Sabtu, 14 November 2009

Saat Aku Pulang...


Aku berdiri di belakang pintu yang baru kututup. Lama, memandangi seisi ruangan itu. Ada rasa bahagia yang pelan-pelan menyusup. Berapa lama aku tak berada di sini? Rasanya sudah begitu lama. Dan saat ini ketika rasa rindu membawaku pulang kembali, tak dapat kuceritakan dengan kata-kata. Rumah. Ini rumahku. Tempat yang selalu aku cintai. Tempat aku selalu merasa nyaman. Dan kini aku telah pulang.

Kunaiki tangga menuju lantai dua dengan perlahan. Ingin kuresapi semua momen ini. Semua gerakan langkahku, sentuhan tanganku pada dinding rumah. Juga pijakan kakiku pada lantai yang terasa dingin. Melayang kembali ingatanku ke tempat jauh di mana beberapa waktu yang lalu aku berada. Ketika aku tak mampu untuk pulang dan begitu merindukan tempat ini. Mencoba membayangkan detil setiap bagian dari rumah ini. Dan saat aku di sana berharap dengan memejamkan mata, separuh diriku dapat menghilang dan hadir dalam rumah ini.

Lantai dua sepi. Tak ada suara sama sekali. Kosong. Hanya ada benda-benda yang sudah begitu akrab dengan diriku. Rak buku di sudut yang penuh dengan buku-buku bacaanku. Aku meraih sebuah buku, merasakan kertas itu di tanganku. Berapa lama sudah waktu kulalui tanpa bacaan? Aku tak ingat dengan pasti. Hanya rasanya sudah lama sekali. Kuhampiri meja kerjaku. Duduk di sana, menyandarkan punggungku sejenak dan memutar kursiku. Rasanya begitu menyenangkan. Meja itu masih tertata rapi dan bersih. Seakan siap menungguku pulang.

Kulanjutkan tour singkat ini. Ya, rasanya seperti melakukan sebuah tour dalam sebuah gedung bersejarah. Pelan-pelan mengamati semua yang ada di dalam tempat ini. Dan mencoba merekam semuanya dengan lebih jelas, seakan-akan ada rasa takut bila kali berikut aku pergi lagi, aku tak mampu menghadirkan lagi bayangan tempat ini dalam angan.

Kubuka pintu ke lantai tiga. Senyumku terkembang, memikirkan seseorang yang akan segera kutemui. Dia, yang selama ini kurindukan. Ini pasti sebuah kejutan menyenangkan baginya. Kali ini langkahku lebih bergegas. Sebelum kubuka kamar tidurku, aku masih sempat menengok dapur dan ruang makan yang juga tertata rapi dan bersih. Seakan tak ada jejak ketidakhadiranku selama ini.

Kamar ini kosong. Tapi terang benderang. Aku melihat dia di luar sana, di balkon sedang menikmati hisapan rokoknya. Ya, aku telah menetapkan sebuah peraturan bahwa semua ruangan di lantai tiga ini harus bebas dari asap rokok. Karena itu, dia mesti keluar dan menikmati rokoknya di balkon. Aku tak dapat menahan senyum. Ternyata dia mematuhi aturan tersebut walaupun aku tak ada.

Ranjang di kamar tertata rapi dengan semua bantal tersusun di tengah. Kuraih guling kesayanganku. Kupeluk dan kucium dalam-dalam. Betapa menyenangkannya rasa ini. Tapi kemudian mataku tertumbuk pada mawar ungu di meja riasku. Aku lepaskan guling itu dan mendekati meja itu. Mawar ungu? Indah sekali. Untuk siapa? Untuk aku? Dia tahu kepulanganku?

Baru saja aku mendekat ingin mencium mawar-mawar indah itu ketika terdengar pintu balkon membuka dan menutup. Aku menoleh, melihatnya dalam sosok yang jelas. Senyumku terkembang.

Dia masuk, meletakkan bungkusan rokoknya, tapi kemudian langkahnya terhenti. Matanya tertumbuk pada guling yang kutaruh sembarang di atas ranjang yang tak lagi rapi. Ia tertegun lama dan kemudian mengangkat wajahnya. Matanya mengitari seluruh ruangan, melewati diriku tapi tak singgah pada diriku. Ekspresi wajahnya terlihat aneh.

"Li, kau di sini?"

Aku tertawa. Pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku di sini.

"Aku pulang," kataku seraya melupakan mawar-mawar di meja. Tapi kemudian senyumku menghilang melihatnya duduk di tepi ranjang dan meraih guling yang tadi kupeluk. Dia memeluk guling itu dengan begitu erat, sementara matanya menutup. Ekspresi wajahnya terlihat begitu sedih.

"Hey, ada apa denganmu?" tanyaku heran seraya mendekat.

Saat itu dia membuka matanya yang telah basah dengan airmata. Dia menangis. Bahunya terguncang pelan.

"Hey..."

Aku berlutut di hadapannya, baru saja bermaksud membelai tangannya ketika...

"Li, aku kangen... Kangen sekali padamu..."

"Aku sudah pulang, Sayang," kataku seraya mendekati wajahnya. Ingin dia melihatku. Tapi aneh dia seakan tak melihatku juga.

"Li, bagaimana aku bisa hidup tanpamu?" Suaranya terdengar begitu pilu menyayat hatiku. Mengapa dia begitu sedih?

Aku terhenyak. Dia tidak melihatku. Dia berbicara pada guling. Bahkan airmatanya terus mengalir. Dia harusnya memelukku bukan guling itu. Ada yang salah.

Aku meraih tangannya, "Aku di sini, Sayang. Aku pulang."

Dia masih terus menangis.

"Sam! Sam!" Aku mengguncang-guncang tangannya. "Lihat aku. Aku di sini!"

Dia masih tenggelam dalam tangisnya. Seakan suaraku tak pernah singgah di telinganya. Seakan aku berada di dunia lain yang tak terjangkau olehnya. Dunia lain? Sebuah kesadaran menghantamku seketika. Aku merasakan ketegangan memenuhi diriku.

"Sam," panggilku lagi, kali ini dengan rasa takut dan kekhawatiran. Kuharap ia akan menoleh dan tersenyum mengakhiri tangisannya. Aku berharap dia hanya bersandiwara. Aku berharap apa yang kupikirkan tadi tidak benar sama sekali.

"Sam..." panggilku sekali lagi dengan rasa putus asa.

Dia tak bereaksi sama sekali pada suaraku. Dia lalu bangkit dan merebahkan dirinya di ranjang. Di sana, memeluk gulingku dia memejamkan matanya. Begitu kesepian. Begitu menyedihkan.

Tak sadar airmataku menetes. Ya, Tuhan! Apa yang terjadi padaku? Di mana aku? Di mana tubuhku? Mengapa aku pulang tanpa membawa tubuhku? Apa yang harus aku lakukan? Kupandangi dirinya di sana, tenggelam dalam kesedihannya. Hatiku hancur berkeping-keping. Aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal padanya. Aku bahkan tak bisa menghiburnya lagi. Tak bisa menemani langkahnya lagi. Oh, Tuhan....

Perlahan aku naik di ranjang, berbaring di belakangnya, dengan mata basah memeluk tubuhnya yang hangat. Aku takut. Aku sungguh takut. Entah sampai kapan aku masih bisa memeluknya seperti ini. Entah sampai kapan roh-ku ini masih bisa berada di sini menemaninya. Bila tubuhku bukan milikku lagi, roh-ku ini mungkin juga akan segera bukan menjadi milikku lagi. Aku tak tahu. Aku hanya bisa menghabiskan sisa waktu yang kupunya dengan memeluknya, merasakan sekali lagi kehadirannya.

"Sam, aku di sini," bisikku, berharap dia bisa mendengar suaraku untuk yang terakhir kalinya.


Photo Link: http://static.royalacademy.org.uk/images/width550/highgate-cemetery-4362.jpg

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya