Sabtu, 13 Juni 2009

Dear my friend...

Bertahun-tahun telah lewat. Rasanya waktu lebih kejam memisahkan kita daripada jarak.
Kadang ingin kupinta waktu untuk berhenti. Agar perpisahan ini tidak semakin panjang. Karena aku takut, semakin jauh kita terpisahkan, semakin kabur bayangku di dalam anganmu.

Aku masih ingat jelas, dulu, ketika kita masih bersama-sama. Saat langkah selalu seirama, dan tawa selalu menghiasi jalan kita. Kau masih ingat? Semoga. Karena aku selalu berharap cerita kita punya tempat di dalam hatimu. Karena bagaimanapun juga, kau pernah menjadi bahagiaku.

Dulu, kau selalu datang dengan senyum ceriamu. Aku masih ingat senyum itu. Juga mata itu. Mata yang selalu bersinar jenaka, menatapku dalam banyak kesempatan, selalu mampu berbicara banyak tanpa kata. Dan senyum itu, yang selalu kau beri, seperti sebuah oase di padang gurun. Memberi kesegaran dalam hari-hariku yang tandus dan terasa berat.

Aku jarang bercerita padamu tentang hidupku. Dan kau juga tak pernah mendongengkan kisah hidupmu. Kita selalu berbicara tentang hal-hal yang lain. Hal-hal yang tak pernah menjadi terlalu penting dan berat, yang terjadi dalam hidup kita. Hal-hal yang tak pernah menjadi terlalu sedih atau pahit untuk diceritakan. Seakan-akan kita telah setuju untuk tidak membicarakan hal-hal yang akan membuat kita sedih. Persetujuan yang juga terucap tanpa kata. Banyak, banyak sekali hal di antara kita yang tak pernah terungkap lewat kata. Seakan tanpa kata pun kita telah sehati. Tanpa kata pun kita telah saling memahami jiwa masing-masing.

Kau pergi beberapa kali dari hidupku, tapi kau selalu ingat untuk pulang. Dan selalu ingat untuk datang padaku. Seakan-akan kau tahu, aku selalu menunggu kehadiranmu. Dan tak peduli berapa pendek atau panjang waktu yang menjadi jeda pertemuan kita, tapi rasa itu tak pernah berubah. Rasa yang sama ketika bersamamu. Rasa nyaman yang tak pernah menuntut sesuatu pun untuk menjadikannya ada. Rasa itu, aku kini sungguh merindukannya...

Tapi kini kau hilang, entah di mana, entah ke mana... Sejak hari itu, kau tak pernah kembali lagi. Bagai ditelan dunia. Tak ada kabar sedikitpun. Bahkan dari orang-orang sekitarku. Aku terus menunggu dan menunggu. Kadang ada rasa marah yang mengetuk. Mengapa kau tak kembali? Mengapa meninggalkanku di sini dalam penantian tak berujung? Bukankah kau tak pernah mengatakan selamat tinggal padaku karena kau selalu pasti akan kembali lagi? Kau memang tak pernah berjanji padaku akan kembali lagi. Tapi kau selalu kembali lagi, pasti kembali lagi. Harus kembali lagi. Karena aku selalu menginginkan persahabatan ini ada sampai napasku terhenti. Dan aku tak merasa harus membuatmu berjanji untuk kembali lagi, karena kita tak butuh janji itu. Kita tak perlu kata untuk berjanji. Kita selalu saling mengerti tanpa butuh kata.

Di mana kau kini? Kapan kau akan datang lagi? Tahukah kau bahwa aku tak pernah berputus asa akan penantian panjang ini? Seandainya kau tahu, seandainya kau bisa mendengarku saat ini. Maukah kau datang lagi? Ingatkah kau untuk pulang?

Teman, begitu banyak kenangan yang aku simpan di sini, di dalam hatiku. Kenangan akan seseorang yang dulu begitu sering menemani langkah kecilku yang goyah. Aku tak mampu menghapus kenangan itu. Semua itu terlalu indah untuk kulupakan.

Bila kau ingat akan diriku suatu hari nanti, di sela-sela kesibukan dalam hidupmu yang baru, tanpa aku, semoga bayangku mampu menyampaikan rasa rinduku ini. Memintamu untuk kembali sekali lagi, karena hidup tak akan pernah sama tanpa dirimu.

Teman, apa kabarmu?

Dari aku yang menantikanmu untuk pulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya