Jumat, 24 September 2010

Hilang...


Aku tahu dia masih ada. Tapi di mana? Kucari dan kucari. Harusnya ada di sini. Bersembunyikah dia? Mungkin dia tengah memeluk sepi di sudut gelap itu, seperti yang kadang-kadang dilakukannya ketika dia tengah bersedih. Kusingkap tirai hati, berharap menemukannya di sana. Tapi sudut itu kosong. Bahkan sepi juga sedang pergi, seakan tak ingin memeluk hampa sendirian.

Dinding putih di hadapanku ikut bungkam. Polos, kosong. Seakan ikut mengacuhkanku. Hanya hening yang tinggal. Tapi hening ini bukan hening damai. Hening ini kebisuan yang membosankan. Kutajamkan telinga, coba menangkap suara. Biasanya dia sering berdendang kecil. Atau mungkin aku bisa mendengar isakannya. Apapun itu, aku berharap bisa mendengar suara darinya. Tapi meski semua suara lain di sini telah berlari pergi, aku tak mampu menemukan suaranya. Membuat kerinduanku semakin menggila. Apakah dia tengah membisu? Tapi mengapa?

Mungkin dia sedang meragukan keseriusanku untuk bertemu dengannya. Kupejamkan mata, membaur dengan hening. Kulapangkan hati dan kutenangkan pikiran. Kupusatkan tarikan napasku, menyebut namanya tanpa suara. Kubayangkan sosoknya, utuh dan jelas. Seindah tampaknya, berpendar dalam cahaya yang dulu selalu menyelimutiku dengan kehangatan. Biar aku melihatmu. Biar aku mendengarmu. Datanglah dan duduk di sini bersamaku. Aku membutuhkanmu...

Tapi semua sia-sia saja. Di mana dia? Mungkinkah dia tengah tertidur lelap? Namun mengapa tarikan napasnya pun tak bisa kudengar? Ataukah dia telah pergi selamanya? Tidak. Dia masih ada. Aku tahu itu. Hanya saja aku tak bisa menemukannya. Ataukah dia sedang tak ingin ditemukan? Tapi mengapa? Apakah dia telah begitu membenciku? Tak ingin lagi melihatku? Tapi apa yang telah kulakukan padanya?

Kupanggil dia lagi. Kali ini dengan suaraku. Bukan hanya dengan hatiku saja. Berharap kali ini kesungguhanku akan membawa hasil. Namun hanya udara kosong yang memantul kembali. Kukeraskan suaraku. Mungkin tadi dia tak mendengar. Tapi masih, tak ada balasan. Kuteriakkan namanya dalam kekesalan dan putus asa. Ayolah! Aku sedang menunggumu di sini. Harusnya kau tahu. Harusnya kau bisa mendengarku. Tapi tetap... Detik demi detik berlalu begitu saja. Tak ada sahutan. Kutarik napas dengan sisa asa. Kuhembuskan bersama tetesan airmata. Kubiarkan sedih akhirnya masuk menyusupi hatiku. Sesulit inikah untuk menemukanmu?

Kau ke mana? Apa yang tengah kau lakukan? Mengapa tak juga kembali? Aku perlu untuk berbicara denganmu. Karena aku mulai panik dengan kekosongan ini. Dan selamanya diri ini tak pernah lengkap tanpa dirimu. Aku adalah kau. Dan kau adalah aku. Selamanya kita harus bersama, kecuali takdir dan maut telah bertitah dan kita harus memisahkan diri. Namun kini di dunia fana ini, aku di sini sendiri, tanpa dirimu. Hanya sebagai raga tak bernyawa. Bagaimana mungkin mampu hidup lagi dengan sempurna? Di manakah kau, wahai Aku?

Photo Link: http://www.google.co.id

Rabu, 22 September 2010

Tarian Kumbang


Mengerjap silau kemilau
Tebaran warna warni
Hamparan luas menggoda
Goyah terayu rasa

Imajinasi terbang terbebas
Meluncur singgahkan hati
Mabuk wangi semerbak
Hasrat manis tercicip

Nikmati anugerah dunia
Manis tertelan tawar
Sayap terkepak pasti
Manis lain menanti


Photo Link: http://www.google.co.id

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya