Sabtu, 12 September 2009

Pilihan

Kemarin menemani seorang teman baik, aku baru disadarkan kembali bahwa hidup ini adalah pilihan. Setiap hari, setiap saat, di setiap kata dan sikap yang kita ambil, kita selalu membuat pilihan.

Cerita singkatnya begini, kami membuat janji bertemu dari minggu yang lalu. Karena jadwal-ku minggu ini padat, maka hari pertemuan diundur hingga Jumat, kemarin. Temanku ini minta ditemani mencari barang-barang kebutuhannya untuk menyambut kelahiran bayinya. Janjinya , dia akan datang menjemputku jam sembilan pagi. Jangan heran, meski dalam posisi perut membuncit dan usia kehamilan tua, temanku ini masih selalu ke mana-mana sendiri menyetir mobil. Dia sudah terbiasa dan tidak merasakan hal tersebut sebagai hambatan.

Aku menunggu dari jam sembilan hingga jam sepuluh. Sms datang, memberitahuku bahwa dia tiba-tiba memiliki urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan. Dan setelah penantian yang panjang, temanku itu berhasil tiba di tempatku sekitar pukul setengah dua siang.

Aku lapar, dia juga lapar. Cari tempat makan dulu? Yup. Tapi kabar buruknya, dia tiba-tiba mendapat telepon dari rumah sakit yang menginformasikan bahwa jadwal cek kandungannya berubah jadi siang ini. Padahal biasanya malam. Nah, mana yang lebih penting? Perut atau perut? Hehehe... Masalahnya kalau kami singgah untuk makan dulu lalu ke rumah sakit, mungkin Dokter kandungannya sudah kabur karena jadwal praktek yang telah habis. So, diputuskan untuk ke rumah sakit dulu. Cek kandungan lalu makan di kantin rumah sakit.

Sampai di sana, untung lah temanku merupakan pasien yang pertama. Pengecekan memakan waktu hampir satu jam. Intinya kondisi ibu dan bayi dalam kandungan sehat tak kurang apapun. Syukurlah.

Setelah itu kami memutuskan mencari tempat makan lain, Pizza Marzano. Dan akhirnya kami benar-benar memulai makan siang kami pada pukul setengah lima.

Sebenarnya aku sedikit kesal ketika temanku tiba pada pukul dua. Kesal karena menunggu begitu lama dan perutku keroncongan, cuma sempat kuisi dengan segelas susu dan sebotol green tea. Tapi ketika menemukan wajah kuyu-nya dengan perut besar dan belum makan juga, aku jadi iba. Ada sebuah teguran di kepalaku untuk tidak mengeluh. Bagaimana pun temanku itu juga tidak lebih beruntung dariku. Dia mungkin bahkan lebih lelah, dari Selatan ke Barat lalu balik ke Selatan lagi. Dengan kesibukan segunung, mesti melewati jalan panjang dan kemacetan, belum lagi berat di perutnya yang membuatnya tak nyaman duduk berjam-jam di balik setir, dengan seat belt yang menyesakkan. Dan rasa lapar yang harusnya dua kali lipat dari aku...

Kalau aku tetap kesal dan melampiaskan kekesalanku padanya, bisa saja. Tapi efeknya, harinya semakin kelabu. Dan dia akan merasa tidak enak padaku. Merasa bersalah. Padahal ini juga sesuatu yang di luar prediksinya. Tidak diharapkannya terjadi. Bahkan acara belanja-belanja kebutuhan bayi menjadi batal karena waktu yang tidak memungkinkan.

Kalau aku kesal, hariku kemarin akan menjadi suram juga. Aku akan sibuk dengan pikiran-pikiran tak bahagiaku dan kegiatan menunggu serta menemaninya menjadi kegiatan yang berat dan panjang terasa. Tapi karena aku berusaha memahami dan sabar menunggu, aku bisa melihat hari kemarin sebagai hari yang tidak sempurna tapi masih bisa kuisi dengan banyak hal menyenangkan. Contohnya, saat menunggunya, aku tidak bengong. Aku malah sempat menulis sebuah cerita di blog, mengecek email-email, dan meninggalkan beberapa komentar di facebook. Aku bahkan sempat bertemu seorang customer yang datang pagi itu di kantor dan berbagi sedikit semangat untuk dirinya yang tengah merintis bisnis kecil.

Karena aku memutuskan untuk tidak mempermasalahkan keterlambatannya, aku bisa menemaninya memeriksa kandungan dan menyaksikan calon bayi itu bergerak di layar komputer. Aku bahkan sempat merasa iba, memikirkan seharian ini calon bayi itu belum sempat diberi makan. Hiks...

Dan pada akhirnya, aku bahagia. Bahagia atas pilihan yang telah kubuat hari ini. Pilihan untuk mengerti, sabar dan tetap tersenyum. Pilihan untuk menjadi seorang sahabat untuknya hari itu. Dan semua itu yang membuat satu hari lagi dalam hidupku lebih berarti dan indah untuk dikenang.

Hidup ini selalu merupakan pilihan. Banyak situasi yang tidak menyenangkan dan berat muncul, tanpa bisa diduga atau dikontrol, namun tetap pilihannya ada di tanganmu. Kau akan hadapi dengan senyuman ataukah dengan kemarahan dan rasa kesal? Semua tergantung padamu, karena apapun yang kau pilih akan mempengaruhi kejadian berikutnya dan akhirnya mempengaruhi seluruh kehidupanmu.

So teman, apakah kau memilih untuk tersenyum hari ini?

Jumat, 11 September 2009

Being Single


Ini bukan kejadian pertama. Udah sering banget terjadi, hanya berbeda versi. Berbeda latar

belakang dan tokoh. Intinya tetap aja sama. Topiknya juga sama.

“Hai, apa kabar?”

“Baik. Apa kabarmu?”

“Baik juga. Lama gak bertemu, ya? Udah berapa, nih?”

“Hah?” Pura-pura bego.

“Anak.”

“Oh…” Pura-pura baru mengerti. Cengengesan. “Belum.”

“Belum?” Matanya sedikit membelalak. “Belum punya?” ulangnya dengan nada tak percaya yang terlalu kentara. "Belum merit?"

Menggeleng, seraya melirik ke kiri kanan, mencari arah yang tepat untuk segera melarikan diri.

“Oh…” Dia masih tersenyum, namun beda dengan yang sebelumnya. Senyum yang ini sedikit dipaksakan. Seakan-akan jawaban belum membuatku menjadi makhluk aneh. Dan tiba-tiba atmosfer di sini berubah menjadi aneh juga. Harus cepat-cepat diakhiri! Kabuuuur…..

Itu bukan kejadian yang pertama atau yang terakhir, kecuali kalo besok bisa aku temukan seorang lelaki yang tampan, kaya, baik dan bersedia merit denganku. Ya, kejadian menyebalkan itu terus saja berulang tiap kali aku bertemu dengan teman atau kerabat yang lama tak berjumpa. Anggaplah mereka ingin tahu. Mereka curious. Mereka care. Whatever-lah! Tapi aku selalu terganggu dengan pertanyaan mereka itu. Kenapa belum merit? Ayo, tunggu apa? Uang gak akan habis dicari, Non! Kamu terlalu milih kali… Ya, iyalah, kalau tidak aku pilih, sudah aku kawini si Asep, tukang rujak keliling itu! Yang penting bisa kubungkam semua pertanyaan-pertanyaan usil itu!

Ada lagi yang bilang, “Non, kepala tiga itu sudah lampu merah. Hati-hati…” Ya, Tuhan… Tolonglah hambamu yang menderita lahir batin ini! Sebenarnya, the truth is, mau beneran lampu merah, ijo, kuning atau pink, sebenarnya aku gak peduli-peduli amat. Memang kenapa kalau lampunya sudah menyala? I’m happy! No matter what happens… Gak peduli ada suami atau gak. Mau forty baru merit kayak kisah si siapa tuh di serial Sex & The City, keren-keren aja menurutku. Lagian aku ini gak jelek. Maaf, ini bukan menghibur diri. Ini penilaian teman-temanku. Paling kurang nilai wajahku delapan. Maaf sekali lagi, bukan menyombongkan diri. Mataku belo, hidungku mancung, kulitku putih, tubuhku padat berisi, kata teman-teman laki-lakiku, aku ini sexy! Dan aku gak bodoh. Aku lulusan universitas ternama dengan jurusan dan nilai yang top. Dan sekarang aku bekerja pada sebuah perusahaan internasional. Hebat, bukan? (Sedikit imbas dari frustasi di depan, jadinya sedikit memamekan diri sekarang…hehehe)

Kuper? Pasti itu tebakan kalian kemudian, mencoba mencari-cari apa salahku sampai kini masih men-jomblo. Maaf beribu-ribu maaf, aku ini anak gaul. Teman wanitaku segudang dan teman laki-lakiku ngantri untuk mengajakku keluar. Lalu masalahnya apa? Lihat, kau mulai ikut frustasi memikirkanku. Kau membuatku tambah frustasi!!!

Masalahnya, aku tidak menemukan someone itu. Ribuan nasehat telah kudengarkan sampai telingaku ini mulai sedikit budek. Dan bermacam-macam buku telah kubaca untuk memahami lebih dalam cara-cara mencari pasangan hidup. Dan aku merasa di sinilah letak masalahnya. Terlalu banyak yang kudengar. Terlalu banyak yang kubaca. Dan aku menjadi seorang pakar yang terlalu ahli. Kencan kini bagiku adalah bertemu, menilai, mengamati, menimbang….bla bla bla… Selama kencan aku tak bisa rileks, karena aku harus menajamkan mata, telinga dan rasa. Gimana? Feels good? Biasa aja? Ah, hidungnya sedikit miring. Kok matanya jelalatan mulu ya? Eh, bajunya kurang rapi. Kayaknya pelit nih, kok aku gak ditawarin minum?

Dan setelah pulang kencan, aku tidak bisa tidur semalaman, karena aku harus memutar ulang kembali moment kencan tadi. Menilai ulang dari sisi sini, dari atas sana, dari sudut ini…. Waaaaah! Capek!!! Dan biasanya pada akhirnya aku putuskan, coret saja dari daftar! Berkurang satu, bagus! Tapi besok bertambah lima lagi!!!

Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak-kakak tercintaku yang semuanya lelaki, sudah memiliki pasangan hidup masing-masing. Mestinya aku lebih mudah menemukan pasangan hidupku ya, karena sedari kecil aku lebih banyak bergaul dengan para lelaki, ayah dan saudara-saudaraku. Tapi pengaruh ibuku sangat besar juga terhadapku. Mungkin karena aku adalah kesayangannya, makanya hidup single di usia tiga puluh ini benar-benar sebuah beban bagiku! Hhhhhh…..

Ibuku adalah seorang wanita sedikit kuno dengan banyak aturan-aturan lama yang masih menempel di kepalanya. Dia menikah di awal dua puluh, salah satu kenyataan yang membuatnya selalu khawatir akan nasibku. Tapi masalahnya, ibuku bukan seseorang yang bersikap nrimo akan pilihanku. Setelah melalui proses panjang menimbang apakah seorang pria akan kukencani untuk kedua kalinya, tibalah proses kedua, pengujian dari ibuku. Dan ini lebih berbelit-belit dan sulit dilewati. Ibuku memiliki tiga mata, empat telinga dan enam indera. Bayangkan, bila kau salah sedikit saja dalam bertindak, dia akan langsung merasakannya. Ini proses yang menguras banyak energiku. Karena aku tak pernah yakin bagaimana cara ibuku menilai seseorang. Kau ingin tahu berapa yang pernah lolos dalam penilaiannya? Tunggu, biar kuingat-ingat dulu…. Tidak ada! Ya, tak seorang pun. Pasti kini kau tak merasa heran kalo aku masih single, bukan???

Setidaknya ibuku pernah menyetujui dua orang lelaki untuk mendekatiku. Namun kedua-duanya adalah anak kenalannya, yang berusaha dijodohkannya padaku. Kau pasti mau tertawa, kan? Bayangkan di jaman begini masih ada acara jodoh menjodohkan, diapit kedua orangtua, dipertemukan dalam makan malam. Kami, domba-domba korban ini hanya bisa diam, sementara kedua orangtua kami saling bertukar info, seakan-akan kami ini barang dagangan yang lagi ditaksir harganya. Bah! Memalukan sekali! Menginjak-injak habis harga diriku yang memang dasarnya sudah tidak tinggi ini! Aku, seorang tenaga ahli yang cantik di perusahaan internasional mesti dijodohkan! Mau taruh di mana mukaku ini kalo orang-orang sekantorku tahu? Tapi, apa hendak dikata, demi ibuku tercinta, demi memuaskan keinginannya, aku jalani juga perjodohan gagal itu.

Dulu aku pernah jatuh cinta pada seorang lelaki, cinta pertamaku. Indah? Ya, lalu sakit. Kami putus di tengah jalan karena ketidakcocokan. Lalu aku jatuh cinta lagi untuk kedua kalinya. Namun sayang, lelaki pilihanku ini tidak memenuhi kualifikasi ibuku yang amat tinggi. Jadi aku terpaksa backstreet untuk beberapa lamanya. Membuat cintaku semakin dalam, karena pengorbanan yang kulakukan. Namun akhirnya ibuku tahu juga dan memberikan ultimatum untuk putus saat itu juga. Kau pasti mau bilang harusnya aku berjuang atas nama cinta. Huh, andai kau punya Ibu seperti ibuku. Andai kau adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Andai kau satu-satunya anak perempuan dalam keluargamu. Andai kau lihat airmata ibuku yang tak henti-hentinya mengalir saat aku membangkang. Andai kau punya hati lembek sepertiku. Andai rasa cintamu pada ibumu sebesar rasa cintaku pada ibuku… Andai saja…

Aku tak pernah tega melihat ibuku yang tua itu menangis, apalagi karena diriku. Aku tak pernah tega menolak apa yang dipintanya, karena aku tahu betapa sayangnya dia padaku. Meski kadang aku tak setuju. Bukan bukan kadang, tapi sering tak setuju. Aku bahkan ingin sekali berteriak marah, melampiaskan kesedihanku ini. Tapi aku tak mampu. Hanya bisa menangis diam-diam ketika berada sendirian dalam kamarku. Merasakan sakit hatiku sendiri, tanpa pernah bisa membaginya pada siapa saja.

Sejak putus dari pacar keduaku, hubunganku dengan laki-laki tak pernah bisa mulus. Mungkin aku sendiri yang menyebabkannya. Karena kini aku bukan pake rasa, tapi lebih memakai timbangan. Timbang dulu dari segi finansialnya, bagus? Timbang dulu sikap gentle-nya, oke? Timbang dulu latar belakang keluarganya, broken home? Oh, tidaaak! Bukan sosok pria itu sendiri yang jadi penilaian pertamaku. Bukan dirinya, bukan pribadinya. Tapi lebih dari dirinya dulu yang terpenting. Maaf, tapi ini yang disuntikkan ibuku ke otakku. Aku merasa ini tidak benar, tapi aku tak bisa membersihkan otakku seperti semula. Racunnya sudah menyebar ke seluruh jaringan.

Padahal aku rindu jatuh cinta. Ya, jatuh cinta… Ketika kau bertemu seseorang dan merasakan atmosfer yang berbeda, ketika sebuah tatapan meluluhkanmu tanpa dapat dijelaskan oleh logika. Ketika kau menganggukkan kepala tanpa berpikir dan mengikuti langkahnya meski kau tak mengenalnya. Kau hanya tahu, itu dia!

Hhhhhh…. My life is so complicated! Anyway, aku tak mau terus bekeluh kesah dan menambah suram hidupku yang sudah mendung ini. Sebenarnya aku baik-baik saja, menikmati masa lajangku ini. Aku hanya terganggu dengan pandangan orang-orang, komentar-komentar mereka seakan aku manusia tak berkemampuan hanya karena belum menikah. Dan mungkin harus kuakui aku sedikit stress dengan tekanan dari ibuku tentang kapan aku akan menikah. But, di samping semua itu I’m happy being single. Daripada terus melakukan kencan-kencan yang tidak didasari ketulusan hati, aku lebih suka menikmati hidupku sendiri seperti ini, apa adanya. Aku tak peduli lampu merah, bahkan bila lampu itu pecah berkeping-keping saking panasnya karena terlalu lama menyala! Aku hanya sering berkhayal, semoga suatu hari nanti entah forty, fifty, atau ketika gigiku sudah tanggal semua, akan kutemukan seseorang itu. The right guy! Ya, kekasih hidupku! Dia yang selama ini aku cari-cari.


Photo link:http://www.amazon.com/gp/product/images/B000RHRGCQ/ref=dp_image_text_0?ie=UTF8&n=5174&s=music

Selasa, 08 September 2009

Selamat Hari Aksara

Aku bukan berasal dari keluarga kaya atau berada. Miskin sebenarnya tidak, karena rumah tempat aku tinggali saat masih kecil lumayan besar dan bertingkat. Tapi ayahku hanya seorang pegawai biasa. Dan Ibu tidak bekerja.

Aku tidak pernah merasakan masa-masa di Taman Kanak-kanak. Yang kuingat Ibu selalu mengatakan pada orang-orang bahwa aku ini pandai, sudah mampu berhitung dari angka satu sampai seratus, jadi masuk TK bukanlah sesuatu yang amat penting. Jadi di sanalah aku, di rumahku bermain sementara anak-anak seumuranku mulai bersekolah.

Saat menginjak umur enam tahun, Ibu mendaftarkanku pada sebuah sekolah negeri. Aku lupa apakah ada tes masuk yang kujalani, ataukah tidak sama sekali. Tapi yang pasti aku mulai bersekolah.

Bagaimana hari-hariku di sekolah, aku juga sudah lupa. Tapi yang kuingat jelas, suatu hari, sepulang dari sekolahan, ibuku begitu marah padaku. Hari itu hari penerimaan raport. Angka lima dengan tinta merah tertulis bagus di kolom Bahasa Indonesia. Dan angka itu kuperoleh karena ketidakmampuanku membaca dan menulis di kelas.

Ibuku panik. Hari berikutnya ia bergegas ke toko buku membeli dua buku belajar membaca dan menulis. Buku itu untuk anak TK. Halaman pertama menjelaskan huruf A yang kemudian dijelaskan dengan sebuah gambar yang huruf depannya menggunakan huruf tersebut. Dan ibuku menjadi guru yang memberikan tambahan pelajaran saat aku pulang sekolah. Pelajaran itu dimulai dengan dia menyebutkan huruf dan nama benda, lalu aku akan mengulangnya. Begitu terus, berulang-ulang.

Tidak mudah bagiku, karena sebenarnya aku tidak membaca huruf-huruf yang terangkai menjadi sebuah kata tersebut. Aku menghapalnya, mengingatnya. Tapi karena kemampuan mengingatku payah, aku selalu lupa lagi. Aku hanya ingat A untuk arloji, soalnya arloji adalah benda yang akrab di mataku dan nama yang mudah diingat. Tapi saat giliran membaca A untuk angklung, aku mulai lemas. Kata angklung susah untuk menempel di kepalaku. Alhasil ketika Ibu datang lagi dan menunjuk kata angklung, aku hanya bisa mengeluarkan suara menggumam tak jelas. Dan takut-takut aku akan bilang, "Lupa. Apa ya?" Sekali, ibuku memberi jawaban. Dua kali, masih dijawab walaupun keningnya mulai berkerut. Ketiga kali, masih juga dijawab, namun nada suaranya berubah menjadi tidak sabar dan sedikit menakutkan. Keempat kali aku bertanya, rotan melayang di betisku. Sakit...

Begitulah cara pengajaran Ibu yang sedikit tidak berperikemanusiaan tapi membawa hasil yang sangat efektif. Pada penerimaan raport berikutnya aku memperoleh nilai delapan untuk Bahasa Indonesia dan duduk di peringkat kedua. Dan sejak itu Bahasa Indonesia selalu menjadi mata pelajaran kesukaanku. Entah mengapa aku lebih suka menghadapi huruf-huruf dibanding dengan angka-angka.

Itulah sepotong cerita pengenalanku pada huruf. Dan sampai hari ini aku masih terus menggunakan huruf-huruf untuk membahasakan pikiran dan rasa hatiku. Merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat. Menyusun kalimat-kalimat menjadi sebuah kisah pendek tentang apa yang kupikirkan dan kurasakan. Bercerita tentang duniaku yang kecil, juga bercerita tentang dunia lain yang berada dalam khayalku.

Aku bukan pencipta. Aku hanya perangkai kata. Kata-kata itu telah ada. Aku hanya mencarinya dan menyusunnya menggunakan rasaku, membuatnya menjadi kalimat yang indah. Bagiku, selamanya huruf selalu memiliki arti khusus. Karena dengan dirinya aku mampu mengekspresikan diri dan berbagi kepada dunia.

*Selamat hari Aksara

Senin, 07 September 2009

Terimakasih...

Menengok kembali ke hari-hari yang telah terlewati, tak tahu apa rasa yang pasti di hati. Menyapa kembali kisah-kisah yang singgah dalam setahun terakhir ini. Ya, setahun ini bukan sebuah jalan yang mudah. Masih, ada lubang-lubang yang membuatku terjatuh, meringis dan kerap tak sanggup menahan airmataku. Namun seperti biasa, aku bangkit lagi, mencoba meneruskan langkahku meski terkadang sakit itu masih menjadi bayang yang tak mau lepas. Terkadang ingatanku berlari kembali mengingat lubang yang tertinggal di belakang sana. Ada rasa ingin berlari pergi dan melupakan semua itu. Namun separuh sesal tertinggal, bertanya tak mau diam, mengapa kau tak kembali dan menutup lubang yang menganga itu?

Hidup, selamanya bukan persoalan yang mudah untukku. Terutama saat kaki terasa berat dan jiwa terasa sendiri. Dipeluk oleh dinginnya masa lalu dan kabut masa depan yang tak pernah akan jelas terhampar. Siapakah aku ini? Pertanyaan itu selalu mengikutiku, ke mana pun kaki ini melangkah. Kadang bertanya dengan suara lembutnya, mencoba menggapai sesuatu dalam damai. Kadang memojokkanku dengan taring tajamnya, siap merobek-robek jiwaku yang rapuh.

Aku masih manusia biasa, yang selalu mencoba berdiri dengan gagah, menatap dunia dengan senyum. Menebar cinta dan berharap ada sedikit belas kasih yang tersisa di ujung waktu. Kadang terjatuh di rasa sesal dan sakit yang sama. Menyembunyikan diri dalam lorong jiwa yang terdalam. Berusaha menggapai makna diri-Mu. Tak pernah ingin lelah menggapai...

Aku terbuat dari daging dan darah, dengan sepotong napas yang Kau tiupkan. Namun masih sering bertanya pada-Mu, untuk apa aku ada di sini? Inikah jawaban yang mesti kutemukan dalam sepotong hidupku yang terasa panjang namun hanya merupakan sepotong cerita tak berarti ini? Ataukah aku yang telah lupa akan diriku dan diri-Mu di awal penciptaan?

Tak pernah menjadi sempurna, untuk semua pencerahan jiwa yang kukejar. Masih ada noda di sana. Masih ada sebentuk kekerasan hati yang tak kunjung cair. Berharap bila suatu saat nanti aku akan bisa menjadi seperti air, sosok yang begitu lembut, tak pernah angkuh untuk mengubah bentuk, tak pernah ragu untuk mengalir terus tak peduli apa yang kulewati. Berharap suatu saat nanti aku akan bisa menjadi matahari kecil, bersinar tiada lelah dan memberi tanpa harap...

Maaf, ketika kataku menjadi belati yang tajam, mengiris relung-relung hatimu. Ketika aku lupa akan bahasa cinta. Ketika aku membiarkan diriku terlena akan kegelapan telah melangkahkah kaki masuk menghuni hatiku. Meski aku selalu mengirimkan berjuta alasan mengenai ketidaksempurnaan sosokku, masih juga aku harus berkata maaf... Aku tahu, jiwaku tak pernah menjadi selugu itu. Tak pernah menjadi tak berdosa...

Namun, pagi ini membuka mataku, langitku masih biru... Terima kasih, sebuah syukur menyelinap masuk memenuhi seluruh rongga jiwaku. Memercikkan sebuah kesegaran yang tak terlukiskan. Untuk semua sentuhan jiwa yang kuterima sepanjang tahun ini. Untuk semua uluran tangan yang hangat, yang menguatkan langkahku. Untuk semua tawa dan bahagia yang tercipta dan menggoreskan sejarah yang tak akan pernah pudar dimakan waktu. Dan untuk semua pahit dan sakit yang mengajarkanku tentang arti ketegaran dan kebijaksanaan. Meski kuakui masih tak mampu jiwaku menyentuh makna terdalam dari sebuah kata bijak.

Tuhan...
Aku kerap lupa akan diri-Mu. Engkau yang selalu ada di sana, mengikuti setiap langkahku, meniupkan harapan dan cinta di sepanjang jalanku. Mengajarkanku tentang begitu banyak arti hidup. Menitipkan sosok-sosok indah dalam setiap kesempatan untuk menolongku, membimbingku, mencerahkan hidupku. Juga menitipkan begitu banyak jiwa-jiwa sepertiku untuk kusentuh dan kubagi cinta. Karena selamanya, memberi menjadi sebuah hadiah terindah bagi jiwaku sendiri. Satu hal yang tak pernah kulupa tentang-Mu.

Teman...
Aku kerap sibuk dalam duniaku sendiri. Dalam sempitnya pikiran dan galaunya hati ini. Kerap tak melihat sosokmu selalu mengikuti, menyanjung, memberi semangat, melemparkan senyum, menggenggam erat tanganku dan memeluk jiwaku yang selalu merasa tak cukup cinta ini...

Terima kasih...
Terima kasih untuk-Mu, Tuhan. Terima kasih untuk kalian semua, orang-orang yang kucintai. Yang telah hadir, singgah, berada dan pergi. Terima kasih untuk kebesaran hati kalian menorehkan sebuah kisah di sini, di dalam hidupku. Selamanya hidupku tak pernah berarti tanpa kisah-kisah itu. Selamanya aku bukan siapa-siapa tanpa dirimu memberi arti untukku. Aku hanya bisa mengirimkan sebuah doa setulus hati untukmu semua. Dan cinta yang aku punya. Berharap esok kita masih bersama. Dan berharap bila langkah kita terpisah, bayangku tetap ada di sana, merestuimu...

Karena selamanya, kau selalu berarti bagiku...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya