Jumat, 12 Februari 2016

Mommy, xie-xie Ni...

Berapa lama aku tak menghubunginya? Setahun? Lebih? Yang aku ingat sudah dua tahun berlalu sejak terakhir aku menemuinya. Ya, ketika akhirnya aku berhasil mengumpulkan seluruh keberanianku untuk datang menemuinya. Untuk membayar semua hutang maafku selama ini.

Pertama kali aku mengenalnya, keberanianku menciut. Harga diriku hilang separuh. Bagaimana tidak? Tatapan matanya yang tajam dan ekspresi wajahnya yang keras dan tanpa ekspresi, membuatku merasa tak diterima. Saat itu aku hanya diam, tak bersuara. Tak punya sesuatu untuk membela gambaran diriku di matanya. Hanya separuh harga.

Kesan pertama itu membuatku menilai dirinya sebagai seseorang yang tak cukup baik. Apalagi ditambah dengan cerita-cerita yang kudengar mengenai dirinya. Wanita yang bertangan baja, otoriter, pemarah, susah untuk dimengerti.

Beberapa kali pertemuan dalam tahun pertama, tidak banyak yang berubah. Aku belum mampu menjalin komunikasi dengannya. Berhubung terbatasnya kosakataku mengenai bahasa asing yang dipergunakannya, aku hanya mampu mengerti sepotong-sepotong yang diucapkannya. Tapi aku tak pernah menyerah untuk belajar, dengan keyakinan suatu hari nanti aku mampu berkomunikasi dengan baik dengan dirinya. Saat itu mungkin, dia akan bisa mengenal siapa diriku sebenarnya.

Tahun-tahun berlalu, dengan kesibukan yang luar biasa, membuatku sering lupa memikirkannya. Sampai suatu hari aku tersadar, dia bukan lagi wanita yang sama dengan wanita yang pertama kali bertemu denganku. Atau mungkin penilaianku saat itu salah mengenai dirinya. Penilaian yang muncul karena sikap dinginnya kepadaku.

Dia memang seorang wanita yang benar-benar perkasa. Cerita hidupnya yang sering dituturkannya sepotong-sepotong padaku bila kami punya kesempatan bersama, membuatku sering merasa iba sekaligus bangga padanya.

Dia lahir di keluarga yang bahagia. Dan dia menikah dengan lelaki tampan yang kemudian menjadi ayah dari keempat anaknya yang kini semua berhasil dalam hidup baik sebagai pribadi yang mandiri maupun sebagai anak-anak yang berbakti pada orangtua.

Kehidupan pernikahannya tidak mulus. Dia harus berbagi atap dengan ibu mertuanya yang merupakan wanita keras, penuh dengan aturan dan selalu harus dilayani. Setiap hari dia harus menyiapkan air hangat untuk ibu mertuanya mandi. Juga masakan yang sesuai dengan selera. Sering dia mendapatkan teguran dan kritikan, meskipun segala sesuatu telah coba dilakukannya dengan baik. Sejak menikah, kebebasannya sebagai pribadi lenyap. Dia bahkan tak bisa sering-sering mengunjungi orangtuanya, karena akan menimbulkan ketidaksenangan dari ibu mertuanya itu. Bahkan untuk pergi bersama suaminya tercinta, dia jarang mendapatkan ijin. Dia dituntut untuk selalu berada di rumah, mengerjakan semua pekerjaan rumah dan mengurus anak-anaknya, suaminya serta mertuanya.

Saat anak bayinya sakit dan akhirnya meninggal, dia bahkan tak tahu ke mana bayinya tersebut dikuburkan. Yang dia tahu hanyalah ibu mertuanya memanggil orang untuk membawa bayi tersebut dan dia tak diperbolehkan ikut. Sejak saat itu, hingga kini, dia tak pernah tahu di mana bayinya berada. Dan itu membuatnya selalu meneteskan airmata ketika bercerita, meskipun telah berkali-kali cerita itu kudengar dari dirinya.

Satu hal yang selalu dikatakannya menutup ceritanya mengenai masa lalunya yang berat, aku tak mau menjadi mertua yang sama, yang membuat hidup menantuku susah. Biarlah pengalaman itu hanya terjadi pada diriku ini. Cukup.

Dengan tangan bajanya dia membesarkan keempat anaknya, tanpa bantuan siapa pun. Dan ketika perekonomian suaminya memburuk, dengan tangan bajanya pula dia berusaha berdagang. Dan dari hasil investasinya, dia mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga berhasil. Bahkan hingga hari ini ketika umurnya telah senja, dia masih mampu menghasilkan uang, tak ingin bergantung sepenuhnya pada anak-anaknya.

Meskipun dia adalah wanita yang keras dan juga sangat suka mengatur, namun dia sangat menyayangi semua anaknya. Dari kecil hingga dewasa, mereka tak pernah kehilangan perhatian dari wanita itu. Dia tak pernah lupa mencari anak-anaknya, meskipun mereka pergi jauh untuk berdagang. Dan dia selalu menyambut kepulangan mereka dengan gembira.

Suatu hari aku tersadar. Aku yang tak punya hubungan darah dengan wanita itu, telah masuk di hatinya. Ketika berkali-kali aku datang dan menemukan masakan kesukaanku telah terhidang di atas meja. Ketika aku baru turun dari mobil dan menemukannya berdiri di depan pintu dengan wajah gembira dan sapaan yang begitu hangat menyambutku. Dan ketika aku akan pulang, aku selalu menemukan sedih di wajahnya.

Aku tak menyangka sama sekali. Aku ini, perempuan biasa ini, mampu menjadi seseorang yang berarti baginya. Mungkin dia tersentuh dengan ketulusanku. Mungkin dia tergerak melihat kejujuranku. Tak pernah mencoba berpura-pura di depannya. Bersikap adanya aku dan berusaha menerima apa adanya dirinya.

Lima tahun yang lalu ketika akhirnya aku memutuskan untuk pergi selamanya, satu penyesalanku yang terbesar adalah dirinya. Bagaimana mungkin aku bisa memutuskan hubungan dengan seseorang yang sudah begitu luar biasa menerima dan menyayangi diriku? Dia tak pernah tahu betapa hatiku hancur ketika telepon darinya berdering dan aku menahan diriku sekuat tenaga untuk tidak menjawab. Dia tak pernah benar-benar tahu betapa merasa bersalahnya diriku ketika aku mengingat dirinya, tahu bahwa aku telah menyakiti dan mengecewakannya.

Tapi ini jalan yang telah kupilih. Tak mampu kujelaskan dengan kata-kata mengapa harus kupilih. Aku telah mengadu pada Tuhan. Aku telah meminta-Nya untuk menunjukkan jalan yang terbaik. Dan dengan pertolongan-Nya lah aku mampu melewati jalan panjang yang sulit ini.

Dan tahun-tahun kulalui dalam diamku, berusaha menata kembali hidupku yang terjungkir balik. Dalam sunyi hidupku, selalu kupanjatkan doaku untuknya. Dalam malam-malam sepiku ketika kerinduan itu memanggil, kuucapkan permintaan maafku. Berharap suatu hari nanti aku masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, meminta maafnya dan melihatnya baik-baik saja.

Tuhan memang Maha Besar. Tidak ada yang tidak mungkin bila Dia menginginkan itu terjadi. Dan hari itu tiba. Dua tahun lalu, Tuhan akhirnya memberikanku kesempatan itu. Bertemu kembali dengan wanita itu. Wanita luar biasa yang telah merebut rasa sayangku.

Kakiku gemetar ketika aku turun dari mobil. Teringat kembali masa-masa lalu ketika dia menyambutku di depan pintu dengan wajahnya yang gembira. Akankah kutemui kegembiraan yang sama? Sempat kusesali keberanianku untuk datang kembali. Aku takut. Takut bila ternyata, selama ini, aku hanya terlalu berbesar kepala, berpikir aku cukup berarti untuk dirinya.

Dan dia di sana, muncul dari dapur, bergegas dengan senyum lebar menyebut namaku. Aku hampir menangis. Menangis di tengah orang banyak yang berada di rumah itu. Ini memang sesuatu yang luar biasa. Bagaimana mungkin orang-orang ini, wanita ini, bukan sedarah denganku, yang telah kutinggalkan, seakan-akan aku tak menginginkan mereka lagi, masih menyambutku seperti ini? Seperti tidak ada yang berubah. Seperti aku masih menjadi bagian dari mereka. Tuhan memang Maha Besar. Dan cinta ini, benar-benar ada. Benar-benar nyata.

Kami berbagi cerita. Cerita tentang tahun-tahun di mana kami tidak bersama. Dia masih seperti dulu, masih sibuk mengkhawatirkanku. Masih sibuk mendoakanku.

Saat kami hanya berdua, dia mengungkapkan kesedihan hatinya. Dia berkata, seandainya saat itu aku mengangkat telepon darinya, seandainya, semua ini tak perlu terjadi. Tapi sudahlah. Jodoh memang tak bisa dipaksa. Kami tak berjodoh sebagai mertua dan menantu. Biarlah aku menjadi anaknya saja...

Dan kulihat genangan airmata di sana. Aku tak mampu menahan tangisku. Kusentuh tangannya yang semakin kurus dan keriput. Dan kuucapkan permintaan maafku, meski aku tahu itu tak akan pernah cukup...

Aku tak pernah mengangkat telepon darinya saat dulu aku memutuskan untuk pergi, karena aku tahu bila aku melakukan itu, aku tak akan pernah bisa benar-benar pergi. Aku tak akan mampu mendengar tangisnya dan permohonannya untuk memintaku tetap tinggal. Aku tahu, dia akan melakukan apa saja untuk bisa tetap menahanku pergi. Dan selamanya aku tak akan mampu menjelaskan mengapa aku harus pergi. Bahwa ini bukan sebuah keputusan yang mudah. Tak ada yang tahu selain Tuhan, bahwa telah ribuan kali kupertanyakan pada diriku sendiri sebelum akhirnya aku melangkah pergi. Dan tak ada yang tahu, seperti apa kelamnya hatiku melewati semua ini. Sampai aku kehilangan diriku sendiri. Kebahagiaanku. Perlu waktu yang begitu panjang untukku menemukan kembali rasa percaya diri dan kebahagiaanku kembali.

Kemarin, aku meneleponnya lagi. Masih, ada keresahan di hatiku. Akankah dia senang mendengar suaraku? Ataukah dia telah berubah? Tapi wajahnya terus terbayang, karena itu kukuatkan hatiku. Keberanikan diriku untuk mencarinya lagi. Dan suara yang sama, kegembiraan yang sama yang menyambutku. Dan pertanyaan itu, membuatku merasa begitu diberkati oleh Tuhan. Kenapa tidak datang? Kapan mau datang?

Jarak memisahkan kami. Begitupun dengan waktu. Meskipun bertahun-tahun tak bersama, tak ada yang berubah. Begitu sulit untuk dimengerti. Bagaimana cinta ini bisa ada. Begitu banyak yang tak percaya cerita di antara kami ini benar ada. Tak ada kebencian atau dendam di sini. Tak pernah ada. Meskipun langkah kaki tak pernah sama lagi, tapi hati kami seperti tak terpisahkan. Dan dia di sana, masih selalu menantiku untuk datang.

Ini kisahku tentang wanita itu. Wanita yang pernah menjadi ibu mertuaku.

Mommy, xie-xie Ni...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya