Selasa, 08 September 2009

Selamat Hari Aksara

Aku bukan berasal dari keluarga kaya atau berada. Miskin sebenarnya tidak, karena rumah tempat aku tinggali saat masih kecil lumayan besar dan bertingkat. Tapi ayahku hanya seorang pegawai biasa. Dan Ibu tidak bekerja.

Aku tidak pernah merasakan masa-masa di Taman Kanak-kanak. Yang kuingat Ibu selalu mengatakan pada orang-orang bahwa aku ini pandai, sudah mampu berhitung dari angka satu sampai seratus, jadi masuk TK bukanlah sesuatu yang amat penting. Jadi di sanalah aku, di rumahku bermain sementara anak-anak seumuranku mulai bersekolah.

Saat menginjak umur enam tahun, Ibu mendaftarkanku pada sebuah sekolah negeri. Aku lupa apakah ada tes masuk yang kujalani, ataukah tidak sama sekali. Tapi yang pasti aku mulai bersekolah.

Bagaimana hari-hariku di sekolah, aku juga sudah lupa. Tapi yang kuingat jelas, suatu hari, sepulang dari sekolahan, ibuku begitu marah padaku. Hari itu hari penerimaan raport. Angka lima dengan tinta merah tertulis bagus di kolom Bahasa Indonesia. Dan angka itu kuperoleh karena ketidakmampuanku membaca dan menulis di kelas.

Ibuku panik. Hari berikutnya ia bergegas ke toko buku membeli dua buku belajar membaca dan menulis. Buku itu untuk anak TK. Halaman pertama menjelaskan huruf A yang kemudian dijelaskan dengan sebuah gambar yang huruf depannya menggunakan huruf tersebut. Dan ibuku menjadi guru yang memberikan tambahan pelajaran saat aku pulang sekolah. Pelajaran itu dimulai dengan dia menyebutkan huruf dan nama benda, lalu aku akan mengulangnya. Begitu terus, berulang-ulang.

Tidak mudah bagiku, karena sebenarnya aku tidak membaca huruf-huruf yang terangkai menjadi sebuah kata tersebut. Aku menghapalnya, mengingatnya. Tapi karena kemampuan mengingatku payah, aku selalu lupa lagi. Aku hanya ingat A untuk arloji, soalnya arloji adalah benda yang akrab di mataku dan nama yang mudah diingat. Tapi saat giliran membaca A untuk angklung, aku mulai lemas. Kata angklung susah untuk menempel di kepalaku. Alhasil ketika Ibu datang lagi dan menunjuk kata angklung, aku hanya bisa mengeluarkan suara menggumam tak jelas. Dan takut-takut aku akan bilang, "Lupa. Apa ya?" Sekali, ibuku memberi jawaban. Dua kali, masih dijawab walaupun keningnya mulai berkerut. Ketiga kali, masih juga dijawab, namun nada suaranya berubah menjadi tidak sabar dan sedikit menakutkan. Keempat kali aku bertanya, rotan melayang di betisku. Sakit...

Begitulah cara pengajaran Ibu yang sedikit tidak berperikemanusiaan tapi membawa hasil yang sangat efektif. Pada penerimaan raport berikutnya aku memperoleh nilai delapan untuk Bahasa Indonesia dan duduk di peringkat kedua. Dan sejak itu Bahasa Indonesia selalu menjadi mata pelajaran kesukaanku. Entah mengapa aku lebih suka menghadapi huruf-huruf dibanding dengan angka-angka.

Itulah sepotong cerita pengenalanku pada huruf. Dan sampai hari ini aku masih terus menggunakan huruf-huruf untuk membahasakan pikiran dan rasa hatiku. Merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat. Menyusun kalimat-kalimat menjadi sebuah kisah pendek tentang apa yang kupikirkan dan kurasakan. Bercerita tentang duniaku yang kecil, juga bercerita tentang dunia lain yang berada dalam khayalku.

Aku bukan pencipta. Aku hanya perangkai kata. Kata-kata itu telah ada. Aku hanya mencarinya dan menyusunnya menggunakan rasaku, membuatnya menjadi kalimat yang indah. Bagiku, selamanya huruf selalu memiliki arti khusus. Karena dengan dirinya aku mampu mengekspresikan diri dan berbagi kepada dunia.

*Selamat hari Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya