Rabu, 05 Agustus 2009

Bagai Rembulan Merindukan Mentari



Bila kau adalah mentari, aku-lah rembulan. Kita selalu berada pada semesta yang sama, namun seperti dua sisi mata uang, kita tak pernah dapat berbagi dunia yang sama. Kau di sana dengan pagi dan siang-mu. Meraja, berkilau, berbagi begitu banyak pada dunia. Membuatku iri pada sosok manusia yang biasa dan lemah namun mendapatkan semua kesetiaanmu. Sementara aku di sini tak pernah bisa merasakan hangatnya sinarmu.

Bila aku rembulan, kau pasti-lah mentari. Aku dan malamku yang sendu dan bintang-bintang menemaniku menghias malam dengan sedikit cahaya namun sejuta keindahan. Membuat dirimu jatuh cinta pada cantik sosokku. Cantik yang tak pernah bisa kau peluk untuk kau simpan menjadi milikmu seorang.

Apakah ini takdir? Takdir yang membiarkan kita saling membisikkan kata cinta namun tertawa melihat kita merana?

Aku di sini, selalu merindumu. Setiap kali kucoba untuk datang lebih awal, berharap bisa bertemu denganmu di ujung harimu. Sekejap saja. Melepas rinduku yang telah sekian lama menyesakkan jiwaku. Namun waktu tak pernah berbelas kasih pada sedihku, tak pernah tersentuh pada tulus cinta kita. Aku tak mampu meminta waktu untuk membiarkanku masuk menemuimu. Waktu selalu berdiri di sana, menghalangi langkahku, mengingatkanku kembali akan sosok takdir yang tak ingin dibantah.

Dan ketika malamku hampir habis, kembali kumohon pada waktu untuk membiarkanku tetap berada di langit sedetik saja, mengintip kedatanganmu, merasakan cahayamu, hangatnya yang begitu kuimpikan. Namun waktu selalu mampu menarikku pulang, memaksaku sekali lagi menerima kekalahanku.

Cinta ini bagai ilusi yang tak pernah berkesudahan. Nyata namun sungguh tak nyata. Dekat namun sungguh jauh terasa. Kau di sana, selalu dengan cinta dan restumu untukku. Aku bisa merasakannya menembus jarak. Namun ketika tubuh ini berontak, meminta rasa yang nyata, aku mesti tergugu. Tak mampu berbuat. Serasa jiwaku lumpuh.

Lalu mengapa cinta ini mesti ada? Aku tak tahu. Bagai bunga liar yang tumbuh begitu saja di pekarangan rumahku. Akarnya tertancap kokoh di dalam tanah. Sering kali ingin kucabut dia, karena datang tanpa permisi namun aku tak pernah rela lepas dari keindahannya. Dan ketika kubiarkan dia tumbuh di sana, aku merana menatap keindahan yang tak bisa kusentuh selamanya. Karena aku tahu sentuhanku hanya akan merusakkan keindahan asalnya.

Seringkali aku dengar bisikan sesalmu pada waktu yang tak mempertemukan kita lebih cepat. Sebelum kau menjadi raja di langitmu dan aku menjadi dewi di langitku. Benarkah demikian? Benarkan waktu mungkin melakukan kesalahan seperti itu? Benarkah dia begitu bodoh? Tidak. Aku tak percaya itu. Aku lebih suka mengutuki takdir yang selalu kokoh pada pendiriannya. Tapi, aku pernah mendengar seseorang berkata, kita akan mampu mengubah takdir bila kita berusaha keras. Yang membuatku tak berputus asa. Berharap suatu hari dia akan luluh dan kita akhirnya dapat bersama. Namun hari demi hari terlewati dengan cepat, aku mulai meragukan itu. Mungkin seseorang itu hanya berusaha menghiburku karena simpatinya pada cinta kita.

Mentariku, aku selalu di sini mencintaimu. Meski ribuan atau jutaan tahun telah berlalu, cintaku tak akan pernah pudar. Seperti cahayamu yang tak pernah redup menyinari bumi, seperti itu jugalah cintaku untukmu. Dan meski sampai ujung waktu kita tak bisa bertemu, cintailah aku tanpa ada sesal di hatimu. Karena cintamu telah tergores selamanya di sejarah hidupku. Dan akan hidup selamanya dalam semesta jiwaku.

Dan bagai rembulan merindukan mentari, aku di sini, kau di sana. Selamanya tak mungkin bersatu. Mungkin ini memang takdir yang harus kita penuhi, mengorbankan rasa kita demi tarikan napas semesta.

Photo Link: http://s140.photobucket.com/albums/r29/mccurleyq/?action=view&current=another_chance_by_WCS_Wildcat.jpg

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya