Rabu, 14 Oktober 2009

Sepenggal Kisah di Suatu Masa...


Bocah berusia empat tahun itu terpaku menatap tubuh neneknya yang diangkat orang-orang. Dia tak mengerti mengapa sang Nenek tak bangun dari tidurnya. Dan ketika orang-orang telah meninggalkan rumah itu, tinggallah ia sendirian. Tiba-tiba seorang lelaki tua muncul, menepuk bahunya.

"Ayo, Nak, ikut Kakek pulang."

Dia menengadah menatap wajah yang penuh kerutan itu. Wajah yang telah dikenalnya. Lelaki itu tinggal di ujung jalan ini, dulu neneknya pernah membawanya berkunjung ke rumah lelaki itu. Tangan kecilnya menyambut uluran tangan lelaki itu. Dan mereka pun melangkah keluar. Bocah itu masih sempat berbalik, melihat rumahnya yang kini dalam keadaan kosong, sekali lagi. Tatapan matanya terlihat murung meski tak ada airmata di sana.

Lelaki tua baik hati itu membawanya pulang ke rumahnya. Di sana ada sang Istri yang juga sudah tua dan seorang anak perempuan, cucunya. Mereka semua memperlakukannya dengan baik. Wanita yang juga sudah tua yang dipanggilnya nenek itu, selalu menyiapkan makan dan air mandinya. Seperti yang dilakukan neneknya dulu. Anak perempuan itu juga sering mengajaknya bermain. Namun bocah laki-laki itu tak pernah tersenyum dan bicara. Ia selalu terlihat murung.

Suatu hari lelaki tua itu pulang dari perjalanannya yang panjang menjual kain di kampung tetangga, ia tak menemukan bocah laki-laki itu. Istrinya tak tahu bocah itu pergi ke mana. Setelah lama mencari akhirnya ia menemukan bocah itu tengah berdiri di depan rumahnya dulu, hanya berdiri diam, menatap ke arah pintu yang telah tertutup. Lelaki itu menjadi iba. Pastilah bocah itu merindukan neneknya yang telah tiada. Dia pasti tak mengerti mengapa dirinya tak bisa lagi pulang ke tempat itu.

Dirangkulnya bocah itu dan diajaknya pulang. Ia membuat sebuah mainan dari kayu untuk bocah itu, namun lelaki tua itu sedih melihat bocah itu tak juga bergembira. Ia dan istrinya yang sudah tua itu tak dapat membahagiakan bocah tersebut. Bocah malang yang telah kehilangan kedua orangtuanya dan neneknya dalam waktu yang dekat. Ayahnya telah pergi entah ke mana sementara ibunya meninggal beberapa bulan yang lalu. Dan kini neneknya yang selama ini membesarkannya ikut pula meninggal. Bocah itu pastilah sangat kebingungan menghadapi kepergian ketiga orang yang sangat dekat dengannya.

Esok harinya sang Kakek pulang dengan membawa seorang wanita muda yang berwajah lembut. Wanita itu ditemani oleh seorang anak laki-laki lainnya yang kira-kira berumur dua belas tahun. Dikenalkannya wanita itu pada bocah tersebut. Kemudian anak wanita itu mengajak bocah itu bersepeda. Mereka pergi beberapa lama, sementara wanita itu bercakap-cakap dengan kakek tua itu.

Ketika mereka kembali, wajah bocah itu terlihat cerah. Tak pernah kakek itu melihat ekspresi wajahnya seperti itu. Seakan antara kedua anak lelaki itu telah terjalin hubungan yang kuat. Bocah itu bahkan bisa tersenyum. Sang Kakek merasa lega, semua kekhawatirannya kalau rencananya ini tidak berjalan dengan baik sirna sudah. Ia pun memberitahu maksud kedatangan wanita itu untuk menjemput sang bocah, mengajaknya tinggal bersama. Wanita itu mengatakan kalau bocah itu boleh memanggilnya dengan sebutan ibu. Bocah itu mengangguk. Di matanya ada binar bahagia.

Mereka pun pergi, meninggalkan rumah si Kakek tua yang baik hati itu. Namun ketika sampai di ujung jalan, bocah tersebut berbalik, berlari kembali ke rumah kakek tersebut. Lelaki tua yang masih berdiri terpaku di depan pintu rumahnya dengan wajah sedih itu tersentak kaget. Bocah itu kini berdiri diam di hadapannya, menatapnya lama. Ia kemudian tersenyum dan memeluk kakek itu tiba-tiba. Mengucapkan sepotong kata terima kasih. Setelah itu ia pun melepaskan pelukannya dan kembali mengejar dua orang baru yang kini menjadi keluarganya. Tubuh kakek itu gemetar, tak dapat menahan airmatanya yang menetes di pipinya yang keriput. Airmata sedih dan bahagia. Ia sedih karena esok tak akan melihat bocah itu lagi. Bocah yang diam-diam mulai disayanginya. Namun di saat yang sama ia juga bahagia akhirnya bisa mencarikan sebuah keluarga baru bagi bocah itu, sehingga bocah itu bisa kembali tersenyum bahagia.


(Sepenggal kisah sederhana yang selalu tersimpan di ingatan...)

Photo Link: http://www.glogster.com/media/2/2/71/84/2718410.jpg

Senin, 12 Oktober 2009

Tuhan, tolong damaikan mereka...


Sore itu...
Terdengar suara azan maghrib, Ina berlari cepat masuk ke kamar. Di dalam kamar yang gelap itu, ia meringkuk di sudut ranjang. Menutup kepalanya dengan bantal dengan sekuat tenaga. Berharap dunia menjadi sunyi senyap. Namun sayup-sayup azan maghrib masih juga terdengar, menembus bantal yang tipis.

Tak lama kemudian, suara-suara nyaring yang bersahutan terdengar. Tangan kecil Ina menekan bantal semakin kuat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Suhu tubuhnya terasa naik. Suara-suara itu tak berhenti malah semakin keras. Beberapa kata makian tertangkap oleh telinga Ina. Entah berapa lamanya sampai suara-suara itu pun menghilang diakhiri dengan suara deruman motor menjauh. Ayahnya telah pergi. Kemudian disusul suara bantingan pintu. Barulah Ina melepaskan bantal di kepalanya. Rambutnya kuyup, lengket pada kulit wajahnya. Ia membuka matanya yang kecil dan basah. Lekas dihapusnya airmatanya sebelum ia bangkit, meninggalkan kamar itu. Sudah aman. Harus cepat-cepat keluar sebelum ibunya mengomelinya.

Malam itu...
Ina terbangun dari mimpinya. Sejenak ia terdiam menatap gelap, tak sadar sedang ada di mana. Semenit kemudian kesadarannya pulih. Ia tengah di kamarnya, menjalani tidur malam. Lalu mengapa dia terbangun?

Dari balik tembok terdengar suara orang-orang bertengkar. Suara-suara yang dipenuhi amarah dan makian. Kembali jantung Ina berdetak cepat. Ayahnya pulang. Ia melirik jam di samping ranjangnya, pukul setengah dua belas. Pantas saja! Ina menggoyang-goyangkan tubuh sang Kakak yang tertidur pulas di sampingnya. Tapi kakaknya tak bangun juga. Tinggallah ia sendirian dengan tubuh gemetar. Baru saja Ina berniat kembali menutup kepalanya dengan bantal ketika pintu kamarnya terbuka. Dan sosok Ibu muncul di sana. Ina cepat-cepat menutup matanya, pura-pura tidur kembali.

Ibu memanggilnya berulang-ulang. Ina tetap diam. Panggilan Ibu semakin keras. Separuh takut separuh tak tega, Ina kecil membuka matanya.

"Panggil ayahmu tidur di kamar."

Ina bangkit, berusaha tidak menatap wajah ibunya yang tampak begitu marah. Ia melewati ibunya dan pergi ke dapur, menebak ayahnya pasti ada di sana. Ini bukan kejadian pertama, juga tidak akan menjadi kejadian terakhir. Dan di akhir pertengkaran yang tidak berujung ini, ia selalu harus menjadi pembawa pesan damai. Meski damai itu tak pernah benar-benar terwujud.

Ina menyentuh pelan tangan ayahnya. Rasa takut selalu menghantuinya bila berhadapan pada sosok yang tak pernah ramah itu. "Yah, tidur di kamar."

Lelaki itu tidak menggubrisnya. Ia duduk di kursi dengan kepala tertunduk dan wajah tersembunyi di balik tangannya.

"Yah... Tidur di kamar," ulang Ina kembali seperti menyanyikan lagu yang sudah sangat dihapalnya. Bagaimana tidak, kalimat itu, kata-kata itu setiap malam harus diucapkannya.

Entah karena kasihan padanya atau karena memang sudah tahu mesti menjalani akhir yang seperti ini, ayahnya bangkit, berjalan masuk ke kamar. Begitupun Ina, kembali ke kamarnya. Begitupun ibunya tak lama kemudian menyusul ke kamar, tidur dalam senyap dengan sang Ayah.

Lama Ina tak bisa tidur, berbaring di kamarnya yang sempit dan gelap itu. Suara-suara Ayah ibunya terdengar kembali, terngiang-ngiang begitu jelas di telinganya, tak mau pergi. Dan teror ketakutan kembali memeluknya. Ia tak mengerti mengapa Ibu setiap sore dan malam harus siap dengan begitu banyak pertanyaan pada Ayah. Ia tak mengerti mengapa Ayah tak pernah mau pulang lebih awal agar rumah ini bisa damai. Dan ia tak mengerti mengapa dua orang yang katanya saling mengasihi bisa saling memaki dan membenci. Jiwa kecilnya memberontak, menangis, tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu bagaimana mengusir ketakutan yang selalu mengikuti langkahnya setiap hari. Membuatnya membenci sore dan malam hari. Sore hari ketika ayahnya mesti berangkat kerja ke sebuah restoran, dan malam hari ketika ayahnya terlambat pulang. Karena sore dan malam hari adalah saat-saat yang begitu mencekam jiwanya.

Tak pernah dilihatnya Ayah dan ibunya saling memeluk atau bersentuhan. Ia bahkan tak pernah disentuh mereka. Hanya ada kemarahan dan kebencian di wajah mereka berdua. Dan kebencian itu mulai terasa membakar rumah ini. Membuat Ina kecil panik, ingin bisa bersembunyi di tempat yang tak terjangkau. Seandainya saja mereka punya lorong rahasia di bawah tanah...

Ia takut. Takut bila ayahnya menjadi kalap dan memukul ibunya. Ia takut mendengar jeritan kemarahan Ibu yang menggetarkan jiwanya. Ia ingin berlari, tapi ke mana? Ia ingin meminta mereka untuk berhenti, tapi bagaimana? Mereka tak pernah mempedulikannya. Mereka tak menggubrisnya. Mereka hanya sibuk dengan emosi masing-masing. Apakah memang seperti itu menjadi orang dewasa?

Sering Ina berkhayal seandainya Ayah ibunya saling bergandengan tangan dan menyapanya dengan lembut. Dan mereka berempat menjadi sebuah keluarga yang bahagia. Seperti halnya ia sering melihat Ayah dan Ibu Cece, teman baiknya, yang selalu akur di manapun mereka berada.

Ina kecil menangis tersedu-sedu di balik bantal yang menutup kepalanya. Tak sadar terucap doa dari bibir mungilnya. Meminta pada Tuhan untuk mendamaikan kedua orangtuanya. Meminta Tuhan untuk menghilangkan sore dan malam hari dari hidupnya. Ia masih terus menangis hingga ia jatuh tertidur. Sejenak terlepas dari semua beban jiwa dan deritanya. Namun entah apa yang akan menantinya esok hari. Akankah ada episode yang sama, juga ketakutan yang sama menunggunya kembali???

Photo link: http://www.desicomments.com/user/2008/04/10257/bkbvgokgkl.JPG

Jeritan kekasih


Hidup macam apakah ini?

Leisa menatap pantulan wajahnya di cermin. Pantulan itu tak lagi terlihat indah. Menghadirkan getir di hatinya. Tangannya meraba lebam di pipinya. Tangan itu gemetar. Ingin rasanya dirobeknya lebam itu dari wajahnya. Matanya kemudian tertumbuk pada bercak merah di sana, yang menodai putih matanya. Mata itu kini terlihat menyeramkan. Tidak. Lebih tepatnya menyedihkan. Mengingatkannya pada peristiwa semalam. Menyebarkan berita kemalangannya pada dunia. Ya, semua akan tahu bila ia muncul dengan wajah seperti itu. Tapi mereka semua hanya akan berbisik-bisik di belakangnya. Turut prihatin dengan nasibnya? Mungkin. Mungkin juga hanya senang bisa mendapatkan bahan gosip yang baru. Bukankah penderitaan seseorang sering menjadi kebahagiaan yang lain?

Tak sadar airmatanya menetes. Tuhan.... Entah sudah berapa ratus kali nama itu selalu disebutnya. Dalam tangis, dalam derita, dalam putus asa, bahkan dalam kemarahan. Tapi rasanya Tuhan tengah sibuk atau pergi entah ke mana. Buktinya Jim masih saja terus pulang dengan amarah yang sama dan memberinya pukulan yang sama. Meski Leisa sudah berusaha menjadi istri yang baik, sebaik yang dia mampu. Meski terkadang ia merasa semua itu kini dikerjakan bukan atas dasar ketulusan hati lagi. Rasa takutnya lah yang kini mengontrol semua tindakannya di rumah ini. Ya, Jim, suaminya sejak dua tahun yang lalu itu, kekasihnya sejak lima tahun yang lalu itu, telah menjadi sosok yang begitu menakutkan baginya. Sosok yang penuh cinta dan tempatnya berlindung itu kini telah hilang entah di mana. Kini Leisa malah harus selalu khawatir bagaimana melindungi dirinya dari laki-laki itu.

Dulu, ia jatuh cinta pada Jim. Lelaki gagah yang selalu murah senyum dan memiliki pribadi yang hangat. Selama masa pacaran mereka, Jim selalu hadir sebagai kekasih yang baik hati, lembut, sabar dan bertanggungjawab. Semua kualifikasi seorang kekasih yang sempurna ada dalam diri Jim. Dan melewati tiga tahun masa-masa indah bersama Jim membuat Leisa yakin akan lelaki pilihan hidupnya itu. Ketika Jim meminangnya, Leisa tak pernah ragu untuk menganggukkan kepala. Tak ada kebahagiaan sebesar kebahagiaan saat itu.

Masa-masa manis masih berlanjut minggu demi minggu awal pernikahan mereka. Namun ketika bulan berganti, Leisa merasa Jim tak lagi sesabar yang dulu. Awalnya Leisa berusaha menerima hal tersebut. Bukankah banyak yang telah mengingatkan dirinya bahwa pernikahan tidak akan selamanya manis? Leisa terlalu mencintai Jim, karena itu dia berusaha untuk menerima segala kekurangan suaminya itu. Namun ketika bulan berganti bulan, suara Jim mulai berubah kasar. Demikian pula dengan sikapnya. Leisa mulai merenung, apa salah dirinya yang telah memicu kemarahan lelaki itu? Dia mencoba mengubah diri, membuang segala tuntutan diri dan memberi lebih banyak sabar dan maaf untuk kekasih hidupnya itu.

Namun, Leisa semakin tak mengenali Jim. Saat pertama kali tamparan Jim mengenai wajahnya, Leisa merasa dibangunkan dengan paksa dari mimpi indahnya. Judul pernikahan bahagia yang menjadi judul kehidupan barunya tiba-tiba terhapus begitu saja. Berganti dengan judul lain yang Leisa sama sekali tak suka. Membuat Leisa panik, tiba-tiba mempertanyakan kebenaran keputusannya menerima pinangan Jim. Inikah lelaki yang diimpikannya untuk menjadi pendamping hidupnya? Lalu mengapa kini ia tak mengenali lelaki itu lagi? Apa dia dulu telah salah merasa? Tapi bagaimana mungkin tiga tahun yang dilewatinya dulu itu hanya sebuah sandiwara semata? Tidak mungkin. Tapi, di mana cinta itu? Cinta yang dulu pernah ada untuknya? Dulu Leisa merasa begitu hidup dalam tiga tahun itu. Begitu hidup oleh cinta Jim.

Dan kini ketika tamparan, pukulan dan makian menjadi makanan sehari-harinya, Leisa merasa seperti kehilangan dirinya sendiri. Ia tak mengenali lagi wajah dalam cermin itu. Di mana senyum manis wajah itu? Di mana wajah cantik yang dulu menjadi bunga kampus? Di mana binar bahagia dalam mata yang dulu indah itu? Tak ada sisa keindahan di sana. Hanya ada gelap dan kepahitan di sana. Dan masa depan itu bahkan tak lagi berani menunjukkan wajahnya di sana.

Hidup macam apakah ini? Pertanyaan itu selalu terngiang di kepalanya saat ia membuka mata, saat pukulan Jim mengiris hatinya, saat airmatanya jatuh melihat lebam wajahnya yang menakutkan, saat ia berusaha menutup matanya di larut malam menjelang pagi. Bahkan dalam mimpi-mimpi buruknya, pertanyaan itu pun hadir.

Pernah sekali ia mengepak seluruh pakaiannya, bertekad meninggalkan Jim saat itu juga. Meninggalkan lelaki itu selamanya, takkan membiarkan lelaki itu menganiaya tubuh dan batinnya lagi. Namun wajah sang Ibu yang telah tua dan lemah terbayang olehnya. Karena cintanya yang begitu besar, ia tak mampu menghancurkan bahagia sang Ibu. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan sang Ibu hidup dalam penyesalan dan kesedihan dalam sisa hidupnya yang tak panjang lagi? Sanggupkah ibunya tetap tersenyum mengetahui kenyataan bahwa puteri semata wayangnya kini menjadi korban jajahan lelaki yang telah dipilihnya?

Oh Tuhan, ke mana aku harus mengadu?

Leisa lelah menangis. Lelah batinnya menghibur hatinya yang tak pernah damai lagi. Lelah mencoba mengobati luka-luka hatinya yang semakin mengiris, membuatnya semakin tak punya keinginan untuk hidup. Lelah menunggu lebam biru di wajahnya berganti warna, yang kemudian hanya akan digantikan dengan lebam baru yang seakan tak pernah ada habisnya. Inikah nasibnya sebagai perempuan? Benarkah perempuan itu harus sabar menjadi korban hidup? Tapi apa arti hidup ini lagi bila hanya untuk berkorban tanpa ada bahagia menanti?

Saat mendengar kawan-kawannya berbagi cerita indah mengenai pernikahan mereka, Leila hanya dapat menggigit bibir. Sakit terasa. Cerita bahagia mereka tak mampu menjadi bahagianya. Inikah yang dinamakan takdir? Dan ketika mereka bertanya, Leisa rasanya ingin bisa melenyapkan dirinya saat itu juga. Dia merasa begitu tak berarti, mengecil di antara wajah-wajah bahagia itu.

Doa. Leisa juga mulai lelah berdoa. Namun tak ada hal lain yang mampu dilakukannya selain berdoa. Dulu, doa-doanya merupakan sumber kekuatannya. Kini, tiap kali ia memejamkan matanya, berdoa, putus asa semakin mendekapnya. Dan diakhir doanya yang penuh dengan ketidakpercayaan diri, ia hanya mampu menangis, terpuruk sendirian semakin dalam. Dan hanya airmata yang seakan-akan mau menjadi sahabatnya kini.

Kini, dalam sisa harapnya, ia berharap suatu hari Tuhan menyadarkan Jim, sebelum sisa cintanya pada lelaki itu pudar. Sebelum maaf dalam dirinya habis. Bila tidak, ia berharap Tuhan membawanya pergi dari rumah itu. Membawanya pergi jauh ke tempat baru di mana masih ada cinta dan bahagia, sebelum ia tak mampu lagi mengenali bahagia itu.

Mungkinkah... Leisa tak tahu. Tak pernah yakin lagi. Rasanya hidup kini hanya sebuah mimpi buruk panjang yang tak akan berakhir. Sering jiwanya tergoda untuk mengakhiri semuanya. Ketika gelap telah membungkus jiwanya. Ketika hidup seakan tak memberikan pilihan apapun lagi baginya. Hanya saja hingga kini pergulatan batinnya belum berakhir. Dan bila suatu hari nanti berakhir, Leisa tak tahu apakah keputusan yang akan diambilnya akan menjadi benar atau salah. Tak pernah yakin lagi. Karena kini salah benar telah mengabur, tak pernah menjadi sejelas dulu ketika kepercayaan dan harga diri masih menjadi miliknya...

Photo Link: http://s.mynicespace.com/myspacepic/298/29805.gif

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya