Rabu, 30 September 2009

Luka Hati


Kau pasti pernah terjatuh atau terantuk dan membuat luka kecil pada tubuhmu. Kulitmu sobek dan darah mengalir. Sakit dan perih terasa. Mungkin akan kau balut, mungkin juga tidak. Perbedaannya hanyalah terletak pada cepat atau lamanya penyembuhan, karena bagaimanapun lubang kecil itu akan perlahan-lahan tertutup kembali seiring waktu. Saat luka itu mulai mengering, tercipta lapisan kulit baru di sana. Lagi, seiring waktu kulit itu akan mengeras dan pada akhirnya akan terlepas sendiri, meninggalkan kulitmu dalam keadaan semulus awalnya, tanpa ada bekas luka di sana. Tidak, terkadang mungkin akan ada bekas luka yang tertinggal, tapi bagaimanapun selamanya luka itu telah sembuh.

Pernah kau perhatikan seorang anak kecil yang mengorek-ngorek kulit yang hampir mengering di atas lukanya? Dia seakan tak begitu sabar menunggu lapisan kulit itu terlepas dan jatuh dengan alami. Dan ketika ia berhasil melepas kulit yang setengah mengering itu, kembali luka yang sama masih ada di sana. Kembali basah. Kembali berdarah. Kembali terasa sakit dan perih.

Sama seperti luka hatimu. Sebenarnya bila kau mau memberi kesabaran pada waktu untuk menyembuhkannya, suatu hari nanti pasti luka itu akan sembuh. Mungkin tak berbekas sama sekali. Mungkin juga akan meninggalkan bekas, membuatmu selalu ingat akan penyebab lukamu. Membuatmu selalu ingat akan sakit dan perih ketika luka itu tercipta. Namun, rasa sakit itu hanyalah kenangan akan sakit hari kemarin yang telah berlalu. Tak akan benar-benar membuatmu merasakan sakit dan perih yang sama kembali di saat ini. Rasa itu tak akan pernah benar-benar menjadi nyata kembali.

Tapi apa yang terjadi bila kau tak mau memberi kesabaranmu pada waktu? Ketika sesungguhnya tak pernah ada keikhlasan di sana melepaskan rasa sakitmu? Kau korek kembali luka yang hampir mengering itu. Mungkin karena kau tak punya kesabaran yang cukup untuk menunggunya sembuh. Mungkin juga karena kau benci pada luka itu, ingin menyingkirkannya segera. Mungkin juga karena kau telah terbiasa pada sakit dan perih itu. Telah mencintainya tanpa sadar, telah menjadikan sakitnya sebagai candu diri dan tak mampu hidup tanpanya lagi. Mungkinkah itu? Aku tak tahu. Kau yang tahu jawabnya. Tanyakan pada hatimu yang luka itu.

Mungkin juga karena kau tak pernah rela hatimu terluka. Kau berharap waktu bisa berlari ke belakang, berputar terbalik. Berharap bahwa luka itu tak akan pernah ada, sakit dan perih itu tak ada pernah menjadi rasamu. Karena itu tak pernah terlahir kerelaanmu untuk menerima luka itu sebagai bagian dari hatimu. Kau hanya menuntut kesempurnaan dari sebuah hatimu yang agung. Tapi selamanya waktu berjalan maju. Tak ada tombol untuk menghapus kejadian yang telah terjadi. Tak ada tombol yang bisa kau tekan untuk menghapus luka yang telah tergores.

Mungkin juga karena kau tak sadar bahwa dengan mengoreknya kembali, luka itu tak akan pernah sembuh. Kau korek terus tanpa sadar. Dan akhirnya luka hatimu kembali menganga, kembali berdarah. Dan kembali sakit serta perih itu kau rasakan. Dan setelah berulangkali itu terjadi, kau mulai kehilangan keyakinanmu. Kau berkata, selamanya luka hatimu tak akan tersembuhkan.

Percayakah kau bila kukatakan waktu dapat menyembuhkan luka hatimu? Sebesar apapun luka itu, sedalam apapun ia. Bahkan ketika perihnya pernah terasa seakan ingin merenggut jiwa. Ya, seandainya kau percaya, biarkanlah waktu membantumu. Namun tuangkan kesabaran pada luka itu dan balutlah dengan keikhlasan. Dengan begitu, penyembuhan itu akan datang lebih cepat.

Kita semua pernah jatuh, kita semua pernah terluka. Luka kecil, luka besar. Perihnya, sakitnya, semua pernah kita rasakan. Namun, luka itu akan sembuh atau tidak, semua kembali kepada pilihan diri. Masih inginkah kau rasakan sakit dan perihnya? Bila kau telah bosan dan muak, bila telah cukup untukmu, relakan luka itu untuk sembuh. Selamanya. Karena tak akan ada luka yang tak pernah sembuh. Seperti juga, tak akan pernah ada sakit yang tak akan berakhir. Dan seperti juga, tak akan pernah ada sedih yang tak berujung. Dan ingatlah ini, di ujung sedihmu itulah kau akan temukan bahagia. Akhir sakitmu itu akan menjadi awal senyummu.

Photo Link: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXYhIUQR_t1maz5gGK9nGthD6_Wtl3GLNAwssJ-KDX1bTK3_T_J6Ht3R7CQsQ74M0VOjhDD_cGZAfgjz7x7LsWpGGQuKb-xDL4Q4sJ7q2xbGcYcyD-dZIPtzFwunot6RWbJhU110yPujly/s320/06.jpg

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya