Senin, 12 Oktober 2009

Jeritan kekasih


Hidup macam apakah ini?

Leisa menatap pantulan wajahnya di cermin. Pantulan itu tak lagi terlihat indah. Menghadirkan getir di hatinya. Tangannya meraba lebam di pipinya. Tangan itu gemetar. Ingin rasanya dirobeknya lebam itu dari wajahnya. Matanya kemudian tertumbuk pada bercak merah di sana, yang menodai putih matanya. Mata itu kini terlihat menyeramkan. Tidak. Lebih tepatnya menyedihkan. Mengingatkannya pada peristiwa semalam. Menyebarkan berita kemalangannya pada dunia. Ya, semua akan tahu bila ia muncul dengan wajah seperti itu. Tapi mereka semua hanya akan berbisik-bisik di belakangnya. Turut prihatin dengan nasibnya? Mungkin. Mungkin juga hanya senang bisa mendapatkan bahan gosip yang baru. Bukankah penderitaan seseorang sering menjadi kebahagiaan yang lain?

Tak sadar airmatanya menetes. Tuhan.... Entah sudah berapa ratus kali nama itu selalu disebutnya. Dalam tangis, dalam derita, dalam putus asa, bahkan dalam kemarahan. Tapi rasanya Tuhan tengah sibuk atau pergi entah ke mana. Buktinya Jim masih saja terus pulang dengan amarah yang sama dan memberinya pukulan yang sama. Meski Leisa sudah berusaha menjadi istri yang baik, sebaik yang dia mampu. Meski terkadang ia merasa semua itu kini dikerjakan bukan atas dasar ketulusan hati lagi. Rasa takutnya lah yang kini mengontrol semua tindakannya di rumah ini. Ya, Jim, suaminya sejak dua tahun yang lalu itu, kekasihnya sejak lima tahun yang lalu itu, telah menjadi sosok yang begitu menakutkan baginya. Sosok yang penuh cinta dan tempatnya berlindung itu kini telah hilang entah di mana. Kini Leisa malah harus selalu khawatir bagaimana melindungi dirinya dari laki-laki itu.

Dulu, ia jatuh cinta pada Jim. Lelaki gagah yang selalu murah senyum dan memiliki pribadi yang hangat. Selama masa pacaran mereka, Jim selalu hadir sebagai kekasih yang baik hati, lembut, sabar dan bertanggungjawab. Semua kualifikasi seorang kekasih yang sempurna ada dalam diri Jim. Dan melewati tiga tahun masa-masa indah bersama Jim membuat Leisa yakin akan lelaki pilihan hidupnya itu. Ketika Jim meminangnya, Leisa tak pernah ragu untuk menganggukkan kepala. Tak ada kebahagiaan sebesar kebahagiaan saat itu.

Masa-masa manis masih berlanjut minggu demi minggu awal pernikahan mereka. Namun ketika bulan berganti, Leisa merasa Jim tak lagi sesabar yang dulu. Awalnya Leisa berusaha menerima hal tersebut. Bukankah banyak yang telah mengingatkan dirinya bahwa pernikahan tidak akan selamanya manis? Leisa terlalu mencintai Jim, karena itu dia berusaha untuk menerima segala kekurangan suaminya itu. Namun ketika bulan berganti bulan, suara Jim mulai berubah kasar. Demikian pula dengan sikapnya. Leisa mulai merenung, apa salah dirinya yang telah memicu kemarahan lelaki itu? Dia mencoba mengubah diri, membuang segala tuntutan diri dan memberi lebih banyak sabar dan maaf untuk kekasih hidupnya itu.

Namun, Leisa semakin tak mengenali Jim. Saat pertama kali tamparan Jim mengenai wajahnya, Leisa merasa dibangunkan dengan paksa dari mimpi indahnya. Judul pernikahan bahagia yang menjadi judul kehidupan barunya tiba-tiba terhapus begitu saja. Berganti dengan judul lain yang Leisa sama sekali tak suka. Membuat Leisa panik, tiba-tiba mempertanyakan kebenaran keputusannya menerima pinangan Jim. Inikah lelaki yang diimpikannya untuk menjadi pendamping hidupnya? Lalu mengapa kini ia tak mengenali lelaki itu lagi? Apa dia dulu telah salah merasa? Tapi bagaimana mungkin tiga tahun yang dilewatinya dulu itu hanya sebuah sandiwara semata? Tidak mungkin. Tapi, di mana cinta itu? Cinta yang dulu pernah ada untuknya? Dulu Leisa merasa begitu hidup dalam tiga tahun itu. Begitu hidup oleh cinta Jim.

Dan kini ketika tamparan, pukulan dan makian menjadi makanan sehari-harinya, Leisa merasa seperti kehilangan dirinya sendiri. Ia tak mengenali lagi wajah dalam cermin itu. Di mana senyum manis wajah itu? Di mana wajah cantik yang dulu menjadi bunga kampus? Di mana binar bahagia dalam mata yang dulu indah itu? Tak ada sisa keindahan di sana. Hanya ada gelap dan kepahitan di sana. Dan masa depan itu bahkan tak lagi berani menunjukkan wajahnya di sana.

Hidup macam apakah ini? Pertanyaan itu selalu terngiang di kepalanya saat ia membuka mata, saat pukulan Jim mengiris hatinya, saat airmatanya jatuh melihat lebam wajahnya yang menakutkan, saat ia berusaha menutup matanya di larut malam menjelang pagi. Bahkan dalam mimpi-mimpi buruknya, pertanyaan itu pun hadir.

Pernah sekali ia mengepak seluruh pakaiannya, bertekad meninggalkan Jim saat itu juga. Meninggalkan lelaki itu selamanya, takkan membiarkan lelaki itu menganiaya tubuh dan batinnya lagi. Namun wajah sang Ibu yang telah tua dan lemah terbayang olehnya. Karena cintanya yang begitu besar, ia tak mampu menghancurkan bahagia sang Ibu. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan sang Ibu hidup dalam penyesalan dan kesedihan dalam sisa hidupnya yang tak panjang lagi? Sanggupkah ibunya tetap tersenyum mengetahui kenyataan bahwa puteri semata wayangnya kini menjadi korban jajahan lelaki yang telah dipilihnya?

Oh Tuhan, ke mana aku harus mengadu?

Leisa lelah menangis. Lelah batinnya menghibur hatinya yang tak pernah damai lagi. Lelah mencoba mengobati luka-luka hatinya yang semakin mengiris, membuatnya semakin tak punya keinginan untuk hidup. Lelah menunggu lebam biru di wajahnya berganti warna, yang kemudian hanya akan digantikan dengan lebam baru yang seakan tak pernah ada habisnya. Inikah nasibnya sebagai perempuan? Benarkah perempuan itu harus sabar menjadi korban hidup? Tapi apa arti hidup ini lagi bila hanya untuk berkorban tanpa ada bahagia menanti?

Saat mendengar kawan-kawannya berbagi cerita indah mengenai pernikahan mereka, Leila hanya dapat menggigit bibir. Sakit terasa. Cerita bahagia mereka tak mampu menjadi bahagianya. Inikah yang dinamakan takdir? Dan ketika mereka bertanya, Leisa rasanya ingin bisa melenyapkan dirinya saat itu juga. Dia merasa begitu tak berarti, mengecil di antara wajah-wajah bahagia itu.

Doa. Leisa juga mulai lelah berdoa. Namun tak ada hal lain yang mampu dilakukannya selain berdoa. Dulu, doa-doanya merupakan sumber kekuatannya. Kini, tiap kali ia memejamkan matanya, berdoa, putus asa semakin mendekapnya. Dan diakhir doanya yang penuh dengan ketidakpercayaan diri, ia hanya mampu menangis, terpuruk sendirian semakin dalam. Dan hanya airmata yang seakan-akan mau menjadi sahabatnya kini.

Kini, dalam sisa harapnya, ia berharap suatu hari Tuhan menyadarkan Jim, sebelum sisa cintanya pada lelaki itu pudar. Sebelum maaf dalam dirinya habis. Bila tidak, ia berharap Tuhan membawanya pergi dari rumah itu. Membawanya pergi jauh ke tempat baru di mana masih ada cinta dan bahagia, sebelum ia tak mampu lagi mengenali bahagia itu.

Mungkinkah... Leisa tak tahu. Tak pernah yakin lagi. Rasanya hidup kini hanya sebuah mimpi buruk panjang yang tak akan berakhir. Sering jiwanya tergoda untuk mengakhiri semuanya. Ketika gelap telah membungkus jiwanya. Ketika hidup seakan tak memberikan pilihan apapun lagi baginya. Hanya saja hingga kini pergulatan batinnya belum berakhir. Dan bila suatu hari nanti berakhir, Leisa tak tahu apakah keputusan yang akan diambilnya akan menjadi benar atau salah. Tak pernah yakin lagi. Karena kini salah benar telah mengabur, tak pernah menjadi sejelas dulu ketika kepercayaan dan harga diri masih menjadi miliknya...

Photo Link: http://s.mynicespace.com/myspacepic/298/29805.gif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya