rasanya membeku, seperti mesin pembuat botol yang tiba-tiba berhenti berputar, menyisakan botol-botol tolol berdiri diam dalam antrian. Seperti itulah bayangan sel-sel tubuhku terlihat saat itu. Dan aku terjatuh, celanaku basah, kotor, berlumpur. Wajah ibuku dengan kemarahannya terbayang di kepalaku. Ugh!!! Aku benci sekali padanya! Aku ingat sebutannya untukku, perempuan sial! Ya, aku memang sial. Selalu sial. Bisa lahir di dunia ini saja sudah cukup sial, apalagi terlahir di rumah sialan itu. Lututku terasa sakit, lecet. Tanganku pun demikian, menempel pada aspal keras yang basah. Aku terengah-engah, waktu seakan berhenti berputar saat itu. Tubuhku terguncang keras. Tak sanggup kutahan lagi semua ini. Isi hatiku ini, isi pikiranku ini, semuanya berdesakan ingin keluar. Dan teriakanku pada dunia. Aku berteriak keras. Aku sendiri tak tahu apa yang kuteriakkan. Aku tak peduli. Aku menangis, meraung-raung. Tak sadar lagi akan sekelilingku. Dan entah berapa lama itu terjadi, sampai kemudian aku membuka mataku dan seakan-akan diberi sebuah pencerahan, tepat di depan sana, tak jauh dari tempatku terjatuh, aku melihat rel kereta itu, di depanku, tertidur dengan damai seakan tersenyum padaku.

Perlahan aku bangkit. Ya, itu jawabannya. Jawaban atas tangis, jerit dan benciku. Aku terus berjalan. Pakaianku kini lengket, membungkus tubuh kurusku yang kedinginan. Tapi tak mengapa, sebentar lagi semua rasa yang kubenci ini akan hilang. Hilang selamanya. Dingin terkutuk ini. Sesak sialan ini. Rel itu semakin tampak jelas, kosong di sana. Aku mempercepat langkahku. Sebentar lagi, sebentar lagi…

Dan akhirnya kakiku menginjak besi rel itu. Aku tersenyum, tak pernah merasa sepuas ini. Teringat olehku Ridwan yang mengangkat piala juara umumnya pada perlombaan pidato kemarin. Seperti itu barangkali rasanya. Aku merebahkan diri di sana, mengatur posisiku tepat di tengah-tengah rel. Tanganku kubentangkan, membayangkan seandainya napasku terhenti tangan itu akan langsung berubah menjadi sayap yang mengembang dan menerbangkanku ke langit di atas sana, meninggalkan kehidupan busuk ini. Air hujan jatuh deras di wajahku, terasa sakit bagai butiran-butiran kristal yang dilemparkan. Tak mengapa. Sebentar lagi, semua sakit ini akan hilang. Semua benci ini. Semuanya…

Kututup mataku perlahan. Kuhirup napas-napas terakhirku dalam tarikan yang dalam, ingin menyalami sesakku dengan ucapan selamat tinggal. Meski aku membencinya, tapi dia selalu setia menemaniku. Ya, kebencian ini selalu setia menemaniku. Meski terkadang di tengah malam aku meringkuk sendirian di sudut ranjangku, ketakutan merasakan kebencian itu diam-diam mencekik leherku, ingin mengambilku dari hidup ini. Bukan aku takut mati. Tidak. Aku sangat mendambakan mati. Tapi aku tak mau bila mati itu berarti dibawa ke dunia lain oleh kebencian yang sama. Aku sudah muak padanya. Muak pada kebencian itu! Ia mengisi diriku terlalu penuh, menjadikanku seperti makhluk terkelam di muka bumi ini. Dan tak menyisakan sedikitpun tempat untuk hadirnya cinta.

Cinta? Huh! Aku tak mengenalnya sama sekali. Aku bahkan tak percaya dia ada. Dia itu hanya ilusi, sesuatu yang kosong. Sesuatu yang selalu dibicarakan orang-orang hanya sekedar agar ada bahan pembicaraan. Sesuatu yang jadi alasan, sebab dan akibat untuk semua yang terjadi di hidup ini. Orang menikah karena cinta, orang patah hati karena cinta, orang bunuh diri karena cinta, orang menangis karena cinta. Tapi dalam hidupku, pada diriku, tidak demikian adanya. Aku tak menemukan cinta itu dalam pernikahan Ibu dan ayahku. Aku patah hati karena kebencianku pada mereka, aku sekarang ingin bunuh diri karena kebencianku pada dunia dan benci itu sendiri. Aku sering menangis karena kebencian pada apa saja, siapa saja. Tidak ada cinta dalam hidupku. Meski sedikitpun. Yang ada hanya kebalikannya, kebencian. Hidupku penuh dengan kebencian yang berlimpah ruah.

Aku merasa diriku tengah melayang ketika sayup-sayup di antara suara hujan kudengar suara melengking. Tak jelas. Malaikat maut kah itu yang datang? Tanah di bawahku terasa bergetar. Jadi rasanya seperti ini, kematian itu? Seperti dunia terbelah? Tiba-tiba kurasakan tubuhku ditarik, diangkat. Dan kurasakan rasa panas menjalari tubuhku, bergesekan dengan sesuatu. Rasanya aku seperti dibawa berlari. Terdengar suara napas yang memburu di sela air jatuh. Kupaksa membuka mataku. Berat. Terdengar suara menggelegar datang tiba-tiba dan kemudian menghilang dengan cepat. Dan hembusan angin yang kencang menyambar bersamaan dengan suara itu. Lalu tubuhku terasa terhenti. Dan suara tarikan napas itu terdengar jelas kembali. Dan kurasakan sesuatu yang berdetak, menempel di kulitku. Kupaksa membuka mataku sekali lagi, bersiap melihat wajah kematian untuk pertama kalinya.

Wajah tua keriput begitu dekat dengan wajahku. Bahkan kurasakan napasnya yang masih memburu. Dia tengah menatap ke arahku dengan mata sendu dan iba. Mata itu basah, berlinang airmata.

Itu bukan wajah kematian. Itu wajah seorang kakek tua! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi???

“Nak, nak… Mengapa mau bunuh diri? Kau masih muda, apa yang membuatmu tak mau hidup lagi? Untung Bapak sempat menolongmu, Nak… Untung… Tuhan masih sayang padamu, Nak…”

Ia berkata padaku dengan suara penuh syukur, seakan-akan aku ini seseorang yang berarti baginya. Ia menggeleng-geleng, penuh penyesalan, seakan-akan ikut menyesali keputusanku untuk mengakhiri nyawaku. Mengapa dia peduli? Dia bukan siapa-siapa. Dia bukan ayahku yang selalu tak ada. Dia bukan ibuku yang selalu marah. Dan dia bukan kakakku yang selalu tak peduli padaku dan hidup dalam dunia tololnya. Dia bukan siapa-siapa. Lalu mengapa dia peduli?

Airmataku mengalir. Tapi kali ini aku menangis bukan karena aku benci padanya. Bukan karena aku benci tak jadi mati. Aku menangis karena kata-katanya, Untung, Tuhan masih sayang padamu, Nak… Benarkah itu? Benarkah Tuhan sayang padaku? Aku menangis karena airmatanya, karena kepeduliannya menyeret dan menggendongku lepas dari gilasan kereta api. Aku menangis karena dia begitu menghargai nyawaku yang tak berarti ini. Aku menangis karena untuk pertama kalinya aku melihat apa yang disebut cinta itu. Cinta itu kutemukan di wajah lelaki tua itu. Bukan di wajah ibuku, ayahku atau kakakku…

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memohon, berbisik penuh harap padanya dan pada Tuhan di atas sana, Tolong, beri aku cinta…

Photo Link: http://www.google.co.id/imglanding?q=sad%20woman%20photo&imgurl

2 komentar:

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya