Sabtu, 27 Juni 2009

Ayah, engkau di mana?

Wajahnya begitu tampan, dengan tulang rahang yang kokoh. Matanya yang hitam dan lebar, selalu memiliki telaga keteduhan di sana. Postur tubuhnya yang jangkung dan tegap... Aku tidak tahu apakah gambaran itu adalah sepotong ingatanku yang tersisa dari tangkapan mata seorang anak berusia tiga tahun, ataukah kesan yang kudapatkan dari foto hitam putih dirinya bersama ibuku tercinta. Ya, dia adalah ayahku tanpa embel-embel tercinta, karena aku tak pernah tahu bagaimana rasanya mencintainya. Aku tak punya sedikitpun kenangan akan dirinya dan diriku bersama-sama, meskipun hanya dalam potongan masa silam.

Ini aneh... Aku bisa mengingat wajah wanita yang kusebut Ibu itu. Wajah cantik yang memancarkan pesona keindahan dan kelembutan. Tak pernah kutemui sosok seperti dirinya sesudah itu. Dan aku masih ingat betapa bahagia tawanya ketika menggendongku dan bercanda denganku. Aku bahkan masih ingat tatapannya yang penuh cinta padaku. Cinta yang masih membekas di dalam hatiku hingga kini, meskipun waktu telah terlempar begitu jauh, menembus begitu banyak kehidupan.

Tapi lelaki itu... Aku tak mampu mengingat sentuhan tangannya di kulitku, ataupun tatapannya padaku. Aku hanya ingat sosok dirinya yang begitu mempesona-ku. Sosok tak nyata yang telah membuatku ingin jatuh cinta padanya. Walau aku tak ingin. Walau rasanya ingin merasakan yang sebaliknya, karena harusnya dia tak pantas menerima cintaku ini.

Dia selalu terasa begitu jauh, tak tergapai olehku. Selalu di sana, tak tersentuh, bahkan oleh tangan kecilku dulu. Seakan-akan dia hanya memiliki satu pintu di hatinya, dan pintu itu hanya diperuntukkan untuk ibuku. Dan ketika Ibu pergi meninggalkannya, pintu itu kembali tertutup rapat, tak pernah terbuka lagi. Oh, Ibu... Seandainya kau tahu apa yang telah kau lakukan padanya... Kepergianmu menghisap habis seluruh cinta dan jiwanya sebagai seseorang.

Aku memang masih kecil saat itu. Saat kau terbaring karena tubuhmu yang lemah. Begitu kontras. Kau memiliki gairah hidup dan cinta yang besar. Tapi tubuhmu tak pernah memiliki tenaga dan semangat yang sama. Dan hari itu ketika tubuhmu tak mau lagi bekerjasama, kau terbaring di sana, menutup matamu dan menghembuskan napasmu yang terakhir.

Ketika aku tiba bersama Nenek tercinta, kau telah pergi. Di antara kerumunan orang-orang, dia berlutut di sana. Di tepi pembaringanmu. Dia tak henti menatapmu dalam diam. Tapi dia tak menangis. Dia tak bersuara. Ingin rasanya aku memeluknya dan menghiburnya. Namun, aku tak berani. Aku takut dia menolakku. Aku takut menyela pertemuan terakhir kalian berdua.

Dan ketika semua orang telah meninggalkanmu di bawah tanah merah yang masih basah, dia masih berlutut di sana. Tak bergeming sedikitpun. Bahkan Nenek pun akhirnya membiarkannya dan menuntunku pulang. Aku masih sempat melihatnya. Ekspresi kesedihan di wajah tampannya itu... Setiap kali kuingat ekspresi itu, aku tak mampu menahan sedih dan airmataku untuknya. Ekspresi yang tak memiliki napas kehidupan lagi di sana. Seakan-akan dunianya ikut luruh hancur beserta dengan kepergianmu.

Itu terakhir kalinya aku melihatnya. Terakhir kalinya dalam hidupku. Karena dia tak pernah pulang lagi. Dia tak pernah kembali lagi. Entah ke mana. Entah di mana...

Ada saat-saat ketika aku menyalahkannya karena tidak mencintaiku. Ada saat-saat di mana aku membencinya karena meninggalkanku. Tapi juga ada saat-saat di mana aku begitu merindukannya, berharap bahwa dia ada menggantikan cintamu, Ibu...

Namun, kini aku mengerti apa yang membuatnya pergi. Bukan karena dia tak peduli padaku. Juga bukan karena dia tak mencintaiku. Dia hanya terlalu mencintaimu, Ibu. Mencintaimu dengan segenap jiwanya, sehingga ketika kau pergi, jiwanya juga ikut terbang bersamamu. Dan dia patah hati ketika kau tiada. Dia tak mampu lagi menghadapi dunia ini tanpa dirimu di sisinya. Semua itu karena terlalu besarnya cintanya padamu. Dan karena cintanya itu semuanya untukmu, Ibu, aku memaafkannya. Karena dia begitu memujamu, kau-lah segalanya, kau-lah pusat dunianya...

Ayah...
Aku hanya berharap kau tahu aku ini ada. Di sini, memikirkanmu, menunggumu. Aku selalu mengingat wajahmu dengan baik. Wajah itu bak telah terlukis abadi di dalam hatiku yang patah ini. Aku hanya berharap bisa bertemu denganmu. Sekali saja. Karena aku ingin memelukmu, menghibur dukamu, mengobati patah hatimu dan mengatakan padamu, aku ingin mencintaimu. Namun, rasanya waktu dan takdir tak akan pernah mengabulkan keinginan hatiku ini.

Ayah, engkau di mana?

Farewell

Don't be sad,
Don't be afraid,
Now you're in good hands,
In a better place.
I know things aren’t the same.
Now you find a new place to live.
For all the things you've done,
For all the kindness you've shared,
You'll always in our hearts
Shining and never stop shining
Always...
So , Goodbye Michael
Let the Angels bring you to home...

> In Memory Michael J

Jumat, 26 Juni 2009

Bila mentari berubah warna...

Seperti mentari yang selalu bersinar, memberi cahaya keemasan yang terang, seperti itu juga aku melihat dirimu. Dan aku mengira cahaya itu akan selalu ada, sama, tak pernah berubah. Aku berharap. Harapan yang kini memukul batinku dengan rasa kecewa dan sakit. Dan rasanya tak bisa kuterima kenyataan ini dengan akal sehat. Kini cahayamu itu tak lagi terlihat kuning keemasan. Cahayamu telah berubah warna. Dan aku tak mengenali warna itu. Jiwaku ingin menolaknya. Bagaimana mungkin mentari dapat berubah warna?

Harusnya cahaya mentari hanya memiliki satu warna. Tak pernah berubah dan tak pernah lelah bersinar. Tak pernah menghilang seenaknya. Selalu ada masa yang sama untuk kedatangan dan kepulangannya. Tapi yang pasti, dia tak pernah berubah. Esok akan sama lagi. Bahkan meskipun ribuan tahun telah lewat. Dia tak pernah ingkari janjinya untuk selalu bersinar dan memberikan keindahan cahayanya pada dunia. Keindahan abadi.

Aku telah menempatkanmu pada posisi sebagai mentari. Karena itulah rasa yang kumiliki ketika aku menemukanmu. Bukan hanya sebagai mentariku, tapi mentari untuk semuanya. Tahukah kau betapa terhormatnya tempat itu? Hanya ada satu. Tunggal. Seperti halnya mentari di dunia ini. Aku tak yakin bila kau memahami betapa besarnya pengakuanku ini untuk dirimu.

Bagai mentari, kau bersinar, memberikan cahaya pada orang-orang di sekelilingmu. Kau-lah Dewi, kau-lah Dewa, kau-lah pusat dari semua ini. Cinta yang kau bagikan bagai cinta sang mentari pada dunia. Aku merasakan ketulusan dan kebesaran yang maha besar di sana. Dan aku terpana, terpukau, dan merasa begitu terbekati. Aku merasa memuja dan mencintaimu, bak manusia memuja sang mentari. Dan aku ingin selalu berada di sisimu, selalu merasakan cahaya yang sama, kehangatan yang sama. Inikah yang membuat harap dan asaku terbang terlalu tinggi untukmu?

Namun, hari ini kutemukan cahayamu berubah. Tak seperti kemarin dan hari-hari yang lalu. Tak seperti saat pertama kali kutemukan cahaya itu. Aku tak mengenali warna baru itu. Aku merasa asing padanya. Warna yang tak selaras dengan warna yang selalu kutemukan sebelumnya. Dan tak sehangat rasa yang kemarin. Tak bersahabat lagi padaku. Kemanakah mentari-ku?

Mungkin aku yang salah. Mungkin kau memang mentari tapi bukan mentari. Kau mentari yang menyinari sekelilingmu, namun cahayamu tak sama dengan mentari di atas sana. Cahayamu dapat berubah warna dan rasa. Dan bila aku akhirnya memutuskan untuk tetap berada di sini, di sampingmu, mencintaimu apa adamu, aku harus bisa menanggalkan separuh rasa dan harapku padamu. Karena rasa dan harapku yang sekarang ini, membuatmu tak lagi indah di mataku. Memang, terkadang ketika terlalu banyak rasa dan harap yang berbicara, membuat realita menjadi tak logis dan tak indah lagi. Dan mungkin dengan lebih sedikit harapan, kecewa dan sakitku padamu bisa mengabur dan akhirnya menghilang...

Mungkin, aku telah salah melihatmu sebagai mentari sejati … Karena sejatinya mentari, tak pernah berubah untuk hangat dan terang-nya bagi semesta raya…


Selasa, 23 Juni 2009

Meraih kembali bahagiaku...


Aku tengah menghitung, berapa hari telah kulewatkan tanpa bahagia? Seminggu? Dua minggu? Atau bahkan sebulan? Sepertinya lebih... Karena rasanya telah begitu lama. Terlalu lama dalam rasa yang sama ini. Rasa tak bahagia ini...
Pagi tadi, membaca sebuah tulisan seseorang, tulisan yang menamparku dengan keras. Aku kembali diingatkan bahwa bahagiaku bukan di tangan siapa-siapa. Bahagiaku selamanya ada di tanganku sendiri, menjadi milikku sendiri. Aku lupa itu... Lupa akan kemampuanku untuk berbahagia, karena aku meletakkan bahagiaku pada sebuah titik. Dan selama ini aku terus menatap ke arah titik itu. Menunggu. Menunggu titik itu berubah menjadi cahaya. Tapi waktu terus berlalu, menggoyahkan imanku, juga menyapu semua rasa bahagiaku.

Dalam detik-detik yang kulewati aku terus berharap, walau harapan itu terus semakin menipis. Aku isi kembali dengan harap yang baru, yang menguras seluruh kekuatan jiwa. Sekarang, aku berdiri di sini, menatap titik itu masih tetap di sana. Tak bercahaya. Masih segelap dulu. Haruskah terus kutunggu? Tapi aku rasanya tak punya kekuatan lagi...
Rasanya begitu ingin menangis. Ketika harapan tak juga berujung. Ketika jiwaku terus berteriak memberontak, tak ingin lagi menatap titik yang sama. Namun mataku masih tertuju di sana, dengan sisa-sisa harapan yang semakin melukai jiwa. Masih begitu keras kepala. Masih juga terus berkata pada hatiku, masih ada harapan, jangan menyerah...

Tapi aku lelah. Aku lelah dengan ketidakbahagiaan ini. Aku rindu hari-hariku yang dulu, ketika semua terlihat indah dan begitu ringan. Ketika titik itu belum jadi fokus mata dan jiwaku. Ketika aku belum menaruh seluruh bahagiaku di sana. Aku benar-benar rindu bahagiaku...

Dan di sinilah aku kini. Dengan keputusan yang telah bulat. Aku tak ingin melanjutkan perjuangan ini lagi. Aku ingin berhenti. Menghentikan semua harap dan fokus pada titik itu. Cukup sudah.

Terkadang, ketika pikiran telah mengangguk setuju, hati masih juga menangis...

Ya, airmataku masih menetes saat kuputuskan ini. Namun ini tangisan sedihku yang terakhir untuk itu. Karena esok, aku akan mulai hidup yang baru. Dan titik itu tak akan pernah lagi merampas perhatianku. Karena bagaimanapun juga, aku harus meraih kembali bahagiaku...

Sahabat...

Sahabat...

Apa arti kata itu bagimu?

Aku tak pernah tahu. Tak pernah yakin. Bahkan ketika aku duduk di sini, mencoba menuangkan rasaku tentangmu, aku masih tak menemukan sebuah jawaban yang pasti.

Banyak saat, ketika aku meragukan persahabatan ini. Seperti saat ini. Aku meragukan apa yang sebenarnya ada dalam hati dan pikiranmu mengenai kita. Begitu banyak yang kau lakukan yang membuat keraguan itu muncul, menghuni hatiku, mempertanyakanku dengan wajah ejekan. Seakan-akan aku ini tak pantas menyandang kata 'sahabat' itu sendiri di dirimu.

Bukankah sahabat itu selalu saling mengasihi? Menjadi tempat berbagi dalam suka dan duka? Menemani tiap langkah, walau berbeda pegangan? Meski kita berada di tempat yang berbeda, memiliki hidup yang berbeda dan juga arah yang tak sama, kita masih bisa berbagi tentang segalanya. Aku tak pernah memaksakan arahku padamu. Dan aku selalu berusaha mengingatkan diri untuk memberi dukunganku untuk semua yang terjadi padamu. Di kala kau jatuh ataupun berdiri tegak. Aku akan selalu berusaha untuk ada di sana, memberi senyuman dan ketulusan hatiku. Karena kau sahabatku.

Namun, aku tak merasakan hal yang sama darimu. Kau memberikan begitu banyak kesinisan untuk hal-hal yang tak kau setujui tentangku. Membuatku merasa tak berarti di hadapanmu. Bahkan terkadang dalam kalimat-kalimat menyakitkan itu, aku merasa kau hanya mengejar kepuasanmu akan pembenaran dirimu. Dan yang terpenting bagimu hanyalah mencapai tujuan dirimu sendiri. Kau akan bahagia meskipun seandainya apa yang kau lakukan itu membuatku terluka.

Bagiku, itu bukan sebuah ungkapan persahabatan. Ketika ada kedengkian di dalam, mencoba menunjukkan diri yang terbaik. Aku tak perlu pengakuan itu. Apalah artinya menjadi yang terbaik bila aku harus membunuh orang-orang terdekatku? Apalah artinya hidup ini lagi, bila mereka semua tak ada lagi mewarnai hidupku? Tak penting siapa yang terbaik. Itu benar-benar tak penting. Karena selalu, di atas langit masih ada langit. Lupakah kau akan itu?

Sahabat selalu mengasihi. Dan kasih itu murah hati, tidak membenci... Kebencian dalam katamu terasa begitu menusuk. Membuatku sekali lagi mempertanyakan diri sendiri, apa sebenarnya aku di hatimu? Seakan tak ada cinta di sana untukku. Namun kau tak pernah mau mengakuinya. Kata sahabat itu seakan menjadi kata biasa yang kau tebarkan untuk semua orang. Kau menggunakannya tanpa pernah peduli arti sebenarnya.

Apa yang kutemukan tentangmu dalam kenyataan tak sama. Kau tak pernah berusaha menjadi sahabat itu sendiri. Tak pernah ada ketika aku membutuhkanmu. Tak pernah peduli pada dunia dan diriku. Bahkan kau masih sempat mengirimkan celaan dan hinaan bila kau memiliki kesempatan itu. Celaan dan hinaan yang terkadang membangkitkan amarahku yang selalu berusaha kuredam. Amarah yang lahir dari rasa sakit dan kecewa karena menempatkanmu dalam kursi persahabatan. Kadang aku bertanya-tanya sendiri pada hatiku, apa yang telah kulakukan padamu hingga aku pantas mendapatkan celaan dan hinaan ini?

Aku sedih... Sedih yang tak mampu kuungkapkan padamu karena aku tak yakin kau mampu mengerti sedihku ini. Mungkin aku yang salah, salah menempatkanmu di dalam hatiku. Harusnya aku tak menaruh dirimu di tempat istimewa itu. Karena kini aku ingin menyalahkanmu karena tak mampu duduk dengan baik di sana. Mungkin memang selamanya kau tak pantas duduk di sana.

Namun sahabat, seandainya suatu hari nanti kau sadar betapa berartinya nilai persahabatan itu bagiku, aku berharap masih ada waktu untuk mengulang kembali semuanya dari awal. Merajut kembali cerita yang indah. Semoga...

Senin, 22 Juni 2009

Tentang hari ini...

Teman, punya waktu sebentar...?

Aku rasanya ingin berteriak pada mereka semua, tolong tinggalkan aku!!! Orang-orang ini, membuat kesabaranku habis. Membuat aku kehilangan seluruh kebahagiaan yang sejak awal aku membuka mata tadi coba kuhadirkan dengan menata hatiku. Awal hari harus dimulai dengan hati yang penuh syukur dan ketenangan. Aku percaya akan hal itu. Aku percaya bahwa hati adalah titik awal pikiran-pikiran yang baik, yang akan berlanjut pada satu hari yang indah.

Tapi gangguan ini, sungguh membuatku ingin berteriak. Walau tak juga ada satu kata yang berhasil kuteriakkan pada mereka. Selalu, seperti ini. Kembali pada banyak pertimbangan akan semuanya, kembali pada kata hati yang meminta untuk menahan amarah. Tapi aku sungguh lelah. Rasanya ingin membawa kakiku berlari jauh, jauh dari tempat ini. Memutuskan semua hubungan dengan semua yang mengganggu itu. Menutup telingaku rapat-rapat. Juga menghentikan pikiranku untuk berjalan. Biarkan aku damai, tolong...

Jika ada suatu tempat, di mana aku bisa pergi... Persetan bila mereka menganggap aku lari. Juga persetan bila mereka mengira aku bersembunyi. Juga persetan bila mereka kebingungan mencari aku. Aku hanya ingin pergi ke tempat itu, dalam diam, mencoba menata kembali hatiku yang kacau balau ini. Karena rasanya hanya diam yang mampu mengusir amarahku ini. Hanya diam yang bisa membuatku menangkap kembali ketenangan jiwa.

Rasanya begitu tidak masuk akal. Semuanya ini. Tuntutan-tuntutan yang tak pernah habis. Tuntutan yang begitu kekanak-kanakan, seakan mereka semua bayi-bayi yang harus aku suapi setiap masa. Yang harus aku hapus ingus dan air liurnya agar tetap kelihatan bersih dan cantik. Yang selalu harus aku gendong satu persatu dengan kedua tanganku ini. Ya, Tuhan... Sadarkah mereka, tanganku hanya ada dua!

Harusnya mereka malu, memakai begitu banyak predikat terhormat namun selalu hanya mampu duduk diam, bagai anak bayi yang belum bisa berjalan. Bila benar-benar bayi dan hanya benar-benar duduk dalam diam, mungkin masih tersisa sedikit rasa hormat dan cintaku. Tapi mereka tak benar-benar diam, terus bertanya, menuntut, memberi perintah.... tanpa ada sedikitpun inisiatif untuk mencari tahu sendiri, mengerjakan sendiri. Padahal mereka bukan bayi, mereka tidak cacat, mereka tidak sakit, mereka jauh dari tidak mampu... Mereka sehat-sehat saja, tampak hebat dan bahkan kelihatan begitu rileks, tanpa beban...

Sudah berulang kali aku coba jelaskan dalam kalimat-kalimat teguran yang sedikit mencubit. Berharap mereka bisa sadar dan melihat protes-ku. Lalu berubah menjadi kalimat yang lebih memelas, please... Tapi, masih juga mereka seakan tak dapat melihat peluh dan sakitku ini. Lalu, aku harus bagaimana? Meneruskan semuanya dan memakai topeng senyum agar semuanya kelihatan baik-baik saja? Tidak. Aku tidak baik-baik saja saat ini. Aku merasa begitu terganggu. Orang-orang itu begitu mengganggu seluruh hidupku yang sederhana ini. Dan mereka terus seperti itu, bagaikan aku ini terbuat dari baja yang tak akan pernah berubah karena apapun juga. Dan tak akan pernah dapat ditembus atau tergores oleh belati...

Aku bukan perempuan super. Aku punya hati dan rasa. Aku juga butuh penghargaan dan ruang untuk bernapas seperti yang aku inginkan. Tolong jangan terlalu menganggap tinggi diriku dan merampas semua hakku sebagai seorang perempuan biasa. Aku tak suka itu. Aku tak mau itu. Aku capek dengan ketidakdewasaan ini. Aku capek dengan semua harapan terima beres yang selalu mereka anut. Kalau semua yang bukan bagianku harus aku bereskan dalam waktu 24 jam ini, lalu kapan aku mulai membereskan bagianku sendiri? Kalau memang aku harus membereskan semuanya, aku mau menuntut semua jam dari kehidupan mereka. Berikan padaku dan aku akan memberikanmu semua yang kau minta beres, dengan tanpa mengeluh. Bagaimana???

Kadang aku bertanya sendiri, apa ketegaranku yang membawaku ke tempat ini? Tempat mereka semua menggantungkan begitu banyak harapan dan tuntutan? Apa karena riangku dan murah hatiku menjadikan aku terlihat bagai dewa penolong bagi mereka? Tapi masalahnya aku memang suka menolong, tapi aku bukan dewa. Aku ini manusia biasa yang juga terkadang bisa merasa lelah. Yang kadang punya batas toleransi dan pandang atas apa yang benar-benar butuh aku tolong dan tidak. Kadang-kadang aku malah merasa sebagai tempat daur ulang. Semua sampah dan tali kusut dilemparkan begitu saja padaku dan aku harus mendaur ulang kembali semuanya dan memberikan barang yang kelihatan benar-benar baru pada mereka. Tanpa cela. Tanpa sisa kekusutan. Karena mereka tak akan terima itu. Mereka selalu punya banyak simpanan rasa ketidakpuasan dan standar penilaian yang tinggi. Lalu ketika aku punya sampah dan tali kusut, di mana aku akan mendaur ulang? Di mana aku bisa membetulkan kekusutan itu? Masalahnya tempat daur ulang dalam diriku ini selalu penuh, terlalu penuh malah. Bahkan mesinnya hampir tak mampu beroperasi dengan benar lagi, karena selalu dipakai melebihi kemampuan yang dimilikinya. Kapasitas mesinku ini harusnya ditambah. Dan kualitas mesinku ini mesti di-up grade!

Yang aku minta hanya sedikit toleransi. Bagi-bagi rasa. Bila mereka mampu mengerjakannya sendiri, hal-hal sepele tak berarti, kenapa mesti menunggu aku turun tangan? Aku bahkan sering jadi mesengger... Kalau begitu harusnya mereka buang saja semua alat komunikasi yang mereka punya, karena aku bisa jadi pusat komunikasi. Layaknya Telkom. Tidak, harusnya lebih hebat dari Telkom, karena aku yang akan melakukan sendiri semua panggilan dan aku yang akan menyampaikan sendiri semua pesan. Tinggal bayar saja biaya jasa kepadaku tiap bulan. Beres. Lagipula kalau ini semua sudah menjadi pure business, aku akan bersikap profesional dengan menganggap mereka adalah customer yang mesti diberikan service terbaik beserta dengan senyum terindah yang aku punya.

Dan di sinilah aku sekarang... Tidak ada tempat untuk pergi, tidak mampu berlari menjauh. Di sinilah aku dengan semua keluh kesah yang mungkin membingungkanmu. Maaf menjadikanmu tempat menaruh sampah-sampah dan tali kusutku. Pinjam sebentar. Soalnya kalau tidak di daur ulang secepatnya, sampah-sampahku ini bakal membusuk dan tali-tali yang kusut bakal semakin kusut. Lalu bagaimana nasib sampah-sampah mereka yang mereka sudah buang kemari? Seandainya mereka menerima returan sampah, pasti akan aku paketkan semua ini dan aku kirim kembali pada mereka. Membayangkan wajah-wajah mereka saja yang membuka paket itu dengan ekspresi shock, membuatku ingin tertawa setengah mati. Btw, itu hanyalah khayalan penghiburanku, sampah-sampahnya masih di sini... Harus tetap ku-daur ulang. Jangan sampai tertunda prosesnya, membuat tumpukannya semakin tinggi dan merusakkan mesin daur ulangku. Soalnya aku hanya punya satu mesin ini. Mesin yang harus aku minyaki setiap hari agar dapat berfungsi dengan baik di antara kerja kerasnya...

Teman,

Tolong doakan aku. Aku sangat butuh doamu saat ini. Tolong mintakan kekuatan untukku. Untuk bisa melanjutkan hari-hariku ini, yang kadang terasa begitu berat. Tolong juga mintakan lebih banyak kesabaran, agar aku tak sering-sering ingin berteriak marah. Juga tolong mintakan lebih banyak kebijaksanaan memenuhi hatiku agar aku bisa melihat semuanya dengan cara yang berbeda. Memahami semuanya dengan lebih baik... Dan yang terakhir, jangan lupa mintakan aku sekotak cinta, karena stok cintaku ini rasanya hampir habis....

Terima kasih teman...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya