Sabtu, 04 Juli 2009

Ingatlah Diriku...

Aku percaya bahwa takdir yang mengatur pertemuan antara diriku dengan orang-orang yang kujumpai dalam hidup ini. Takdir yang telah tertulis jelas dan tak mungkin kuubah. Begitu pun dengan pertemuan denganmu. Takdir-lah yang membawa kita pada hari itu, mempertemukan langkah kaki dan dua hati dalam sebuah awal rajutan kasih yang indah.

Duniaku menjadi begitu berbeda ketika kau menginjakkan kaki ke dalamnya. Lebih memiliki rasa. Lebih memiliki makna. Seakan-akan kau datang dan mendekor ulang setiap sudut dan space yang ada. Aku menyukainya, menyukai dekor baru duniaku, seperti aku juga menyukai dirimu.

Kau-lah rembulan yang menyinari gelap malam dalam hidupku dan menjadi mentari cerahkan pagiku dengan semangat baru dan menumbuhkan ranting-ranting harapan akan cinta dalam hidup ini. Cinta yang kemudian berbunga. Tahukah kau mengapa aku begitu menyukai mawar? Karena sewangi itulah bunga cinta kita. Dan sesempurna lekuk kelopaknya, begitu pulalah lekuk cinta kita. Indah tak terlukiskan.

Langkah kakiku menjadi tak sama ketika bersamamu. Lebih ringan. Lebih bersemangat. Lebih ceria. Senyum dan tawamu adalah bahan bakar kebahagiaanku.

Aku merasa seperti seekor itik kecil yang gembira berenang dalam kolam cinta buatanmu. Bermain di sana dengan riang, menemukan tempat yang begitu istimewa dan indah. Bahkan aku akan rela bila harus tenggelam di sana, asalkan aku bisa selamanya berada di sana, dalam pelukan cintamu.

Lalu, suatu hari tiba-tiba kutemukan kelopak cinta itu menguning dan melayu. Lalu jatuh perlahan-lahan, satu persatu. Begitu rapuh. Ada apa? Apakah kau lupa menyiramnya? Karena harusnya bukan aku yang lupa menyiramnya. Aku selalu ingat menyiramnya tepat pada waktunya, karena aku begitu menghargainya dan menginginkannya selalu hidup dan mekar. Mestinya kau yang lupa. Karena dia hanya bisa tumbuh ketika kita menyiramnya bersama-sama, dengan cukup cinta.

Apa yang terjadi? Aku tak tahu. Aku tak pernah yakin. Apakah kau tak lagi menginginkannya? Apakah kau telah menemukan bunga cinta yang lain, yang lebih wangi dan indah? Kau diam seribu bahasa, meski aku terus mengejarmu, mencoba menemukan jawab penghapus dahaga hatiku yang merana. Kaki ini terasa begitu lelah untuk terus mengejarmu, sementara langkah kakimu semakin bergegas dan semakin jauh. Meski aku memintamu untuk menungguku, kau tak menghiraukan suaraku. Kau semakin jauh dan akhirnya menghilang.

Kolam cinta itupun mulai mengering perlahan-lahan. Tak cukup lagi air cinta di dalamnya untukku berenang. Itik itu kehilangan kolamnya, kolam yang dicintainya, hingga kakinya mesti menyentuh dasar dan memaksanya kembali berjalan. Seperti memaksaku juga menyentuh dasar kenyataan. Kenyataan bahwa kau telah pergi meninggalkanku. Aku tak mampu berenang lagi di dalamnya, karena kau telah membawa seluruh air cintanya pergi. Hanya menyisakan kolam kosong di sini. Kolam yang tak memiliki makna lagi tanpa kehadiran air cintamu.

Kekasihku, aku tak pernah mengira cerita ini akan berakhir. Aku lupa akan sebuah kata perpisahan. Dan ketika kau pergi, kau membawa semua rasa yang pernah kau berikan padaku, meninggalkanku terpuruk, bak seorang anak jalanan yang ditelantarkan tanpa cinta. Dan aku hanya mampu meratapi rasa ini dalam tangisku. Tak pernah mengerti...

Namun, bila ini memang mau-mu, selalu ada restuku untukmu, rembulan-ku. Selalu ada keikhlasan di hatiku untukmu, mentari-ku. Meskipun bila kepergianmu itu untuk menyinari hati dan bunga yang lain.

Hanya satu pintaku...
Ingatlah diriku yang pernah ada di sampingmu, ada di waktumu, ada di hatimu.
Karena selalu kuingat dirimu yang pernah hadir di sampingku, temani waktuku, temani hatiku...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya