Jumat, 21 Agustus 2009

Rinduku Ini...

Rinduku ini...
Entah kapan kau meraja di pikiranku. Entah kapan kau menyusup dalam relung-relung hatiku yang terdalam. Bersembunyi di sana, tak bisa kujangkau, tak mampu kuusir. Entah sejak kapan kau ada di sana. Dan entah sampai kapan kau akan bersembunyi di sana.

Rinduku ini...
Sangat mengganggu hidupku. Jiwaku. Dan bahagiaku. Hidupku kini bagai padang pasir tandus, kering dan terik. Dan angin kencang serta badai sering datang mengacaukannya. Jiwaku kini, bagai seekor burung dengan sayap terluka, tak mampu terbang ke arah yang kuinginkan. Dan bahagiaku kini hanyalah sebuah kemewahan yang tak mampu terjangkau oleh diriku yang miskin ini.

Rinduku ini...
Untuk apakah kau ada? Bila hanya untuk mengacaukan diri dan hidupku, enyahlah. Tak kuperlukan dirimu. Tanpamu hidupku sudah seperti benang kusut yang tak dapat terurai. Sudah cukup menguras energi jiwaku.

Rinduku ini...
Bagaimana kau tercipta? Dari mata kemudian mengalir ke hatikah? Dan setelah itu kau terus bersembunyi di sana, diam-diam menyatakan diri sebagai penguasa hatiku, meski tak pernah kuberi restu padamu. Kau sungguh tak sopan! Sungguh tak mulia! Harusnya kau bertanya padaku, karena hati ini milikku. Karena tak pantas kau mendiaminya tanpa permisi. Dan bukan sebuah perbuatan terpuji memaksaku untuk tetap menjadikanmu bagian diriku.

Rinduku ini...
Mungkinkah aku yang mengundangmu? Atau bahkan menciptakanmu? Mungkinkah sebenarnya aku suka dan sekaligus benci padamu? Mungkinkah aku yang tak pernah rela melepasmu dan berpura-pura menjadi korban yang tertindas olehmu? Mungkinkah aku sebenarnya menikmati rasa indah bercampur perih yang kau bawa?

Hhhhhhh....

Rinduku...
Tahukah kau bahwa sebenarnya kau tak bertuan? Tuan yang kau inginkan, yang kau impikan, yang selalu kau puja-puja dan meraja dalam khayalmu, dia tak pernah bisa jadi nyata. Kau hanya mampu mengecupnya dalam anganmu, menyentuhnya dalam hasratmu, memeluknya ketika nyata itu tak pernah benar-benar jadi nyata.

Rinduku...
Pergilah, tinggalkan diriku, hatiku, jiwaku. Selamanya. Aku bebaskan dirimu. Kau bukan lagi tawanan hatiku. Kau terlalu indah untuk kupeluk selamanya. Kau terlalu muluk untuk kuharap. Dan kau menjadi terlalu pahit untuk kucicipi. Aku tak sanggup lagi. Aku ingin tata kembali hidupku yang telah kau porak porandakan ini. Aku ingin bebaskan jiwaku terbang ke manapun dia inginkan dan hirup kembali napas kebebasan itu lagi. Aku ingin bahagiaku jadi sederhana lagi agar mampu dimiliki kembali olehku, yang miskin ini.

Rinduku...
Selamat tinggal. Terbanglah jauh, kembali kepada tuanmu. Bisikkan padanya kata selamat tinggal dariku...

Minggu, 16 Agustus 2009

Cinta Oh Cinta...



Duduk di sini, saat ini, tiba-tiba memikirkanmu. Atmosfer sekitar seakan-akan berubah. Aku bak diterbangkan dalam alam khayal masa lalu bersamamu. Rasa itu, suasana itu... Begitu akrab rasanya. Begitu jelas, menyentuh seluruh urat-urat syaraf ingatanku. Mengalir dengan begitu lancar, menghadirkan sosokmu kembali yang utuh.

Bak seorang bocah yang baru saja menemukan 'super hero', itulah diriku ketika pertama kali melihatmu. My hero... Walau aku tak bisa menjelaskan dalam kata, apalagi dalam logika mengapa kau bisa memperoleh gelar itu dalam hatiku. Apakah karena wajah tampanmu ataukah karena senyuman indahmu? Atau mungkin karena aura yang kau bawa setiap kau hadir, yang membuatku terpesona dalam hening?

Kau memiliki senyuman terindah di ingatanku. Senyuman yang mampu menyegarkan hati dan rasaku. Ketika senyuman itu kau bagikan untukku, hanya untukku seorang, aku bagai makhluk yang paling terbekati di alam semesta ini. Tak ingin menukar rasa itu dengan apapun jua.

Dan ketika jemarimu mengelus lembut rambutku, rasanya seperti menjadi kesayanganmu. Dan itu membuatku meledak dalam bahagia yang indah. Membuatku menjadi manusia tertolol di semesta ini, mematikan seluruh logika diriku tentangmu dan tentang segalanya.

Indahnya rasa itu. Memabukkan. Membuatku lupa akan segala yang nyata di hadapanku. Tak ingin bangun dari mimpi indah, membiarkan diri tertidur abadi dalam dunia khayalku. Berakting bak putri tidur yang menunggu sang pangeran datang mengecupku untuk meniupkan napas kehidupan yang baru.

Kembali ke alam sadarku, aku tersenyum, ingat aku yang dulu. Begitu polos. Begitu serius memaknai rasaku. Begitu naif... Aku tak mampu menahan geli. Ingat wajah dunguku dulu. Ingat khayalan kosongku dulu. Ingat pada airmata tak berguna yang kuteteskan untuk sesuatu yang kini bahkan terasa sangat tak penting.

Cinta oh cinta...

Photo Link: http://s140.photobucket.com/albums/r29/mccurleyq/?action=view&current=Remembrance_by_minymooncr.jpg

Dunia Dongeng

Aku terpaku saat kau begitu sibuk membicarakan hal-hal yang belum terjadi yang menurutmu ada di depan sana. Dan ketika kau menuturkan dongeng itu, kau terlihat begitu percaya diri, seakan-akan semua itu sudah menjadi bagian dari dirimu sendiri. Terkadang aku sendiri merasa melambung jauh ke dunia yang asing, dunia ciptaanmu itu. Tapi dunia itu begitu tidak nyata bagiku. Semuanya goyah, bahkan kakiku tak dapat menemukan pijakan di sana.

Ini berbeda dengan bersikap positif pada masa depan. Saat seseorang bersikap positif pada masa depan dia menyimpan keyakinan akan hal-hal baik di depan sana. Namun dia tetap menjalani hidupnya yang sekarang dengan tenang, karena dia yakin akan jalan yang terbentang di hadapannya. Dia mampu mengalahkan semua ragu dan takut yang mengikuti langkahnya. Karena meski dia menyimpan asa untuk esok hari, dia tetap mencintai hari ini dan dirinya yang sekarang ini.

Namun kau berbeda. Kadang kau begitu ketakutan. Takut akan hari esok yang tak pasti. Lalu untuk mengalihkan rasa itu, kau coba ciptakan gambar yang indah tentang dunia di depan sana. Gambar yang terkadang menurutku terlalu indah. Lalu kau mulai hidup dalam imajinasi-mu sendiri, seakan membagi tubuh dan jiwamu dalam dunia yang berbeda. Seakan tubuhmu tergolek mati di dunia ini. Dan jiwamu kau titipkan di sana. Kadang kau coba pula untuk menarik dunia dongeng itu masuk ke dalam dunia nyatamu. Kau bagikan begitu banyak cerita-cerita tak nyata dari negeri antah berantah. Dan kau tersenyum bahagia. Bahkan sering tertawa dalam tuturmu.

Bisa melihatmu tersenyum, aku bahagia. Tapi aku tak bisa tak merasa khawatir. Karena senyum itu tercipta dari rasa yang lahir dari imajinasimu sendiri. Rasa dari sesuatu yang tidak nyata. Membuat rasa itu tak pernah benar-benar ada. Tapi kau seakan mengisap candu. Rasa itu begitu memabukkanmu, menyeretmu lebih dalam, jauh ke dalam dunia dongeng-mu...

Dulu, aku pun hidup dalam dunia dongeng-ku. Saat aku terpaksa bangun, aku seakan-akan baru dipaksa terjun dari tebing yang tinggi. Babak belur. Luka-lukaku itu, juga setumpuk kekecewaan dan penyesalan diri, begitu menyedihkan. Aku terpaksa membuka mataku dan menemukan dunia tempat kuberada ini jauh dari keindahan yang ditawarkan dunia dongeng-ku. Dan aku begitu kecewa akannya. Aku tak suka duniaku ini. Aku menginginkan dunia yang lain. Dunia yang tak nyata itu. Karena di sanalah aku-lah rajanya, aku-lah bintangnya. Sementara di dunia ini, aku tak merasa menjadi siapa-siapa...

Sebenarnya dunia ini juga indah. Bisa menjadi indah, bila saja kita mau menaruh hati dan asa kita di sini. Lihatlah ke sekeliling kita, pada orang-orang yang menemani langkah hidup kita. Banyak keindahan di sini. Walau tak sesempurna seperti pada cerita dongeng itu. Dan bila saja kita mau mengerti, bahwa tak ada bahagia yang abadi, mungkin kita akan berhenti hidup di dunia dongeng.

Memikirkan masa depan, itu harus. Untuk memberi semangat dan harapan menjalani hidup ini. Tapi bersikap realistis juga perlu. Merasakan saat ini. Sekarang. Di mana sebenarnya tubuh benar-benar berada. Karena mencoba memisahkan tubuh dan jiwa ke dua tempat yang berbeda, itu pasti sesuatu hal yang sulit.

Masa lalu adalah kemarin, tak dapat kembali lagi. Masa depan adalah esok yang belum bisa disentuh. Kita selalu berada pada masa ini, sekarang. Temukan kekuatan di masa ini. Coba lihat dirimu seutuhnya saat ini. Cintailah itu. Karena dengan kekuatan cinta itu, esok dapat kau sambut dengan ceria.

Teman, aku tak mau kau luka. Tak mau melihatmu tertatih dengan beban kecewamu. Bangunlah, kutunggu kau kembali di sini. Dan bersama-sama kita pasti dapat ciptakan keindahan dunia kita saat ini. Bukan nanti. Bukan di sana. Di sini. Sekarang.

(Inspired from: 'The Power of Now')

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya