Jumat, 02 April 2010

Kamu Bukan Anak Sial

"Mama bilang aku anak sial."

Aku menatap lurus ke arahnya, ke matanya yang bulat dan indah. Dia menunduk sejenak, kemudian ketika dia mengangkat kepalanya kembali, tatapan kami bertemu. Dia segera membuang tatapannya ke arah lain. Mata itu kini bergerak gelisah, dan senyum yang biasanya selalu menghias wajahnya menguap seketika.

Namanya Reza. Dia adalah satu dari promoter baru di perusahaan kami. Dia anak muda yang sangat percaya diri. Juga ceria. Itu salah satu alasan mengapa kami menerimanya. Tapi di balik keceriaan dan kepercayaan diri itu sebenarnya ada bagian kehidupan yang kelam yang berusaha disembunyikannya.

Belakangan ini menilai dari prestasi kerjanya yang naik dan turun tak menentu, aku mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya. Dan di pertemuan malam itu, seperti biasa dia hadir dengan penampilan memukau. Ya, Reza adalah seseorang yang sangat memperhatikan penampilan dirinya. Keinginan terbesarnya adalah menjadi seorang artis terkenal. Namun karena terlahir di keluarga miskin dengan bekal pendidikan yang rendah, dia hanya berharap suatu hari nanti jalan menuju impiannya bisa terbuka. Tanpa bisa mengikuti kursus atau sekolah-sekolah khusus untuk mengantarnya lebih dekat ke impiannya.

Bila kami bertemu, dia selalu menatapku langsung tepat di mata dengan senyuman lebar. Aku suka dengan tatapan penuh percaya dirinya itu. Karena bagiku mata adalah cermin jiwa. Dari mata kita bisa membaca banyak hal yang tak terucapkan.

Saat bertanya tentang prestasinya yang dinilai tidak bagus oleh perusahaan, dia masih tersenyum ceria, menjelaskan bahwa mungkin hanya karena faktor 'hoki' belum ada. Dan ketika aku menyinggung soal dirinya yang dilaporkan 'moody', dia sedikit terkejut. Dan akhirnya ketika aku menasehatinya untuk jangan membawa beban masalah sampai membuat diri sendiri stress, wajahnya yang ceria itu menghilang. Serta keluarlah dari mulutnya cerita mengenai ibunya.

"Tidak ada manusia yang sial di dunia ini. Meskipun orang itu terlahir tak punya kaki atau tangan."

Dia hanya diam.

"Kamu tahu proses manusia terlahir di dunia? Cara pembuahan terjadi? Kamu, saya dan semua orang yang terlahir di dunia ini adalah pemenang. Terlahir sebagai pemenang. Dari jutaan sperma, hanya satu yang berhasil membuahi sel telur. Dan satu itu adalah kamu, saya dan semua orang yang ada di dunia ini."

Dia kembali menatapku. Namun mata bulat itu kini berkaca.

"Jangan percaya apa yang dikatakan mamamu atau siapa saja yang menyebutmu anak sial. Tidak. Kamu bukan anak sial. Apa yang dikatakan orang-orang itu tidak selalu benar dan tidak penting. Yang terpenting adalah apa yang kamu yakini dan pikirkan tentang dirimu. Kalau kamu yakin kamu itu orang yang baik dan hebat, itulah dirimu."

Aku mendekatkan wajahku, merendahkan suaraku agar yang lain tidak bisa mendengarkan.

"Reza, ada sebagian orang yang terlahir di keluarga yang tidak mendukung mereka."

"Ya, saya seperti itu. Keluarga saya cuma tahu menuntut. Kemarin Mama datang minta uang dan saat saya bilang saya tidak punya uang, Mama marah dan bilang percuma dia datang menemui saya."

Aku menghela napas. Sesak rasanya membayangkan gajinya yang begitu kecil sebagai seorang promoter. Dia harus mengandalkan omzet penjualan untuk mendapatkan penghasilan bagus. Dan bila penjualannya menurun otomatis uang yang diterimanya juga menjadi sedikit. Sementara dia masih harus membayar cicilan motor yang dipakai kakaknya, menghidupi adiknya dan memberi uang pada ibunya bila ibunya datang meminta. Sementara dia sendiri harus membayar kos dan makan. Terkadang aku merasa dirinya begitu hebat masih bisa selalu tampil dengan percaya diri dan ceria menghadapi hidup yang begitu sulit unuk dijalani.

"Saat tidak ada yang mendukungmu, kau harus bisa lebih kuat. Berdiri di atas kakimu sendiri. Berusaha untuk masa depanmu. Dan jangan pernah putus asa atau membuang-buang waktumu. Buktikan pada orang-orang bahwa kamu ini tidak seperti yang mereka katakan. Saya yakin kamu bisa berhasil. Dan ketika kamu sudah berhasil, barulah kamu bisa mendukung penuh keluargamu. Mskipun mereka tak pernah berikan dukungan itu padamu."

Mata itu bergerak semakin gelisah. Ada air di sudut matanya. Airmata yang ditahannya agar jangan jatuh.

"Kamu itu selalu memakai topeng. Topeng keceriaan."

Dia tertawa, meski hambar. "Tidak."

"Ya."

"Tidak," sangkalnya meski terdengar lemah.

"Ya," kataku tegas. "Kamu selalu ceria, tapi sebenarnya dalam hati kamu banyak kesedihan yang tidak bisa kamu ucapkan."

"Ya," akunya lirih.

"Jangan pakai topeng itu. Buang. Jadilah dirimu yang benar-benar ceria. Semua orang punya masalah, semua orang punya kesedihan. Tapi jangan simpan di hati. Bagi keluar kesedihanmu itu. Namun, percayalah bahwa suatu saat keadaan akan menjadi lebih baik. Pasti akan lebih baik. Karena itu, hiduplah dengan benar-benar ceria. Saya yakin kamu bisa. Tapi kamu harus percaya bahwa dirimu bisa."

Dia kembali menatapku. Tak mampu berkata lagi.

"Saya tahu kamu punya impian yang besar. Saya percaya kamu bisa meraihnya. Tapi semua itu bukan datang dengan sendirinya. Kamu harus berusaha, berusaha mencari jalan ke arah sana. Kamu juga perlu uang untuk bisa mencapai impianmu. Karena itu kamu harus serius dan berusaha keras dalam bekerja. Fokuskan dirimu untuk mencapai target penjualan agar kamu punya uang lebih untuk bisa kamu gunakan untuk masa depanmu. Jadi, jangan biarkan lagi masalah apapun mempengaruhi dirimu dan prestasimu dalam bekerja. Karena ini penting. Penting untuk dirimu sendiri."

Aku tersenyum padanya. "Oke. Sekarang kita bicara soal gaji dan komisi kamu bulan ini."

Aku mengambil buku catatan di meja dan saat itu dia langsung cepat-cepat menyeka kedua ujung matanya. Aku pura-pura tidak melihat dan mulai menjelaskan padanya hitungan bulan ini.

Saat semua sudah selesai, dia tersenyum kembali dan mengulurkan tangannya dan mengucapkan terima kasih.

Aku mengangguk dan membalas senyumnya. "Semangat, ya..."

Malam itu aku melihat sebuah cerita kehidupan lagi. Cerita sederhana, biasa, berunsur kepahitan namun menyentuh jiwaku. Ada kesedihan yang terasa. Namun ada doa yang terucap. Semoga kau tetap kuat, Reza...

Cintakah Kau Padaku?


Seingatku, kau tak pernah bilang kau suka padaku. Apalagi cinta. Dan kau tak pernah menceritakan rasamu padaku. Atau menanyakan rasaku padamu. Seakan itu tidak penting. Tak pernah menjadi penting bagimu.

Tapi aku bingung. Bingung akan sikapmu yang selalu lain dari yang lainnya. Bingung akan kata-katamu yang selalu mencoba menggetarkan sukmaku. Bingung dengan semua yang ada pada dirimu, yang kau tujukan padaku. Tak pernah yakin diri ini mengartikan semuanya. Ataukah aku yang terlalu bodoh untuk menangkap pernyataan tanpa katamu?

Aku menunggu. Aku menanti. Dan saat waktu terus bergulir tanpa sebuah pernyataan pasti darimu, perlahan diri ini pun menyangkal semua harapan akan rasa yang sama. Dan aku pun mulai belajar melihat dirimu seperti mereka, sama, tak berbeda, tak harus kuberi rasa istimewa.

Tapi ketika aku telah mampu mengeluarkan bayangmu dari hatiku, kau kembali menebarkan pesona dirimu. Ketika aku berpaling, menganggap semuanya hanya sebuah intermezzo biasa, kau merajuk. Kau pinta aku menatapmu, menjadikanmu pusat duniaku. Hanya kau. Ya, hanya dirimu. Bukan yang lain. Dan tak boleh ada yang lain.

Tunggu... Dengan alasan apa aku harus berikan kebebasan hati ini? Hatiku hanya satu, mengapa harus kuisi dengan sosokmu? Sosok yang tak pernah membuat sebuah pernyataan tegas akan rasa dan hasratmu. Sosok yang seperti asap yang tak pernah mampu kusentuh dan kupegang. Sosok yang terkadang menghilang begitu saja dan kemudian kembali berusaha menyelubungi seluruh diriku tanpa rela memberi sedikit celah pada yang lain.

Bila memang kau suka padaku dan bila memang ada cinta itu di sana, mengapa tak pernah cukup kekuatan dirimu untuk menyatakannya? Tidakkah cinta harusnya memberimu kekuatan? Tidakkah cinta harusnya membahagiakanmu ketika kau mengungkapkan kejujuran akan dirinya? Kecuali bila ini bukan cinta. Kecuali bila kesombongan diri lebih berada di atas cinta itu sendiri.

Bila aku punya cinta, akan kuteriakkan selantang-lantangnya dengan suara yang aku punya. Dan akan kubiarkan seisi dunia tahu. Tak peduli dunia menertawakan atau tak setuju padaku. Karena yang terpenting dari semuanya adalah cintaku ini membuatku bahagia dan bangga akannya. Tapi, hanya bila aku punya cinta...

Jadi, cintakah kau padaku?

Photo Link: http://images.google.co.id/imglanding?q=love photo&imgurl

Selasa, 30 Maret 2010

Cerita Hari Ini

Ada pertemuan di bank P hari ini pukul sebelas, mau membahas masalah kredit yang masih tertunda gara-gara dokumen yang belum jelas. Pagi ini aku bangun dengan semangat baru dan rasa syukur seperti biasanya. Mandi, makan pagi lalu mulai bekerja. Mengatur beberapa kiriman dulu, membuat beberapa laporan dan mengatur kerja untuk anak-anak kantor. Setelah beres, pukul setengah sebelas meluncur ke bank P.

Dalam perjalanan aku mendapat telepon dari bank M, kantor asal di mana aku dulu membuka tabungan. Sudah lama sekali aku tidak ke bank tersebut, sejak pindah kantor baru. Hanya saja tabungan awal tetap tidak ditutup. Si Ibu, teller bank tersebut, yang dulu sering kutemui ketika aku datang berkunjung, masih ingat pada diriku dengan baik. Begitupun denganku, wajah si Ibu langsung terbayang ketika mendengar dia menyebutkan namanya. Si Ibu mengatakan sudah lama mencari-cari aku dan menelepon berulang-ulang, namun tidak bisa menghubungi. Katanya ada souvenir mau diberikan. Wow! Gratisan? Jarang-jarang ada yang membagi gratisan...hehehe... Hati langsung berbunga-bunga.

Lanjut ke bank P. Sampai di bank, aku harus menunggu pihak ketiga yang telat. Paling menyebalkan pekerjaan menunggu itu. Setelah menunggu kurang lebih dua puluh menit, si Bapak akhirnya tiba. Pembicaraan dimulai dan berputar-putar akan masalah yang solusinya ditolak mentah-mentah semua sama si Bapak. Membuat manager bank stress dan aku yang selama itu hanya diam mendengarkan ikut stress akan kekerasan hati si Bapak. Akhir pertemuan, si Manager pergi dengan putus asa dan si Bapak mengeluh tidak senang, menyalahkan pihak bank. Aku? Lebih tidak senang mendengar banyak kata-kata negatif dari mulut si Bapak. Akhirnya aku yang meledak marah setelah bosan mendengar si Bapak berbicara. Dan kuangkat telepon, minta segera dijemput. Si Bapak langsung terdiam dan suasana ruangan jadi kaku. Kabar buruk!

Sebelum meninggalkan bank P, aku hampiri manager yang malah mengungsi ke kursi customer service dan menitipkan pesan bahwa aku tidak akan mengganti bank untuk urusan itu. Kalau memang akhirnya transaksinya tidak disetujui si Bapak, apa boleh buat. Aku minta dibatalkan saja. Anggap saja bukan rejekiku. Meski aku katakan dengan tegas dan tampak baik-baik saja, tapi sebenarnya di dalam hati aku merasa khawatir dan kecewa sekali dengan pertemuan yang tidak berjalan lancar hari ini.

Pulang dari sana suasana hati jadi buruk. Pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan negatif mondar-mandir. Kok, ada orang seperti itu, ya? Sudah diajak bicara baik-baik, eh malah tidak dipercaya. Dikasih solusi, tidak mau mendengar dan menerima. Maunya menang sendiri. Maunya kepentingan dia sendiri yang dipikirkan. Masa pihak bank diminta mengubah kebijakan dan peraturan. Memang itu bank bapaknya??? Lagipula mau bisnis, tapi kepercayaan pada orang lain tidak ada. Padahal sudah menggunakan bank sebagai penengah. Tambah pikir, tambah kesal jadinya.

Sampai di kantor, anak kantor datang, melaporkan bahwa giro sudah diambil dari customer. Namun giro yang seharusnya jatuh tempo tanggal satu April malah dibuka customer tanggal dua April. Wah! Emosi lagi! Tanggal dua kan hari libur, dan besoknya Sabtu. Artinya giro itu baru bisa cair hari Senin, tanggal lima! Benar-benar kelewatan kan orang itu! Sengaja buka giro pada hari yang tidak bisa dicairkan. Segala cara dilakukan untuk menunda pembayaran. Heran! Beda apa bayar hari ini dan besok? Toh harus bayar juga, kan? Bukannya lebih baik bayar lebih cepat? Satu berita buruk lagi mengeruhkan hari ini!

Rasanya semangat dan rasa syukur pagi tadi sudah menguap entah ke mana. Tapi tetap harus kerja. Meski efek kemarahan dan kekesalan malah jadi tumpah ke pekerjaan. Jadi berpikir, ada apa dengan hari ini? Apa salah memilih warna baju jadi aura-nya jadi jelek? Atau memang lagi hari sial untuk hitungan primbon?

Akhirnya melanjutkan pekerjaan lagi, mengecek email. Tiba-tiba melihat ada email masuk dari sebuah organisasi sosial yang memberitahu bahwa tulisanku dimuat di majalah mereka. Thank God! Akhirnya ada kabar baik. Senangnya! Jadi bisa tersenyum sendiri dapat kejutan baik. Sedikit mengusir rasa stress seharian ini. Lalu waktu aku membalas email tersebut, tiba-tiba telepon berdering. Dari bank M lagi. Ibu teller bilang ada ticket dinner dan nonton konser acara TV untuk berdua dari bank tersebut. Mau diberikan padaku. Another suprise??? Nonton konser Anang? Wah, mau sekali! Lagipula kapan lagi bisa dapat tawaran seperti ini? Tiba-tiba diri merasa diberkati sekali.

Singkat cerita, hari ini belum berakhir ketika aku menuliskan cerita ini. Namun hari ini seperti roller coaster. Naik turun dengan cepat. Ada berita baik, ada berita buruk. Ada rasa marah, kesal, kecewa, senang dan gembira serta syukur. Aku sejenak terdiam. Ini, kan yang namanya hidup? Ada sedih ada gembira. Tidak mungkin hanya ada rasa senang terus yang tak berakhir. Dan juga tidak ada rasa tidak senang yang tak akan berakhir.

Jadi ingat ajaran yang pernah kudengarkan saat meditasi dulu mengenai berdiam diri. Katanya, berdiam diri adalah tidak menginginkan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan cepat berlalu dan tidak menginginkan perasaan-perasaan menyenangkan tidak berakhir. Dan itulah yang memang sering terjadi. Aku, kau, kita, sering menginginkan perasaan-perasaan tidak menyenangkan cepat berlalu. Mengutuknya, tidak menyukainya, membencinya hingga membuat kita stress, marah dan mengatakan bahwa hari ini hari yang buruk. Sementara saat kita merasa senang dan bahagia, kita berharap hari itu tidak akan berakhir, kalau bisa abadi selamanya. Seperti harapan sejoli yang sedang dimabuk cinta yang menjanjikan tidak akan berubah selamanya.

Hidup, rasa, keadaan dan bahkan diri kita sendiri, dari waktu ke waktu selalu berubah. Mengalami banyak perubahan. Karena perubahan adalah nadi kehidupan itu sendiri. Ada perubahan barulah ada kehidupan. Kadang terjadi perubahan yang terasa buruk, kadang malah terjadi perubahan ke arah yang baik. Dan begitu juga dengan suasana hati kita. Terkadang kita menjadi kecewa dan marah. Bukan tidak boleh tapi harusnya kita tahu bagaimana untuk cooling down kembali dengan satu keyakinan bahwa tidak ada yang abadi. Bahwa suatu saat keadaan buruk ini akan berlalu. Dan ketika keadaan menyenangkan datang, kita harusnya mengingatkan diri, jangan terlena. Berbahagialah, tersenyumlah, tapi jangan lupa untuk tetap tegar kalau keadaan berbalik kembali. Karena inilah hidup. Hitam dan putih. Terang dan gelap. Baik dan buruk. Tertawa dan menangis. Selama kita hidup, kita akan selalu tetap memiliki dua bagian yang tak terpisahkan itu.

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya