Minggu, 14 Juni 2009

Begitu sulit untuk mencintaimu...

Kalau aku bisa membuat pilihan saat ini, mempersetankan kata hati dan jiwaku, aku akan memutuskan meninggalkanmu dan melupakan semua tentang kita. Menutup pintu hatiku, mematikan semua rasa dan berpaling darimu ke duniaku yang indah ini, tanpamu. Namun hingga kini, aku tak pernah mampu. Tak pernah tega...

Tahukah kau apa yang kurasakan ini? Aku tak yakin. Bahkan dalam diamku yang telah begitu lama ini, aku tak yakin kau mengerti. Ya, aku banyak berdiam akhir-akhir ini, bukan karena aku membencimu, tapi karena aku menyimpan harapan pada hening. Ketika kata tak cukup lagi untuk mengungkapkan rasa, hanya pada hening berharap bisa menjelaskan kejujuran kalbu. Akankah hening ini sanggup mengetuk hatimu ataukah dia tak akan cukup juga seperti halnya kata?

Seorang teman menertawakanku kemarin. Menertawakan harapanku pada hening. Bagaimana hening mampu menjelaskan di saat kata-katapun tak sanggup? Bila itu benar, lalu apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu mengerti? Aku telah mencoba menjelaskan dalam kalimat-kalimat yang begitu panjang. Yang kuedit berulang-ulang agar menjadi lebih halus, bijak dan mudah untuk dimengerti. Tapi tetap saja, kau bertahan dalam keegoisanmu, tak mau mendengarkanku. Begitu keras, seperti karang yang tak akan pernah mencair.

Aku selalu mengingatkan diriku untuk mencintaimu. Untuk menerimamu apa adanya, dengan semua ketidaksempurnaan yang kau miliki, yang juga terkadang menjadi bagian dari diriku. Mencoba memahamimu harusnya tidak sulit, karena kemarahan dan kekecewaan yang memenuhimu kini juga pernah menemani detik-detik dalam hidupku dulu. Kau adalah sosok rapuh yang selalu butuh dukungan dan pembuktian cinta dari sekitar. Sosok yang selalu menghukum diri sendiri ketika masalah dan kesalahan menyapamu. Yang tak pernah bisa menerima kesalahan diri dan orang lain, yang selalu menuntut kesempurnaan dari ketidaksempurnaan. Dulu aku pun seperti itu, karena aku tak memiliki cinta yang cukup. Namun, kini aku telah menemukannya, cinta itu, cinta yang memenuhi seluruh ruang jiwaku. Yang membuatku tak pernah merasa kekurangan lagi.

Pernah, aku begitu bersemangat mendekatimu. Mencoba masuk ke dalam hidupmu dan coba membagikan cahaya yang kupunya. Berharap agar cahaya itu juga akan menerangi jiwamu dan membuatmu menemukan kembali diri yang hilang. Dan ketika kau menyambutku, membiarkanku masuk, aku sungguh bahagia. Aku sungguh berterimakasih padamu, memberiku kesempatan itu. Kita berbagi banyak hal bersama. Dan lewat hari-hari itu aku berusaha memberimu lebih banyak cinta, agar semua luka dan sakitmu terobati. Agar kau kembali menjadi sosok yang utuh dan tegar. Namun hanya sesaat, sebelum kembali kau mengusirku dan menutup semua celah yang ada. Kembali dalam duniamu yang sempit dan selalu terasa terlalu berat untukmu.

Sempat terpikir olehku untuk menunggu di sini, di depan pintu ini. Aku mengetuk sekali, dua kali. Masih kulihat wajahmu menengok di balik jendela, kemudian jendela itu kembali tertutup. Dan kembali aku menunggu, berkhayal suatu hari nanti pintu itu tiba-tiba terbuka dan kau berdiri di sana dengan tangan yang terkembang, menyambutku. Akankah hari itu ada? Aku tak tahu. Jujur, aku tak pernah yakin...

Seandainya aku bisa menutup cerita ini dan menganggapnya sebagai sepenggal cerita never happy ending story. Atau seandainya kau bukan seseorang yang berarti dalam hidupku, aku akan meng-delete namamu, wajahmu, semua tentangmu dari kisahku, hatiku, hidupku. Seandainya, aku punya kuasa mengubah takdir di antara kita, aku akan melakukannya detik ini juga. Sungguh, aku tak akan berpikir dua kali lagi. Karena aku sungguh lelah dengan perjuangan jiwa ini. Aku sungguh benci dengan keadaan ini. Dan aku sungguh marah padamu, seseorang yang seharusnya tahu akan besar usahaku untuk memperjuangkan cinta ini, hubungan ini. Ketidakpedulianmu, keegoisanmu sungguh tak dapat kuterima dengan lapang dada. Sesak rasanya selalu berusaha menerima. Harusnya kau bisa lebih menghargaiku yang selalu berusaha mencintaimu.

Cinta itu butuh pengertian. Begitupun dengan sebuah hubungan. Butuh pengertian dan kemauan dari kedua belah pihak. Aku tak pernah suka pada cinta tak terbalas. Aku tak pernah bahagia dengan cinta sepihak. Walau aku bilang cintaku ini tanpa syarat. Tapi setidaknya aku butuh engkau menganggukkan kepala, menyetujui aku mencintaimu. Bila anggukan itu pun tak kuperoleh, rasanya aku seperti pengemis di tepi jalan, begitu menyedihkan. Mengemis-ngemis, menunggu dalam harap...Dan aku tak suka rasa ini. Tak pernah ingin rasa ini menghuni hatiku.

Bila suatu hari nanti aku sampai pada akhir pergumulan batin ini dan dapat membuat hati dan jiwaku meninggalkanmu, maafkan aku. Bukan aku tak berusaha keras. Bukan aku tak memiliki kesabaran. Juga bukan karena dirimu tak pantas. Hanya karena aku ingin melanjutkan hidupku dalam damai. Hanya karena aku telah sampai pada batas kesabaran dan batas kemampuanku untuk mencintaimu. Maaf. Sesal ini tak akan pernah menjadi sesuatu yang indah bagiku. Keputusan ini tak akan pernah menjadi mudah untukku. Selamanya...

2 komentar:

  1. mendeskripsikan perasaan mencintai dan dicintai takkan pernah habis ide untuk menuliskannya, sebagai sebuah fenomena empirik kehidupan yg dialami oleh semua manusia pasti memiliki keunikan subjective yg org lain tdk mempunyai hak untuk 'intervensi' dlm menginterpretasikannya.
    Great bu, qt bs belajar bgmn mengelola anugerah Tuhan yg namanya "Cinta"

    BalasHapus
  2. cinta itu sangat susah untuk dimengerti dan dipahami hanya orang orang yang mempunyai hati yang tulus yang dapat memahaminya karena cinta itu sesuatu yang murni dari perasaan hati.

    BalasHapus

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya