Sabtu, 13 Juni 2009

Dear my friend...

Bertahun-tahun telah lewat. Rasanya waktu lebih kejam memisahkan kita daripada jarak.
Kadang ingin kupinta waktu untuk berhenti. Agar perpisahan ini tidak semakin panjang. Karena aku takut, semakin jauh kita terpisahkan, semakin kabur bayangku di dalam anganmu.

Aku masih ingat jelas, dulu, ketika kita masih bersama-sama. Saat langkah selalu seirama, dan tawa selalu menghiasi jalan kita. Kau masih ingat? Semoga. Karena aku selalu berharap cerita kita punya tempat di dalam hatimu. Karena bagaimanapun juga, kau pernah menjadi bahagiaku.

Dulu, kau selalu datang dengan senyum ceriamu. Aku masih ingat senyum itu. Juga mata itu. Mata yang selalu bersinar jenaka, menatapku dalam banyak kesempatan, selalu mampu berbicara banyak tanpa kata. Dan senyum itu, yang selalu kau beri, seperti sebuah oase di padang gurun. Memberi kesegaran dalam hari-hariku yang tandus dan terasa berat.

Aku jarang bercerita padamu tentang hidupku. Dan kau juga tak pernah mendongengkan kisah hidupmu. Kita selalu berbicara tentang hal-hal yang lain. Hal-hal yang tak pernah menjadi terlalu penting dan berat, yang terjadi dalam hidup kita. Hal-hal yang tak pernah menjadi terlalu sedih atau pahit untuk diceritakan. Seakan-akan kita telah setuju untuk tidak membicarakan hal-hal yang akan membuat kita sedih. Persetujuan yang juga terucap tanpa kata. Banyak, banyak sekali hal di antara kita yang tak pernah terungkap lewat kata. Seakan tanpa kata pun kita telah sehati. Tanpa kata pun kita telah saling memahami jiwa masing-masing.

Kau pergi beberapa kali dari hidupku, tapi kau selalu ingat untuk pulang. Dan selalu ingat untuk datang padaku. Seakan-akan kau tahu, aku selalu menunggu kehadiranmu. Dan tak peduli berapa pendek atau panjang waktu yang menjadi jeda pertemuan kita, tapi rasa itu tak pernah berubah. Rasa yang sama ketika bersamamu. Rasa nyaman yang tak pernah menuntut sesuatu pun untuk menjadikannya ada. Rasa itu, aku kini sungguh merindukannya...

Tapi kini kau hilang, entah di mana, entah ke mana... Sejak hari itu, kau tak pernah kembali lagi. Bagai ditelan dunia. Tak ada kabar sedikitpun. Bahkan dari orang-orang sekitarku. Aku terus menunggu dan menunggu. Kadang ada rasa marah yang mengetuk. Mengapa kau tak kembali? Mengapa meninggalkanku di sini dalam penantian tak berujung? Bukankah kau tak pernah mengatakan selamat tinggal padaku karena kau selalu pasti akan kembali lagi? Kau memang tak pernah berjanji padaku akan kembali lagi. Tapi kau selalu kembali lagi, pasti kembali lagi. Harus kembali lagi. Karena aku selalu menginginkan persahabatan ini ada sampai napasku terhenti. Dan aku tak merasa harus membuatmu berjanji untuk kembali lagi, karena kita tak butuh janji itu. Kita tak perlu kata untuk berjanji. Kita selalu saling mengerti tanpa butuh kata.

Di mana kau kini? Kapan kau akan datang lagi? Tahukah kau bahwa aku tak pernah berputus asa akan penantian panjang ini? Seandainya kau tahu, seandainya kau bisa mendengarku saat ini. Maukah kau datang lagi? Ingatkah kau untuk pulang?

Teman, begitu banyak kenangan yang aku simpan di sini, di dalam hatiku. Kenangan akan seseorang yang dulu begitu sering menemani langkah kecilku yang goyah. Aku tak mampu menghapus kenangan itu. Semua itu terlalu indah untuk kulupakan.

Bila kau ingat akan diriku suatu hari nanti, di sela-sela kesibukan dalam hidupmu yang baru, tanpa aku, semoga bayangku mampu menyampaikan rasa rinduku ini. Memintamu untuk kembali sekali lagi, karena hidup tak akan pernah sama tanpa dirimu.

Teman, apa kabarmu?

Dari aku yang menantikanmu untuk pulang

Rabu, 10 Juni 2009

Jangan pernah berhenti mencintaiku...

Bercerita tentangnya, aku selalu bingung harus mulai dari mana. Entah mengapa, gambaran akan dirinya dalam ingatanku selalu kabur. Begitu juga perasaan hatiku ini. Apakah aku membencinya? Atau malah terlalu mencintainya? Aku tak pernah yakin. Bahkan bila kutanyakan dalam senyap, jawaban itu tak pernah muncul juga. Hambar. Tak bergejolak. Kutanya sekali lagi dan sekali lagi, masih hening yang menjawabku. Kuperiksa seluruh relung hatiku, hingga sudut-sudut terkecil dan tersembunyi, mencoba memaksakan sebuah kejujuran agar dapat terungkap, aneh... Tak ada sesuatu pun di sana. Bahkan kejujuran pun membisu. Apakah ini penyangkalanku akan dirinya? Tidak. Harusnya tidak. Bukankah penyangkalan itu biasanya punya suara? Yang keras dan sarat dengan rasa tak puas? Lalu, apa ini? Penerimaan? Tapi bukankah penerimaan itu selalu menyertai rasa damai? Aku harusnya mengenalinya, damai itu. Ini bukan damai, ini sunyi tanpa rasa...

Apakah ini artinya aku gagal mengenali hubungan kami, seperti halnya aku gagal mengenali dirinya? Dirinya yang terlalu kompleks untuk kumengerti, hingga saat ini pun. Entahlah... Kau dapat mengatakan tentang sesuatu secara yakin ketika kau mengenali sesuatu itu. Ketika kau dapat melihatnya dari sisi yang terang dan netral. Masalahnya, tempat ini tak pernah terang. Dan aku tak pernah bisa membuat diriku netral bila berbicara mengenai dirinya.

Tapi, seharusnya dulu pernah ada cinta di antara kami. Cinta yang lahir alami tanpa harus diusahakan atau dipaksakan. Cinta yang dianugerahkan begitu saja dari Yang Teragung. Namun, aku tak tahu kapan tepatnya cinta itu terlupakan atau hilang ke mana. Bila kau mengatakan cinta itu selalu abadi. Biar aku memberitahumu ini, tak semua cinta itu mampu bertahan dan menjadi abadi. Kadang ia berubah bentuk, kadang ia menjadi lemah dan dikalahkan oleh sosok yang lain. Dan kadang ia tiba-tiba hilang tanpa kau sadari. Entah bersembunyi, melarikan diri atau memang telah mati untuk selama-lamanya.

Itukah yang mungkin terjadi pada kami? Cinta telah mati untuk selama-lamanya? Itukah sebabnya aku merasakan kehampaan ketika memikirkannya? Itukah sebabnya aku merasa begitu jauh darinya, meskipun aku tengah duduk di sampingnya, mendengarnya berbicara? Walau bayangan wajahnya begitu jelas, hingga setiap kerutan waktu yang tergores di sana, aku masih sering bertanya-tanya sendiri, siapa dia? siapa dia?

Kadang aku merasa begitu gagal. Harusnya aku mengenalnya dengan baik. Berapa lama masa yang kuhabiskan bersamanya? Sepuluh tahun masa damai ditambah beberapa tahun masa pergolakan? Sekitar itu aku rasa... Perlu begitu lamakah untuk bisa mengenal seseorang? Kalau ya, lalu mengapa aku masih merasa asing padanya? Harusnya aku mengenalnya lebih daripada aku mengenal orang-orang yang berada di sekitarku saat ini. Toh, rasanya aku tidak memiliki kekurangan dalam memahami jiwa orang lain. Lalu, salahkah jika kini aku merasa gagal?

Dia, selalu menjadi sosok misteri dalam hidupku. Sosok yang susah untuk kujamah dan kudekati. Sosok yang begitu sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata maupun pikiran tertinggi yang aku punya saat ini. Terkadang ingin mengatakan, aku mencintainya... Tapi selalu disertainya pertanyaan yang sama dan sama lagi. Pertanyaan pendek, singkat tapi menggoyahkan seluruh jiwa. Benarkah? Dan akhirnya aku mencoba memaksa diri untuk memberikan jawaban sebagai pembuktian cinta. Namun, alasan-alasan itu tak pernah menjadi murni. Selalu menjadi sebuah kewajiban umum, yang harus dilakukan. Bukankah cinta itu tak pernah lahir dari kewajiban? Kalau begitu, mungkin tak ada lagi cinta di sini...

Aku tak tahu kapan tepatnya dia berhenti mencintaiku. Namun yang aku tahu, ketika aku sadar dia berhenti mencintaiku, duniaku runtuh berkeping-keping. Pernahkah kau patah hati? Ya, aku patah hati. Ini patah hati terparah yang pernah aku lewati. Yang butuh belasan tahun untuk menata hatiku kembali, untuk meredam semua kekecewaan dan keinginan serta harapan yang tak pernah terpenuhi. Harapan akan cinta yang sama darinya.

Kita tak pernah tahu apa yang akan hidup tawarkan untuk kita, itu kata teman baikku kemarin malam. Benar. Aku baru sadar. Dulu, aku tak pernah tahu. Aku pikir hidupku hanya keping-keping hancur yang harus dijalani dengan sisa-sisa keterpaksaan dari napas. Aku tak pernah mengira bahwa hari ini, aku mampu menemukan banyak cinta yang lain, yang memberiku cahaya dan menyanggaku berdiri kembali dengan kepercayaan diri dan harapan akan lebih banyak cinta. Yang menyatukan seluruh kepingan hidupku, merekatkannya dengan erat kembali dalam bentuk kesempurnaan baru. Bukan baru yang sempurna, tapi kesempurnaan yang baru. Dan untuk itu, aku bersyukur, atas semua yang telah terjadi. Karena semua kisah yang terjadi telah membawaku berada di sini, di jalan ini dengan diriku yang sekarang, yang aku cintai.

Tapi, bila aku bisa kembali dan memutar ulang masa lalu. Aku berharap bisa berada di sana, bersamanya, di waktu itu. Sekali lagi. Cukup sekali lagi. Di sana, di saat masih ada cinta di antara kami. Ketika belum ada pertentangan, kebencian, luka dan semua kesalahpahaman. Aku berharap bisa memandang wajahnya, yang tanpa kerutan waktu, yang masih bersinar penuh cinta dan harapan. Memandang ke dalam matanya, dengan tatapanku yang juga hanya berisi cinta. Tersenyum padanya, senyum terbaik yang bisa aku berikan, yang kini tak mampu lagi aku hadirkan bila kami bertemu. Lalu memeluknya dengan erat, seerat yang aku mampu. Dan membebaskan semua rasa jiwa, membiarkan jiwaku telanjang di hadapannya. Jiwa kecil, murni, tanpa ego. Lalu aku akan berbisik di telinganya, "Jangan pernah berhenti mencintaiku..."

Andai, aku mampu memutar waktu kembali...

Senin, 08 Juni 2009

The secret life of bees...

Aku baru menghabiskan novel "The Secret Life of Bees" karangan Sue Monk Kidd. Novel laris yang begitu popular dan dibuat menjadi film layar lebar dengan pemain-pemain hebat yang aku kenal wajahnya namun tak hapal akan nama-nama mereka. Aneh? Memang itulah kelebihanku, tidak dapat mengingat detail dengan baik. Aku hanya ingat Alicia Keys, itupun karena aku begitu terpukau akan suara 'amazing'-nya.

Siang itu, seperti biasa di hari Sabtu (libur bekerja buatku), aku sibuk mengerjakan segala pembersihan rumah. Acara bersih-bersih ini memang agak merepotkan, karena membuat hari kebebasanku berubah judul. Tetapi, sebenarnya aku agak menyukainya. Entah mengapa, membersihkan segala sesuatunya membuatku seperti membersihkan sesuatu dari dalam diriku sendiri. Mendapati semuanya telah bersih dan mengkilat, menyusupkan sebuah rasa puas dan bahagia. Aneh? Ya, itu salah satu keanehan diriku yang complicated ini. Aku pun kadang tak mampu menjelaskan artinya dengan kalimat-kalimatku sendiri.

Oke, kembali pada hari itu. Aku tengah di acara bersih-bersihku dan teringat bahwa acara kesayanganku tengah berlangsung, Oprah Show. Buru-buru kutinggalkan pekerjaanku dan kunyalakan teve, sambil berpikir melanjutkan pekerjaanku dan menajamkan telingaku untuk menyimak acara itu. Sekedar info, aku suka melakukan beberapa pekerjaan sekaligus dalam satu waktu. Contohnya, aku bisa menggiling pakaian-pakaian kotor dalam mesin cuci, sambil memasak sesuatu, sambil menyapu, sambil mendengarkan berita yang tengah ditonton suamiku tercinta di teve. Kadang ia protes dan bertanya, "Li, apa yang kamu kerjakan? Tidak nonton?" Dan aku akan menjawab sambil meneruskan pekerjaanku, apakah itu memotong buah atau menggoreng ikan, "Aku nonton, kok." Dan dia akan berkomentar, "Memang bisa?" Dan aku akan menjawab, "Bisa. Kamu tahu, perempuan bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu sekalian. Menelepon sambil mendengarkan radio contohnya." Dan dia akan menatapku dengan pandangan seakan-akan aku ini makhluk alien, bukan wanita yang dulu dinikahinya. Sekarang, dia sudah mulai terbiasa dengan keanehanku. Ketika tiba-tiba aku melap sesuatu di tengah film yang kutonton atau malah menyapu di depan matanya. Dia akan menganggap apa yang kukerjakan itu tak terlihat oleh matanya. Paling tidak, itu kesan yang aku peroleh dari ekspresi wajahnya.

Baiklah, kembali lagi pada hari itu. Kali ini aku serius, sudah terlalu banyak omong kosong yang tidak berkaitan sama sekali dengan judul di atas. Hari itu, acara Oprah sudah berlangsung beberapa saat ketika aku membukanya. Pembahasan mengenai sebuah buku yang diangkat ke layar lebar. The Secret Life of Bees. Aku mengingatkan otakku agar menghapal karena seringkali aku yakin akan dia dan pada akhirnya dia mengecewakanku, karena tak ada sekilas pun memori yang tersisa mengenai sesuatu yang ingin aku ingat. Seperti biasanya, dia dengan percaya dirinya meyakinkanku bahwa dia akan mengingat dan mencegahku mengambil pulpen dan kertas. Oke, The Secret Life of Bees, pasti ingat... Ingat aja lebah, lebah, gampang...

Acara itu benar-benar memukauku, walaupun aku belum tau cerita yang sebenarnya. Yang aku tangkap hanyalah, itu adalah kisah seorang gadis kecil bersama empat perempuan berkulit hitam dalam sebuah rumah merah muda. Harusnya sangat menarik karena diperankan tokoh-tokoh yang terkenal dan yang menurutku memiliki karakter kuat. Oprah bilang, film itu lahir dari sebuah novel lama. Aku jadi bertanya-tanya pada diriku sendiri, berapa banyak lagi novel lama yang bagus yang belum pernah kubaca? Padahal aku ingin tahu tentang semua novel yang pernah diciptakan dan menyentuh hati.

Aku bertekad akan menemukan buku itu. Harus membaca buku itu dan yang pastinya harus menonton film itu. Kemudian tanpa disengaja, berawal dari kunjungan pertama ke apartemen teman baik, lalu sosis terenak yang pernah kucicipi, buku itu kutemukan. Begini ceritanya. Siang itu kami mengadakan kunjungan ke apartemen Jimmy, salah seorang teman baik suamiku yang juga sekarang aku claim sebagai teman baikku. Juga merupakan master-ku akan pengetahuan tentang hidup. Jimmy memasak sosis untukku dan seorang teman lagi. Sosis terenak ever after. Sayang suamiku tak bisa memakannya, karena beliau sangat menghormati kaum sapi, sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Setelah menghabiskan sepotong setengah sosis yang ukurannya big itu, aku mengiklankan akan segera membelinya, untuk ransum di rumah. Setelah itu, kami harus mengantar teman kami pulang, karena dia memiliki seorang bayi yang harus dirawat. Kami memutuskan setelah mengantar teman, kami akan kembali lagi ke apartemen Jimmy, menemaninya hingga malam. Kebetulan rumah temanku itu di Sunter. Karena sosis itu ternyata dibeli Jimmy di Sunter Mall, akhirnya suamiku dengan tidak rela membawaku ke sana. Bukan masalah sosisnya dari sapi, tapi karena dia harus melakukan u-turn yang panjang untuk bisa sampai di Sunter Mall. Tapi aku bersikeras dan sedikit ngambek. Akhirnya sampai lah aku ke Sunter Mall. Dan kebetulan pula, aku ingat Gramedia ada di sana. Aku langsung teringat akan lebah, lebah....

Dan sedikit melupakan nafsuku pada sosis, aku masuk ke Gramedia. Mengutak-atik computer pencari mereka dengan kata bee... Tidak ketemu. Gawat... Aku ingat-ingat lagi life of bee? Bukan... Apa dong? Bee apa?? Aku mulai mengutuki ingatanku sendiri, yang selalu sok tahu dan kini entah suaranya bersembunyi di mana. Sampai seorang pegawai, seorang Mas-mas muda menghampiriku dan mencoba membantu. Dan aku mencoba memberikan info yang tidak jelas mengenai lebah atau hidup lebah atau apa saja deh tentang lebah. Dan alhasil, setelah sepuluh menit mengutak atik komputer itu, kami tidak menemukan apapun. Si Mas-mas tersebut masih berdiri di sana dan mengetik berulang-ulang, bee, lalu berganti dengan life, lalu berganti dengan the life... Ulang lagi dari awal urutannya... Ya ampun... Aku berterima kasih atas usaha Mas-mas itu, tapi masa sih diulang melulu...?? Kan sudah ketahuan tidak ada hasilnya. Akhirnya aku putuskan untuk meninggalkannya dengan pesan, "Udah deh Mas, gak apa-apa. Saya cari sendiri aja..." Walau begitu, Mas-mas itu masih juga belum beranjak. Waaaaaaaaaaaaaah..........
Akhirnya aku memutari rak-rak buku di paling pojok, biasanya tempat novel-novel terjemahan berada. Tapi susah menemukan judul dengan kaitan 'bee'. Saat aku hampir menyerah, mengingat wajah suamiku yang masam menungguku di luar sana, aku menemukan buku itu. Buku kecil, dengan gambar punggung seorang anak kecil. Dan judulnya ternyata "The Secret Life of Bees". Ya ampun, gara-gara secret-nya kelupaan...

Dan di sinilah aku sekarang, baru saja menyelesaikan membaca novel itu. Tiba-tiba aku merasa khawatir. Akhir-akhir ini rasanya aku berubah menjadi mirip dengan seorang tokoh dalam cerita itu. Lily? Bukan. Masa kecilku memang tidak mudah, tapi aku sudah berhasil mengatasinya. August? Bukan. Aku belum sebijaksana dan sematang wanita itu. June? Juga bukan. Aku sudah menikah dan tidak bisa bermain alat musik. Lalu? Aku melihat tokoh May dalam diriku. Bukan kegilaannya, bukan keseringannya menyanyi "Oh, Susanna..." Tapi akan dirinya yang mampu menyerap semua kesedihan dari luar dirinya. Ketika ia mendengar sebuah kisah buruk atau menyedihkan, dia pasti akan langsung menyanyikan, "Oh, Susanna...", dan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dia diliputi kesedihan itu begitu dalam. Dan untuk bisa mengeluarkan kesedihan itu, dia harus pergi ke sebuah tembok yang dibuatnya sendiri, namanya tembok tangisan, dan menuliskan pada secarik kertas, hal yang menyedihkannya. Lalu kertas itu dimasukkannya dalam salah satu lubang di antara susunan batu-batu. Setelah itu, barulah dia dapat kembali menguasai dirinya kembali.

Aku tidak punya tembok tangisan, juga tidak kehilangan kontrol atau selalu menyanyikan sebuah lagu yang sama ketika kesedihan melandaku. Tapi belakangan ini, rasanya aku menjadi seperti May. Rasanya aku tahu bagaimana menjadi seorang May. Belakangan ini rasanya aku menyerap begitu banyak kesedihan yang terjadi di luar diriku, dan menjadi kesedihanku sendiri. Membuatku menjadi begitu sedih dan merasa begitu 'down'... Aku belum pernah merasa sesedih ini atas kejadian-kejadian yang sebenarnya bukan menimpaku. Aku sendiri bingung dan heran, menanyai diriku sendiri mengapa menjadi seperti ini. Tapi tak ada jawaban yang kutemukan. Dan lebih pahitnya lagi, tak ada cara untuk mengeluarkan kesedihan ini. Aku iri pada May dan pada tembok tangisannya. Tempatnya menaruh dan menumpahkan semua beban berat yang ia pikul kemana-mana. Lalu dimana aku bisa membuang semua ini? Haruskah aku membangun sebuah tembok kesedihan juga?
Tapi, meskipun berhasil ribuan kali melepaskan semua bebannya dalam tembok tangisannya, May akhirnya memutuskan mengakhiri hidupnya, karena ia merasa lelah membawa beban dunia kemana-mana. Dia bilang dia ingin meletakkan semuanya. Dan itulah yang memutuskan untuk bunuh diri.

Ya Tuhan, tragis. Tapi aku tahu apa yang dilewati May. Apa yang ada dalam hatinya. Karena aku juga mengalaminya kini. Perasaan sedih itu, yang bahkan harusnya belum seberapa dibandingkan dengan perasaan sedih yang pernah dirasakan May seumur hidupnya. Dia menanggung terlalu banyak beban, menyerap terlalu banyak kesedihan...

Semoga, bila memang aku juga selalu menyerap kesedihan dari luar hatiku, semoga, hatiku lebih kuat dari May. Dan seandainya aku memang menyerap kesedihan dari dunia, aku berharap kesedihan di luar sana bisa jadi menipis, karena harusnya semua ini ada maksudnya. Bisa merasakan kepedihan hati orang lain... Berbagi rasa...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya