Senin, 12 Oktober 2009

Tuhan, tolong damaikan mereka...


Sore itu...
Terdengar suara azan maghrib, Ina berlari cepat masuk ke kamar. Di dalam kamar yang gelap itu, ia meringkuk di sudut ranjang. Menutup kepalanya dengan bantal dengan sekuat tenaga. Berharap dunia menjadi sunyi senyap. Namun sayup-sayup azan maghrib masih juga terdengar, menembus bantal yang tipis.

Tak lama kemudian, suara-suara nyaring yang bersahutan terdengar. Tangan kecil Ina menekan bantal semakin kuat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Suhu tubuhnya terasa naik. Suara-suara itu tak berhenti malah semakin keras. Beberapa kata makian tertangkap oleh telinga Ina. Entah berapa lamanya sampai suara-suara itu pun menghilang diakhiri dengan suara deruman motor menjauh. Ayahnya telah pergi. Kemudian disusul suara bantingan pintu. Barulah Ina melepaskan bantal di kepalanya. Rambutnya kuyup, lengket pada kulit wajahnya. Ia membuka matanya yang kecil dan basah. Lekas dihapusnya airmatanya sebelum ia bangkit, meninggalkan kamar itu. Sudah aman. Harus cepat-cepat keluar sebelum ibunya mengomelinya.

Malam itu...
Ina terbangun dari mimpinya. Sejenak ia terdiam menatap gelap, tak sadar sedang ada di mana. Semenit kemudian kesadarannya pulih. Ia tengah di kamarnya, menjalani tidur malam. Lalu mengapa dia terbangun?

Dari balik tembok terdengar suara orang-orang bertengkar. Suara-suara yang dipenuhi amarah dan makian. Kembali jantung Ina berdetak cepat. Ayahnya pulang. Ia melirik jam di samping ranjangnya, pukul setengah dua belas. Pantas saja! Ina menggoyang-goyangkan tubuh sang Kakak yang tertidur pulas di sampingnya. Tapi kakaknya tak bangun juga. Tinggallah ia sendirian dengan tubuh gemetar. Baru saja Ina berniat kembali menutup kepalanya dengan bantal ketika pintu kamarnya terbuka. Dan sosok Ibu muncul di sana. Ina cepat-cepat menutup matanya, pura-pura tidur kembali.

Ibu memanggilnya berulang-ulang. Ina tetap diam. Panggilan Ibu semakin keras. Separuh takut separuh tak tega, Ina kecil membuka matanya.

"Panggil ayahmu tidur di kamar."

Ina bangkit, berusaha tidak menatap wajah ibunya yang tampak begitu marah. Ia melewati ibunya dan pergi ke dapur, menebak ayahnya pasti ada di sana. Ini bukan kejadian pertama, juga tidak akan menjadi kejadian terakhir. Dan di akhir pertengkaran yang tidak berujung ini, ia selalu harus menjadi pembawa pesan damai. Meski damai itu tak pernah benar-benar terwujud.

Ina menyentuh pelan tangan ayahnya. Rasa takut selalu menghantuinya bila berhadapan pada sosok yang tak pernah ramah itu. "Yah, tidur di kamar."

Lelaki itu tidak menggubrisnya. Ia duduk di kursi dengan kepala tertunduk dan wajah tersembunyi di balik tangannya.

"Yah... Tidur di kamar," ulang Ina kembali seperti menyanyikan lagu yang sudah sangat dihapalnya. Bagaimana tidak, kalimat itu, kata-kata itu setiap malam harus diucapkannya.

Entah karena kasihan padanya atau karena memang sudah tahu mesti menjalani akhir yang seperti ini, ayahnya bangkit, berjalan masuk ke kamar. Begitupun Ina, kembali ke kamarnya. Begitupun ibunya tak lama kemudian menyusul ke kamar, tidur dalam senyap dengan sang Ayah.

Lama Ina tak bisa tidur, berbaring di kamarnya yang sempit dan gelap itu. Suara-suara Ayah ibunya terdengar kembali, terngiang-ngiang begitu jelas di telinganya, tak mau pergi. Dan teror ketakutan kembali memeluknya. Ia tak mengerti mengapa Ibu setiap sore dan malam harus siap dengan begitu banyak pertanyaan pada Ayah. Ia tak mengerti mengapa Ayah tak pernah mau pulang lebih awal agar rumah ini bisa damai. Dan ia tak mengerti mengapa dua orang yang katanya saling mengasihi bisa saling memaki dan membenci. Jiwa kecilnya memberontak, menangis, tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu bagaimana mengusir ketakutan yang selalu mengikuti langkahnya setiap hari. Membuatnya membenci sore dan malam hari. Sore hari ketika ayahnya mesti berangkat kerja ke sebuah restoran, dan malam hari ketika ayahnya terlambat pulang. Karena sore dan malam hari adalah saat-saat yang begitu mencekam jiwanya.

Tak pernah dilihatnya Ayah dan ibunya saling memeluk atau bersentuhan. Ia bahkan tak pernah disentuh mereka. Hanya ada kemarahan dan kebencian di wajah mereka berdua. Dan kebencian itu mulai terasa membakar rumah ini. Membuat Ina kecil panik, ingin bisa bersembunyi di tempat yang tak terjangkau. Seandainya saja mereka punya lorong rahasia di bawah tanah...

Ia takut. Takut bila ayahnya menjadi kalap dan memukul ibunya. Ia takut mendengar jeritan kemarahan Ibu yang menggetarkan jiwanya. Ia ingin berlari, tapi ke mana? Ia ingin meminta mereka untuk berhenti, tapi bagaimana? Mereka tak pernah mempedulikannya. Mereka tak menggubrisnya. Mereka hanya sibuk dengan emosi masing-masing. Apakah memang seperti itu menjadi orang dewasa?

Sering Ina berkhayal seandainya Ayah ibunya saling bergandengan tangan dan menyapanya dengan lembut. Dan mereka berempat menjadi sebuah keluarga yang bahagia. Seperti halnya ia sering melihat Ayah dan Ibu Cece, teman baiknya, yang selalu akur di manapun mereka berada.

Ina kecil menangis tersedu-sedu di balik bantal yang menutup kepalanya. Tak sadar terucap doa dari bibir mungilnya. Meminta pada Tuhan untuk mendamaikan kedua orangtuanya. Meminta Tuhan untuk menghilangkan sore dan malam hari dari hidupnya. Ia masih terus menangis hingga ia jatuh tertidur. Sejenak terlepas dari semua beban jiwa dan deritanya. Namun entah apa yang akan menantinya esok hari. Akankah ada episode yang sama, juga ketakutan yang sama menunggunya kembali???

Photo link: http://www.desicomments.com/user/2008/04/10257/bkbvgokgkl.JPG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya