Jumat, 09 Oktober 2009

Anik



Anik adalah salah seorang karyawan di kantorku. Tahun ini dia udah berumur dua puluh lima tahun, ya gak beda-beda jauh dari aku. Maksudku gak sampai beda sepuluh tahun...hehehe. Dia aslinya dari Jogyakarta, datang merantau ke Jakarta berharap bisa hidup lebih maju. Itu katanya ketika aku menyuruhnya menulis sebuah karangan dengan tema: Impianku. Maklumlah, kalo bosnya penulis, paling tidak orang-orangnya harus bisa juga sedikit dalam bidang karang mengarang... :-)

Anik itu selalu tampil sederhana. Rambutnya panjang selalu dikuncir, kulitnya coklat, matanya besar. Untuk ukuran wajah, sebenarnya menurutku Anik itu cantik, walau kata karyawanku, Anik itu bukan tipe yang akan dilirik pria. Masalahnya Anik itu gak pernah berdandan. Jangankan pake lipstik, bedakan pun jarang. Lagian setiap hari Anik memakai celana jeans. Dulu dia sering duduk seenaknya dengan kaki terbuka, sampai aku tegur, "Nik, kamu itu perempuan, bukan? Kok duduknya kayak gitu?" Lalu dengan cengengesan kakinya dirapatkan, sementara yang lain tertawa, sudah terlalu biasa dengan gaya Anik. Pernah suatu kali salah satu temannya menyuruh Anik memakai celana legging (celana ketat selutut), karyawan laki-laki yang lain langsung protes, "Gak pantes kamu.." Si Anik langsung kebingungan. Aku cepat-cepat membantah hal itu, "Jangan dengerin. Pantes kok, bagus..." Dan ketika aku membuka sebuah butik dan menugaskan Anik untuk menjaganya, aku memaksa Anik harus berdandan, alasanku karena kita bermain di dunia fashion harus terlihat keren. Kubelikan eye shadow warna warni dan kuajarkan bagaimana memakainya. Awalnya dia tertawa dan merasa kikuk. Sebulan kemudian, dia telah terbiasa. Tiga bulan kemudian, dia udah lebih jago dariku, bisa sendirian mengoleskan eye liner cair pada matanya. Dan ketika karyawan-karyawan kantor mengunjunginya di kantor, mereka takjub. Kata mereka, "Nik, kok sekarang beda, ya? Cantik..." Gak percuma kan usahaku itu... hahahaha....

Dengan siapa saja, Anik selalu mampu membawa diri. Mau ditaruh di kantor, di toko atau di mana saja, dia dengan cepat menyesuaikan diri. Mungkin karena pribadinya yang hangat dan sikapnya yang selalu terbuka dengan siapa saja, membuat siapa saja nyaman berada di sampingnya. Beda dengan karyawati yang lainnya. Ada yang moody, tiap hari berganti-ganti sikap, sesuai dengan suasana hatinya. Ada yang pendiam, jarang berbicara. Ada lagi yang manis, berkulit putih, namun pelit senyum. Makanya Anik cepat tenar di toko, di kantor maupun di telinga para customer. Walaupun kadang anak-anak yang lain suka iri padanya. Soalnya mereka bilang aku lebih sayang pada Anik dibanding yang lain. Lebih sayang? Lebih percaya tepatnya. Dan lebih tenang kalo Anik yang bekerja. Pasti beres.

Yang aku paling suka dari Anik adalah senyumnya. Tak pernah hilang seharipun dari wajahnya. Dulu, pertama kali bertemu dengannya, aku balas senyum itu dengan tampang sangarku. Begini ceritanya, waktu itu Anik tiba-tiba muncul di toko, menjadi salah satu team penjual sementara aku bingung dia datang darimana. Usut punya usut ternyata dia direkomendasi oleh sang pacar yang bekerja di samping tokoku, pada suamiku. Terus terang aku sedikit gak suka dengan cara terima karyawan pake sistem relasi. Aku lebih suka menerima seseorang atas dasar hasil interview dan penilaian.

Seminggu pertama bekerja itu benar-benar mimpi buruk buat Anik. Setiap hari aku gak menyapanya, hanya mengangguk ketika dia memberi salam, selebihnya yang ada hanyalah tatapan tajamku yang mengamati gerak-geriknya, membuatnya lebih banyak salah tingkah. Dan dia stress, hampir saja menyerah dengan tekanan yang begitu besar itu. Itu pengakuannya setahun kemudian tentang bos barunya yang galak...hehehe... Untung waktu itu dia gak benar-benar berhenti...

Kalo aku bilang, gak mungkin bisa gak menyukai Anik. Dia gadis yang ramah, hangat, polos dan rajin. Dia juga rajin menunaikan sholat lima waktunya, yang memang gak pernah menjadi keberatanku untuk dilakukan di kantor. Selain itu dia juga sangat sabar menghadapi bos seperti aku yang perfeksionis dan tegas ini. Bayangin aja, meski aku omelin lama, dia selalu tetap berusaha mendengarkan tanpa sedikitpun terlihat kesal. Selalu siap mengangguk dan berjanji untuk bekerja dengan lebih baik. Dan memang Anik selalu bekerja dengan nilai extra di mataku. Dia bisa bekerja tanpa harus kuperintah atau dikte. Sering aku menemukannya melakukan sebuah pekerjaan extra yang sebenarnya bukan kewajibannya. Tapi tetap saja dilakukannya dengan sungguh-sungguh dan senang hati.

Bulan lalu ketika aku ulangtahun, dia menyalamiku lama dengan senyum lebar. Tanpa mau melepaskan tanganku, dia mengucapkan selamat ulangtahun beserta doa yang panjang untuk kesuksesan dan kebahagiaanku. Bikin aku gelagapan sendiri. Tapi itulah Anik. Dia bisa berceloteh riang tentang keluarga dan teman-temannya tanpa pernah segan padaku. Memang aku selalu tanamkan sikap kekeluargaan dalam kantor kami, sehingga kami ini sudah seperti keluarga atau teman baik, gak dipisahkan oleh status. Tapi tetap saja kuingatkan dalam pekerjaan harus ada profesionalisme, gak boleh seenaknya tanpa aturan. Akupun kadang-kadang bercerita tentang duniaku pada Anik. Dia suka mendengar ceritaku. Matanya selalu bersinar dan dia selalu siap dengan berbagai pertanyaan polosnya. Maklumlah Anik itu gak mengenyam sekolah yang tinggi, juga punya pergaulan yang terbatas. Tapi aku selalu mengingatkannya untuk selalu mau belajar apa saja, agar wawasannya menjadi luas.

Suatu hari aku menunjukkan layar facebook padanya dan aku ceritakan tentang dunia facebook itu. Dia terkagum-kagum. Di kantor aku punya banyak koleksi buku yang selalu aku bebaskan untuk dia baca saat jam kosong di kantor. Dan dia menuruti kata-kataku. Belakangan buku-bukuku selalu berada di meja kerjanya. Kadang dia meminta ijin untuk membawa pulang. Yang ajaibnya kemarin aku menemukannya membaca buku Paulo Coelho, yang membuatku wondering, dia ngerti gak yah isinya...hehehe.

Tapi itulah Anik. Sebuah sosok yang kadang mengingatkan diriku sendiri akan pentingnya keramahan dan ketulusan. Sosok yang tidak istimewa dari rupa dan penampilannya tapi memiliki pribadi yang cantik. Melihatnya membuatku selalu berusaha menjaga kerendahan hati dan belajar bagaimana membawa diri bersamanya, gak menjadi bossy dan gak melihatnya dengan sebelah mata. Selalu ingat bahwa Anik adalah manusia biasa sama seperti diriku ini. Dan aku selalu bersyukur pada Tuhan yang telah mengirimkan langkah Anik memasuki tokoku di suatu pagi tiga tahun yang lalu...

* Di dalam foto di atas, Anik berdiri tepat di sebelahku dalam celana legging-nya ;-p (Memori Ancol 2008)

Kamis, 08 Oktober 2009

Penantian Ini..

Jujur, aku tak tahu harus mulai darimana. Tak tahu di mana harus mencari kata-kata yang tepat untuk menulis semua ini. Sebuah surat untukmu. Mungkin surat terakhir, mungkin bukan. Mungkin surat yang bisa mencairkan kekerasan hatimu, mungkin juga tidak. Mungkin kau akan mau membacanya, mungkin langsung menghapusnya ketika kau menemukan namaku sebagai pengirimnya. Mungkin hatimu akan sedikit tergerak, mungkin bahkan akan membatu selamanya. Mungkin... Berjuta kemungkinan berlarian, melesat memenuhi kepalaku yang telah terlalu penuh dengan dirimu dan dirimu belakangan ini. Bahkan aku serasa mendengar suara retakan di dinding kepalaku yang seakan-akan menjerit, mengeluh tak sanggup lagi memikirkan semua ini.

Kekasih, kalau masih boleh kupanggil dirimu dengan sebutan itu, apa salahku? Tolong katakan, tolong ceritakan. Aku akan siap mendengarkan dengan kebesaran hati. Aku bertanya padamu bukan karena aku tak merasa bersalah. Bukan. Tapi karena aku di sini hanya bisa menerka-nerka. Dan terkaanku ini tak pernah menjadi pasti selamanya tanpa sebuah anggukan darimu.

Mungkin aku telah menyinggung hatimu yang peka itu. Telah melewati batas yang dirimu tetapkan untukku. Batas yang tak pernah menjadi batasku untukmu. Bahkan aku tak pernah tahu batas itu ada di sana, tak seharusnya kuinjak atau kulewati tanpa melukai harga dirimu. Dan kini, berada di sini, mundur begitu jauh darimu, menatap pintu hatimu yang telah tertutup, aku hanya bisa menyesali diri. Tak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan. Terus menunggu atau berbalik pergi. Tak pernah punya cukup kebahagiaan untuk terus menunggu, namun tak pernah rela untuk berbalik pergi. Tahukah kau rasaku ini? Rasa ini benar-benar membuat hidupku, diriku dan hatiku berada dalam kekacauan dan kegalauan yang tanpa akhir.

Bila itu yang terjadi, maaf.... Aku tak punya kalimat lain sebagai pembelaan diri ini. Diri yang semakin mengecil dan tak bahagia ini. Tak pernah akan memeluk kebahagiaan yang sama seperti saat dirimu masih berada di sini, berbagi denganku.

Masih ada kesempatan untukku untuk berjalan bersamamu, berbagi cinta semanis kisah kita yang dulu? Tolong jawab aku. Tolong jangan tinggalkan aku dalam misteri yang selamanya akan membuatku harus melewati penyesalan diri. Siksaan ini terlalu berat untuk diriku yang lemah ini.

Tak pernah ingin mengemis cinta darimu, seandainya kau pun tak memiliki cinta yang sama lagi di hati. Namun asa ini masih menyala, meski seiring detik demi detik berlalu baranya semakin redup. Hatiku ini bukan milikku lagi. Tak mau mendengarkanku. Meski telah remuk redam karena sikapmu, dia masih juga berpihak padamu. Bujukanku, airmataku, perihku, tak juga mampu untuk memanggilnya kembali.

Kekasih, maukah kau menghampiriku? Meski bila kata yang kau ucapkan adalah selamat tinggal. Biar hatiku ini menjadi milikku lagi. Biar kudapat temukan kembali bahagiaku. Meski bukan dari dirimu lagi...

Photo Link: http://www.cherrybam.com/graphics/graphics-heartbreak/heartbreak010.gif

Cinta atau Teror...


Ini mulai menggangguku. Mulai membuatku gelisah dan paranoid. Saat aku berjalan keluar dari pintu kelas malamku, kau sudah ada di sana, menungguku dengan senyum. Baru tadi sore aku menemukanmu di parkiran kantor tempatku bekerja. Selalu, dengan senyum yang sama. Harusnya senyum itu bisa memancing senyum. Harusnya senyum bisa membuat bahagia. Namun senyummu mulai membuatku muak...

Maaf... Tidak, sebenarnya aku tak merasa bersalah. Apa salahku? Karena tak mencintaimu? Karena tak menyambut uluran kasihmu? Bukankah cinta itu tak bisa dipaksakan? Kau bilang kau cinta setengah mati padaku. Kau bilang cintamu tak akan pernah berakhir. Awalnya mendengar itu semua aku hanya seperti mendengar lagu cengeng penuh dengan rayuan gombal. Lalu ketika kau mulai sering muncul tiba-tiba, aku mulai sedikit berubah pikiran soal konsep rayuan gombal itu. Sepertinya kau sungguh-sungguh. Lalu ketika kau selalu muncul di manapun aku berada, aku mulai khawatir dan ketakutan. Bagaimana jika cintamu benar-benar tak akan berakhir? Tunggu dulu, ada yang salah di sini...

Apa kalimatku beberapa bulan yang lalu kurang jelas? Aku tak bisa menerima cintamu. Titik. Tidak, belum titik. Aku bilang mau jadi temanmu. Titik. Nah, bagian mana yang tak kau mengerti dalam kalimatku yang begitu sederhana dan transparan itu? Kau bilang cinta bisa dimulai dengan persahabatan. Kau bilang siap menungguku sampai aku mencintaimu. Aku diam saja, bukan karena aku setuju dengan kata-katamu itu. Tapi aku hanya tak ingin melukai hatimu dengan kata-kata yang lebih tajam. Harusnya kau mengerti dari caraku menghindarimu. Dari pesan-pesan singkatmu yang tidak pernah aku balas. Juga dari telepon-teleponmu yang tak pernah kuangkat. Apa rasamu telah mati? Kalau iya, tolong matikan juga rasa cintamu yang tolol itu padaku! Apakah kau telah lupa apa yang dinamakan harga diri?

Benar cinta itu bisa ditanam dan tumbuh. Tapi tanah pun harus siap ditanami barulah benih bisa tumbuh. Kau punya benih cinta, tapi tanah hatiku tak pernah rela untuk menjadi tempat kau tabur benih cintamu. Maaf, bukan maksud menghinamu. Aku tidak mencintaimu itu fakta. Bukan soal kau pantas atau tidak pantas. Masalah hanya tak pernah ada cinta di hatiku untukmu. Meski hatiku ini masih tak bertuan, tapi bukan berarti aku harus melepaskannya pada siapa saja yang menginginkannya. Dan aku tidak merasa itu sebagai sebuah kesalahan. Karena suatu hari nanti akan kulepas hatiku dengan kebebasan penuh pada siapa dia ingin pergi.

Kehadiranmu mulai menggangguku. Setiap hari kau muncul dalam hidupku. Tidak peduli aku berada di mana, kau tahu semua kegiatanku. Secret admire? Bukan kau adalah annoying admire. Ya, kau benar-benar mengganggu. Bahkan kau berani bertingkah ketika kau menemukanku bersama teman priaku. Seakan-akan aku ini milikmu, kekasihmu. Sampai-sampai aku merasa begitu malu di hadapan teman-temanku. Samapai-sampai beberapa dari mereka mulai menghindariku hanya karena merasa tak enak. Mengapa kau malah tidak punya perasaan yang sama?

Tak sadarkah kau akan tekukan di wajahku setiap kali aku melihatmu? Dan ketika aku cepat-cepat melangkah pergi tak menyapamu sama sekali, kau malah terus membuntutiku, memaksaku untuk bersedia kau antar pulang. Sungguh ini sudah keterlaluan. Setiap kali ingin kumaki dirimu, aku menutup rapat-rapat mulutku. Tak ingin menyesal atas kata-kata kasar yang siap kusemburkan. Mengapa? Karena aku masih menghargaimu, menghargai usahamu dan mencoba mengerti ketulusan hatimu padaku.

Tapi sungguh, ini bukan perjuangan cinta yang baik. Berhentilah. Aku tak suka akan usahamu itu. Aku tak sanggup terus menerus kau buntuti. Aku rindu kebebasanku. Aku inginkan kehidupan pribadiku yang dulu kembali. Tolong tinggalkan aku. Caramu memaksakan cintamu tak akan pernah membuatku tersentuh. Karena bagiku kau tak tahu menghargai perasaanku ini. Kau tak peduli akan pilihan yang telah kubuat. Kau seperti seorang diktator yang ingin menawanku. Aku benci. Aku mulai merasa diteror olehmu. Ya, kehadiranmu mulai menjadi teror dalam hidupku.

Dan hari ini telah aku putuskan, bila esok kau masih juga menungguku, aku akan mendatangimu. Akan kutumpahkan semua rasaku ini. Keberatan diriku, kemarahan hatiku. Tak peduli kau akan terluka. Dan bila kau masih tak setuju dan tetap mengekori langkahku, menjadi mimpi burukku di siang dan malam, aku akan mengambil tindakan tegas. Jangan menyalahkanku. Kau yang telah memaksaku sampai pada batas ini. Aku tak punya pilihan lain lagi. Harus kurebut kembali kebebasan hidupku yang dulu.

Akan kukatakan padamu apa itu cinta. Akan kujelaskan padamu bahwa yang kau lakukan padaku itu bukan ungkapan cinta. Karena itu semua kini menjadi teror bagi jiwaku...

Photo Link: http://www.wrongsideoftheart.com/wp-content/gallery/posters-t/terror_in_haunted_house_poster_03.jpg

Senin, 05 Oktober 2009

Everything i do, i'll do it for you...


Sam menatap wajah gadis di hadapannya dengan penuh cinta. Sementara Tiara yang ditatap seperti itu, tampak gelisah.

"Katanya mau bicara? Ada apa?"

"Aku mau putus."

Deg! Senyum di wajah Sam menghilang. "Putus?" tanyanya seakan kata itu asing baginya. "Mengapa?"

"Aku tidak cinta lagi, Sam. Kalau diteruskan pun percuma."

Kalimat Tiara yang blak-blakan itu langsung menampar wajah Sam. Kini ada kesedihan di matanya. "Tapi kenapa, Ra? Aku sangat mencintaimu."

"Aku tahu. Tapi... Aku... Aku mencintai yang lain."

Seperti orang yang habis dikeroyok, babak belur hati Sam dibuatnya. Seakan harga dirinya diinjak begitu saja. Sam menatap gadis di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Berapa tahun telah berlalu? Dua setengah? Tiga kayaknya. Dan sekarang gadis itu tiba-tiba mengatakan tak punya cinta untuknya. Apa yang salah?

"Tapi selama ini aku selalu berusaha membahagiakanmu. Apa yang tak kau sukai katakan padaku, biar aku ubah. Aku akan lakukan apa saja untukmu. Asal jangan minta putus. Aku terlalu mencintaimu, Ra. Aku tak akan mampu hidup tanpamu."

Kalimat Sam itu membuang habis semua sisa harga dirinya. Ia bahkan tak menyadari nada suaranya yang begitu memelas karena takut kehilangan orang yang begitu dicintainya. Dia bukan lagi berjuang atas nama cinta, tapi kini menjadi pengemis cinta.

Tiara menggeleng. "Aku tidak bisa, Sam. Aku mencintainya. Kami ingin bersama-sama."

Kami? Sam kembali terhenyak. Sejak kapan ada kami? Bukankah dari dulu hanya ada kita?

"Siapa dia?"

"Rico."

"Rico?" Mata Sam membelalak tak percaya. Nama itu terlalu santer di kampus. Sosok tampan yang selalu memiliki senyum memikat namun berhati buaya. Semua orang tahu. Bahkan Ibu penjual di kantin pun tahu akan hal itu. Mengapa Tiara bisa menjadi begitu bodoh?

"Tapi, kau tidak mungkin termakan rayuan Rico. Kau kan tahu siapa dia, playboy..."

"Jangan menghinanya, Sam! Aku tak suka!"

Apa??? Sam menelan ludah. Pahit terasa. Lebih pahit dari espresso di hadapannya.

"Rico mencintaiku dengan sungguh-sungguh. Apa yang kau dengar di luar, hanyalah gosip dari gadis-gadis yang cintanya tidak disambut Rico. Aku percaya padanya. Aku juga sangat mencintainya."

Melihat rona bahagia di wajah Tiara, terbang sudah sisa harap Sam. Ia menunduk, tak mampu berkata-kata lagi. Inilah akhir cerita indahnya. Dikhianti oleh cinta yang dipikirnya sejati.

"Maaf ya, Sam. Kita berteman saja, oke?"

Sam mengangkat kepalanya, dengan lemah menganggukkan kepalanya yang terasa pening. Matanya bahkan terasa panas. Ingin rasanya dia menangis untuk bidadarinya itu. Bidadari itu telah memilih untuk terbang ke lain hati. Yang begitu tega mencampakkannya...

Tiara membereskan barang-barangnya dengan tergesa. "Aku harus buru-buru. Aku ada janji dengan Rico. Duluan ya..."

Dan tanpa belas kasih sedikitpun gadis itu bangkit melenggang pergi dengan santainya, meninggalkan sepotong kisah cinta begitu saja, seakan tak berarti banyak untuknya.

Itu pertemuan Sam dan Tiara dua bulan yang lalu.

Hari ini mereka bertemu lagi di tempat yang sama, namun dalam suasana yang berbeda. Wajah Tiara mendung, airmata menggantung di pelupuk matanya.

"Kau benar, Sam. Rico ternyata laki-laki brengsek. Dia tak sungguh-sungguh mencintaiku. Aku bukan satu-satunya kekasihnya."

Sam sibuk menyodorkan tissue, ikut merasakan sakit hati Tiara.

"Dia tak sebaik dirimu, Sam. Aku menyesal telah memilih dia. Aku menyesal telah meninggalkanmu."

Hati Sam melambung, membengkak oleh bahagia. Tiba-tiba semua sakit hatinya karena dicampakkan Tiara dua bulan yang lalu menguap begitu saja. Ia telah lupa bagaimana gadis itu dengan mudahnya berpaling ke lain hati. Ia telah lupa saat harga dirinya dibuang dan diinjak begitu saja. Ia hanya melihat cintanya yang dulu hilang sedang terbang kembali menghampirinya. Begitupun dengan bidadarinya...

"Sam, kau masih cinta padaku?" tanya Tiara takut-takut.

Langsung dijawab Sam dengan anggukan kepala yang terlalu bersemangat. "Ya, Ra. Aku selalu cinta padamu. Cintaku tak akan pernah pudar."

Sebuah senyum Tiara mengembang perlahan. Meski airmatanya belum mengering, hatinya telah dipenuhi dengan kebahagiaan. Ia menjatuhkan kepalanya di bahu Sam, membiarkan Sam memeluknya. Inilah cinta sejatinya, menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya dan selalu bisa berkata: everything i do, i'll do it for you...

(So, what do you think, this is love or....?)

Photo Link:
http://media.photobucket.com/image/love/zang254/Love.png?o=91

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya