Selasa, 29 Desember 2009

Hidup Bagai Sebuah Jalan...


Duduk dalam mobil, menatap jalan di depan, tiba-tiba aku disadarkan akan hidup yang telah kulewati. Ya, hidup ini juga bagai sebuah jalan. Dan kita semua bagai kendaraan-kendaraan yang lalu lalang, yang mengarah ke suatu tempat dengan tujuan masing-masing. Ada yang searah. Ada yang setujuan tapi tidak searah. Ada yang hanya berjalan bersama sampai titik tertentu dan kemudian berpisah di tikungan tertentu, ada juga bisa yang terus bersama-sama hingga akhir.

Kerap kita berhenti di lampu merah yang sama, bersisian, saling memandang tanpa saling mengenal. Kerap kita saling memberi senyum ramah, sekedar sebuah tanda perkenalan yang singkat. Tapi kerap juga kita bersisian atau saling melewati tanpa saling memandang dan memperhatikan karena kita masing-masing sibuk dengan pikiran masing-masing.

Ada juga orang-orang yang kita ajak sekendaraan. Orang-orang yang telah kita pilih untuk bersama-sama berjalan dalam hidup ini. Suami, istri, anak-anak, orangtua, saudara dan sahabat-sahabat. Tapi sering pula terjadi bahwa pilihan itu akhirnya berubah. Sering kita terpaksa merelakan orang-orang tersebut memilih kendaraan yang lain, bersama dengan orang yang lain. Seperti dalam perceraian misalnya. Atau mereka yang memang tak bisa bersama-sama dengan kita karena telah sampai duluan pada tujuan mereka. Yang harus turun pada tempat tertentu. Ya, seperti saat kematian datang...

Dalam perjalanan panjang yang terkadang membuat kita bertanya-tanya berapa lama lagi kita akan sampai ke tujuan, kita selalu berharap perjalanan itu lancar-lancar saja. Tapi terkadang kita menemui hambatan atau musibah. Tanpa kita sangka-sangka terjadi kecelakaan. Kecelakaan ringan seperti terserempet kendaraan lain. Sama seperti dalam hidup ketika seseorang menyerempet kita baik dengan kata-kata atau perbuatan yang membuat kita terluka. Lalu apa yang terjadi saat kendaraan kita diserempet? Marah? Ya, reaksi pertama yang umumnya terjadi bila kita terserempet adalah marah atau kesal. Turun dari mobil dengan wajah tertekuk, memeriksa kendaraan kita dan minta pertanggungjawaban dari si penyerempet. Bila si penyerempet turun dengan wajah bersalah dan permintaan maaf, kita biasanya kemudian memilih jalan damai. Claim asuransi saja, atau bayar ganti rugi. Tapi bila si penyerempet yang jelas-jelas sudah salah malah turun dengan wajah marah dan balik menyalahkan kita, apa yang terjadi? Kita biasanya bertambah marah dan ngotot membela kebenaran kita. Logikanya memang kita berhak membela kebenaran kita. Tapi kejadian tak selalu harus seperti itu. Reaksi masing-masing orang berbeda. Ada yang mengalah dan memilih tidak mempermasalahkan kejadian itu. Ada yang menuntut ganti rugi hingga harus ke kantor polisi. Ada yang esok harinya sudah melupakan peristiwa itu. Ada yang bertahun-tahun masih menyimpan marah dan dendam. Mengerti... Mengalah... Kata-kata yang memang sulit untuk dijunjung. Tapi di balik sikap mengerti dan mengalah untuk tujuan damai, selalu ada sebuah berkah dan ketenangan untuk diri sendiri.

Terkadang pula kita yang tanpa sengaja, tanpa ada maksud, menyerempet orang lain. Terkadang kita bertemu orang-orang yang tidak mempermasalahkan kerugian atau kerusakan yang kita timbulkan. Orang-orang yang mau berbesar hati mengerti bahwa kita hanya kurang hati-hati tanpa ada maksud lain dan menerima permintaan maaf kita. Aku ingat kejadian nyata pertama kali membawa mobil dan belum tahu cara memarkir yang benar. Yang kemudian membuatku menabrak mobil belakang, milik teman kos. Waktu itu aku begitu ketakutan, meski ada asuransi yang bisa membayar. Sudah kubayangkan semprotan yang bakal dikeluarkan dari teman tersebut. Tapi sebaliknya orang itu hanya menghela napas beberapa kali dan menolak penggantian kerugian memakai asuransi. Dia malah memilih memperbaiki sendiri mobilnya yang penyok tanpa meminta ganti rugi dariku. Serta memaafkan kesalahanku saat itu juga. Yang akhirnya membuatku termenung sendirian. Masih ada orang baik berhati lapang seperti itu? Orang yang bahkan tidak aku kenal, yang hanya kutahu bahwa dia sekos-an denganku.

Kadang di perjalanan juga terjadi kecelakaan besar, yang membuat si penumpang luka berat dan kendaraan hancur tak berbentuk. Kasus besar. Ada orang yang menjadi korban. Ada orang yang harus disalahkan. Dalam kehidupan ini, peristiwa seperti itu bisa menjadi dendam yang membuat hubungan antar korban dan si pelaku putus selamanya. Tapi siapa sebenarnya yang mengira ini akan terjadi? Tak ada yang mengharapkan hal yang buruk terjadi. Tapi begitulah situasi jalan yang dipenuhi berbagai kendaraan. Serempet-menyerempet pasti terjadi. Sama seperti situasi hidup ini yang dipenuhi berbagai orang dengan kepentingan yang berbeda-beda. Akan terjadi gesekan-gesekan. Tinggal bagaimana kita memilih untuk menyikapinya. Inilah kenyataan hidup yang seperti suasana jalan. Bahwa hidup bukan hanya jalan yang lancar, yang berisi senyum, tawa dan bahagia. Tapi juga terkadang hidup diwarnai dengan perselisihan, ketidaksetujuan dan juga perbedaan akan kebenaran. Karena kita berjalan dalam satu jalan yang sama. Dalam hidup yang sama.

Aku percaya bahwa bisa bertemu orang-orang yang kini ada dalam hidupku adalah takdir dari Yang Di Atas. Aku juga percaya bahwa setiap peristiwa dan kejadian membawa sebuah pesan tersendiri. Juga bahwa setiap orang yang datang dalam hidupku membawa misi dan tujuan tersendiri. Dan semua itu harus disyukuri dan direnungkan kembali. Bukan disesali atau dibenci.

Tak ada yang terlalu penting di hidup ini untuk dijadikan dendam yang tak berakhir. Tak ada yang terlalu penting di hidup ini untuk tidak dapat dimaafkan. Karena kita semua sama. Suatu saat tanpa sengaja kita yang menyerempet dan meminta maaf. Suatu saat ada yang menyerempet kita dan mengharapkan maaf dari kita. Karena itu, mudah-mudahan kita bisa belajar berbesar hati dan mengikhlaskan segalanya untuk sebuah kedamaian dalam hidup yang singkat ini. Dan menghargai takdir kebersamaan yang telah diatur Yang Di Atas pada kita.

Photo Link: google

Selasa, 22 Desember 2009

Anak dan Bunda...


Sejak kapan sebutan itu menjadi begitu kabur di ingatannya? Dia pun tak tahu. Sampai kemudian dia tersadar dan merasa begitu jauh darimu. Dia pernah mencoba untuk berbalik kembali dan menggapaimu lagi, tapi... akh.... Mengapa tak juga tergapai? Mengapa seakan ada dinding penghalang yang tak tampak di antara kalian?

Bila bisa dia teriakkan sesalnya, dia akan menahan hidup untuk tak berubah dan tetap membiarkannya ada di sampingmu selamanya. Tetap menjadi seorang kanak-kanak yang lugu dan polos, yang selamanya tak mempermasalahkan apa itu kebenaran. Yang terpenting baginya, masih dapat dia rasakan hangatnya tubuhmu memeluk dirinya, juga suaramu yang pernah menjadi petikan dawai yang indah memenuhi isi dunianya.

Perjalanan ini tak pernah menjadi mudah untuknya. Dia pun tahu tak pernah menjadi mudah untukmu juga. Melihat sosok yang dulu kau timang bertumbuh besar dan mulai berusaha melepaskan ikatan dan belenggu yang kau pasang. Mendengar dia mulai mempertanyakan tindakan dan sikapmu. Dan ketika dia mulai menyatakan ketidaksetujuannya, ada luka di matamu. Dan ketika dia tidak lagi merasa aman bersamamu dan berusaha berlari menjauh, kau mulai mencercanya meski sebenarnya hatimu terasa perih. Meski sebenarnya kau harapkan dia dapat menunjukkan cintanya yang menurutmu pantas kau terima.

Seandainya kau juga tahu, bahwa dibalik semua pemberontakan dan ketidaksetujuannya padamu, di balik semua ekspresi wajahnya yang seakan penuh kemarahan dan kebencian padamu, ada sebuah hati yang haus akan cinta. Hati yang menunggu dirimu untuk mengerti dan melepaskan semua ego dan memeluknya dengan cinta tanpa syarat. Dia hanya seorang kanak-kanak yang berproses menjadi dewasa, dengan begitu banyak pertanyaan dan kebingungan yang harus dihadapinya. Dia butuh bimbingan dan kasihmu untuk menjadi pelita dalam kegelapannya.

Hidup terkadang menjadi begitu rumit untuk dimengerti. Ketika setiap pribadi tak mau berhenti sejenak, merenung dan melepaskan semua keinginan dan ego atas nama cinta. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa sebenarnya yang terpenting dari semua keributan dan perselisihan itu? Pada akhirnya tak ada yang terlalu penting untuk diributkan. Pada akhirnya bahagia dan damai lah yang ingin dicapai, bukan? Tapi semua itu hanya bisa dimenangkan dalam cinta. Hanya cinta. Cinta yang tak bersyarat...

Bunda,
Andaikan aku dapat melepas semua kesombongan diri
Akan kupeluk dirimu yang telah begitu asing di diriku
Akan kubayar masa yang telah berlalu tanpamu
Aku ingin belajar kembali mencintaimu
Dengan segenap hati dan jiwaku
Dengan segenap kesabaran dan kebesaran hatiku
Mengerti bahwa kebenaranku tidaklah menjadi begitu penting
Yang terpenting cintaku padamu tak akan pernah berakhir
Dan aku akan berlutut memohon maafmu
Untuk semua kata dan tindakanku yang tak pernah menjadi hebat
Telah melukai hatimu dalam prosesku menemukan diri sendiri
Proses yang begitu sulit dan menyiksa
Namun kini, ketika aku telah tegar berdiri
Dan menemukanmu telah hilang dari hidupku
Ada sesal yang tak pernah terbayarkan
Meski dengan semua keberhasilan yang telah kucapai
Tak pernah lengkap bahagiaku
Tanpamu merestuiku dengan senyum bahagiamu

Anak,
Saat pertama kali melihatmu
Kau lah anugerah terindah dalam hidupku
Tak ada emas permata yang akan kutukarkan dengan dirimu
Namun cinta yang ingin memilikimu selamanya
Membuat diri terkadang begitu egois
Tak pernah rela melepaskanmu untuk memiliki diri dan hidupmu sendiri
Saat aku menggunakan segala daya atas nama cinta
Kau pun semakin menjauh
Dan ketika aku menggunakan kuasaku akan dirimu
Dengan mengungkit segala budi dan jerih payahku
Kau menatapku dengan sorot kebencian
Damai tak pernah lagi jadi milik kita
Aku selalu bertanya, Mengapa?
Tak pernah mau mengakui salah, hanya ingin dibenarkan dalam penghormatan
Tak pernah mau mengakui
Bahwa ini bukan hanya prosesmu untuk belajar
Ini juga prosesku untuk belajar
Namun sejalan waktu aku merasa telah kehilanganmu
Sejalan waktu aku merasa kau tak lagi membutuhkanku
Sejalan waktu aku merasa kau tak lagi mencintaiku...

Anak dan Bunda,
Cinta adalah anugerah
Hadiah terbesar dari Ilahi
Anak dan Bunda ditakdirkan untuk bersama dalam sebuah kehidupan
Takdir ini adalah janji
Janji yang telah disepakati bersama
Sebelum masa kehidupan dimulai
Anak berjanji akan mencintai dan mengikuti sang Bunda
Bunda berjanji akan menjadi pelindung dan pembimbing
Dan mereka telah berjanji
Bila pada suatu masa kemudian
Mereka tak sepaham dan tak sekata lagi
Mereka tetap mereka akan mencinta hingga akhir napas
Dan bila salah satu dari mereka lupa akan janji itu
Mereka akan saling mengingatkan
Namun sayang...
Janji itu telah hilang ditelan waktu
Tak ada lagi yang mengingatnya
Tak ada lagi yang menganggapnya penting
Tak ada lagi yang mengagungkannya
Masing-masing terpaku pada ego dan kepentingan sendiri
Masing-masing berkeras pada kebenaran sendiri
Dan sejalan waktu
Dua sosok yang harusnya selalu menjadi satu bagian yang utuh
Akhirnya memutuskan untuk memilih jalan yang berbeda
Yang kemudian mengutuk takdir yang telah mempertemukan mereka
Dan membiarkan diri larut dalam luka yang tak pernah sembuh

Seandainya mereka tahu
Hanya cinta yang bisa menyembuhkan
Cinta yang selalu ada
Di kedalaman hati yang terdalam
Seandainya saja mereka mau melihat ke dalam
Ke dalam hati masing-masing
Selalu ada cinta di sana
Untuk menyatukan mereka kembali
Anak dan Bunda...

Photo Link: http://farm1.static.flickr.com/164/401181839_4535122145.jpg

Minggu, 20 Desember 2009

Sepiring Nasi Ayam...


Wanita itu menaruh sepiring nasi ayam di hadapan William. Ada enam butir nasi berbentuk bola dan ayam rebus yang telah dipotong-potong. William tak langsung menyantapnya. Lama ia hanya memandangi hidangan itu. Teringat olehnya kisah belasan tahun yang lalu...

Saat itu umurnya masih sangat muda. Siang itu ia berjalan berkeliling, tanpa uang sepeser pun di sakunya. Nasibnya buruk. Ia sudah tidak bekerja beberapa bulan. Dan uang simpanannya, hasil tabungannya dari pekerjaannya yang terakhir sudah dihabiskannya kemarin malam. Tak ada sisa sepeser pun di kantongnya.

Meskipun beberapa bulan ini ia telah berusaha mengirit keperluan sehari-harinya, tetap saja uangnya terus mengalir keluar. Pemasukan kecil-kecilan yang diperolehnya dengan bekerja part time ke sana kemari tak juga mampu menambah simpanan uangnya. Biaya hidup di kota itu terlalu besar. Ia harus membayar sewa kamarnya yang sempit, belum lagi mengisi perutnya dua kali sehari.

Ia belum juga menemukan pekerjaan tetap, meski ia terus mencari. Terkadang ia merasa begitu putus asa, berpikir untuk membeli tiket bus dan kembali ke kota asalnya. Pikirnya, paling tidak di kampung halamannya, masih ada rumah orangtuanya untuknya bernaung gratis. Dan juga makanan untuk mengisi perutnya setiap hari. Namun teringat akan sikap ayahnya yang keras dan keadaan keluarganya yang juga miskin, membuat William tetap bertahan di kota itu. Tak ingin mendengar celaan ayahnya atas usahanya yang tak berhasil. Juga tak ingin membuat ibunya khawatir. Karena itu William bertekad tak akan pulang sebelum ia berhasil.

Namun, seakan langit pun tak merestui langkahnya. Tak ada pintu yang terbuka yang terlihat olehnya. Meski ia tak juga berhenti mencari, kakinya mulai terasa letih melangkah. Begitu pun dengan hatinya yang mulai goyah. Semangatnya mulai hilang dan rasa putus asa mulai merangkulnya. Apalagi dari pagi hingga siang itu ia tak juga menemukan satu pekerjaan pun. Padahal sudah berjam-jam ia berkeliling. Perutnya mulai terasa perih. Kerongkongannya terasa kering, bak padang pasir.

Ia berhenti di sebuah kedai nasi ayam. Kedai itu kedai kecil namun sangat ramai. Pastilah nasi ayam kedai itu enak, sehingga pengunjungnya banyak. Lama William berdiri memandangi orang-orang yang sedang makan. Ia menelan ludah beberapa kali. Perutnya mulai berteriak-teriak tak mau lagi berkompromi. Lama ia terlihat bimbang sampai akhirnya kakinya melangkah, menghampiri meja di sudut, dekat sebuah jalan kecil.

Ia duduk di sana, menatap ke sekeliling dengan gugup. Tangannya yang basah, disembunyikannya di bawah meja, tak sadar meremas celana panjang lusuh yang dikenakannya.

Seorang bapak mendekat dan bertanya padanya. William memesan nasi ayam sepiring tanpa ayam. Hanya nasi saja, tekannya. Bapak itu kemudian bertanya lagi, ia ingin minum apa? William menggeleng cepat. Akhirnya bapak tua itu pun berlalu.

Tak lama kemudian bapak itu kembali dengan sepiring nasi ayam berbentuk bola. Sesaat William masih memandangi nasi ayam itu, masih tampak ragu. Tapi kemudian tangannya terulur, meraih sumpit di meja. Tangannya bergetar, berusaha menahan sumpit agar tak jatuh. Lalu ia mulai makan dengan tergesa. Ia bahkan tak bisa menikmati kelezatan nasi ayam tersebut. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Dan pikirannya terlalu kacau saat itu. Hanya sekejap saja, keenam nasi ayam itu telah lenyap, pindah ke dalam perutnya. William mengangkat wajahnya dengan takut-takut, mencuri pandang ke sekeliling. Dan ketika ia melihat pemilik kedai sibuk melayani orang lain dalam posisi membelakangi dirinya, ia cepat-cepat berdiri dan kemudian berlari sekencang-kencangnya. Ia bahkan tak sadar sudah berlari berapa lama, berapa jauh. Yang ia tahu ia hanya terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Ia takut bila ada suara yang memanggilnya atau ada langkah yang mengejarnya di belakang.

Sampai di sebuah jalan kecil, William menikung masuk dan berhenti dengan napas yang hampir putus. Ketika ia mengintip ke arah jalan di belakangnya dan tak menemukan siapa-siapa di sana, barulah ia bisa menarik napas lega. Kakinya tiba-tiba langsung terasa lemah, membuatnya terjatuh di aspal. Ia terduduk lunglai di sana, dengan keringat yang membasahi seluruh pakaiannya. Kepalanya bersandar pada dinding samping sebuah rumah, menatap ke langit. Tiba-tiba ia menangis. Ia menangis terisak-isak seorang diri.

Sebuah suara membangunkannya dan membawanya kembali dari kisah belasan tahun yang lalu ke masa kini. Seorang wanita berdiri di hadapannya bertanya ia ingin minum apa. William segera menjawab dan pandangannya kembali ke sepiring nasi ayam di hadapannya. Matanya terasa panas dan mulai berkaca-kaca. Semua penyesalannya kini menghambur keluar.

Belasan tahun telah berlalu, namun sepotong kisah di hari itu tetap melekat kuat di ingatannya. Hari di mana ia harus menipu seorang bapak pemilik kedai atas sepiring nasi ayam untuk mengisi perutnya yang kosong. Hari di mana ia sudah begitu putus asa, tak memiliki sebuah harapan pun dan akhirnya kalah atas tuntutan perutnya yang minta diisi. Untuk sepiring nasi ayam yang tidak dibayarnya, telah merampas sisa harga dirinya. Juga telah merampas sebuah kata kejujuran yang selalu dipegangnya teguh. Dan sepotong nasi ayam itu harus dibayarnya mahal dengan rasa bersalah dan penyesalan tak berujung.

Pernah ia kembali mencari kedai bapak tua yang dulu ditinggalkannya dengan diam-diam itu. Namun kedai itu sudah tak ada di sana lagi. William bermaksud datang membayar sepiring nasi ayam itu untuk menebus rasa bersalah yang selalu mengikutinya. Namun kesempatan itu tak pernah datang. Bapak tua itu telah hilang entah ke mana.

Kini, William telah menjadi seorang pengusaha sukses di kota itu. Bahkan kini ia telah mampu pulang menemui Ayah dan ibunya dengan kepala tegak. Ia kini terlihat begitu percaya diri dan mapan. Namun tak seorang pun tahu di balik kisah suksesnya ada sepotong kisah pahit yang selamanya tak mampu dilupakannya.

William menyuap sebutir nasi ayam ke mulutnya, mengunyahnya pelan. Tak ada lagi debaran jantung yang terlalu cepat. Tak ada lagi tangan yang gemetar. Yang ada kini hanya sebuah harap di hatinya. Semoga suatu hari nanti ia dapat menemukan bapak pemilik kedai nasi ayam itu. Semoga suatu hari nanti ia masih diberi kesempatan untuk menuturkan pengakuannya dan meminta sepotong maaf untuk menenangkan hatinya yang tak pernah lagi bisa damai...

(*penuturan seorang teman baik akan sepotong kisah hidupnya, di tengah makan malam...)

Photo Link: http://foodiedoodie.files.wordpress.com/2008/11/melaka-cafe-chicken-rice-ball.jpg

Kamis, 17 Desember 2009

Rearrange Items on Your Hard Disk to Make Programs Run Faster


Klik start, pilih setting lalu control panel, kemudian pilih performance and maintenance dan akhirnya klik 'rearrange items on your hard disk to make programs run faster'.

Setiap hari, proses itu kulakukan. Mengapa? Seperti yang telah dijelaskan kalimat panjang itu, mengatur kembali semua yang ada di hard disk agar program berjalan lebih cepat.

Pagi ini ketika aku akan melakukan hal itu lagi tiba-tiba terlintas di benakku. Ini seperti proses kehidupan juga. Harusnya dalam diri kita juga ada sistem 'rearrange items' untuk mengatur kembali semua file-file yang ada dalam diri kita. File-file yang jumlahnya sangat banyak dan menumpuk, yang sering kita ambil dan buka kembali lalu kita tutup lagi. Yang terkadang kita letakkan dengan asal-asalan saja, sehingga semuanya menjadi tak beraturan. Dan terkadang semua itu menjadi begitu berantakan yang akhirnya membuat kita sendiri menjadi merasa ada kekacauan di dalam diri, yang menghadirkan stress berkepanjangan.

Sesekali juga kita mungkin perlu meng-klik 'Free up space on your hard disk'. Pasti banyak file-file tidak berguna, yang selama ini kita biarkan tetap ada di dalam diri. Masalah-masalah lama yang tak berguna, yang tidak kita sempatkan untuk buang. Yang hanya memberatkan diri selama ini. Yang tanpa kita sadari, menjadi penghambat kebahagiaan diri. Juga ada perasaan-perasaan negatif, rasa sakit, rasa marah, rasa benci, rasa malu, rasa tidak percaya diri, dan masih banyak rasa-rasa lain, yang juga sebenarnya memperlambat diri untuk terus bergerak maju dalam kehidupan ini. Bila saja kita mau memilah-milah mana file-file yang tidak baik dan baik untuk diri. Dan kemudian membuang file-file yang tidak kita perlukan lagi dan mengaturnya kembali dalam susunan yang teratur...

Belajar dari cara kerja komputer, kita bisa setiap hari melakukan dua pekerjaan itu, menghapus dan mengatur kembali. Dan dengan begitu mungkin seperti komputer, diri kita dan hidup kita akan berjalan dengan lebih ringan dan cepat.

Photo Link: http://csg.trinhall.cam.ac.uk/tips/smb/img/xp-perfmaint.png

Rabu, 16 Desember 2009

Goyah...

Perjalanan ini terasa semakin berat. Langkah kakiku semakin tersendat. Semakin sering kuseret kakiku, memaksanya untuk terus melangkah maju. Terseok-seok, bak seorang pincang yang gemetar, tak punya kepercayaan diri.

Apa itu semangat? Aku kini tak mengerti arti kata sederhana itu. Adakah semangat itu tertinggal di diriku ini? Inikah bukti semangat dalam diriku dengan langkah yang terseok-seok berusaha untuk tetap maju? Ataukah ini bukti dari pupusnya semangat, dan sebentar lagi mungkin akan sirna selamanya? Dan saat itu mungkin aku hanya bisa terpuruk, tak mampu lagi melangkah, bahkan tak mampu lagi berdiri.

Belakangan ini saat mataku membuka kembali, menyambut mentari, mengapa dunia terlihat begitu gelap? Mengapa hidupku terlihat suram, tak berwarna? Mengapa sinar mentari itu tak juga menyinari hidupku ini? Apa gunanya dirinya di atas sana? Bila hanya jadi hiasan indah tak berarti? Ataukah aku yang telah buta? Hatiku yang telah buta tak bisa melihat sinar indahnya? Ataukah sinar itu sebenarnya ada di sana, hanya saja aku telah menutup pintu hatiku, sehingga mataku pun tak berfungsi lagi? Hatiku gelap, hidupku juga ikut menjadi gelap. Mungkinkah?

Berulang kali kudengar kalimat ini, buka pikiran, buka hati. Berulang kali kudengar mereka bilang, pikiran mau seluas samudera, hati mau sebesar langit di atas sana. Bagaimana mungkin aku bisa meluaskan pikiran dan membesarkan hatiku? Dengan cara apa? Dengan alat apa? Lagipula bagaimana aku tahu seluas apa samudera itu? Sebesar apa langit itu?

Apa aku yang terlalu bodoh, tak mengerti apa yang mereka katakan? Benarkah aku ini bodoh? Kadang aku merasa seperti seorang idiot. Kadang aku merasa seperti orang dusun yang dihadapkan pada tempat dan situasi yang terlalu rumit untuk bisa kuhadapi. Tapi aku tak rela dikatakan bodoh. Aku tak rela dipandang rendah. Tapi semakin aku tak rela, semakin aku merasa orang-orang meremehkanku. Seakan aku ini tak punya apa-apa untuk kubanggakan. Seakan aku ini begitu miskin. Miskin segalanya. Bahkan miskin cinta...

Terkadang aku benci melihat mereka tersenyum dan bahagia. Sebenarnya aku iri pada mereka. Aku tak tahu bagaimana bisa tersenyum dan bahagia. Aku juga ingin. Tapi aku berlagak seakan aku tak tertarik pada hal itu. Berlagak seakan hal itu tidak penting bagiku. Berlagak seakan aku tak kurang suatu apapun. Padahal aku selalu terpuruk di sudut duniaku, selalu kembali meratap sendiri. Meratapi hidupku. Meratapi diriku. Meratapi orang-orang yang seakan tak pernah peduli. Ya, kesombongan diri ini begitu menjerat diriku, mungkin suatu hari nanti akan membunuhku...

Sebenarnya aku butuh mereka. Aku butuh cinta dari mereka semua. Aku butuh ditolong. Aku butuh seseorang memegang tanganku untuk menguatkan kaki dan langkahku yang goyah ini. Hanya saja aku tak tahu bagaimana harus meminta. Bukan. Aku terlalu sombong untuk meminta. Tidak... Sebenarnya bukan karena kesombongan semata, tapi lebih karena aku tak punya kepercayaan diri. Aku tak punya cukup kepercayaan bahwa diriku ini berharga di mata mereka. Juga tak punya cukup kepercayaan pada mereka. Aku takut mereka akan menolakku. Aku takut mereka akan mengecewakanku. Terlalu banyak luka hatiku yang tak sanggup kurawat dan belum mampu kurelakan untuk sembuh. Karena aku tak berani untuk percaya bahwa ada bahagia di depan sana untukku. Bahwa aku ini pantas untuk dicintai...

Photo Link: http://farm1.static.flickr.com/213/508715784_b6124f74dc.jpg

Senin, 14 Desember 2009

Dear My Friend (2)


Berapa tahun telah berlalu? Dua belas? Sepertinya... Sejak terakhir pertemuan kita yang tak indah itu. Aku masih ingat hari itu ketika kita menghabiskan waktu berdua dengan berbagi cerita. Tak pernah menyangka itu hari terakhir aku melihatmu. Bila seandainya saja aku tahu, mungkin tak akan rela aku membiarkanmu melangkah pergi.

Kau tak selalu ada, tak selalu hadir. Tapi kau selalu kembali. Aku ingat tak peduli berapa lama jeda waktu yang tercipta di antara kita, kau pasti kembali lagi. Dan aku tak pernah menunggumu pulang karena aku begitu yakin kau pasti akan selalu pulang. Di sini, di sampingku, menjadi seorang sahabat yang sangat berarti bagiku.

Kita selalu punya cerita untuk dibagi. Bukan cerita yang istimewa, juga bukan rahasia diri yang tak terucapkan pada orang lain. Hanya cerita-cerita sederhana, tentang keseharianku dan keseharianmu. Namun rasanya, dirimu bak seorang karib yang telah jutaan tahun bersama. Selalu ada tawa dan canda kau bagi, membuat hidupku yang gersang sedikit berwarna. Di sanalah letak keindahan persahabatan kita, dalam kesederhaan kebersamaan kita.

Suatu hari aku tersadar bahwa waktu telah berlalu terlalu lama dan kau tak juga kembali... Seakan dibangunkan dari mimpi indah dan harus melihat kenyataan yang menyakitkan. Di mana dirimu kini? Sedang apa? Bagaimana kabarmu? Baik-baik sajakah? Aku ingin tahu. Aku ingin melihatmu lagi. Aku ingin mendengar suaramu berbagi cerita lagi. Dan juga begitu banyak cerita hidupku yang ingin kusampaikan padamu.

Seandainya kau tahu, aku telah banyak berubah. Diriku dan hidupku ini. Aku kini lebih banyak tersenyum dan tertawa. Hidupku kini dikelilingi banyak orang-orang yang menyayangiku. Sahabat-sahabat yang menemani langkahku yang terkadang masih goyah. Seperti yang dulu sering kau lakukan untukku. Mungkin kau sendiri tak menyadarinya. Namun meskipun kini banyak yang menggantikan tempatmu, namun sosokmu sendiri tak pernah sirna dari kenangan masa silam. Selalu ada di sana. Selalu hidup, tak pernah lekang dimakan waktu atau jarak.

Sepanjang perjalanan hidup yang berliku ini, kerap kali di saat aku sendiri, aku teringat akan dirimu. Kerap kali ada kesedihan menyusup, bertanya pada diri mengapa bisa kehilangan jejakmu. Dan selalu ada seuntai doa, menitip pesan kepada yang Di Atas sana, meminta-Nya untuk mempertemukan kita kembali. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu kini. Dan bila akhirnya aku tahu kau baik-baik saja, semua beban kekhawatiranku akan lepas dari diri ini.

Hari ini menemukanmu kembali. Tak bisa kutahan senyumku, bahagiaku... Melihat dirimu dan kehidupanmu kini dari mataku yang buram karena menahan airmata yang muncul karena hatiku yang dipenuhi rasa syukur. Terima kasih Tuhan... Setelah begitu lama penantianku yang serasa tak berujung ini. Kau kini begitu berbeda. Tapi aku tetap menemukan mata yang sama itu. Mata yang dulu sering bersinar jenaka. Kau kelihatan baik-baik saja. Bukan, harusnya kau lebih dari sekedar baik-baik saja. Kau sepertinya telah punya kehidupan bahagia di sana. Teman, aku ikut bahagia untukmu.

Teman, hidup ini tak pernah menjadi terlalu panjang. Membuatku mensyukuri setiap langkah yang kuayun. Juga orang-orang yang pernah datang menemaniku. Dirimu, jejak langkahmu, tak pernah aku lupakan. Selalu membekas, terkadang menjadi sebuah semangat ketika aku tengah jatuh. Terkadang menjadi sebuah penghiburan ketika aku tengah berduka. Tak ada kata yang bisa kuucapkan untuk melukiskan rasa hatiku ini. Sebelum waktu berlalu lagi dan mungkin membawamu pergi lagi, aku ingin mengucapkan terima kasihku padamu. Terima kasih, Teman... Terima kasih telah menjadi sahabatku dulu kala... Terima kasih telah membagikan senyum, tawa dan waktumu untukku...

Teman,
Kau bagai lantunan nada penghibur lara
Kau bagai sebuah tonggak yang kuat tempat kubersandar dan bangkit kembali
Kau bagai sepasang sepatu yang menemani langkah hidupku
Kau bagai matahari yang membagikan cahaya dalam kegelapan
Dan kadang kala di gelapnya malam, kau menjadi bintang kecil, yang begitu jauh di sana, kadang terlupakan olehku, namun kau selalu berkelip, mengirimkan pesan harapan bagiku...
Terima kasih...

Photo Link: http://www.crystalfloridaonline.com/images/spe429-C.jpg

Rabu, 09 Desember 2009

Pengasingan Diri...


"Jangan marah..."

Kata-kata itu belakangan kerap kudengar. Ditujukan buat diriku. Biasanya aku akan tersenyum, meski itu adalah senyum yang dipaksakan. Dan kemudian akan kujawab dengan kata-kata klise, "Aku tidak marah." Klise, bukan karena aku berbohong, tapi klise karena sudah terlalu sering aku ucapkan akhir-akhir ini. Bukan jawaban yang menyenangkan buatku, karena setiap kali aku harus mengatakannya di saat suasana hatiku sedang tidak menentu. Tapi sekali lagi, aku tidak berbohong. Aku tidak sedang marah.

"Jangan stress..."

Kata-kata itu adalah kata-kata kedua yang selalu kudengar juga belakangan ini. Biasanya kujawab dengan dua cara. Cara pertama aku tertawa pendek, cara kedua aku diam saja. Diam juga adalah sebuah jawaban. Bukan mengiyakan, juga bukan membantah, juga sebenarnya tidak bermaksud menertawakan. Hanya saja, lagi-lagi aku sebenarnya tidak ingin menjawab. Tapi bila aku tidak menjawab, akan diartikan sebagai kemarahan yang terpendam. Atau diartikan sebagai masalah yang tak terucapkan. Dan kemudian akan timbul usaha untuk mengorek dan mengorek... Semakin merasa bahwa ada sesuatu yang salah, yang harus dibenarkan. Bahwa ada sesuatu yang tidak baik yang butuh bantuan untuk membuatnya menjadi baik.

"Stop!"

Itu sebenarnya satu kata yang ingin kuucapkan setiap kali pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan klise di atas muncul. Tapi bila kata itu kuucapkan, akankah kalian mengerti? Mengerti bahwa arti sesungguhnya dari kata itu adalah berhenti? Berhenti bertanya. Berhenti menilai. Berhenti menebak. Berhenti ingin tahu. Berhenti berpikir bahwa aku membutuhkan nasehat ataupun hiburan. Hanya berhenti. Berhenti di sana. Biarkan aku di sini. Aku baik-baik saja. Hanya saja aku perlu untuk berdiri di sini, sendiri dengan diriku dan jiwaku.

Yang sebaliknya terjadi malah akan muncul kesalahpahaman. Kata stop akan membuat kalian mengira aku ini menolak cinta yang kalian berikan. Kata stop membuat rasa kecewa akan maksud baik hati kalian yang tak kumengerti. Tidak, bukan itu maksudku...

Kalau kukatakan bahwa saat ini aku sedang tak ingin berbicara, tak ingin mendengar suara apapun, tak ingin melihat siapapun atau apapun, mengertikah kalian? Aku bahkan tak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Tak ingin memasang senyum keterpaksaan, atau ekspresi sandiwara. Tapi aku juga tidak punya kemarahan atau sakit yang ingin kulampiaskan keluar. Tidak ada. Aku hanya ingin menyendiri, menarik diriku dari dunia ini. Sejenak bersama diriku saja. Dalam hening. Bahkan aku tidak berniat berbicara pada diriku sendiri.

Bila biasanya bicara adalah sesuatu yang menyenangkan bagiku, sekarang tidak. Hanya karena unsur kesopanan makanya aku masih bicara. Juga sebenarnya unsur keterpaksaan, menjawab pertanyaan-pertanyaan dan keingintahuan orang-orang. Bila biasanya mendengar adalah sesuatu yang juga sangat menyenangkan buatku, sekarang tidak. Aku sedang tak ingin mendengar apapun. Maaf, bukan karena aku tak peduli lagi. Juga bukan karena aku menjadi angkuh atau egois. Tidak. Jangan menilai diriku dari sikapku ini. Aku hanya sedang tak ingin menggunakan semua indera yang ada. Bukan karena ada yang salah pada dirimu, kalian atau orang-orang sekitar. Bukan. Ini karena diriku sendiri. Diriku yang sedang tak ingin menjadi seperti diriku yang kalian kenal.

Ada apa dengan diriku? Aku tak tahu. Aku pun tak ingin menjelaskannya. Aku sedang tak ingin. Maaf... Mungkin bisa kita bicarakan lain kali, tapi tidak saat ini. Yang aku tahu, aku harus pergi, mengasingkan diri dan jiwa untuk sejenak. Hanya itu yang kubutuhkan saat ini. Menutup pintu hati, pikiran dan jiwa untuk sesaat. Sesaat itu berapa lama? Aku tak tahu. Aku tak ingin membuat sebuah perencanaan atau perkiraan.

Bila kalian memang mau mengerti, jangan ketuk pintu itu. Jangan gedor bila tak ada jawaban dari ketukanmu. Jangan dobrak, memaksakan diri untuk masuk menemuiku. Aku butuh jarak ini. Bila kalian mengerti, biarkan aku memasang jarak ini. Tunggulah di sana, suatu saat aku akan kembali. Suatu hari pintu itu akan kembali kubuka. Dan ketika pintu itu telah siap aku buka, aku akan keluar bersama senyum, cinta dan bahagia seperti yang dulu...

Photo Link: http://www.trustile.com/images/uploads/mirror-door-closed-large.jpg

Kamis, 03 Desember 2009

Semoga Kau Bahagia...


Beberapa bulan terakhir ini aku jarang bertemu dengan Anik, pegawaiku yang selama ini setia bekerja dengan rajin. Masalahnya beberapa bulan ini aku punya kesibukan di luar. Aku pergi beberapa minggu, pulang beberapa hari dan masuk kantor kemudian pergi lagi beberapa minggu. Begitu terus. Lagipula waktu yang sedikit di kantor itu, aku benar-benar sibuk, tak punya kesempatan berbicara lama-lama pada Anik. Dia pun mungkin merasakan kesibukanku sehingga tidak berani mengajakku berbicara tentang hal-hal yang tidak penting. Padahal dulu kami sering ngobrol layaknya seorang teman baik. Dan Anik adalah seseorang yang punya banyak cerita menarik.

Suatu hari aku memanggilnya untuk memberitahu kabar baik bahwa perusahaan akan menaikkan gajinya bulan ini. Dan saat itulah dia memberitahuku sebuah kabar yang benar-benar mengejutkanku. Anik bilang bulan depan mengundurkan diri karena akan menikah. Aku sempat protes, bukan apa-apa, kenapa kabar itu diberitahukan pada saat-saat terakhir? Lagipula setahuku beberapa bulan yang lalu Anik putus dengan pacarnya. Sekarang menikah? Dengan siapa?

Anik pun bilang bahwa dia melihatku begitu sibuk. Sebentar masuk kantor, sebentar menghilang dalam waktu lama. Sebenarnya dia ingin menyampaikan berita ini sudah lama, kira-kia dua bulan yang lalu. Hanya saja dia merasa tidak punya kesempatan untuk mengatakannya. Lagi pula dia tidak berani mengatakannya ketika melihat aku tenggelam dalam kesibukan kerjaku.

Ternyata setelah putus dari pacar lamanya, Anik yang umurnya sudah mendekati kepala tiga, mendapat pernyataan cinta dari sahabat dekatnya yang ternyata diam-diam sudah menyukainya sejak lama. Dan mungkin karena Anik itu seorang perempuan sederhana yang tidak banyak menimbang, atau mungkin juga karena desakan orangtuanya, Anik akhirnya memutuskan menerima lamaran sahabatnya itu. Sedikit tidak masuk akal buatku yang selalu berpikir dasar pernikahan harusnya cinta dari dua pihak. Tapi itulah keunikan Anik. Hidupnya simple, dijalaninya seperti air yang mengalir.

Kemarin dulu adalah hari terakhir Anik bekerja. Saat jam pulang akan melepasnya, rasanya begitu berat. Bukan apa-apa, aku sudah terbiasa melihat Anik setiap hari. Aku sudah telalu nyaman dengan kehadirannya. Aku juga sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Juga telah sangat percaya akan kejujuran dan sikapnya yang selalu bertanggungjawab atas pekerjaan yang dilakukannya. Dan yang terpenting, hal sederhana yang kelihatan tidak penting namun sebenarnya sangat aku sukai adalah senyuman Anik selalu membawa kehangatan dan keceriaan di kantorku.

Anik menyalamiku dan tanpa melepaskan tanganku dia mengucapkan beribu-ribu maaf bila telah banyak melakukan kesalahan, juga sekaligus mengucapkan terima kasih karena selama ini telah menerimanya bekerja. Dia bahkan sangat berterima kasih atas pesangon yang aku berikan yang sebenarnya jumlahnya tidak terlalu besar. Satu lagi sebuah sikap yang sangat aku kagumi dari Anik, dia selalu bisa mensyukuri apa saja yang diterimanya. Dan saat melepasnya di depan pintu sekali lagi Anik menyalamiku dan menempelkan pipi kiri dan kanan ke pipiku. Membuatku terharu. Ingin rasanya memeluknya. Matanya berkaca-kaca. Aku bilang padanya bahwa aku tidak mau bersedih karena aku tidak menganggap ini sebagai sebuah perpisahan. Aku bilang bahwa aku yakin dia akan kembali lagi setelah menikah nanti, tentu saja bila suaminya menyetujui. Padahal sebenarnya aku sangat sedih. Aku juga khawatir bahwa dia tak akan kembali lagi.

Tadi sore, Anik tiba-tiba muncul di depan pintu. Aku sempat terkejut. Ternyata dia ingin mengembalikan buku yang dipinjamnya dariku. Lalu yang lebih mengejutkan, dia membawa sebuah kado untukku. Aku tanya mengapa dia memberiku sebuah kado? Dia hanya tersenyum malu dan bilang dia ingin memberikan sesuatu untukku. Aku terharu menatap sebuah kado yang dibungkus cantik dengan kertas kado ungu dan pita ungu (langsung teringat pada Ibu Kost-ku yang suka warna ungu....). Tak peduli apapun isinya, niatnya itu telah membuatku tersentuh.

Tiba-tiba hidup ini terasa begitu singkat. Teringat olehku pertemuan pertamaku dengan Anik beberapa tahun yang lalu. Aku tidak terkesan atas senyumannya. Sepertinya baru kemarin terjadi. Dan kini tiba-tiba ia harus pergi meninggalkanku. Saat ada pertemuan, selalu ada perpisahan. Perpisahan sering membawa kesedihan, saat kita tak rela melepas orang yang kita sayangi. Tapi aku mengingatkan diri untuk ikut bahagia atas kebahagiaan Anik. Untuk merestui jalan yang telah dipilihnya. Dan tak lupa untuk memanjatkan sebuah doa untuk hidup barunya. Semoga Tuhan memberinya sebuah kehidupan baru yang bahagia dan seorang suami yang mampu melihat keindahan Anik seperti aku selalu melihatnya...

Photo Link: http://stamping.thefuntimesguide.com/images/blogs/handmade-farewell-card.jpg

Kamis, 26 November 2009

Mencari Wajah Ibu


Berjalan di bawah panas terik matahari sudah menjadi hal biasa bagi Tono. Setiap hari menghirup udara Jakarta yang selalu bercampur debu tebal dan asap knalpot adalah salah satu ciri kemiskinan hidupnya. Tono adalah seorang peminta-minta di sudut sebuah jalan di ibukota ini . Bersama dengan beberapa orang yang lain dari berbagai tingkat umur, mereka menghabiskan sepanjang hari di sana, di dekat lampu merah. Terkadang mereka berteduh di bawah pohon atau sekedar duduk di samping trotoar. Tapi tetap saja, lampu merah terlalu penting untuk ditinggalkan jauh-jauh, karena benda itu selalu memberikan tanda kapan mereka harus beraksi atau pergi. Merah artinya jalan dan hijau artinya mundur.

Belakangan ini bocah itu sering meneliti wajah-wajah yang lewat di hadapannya. Orang-orang yang berjalan kaki melewatinya atau pun yang duduk di dalam mobil-mobil yang ia ketuk kaca jendelanya. Tono sedang mencari ibunya. Wanita yang melahirkannya. Entah ada di mana dirinya sekarang. Tono berharap bisa mengenalinya di antara wajah-wajah wanita yang ditemuinya setiap hari. Mungkin suatu hari nanti ia akan benar-benar bisa menemukannya. Mungkin… Bila ia berusaha keras.

Menurut cerita orang-orang di tempat tinggalnya, Tono dibuang saat masih bayi, sembilan tahun yang lalu. Tak ada yang pernah melihat wajah ibunya. Tak ada yang tahu. Mbah Upik yang membesarkannya dan Mang Asep yang menanggung seluruh biaya hidupnya selama ini. Kalau bisa dikatakan seperti itu. Soalnya sejak masih bayi hingga sekarang Tono telah ikut Mbah Upik mengemis di mana-mana.

Sejak pikiran tentang Ibu mengganggunya, dia terus berusaha mencari informasi dari orang-orang sekitarnya tentang wanita itu. Namun tak banyak yang bisa dikoreknya. Pernah ia memberanikan diri bertanya pada Mang Asep. Lelaki itu menatapnya dengan alis yang tertaut sedemikian rupa, yang menambah kesangaran wajahnya.

“Ibumu sudah mati!” katanya dengan suara menggelegar seraya berlalu meninggalkan Tono.

Semalamam Tono menangis dan kata-kata Mang Asep terus terngiang-ngiang di kepalanya. Esok paginya Tono bangun dengan mata sembab dan wajah pucat. Tak ada yang menanyakan mengapa. Tak ada yang prihatin dengan awan kesedihan di wajahnya. Mang Asep malah tampak puas ketika melihatnya. Karena semakin menyedihkan rupa Tono, semakin besar kesempatannya memperoleh penghasilan yang tinggi hari itu.

Suatu hari Tono duduk di samping Mbah Upik dan menanyakan hal yang sama dengan yang pernah dia tanyakan pada Mang Asep. Mbah Upik mengelus-elus kepala Tono dan berkata:

“Nang…Nang Nasibmu memang malang. Terima saja.”Ia memanggil Tono dengan panggilan 'Nang'- panggilan kesayangan untuk anak laki-laki Jawa.

Bukan itu jawaban yang diinginkannya. Karena itu akhirnya Tono bertekad mencari ibunya sendiri. Dia tak percaya bahwa ibunya sudah mati seperti kata Mang Asep. Tono yakin dia masih hidup, hanya entah di mana. Sebenarnya sempat terpikir oleh Tono untuk melapor ke pos polisi di seberang sana. Seperti yang sering dia lihat di siaran televisi yang biasa ditontonnya di warung di ujung lorong. Katanya polisi bisa membantu menemukan anak yang hilang. Tapi ini ibu yang hilang. Apakah mereka akan menolongnya mencari? Lagipula, Tono tak tahu bagaimana ciri-ciri ibunya itu.

Tapi pencarian ibunya tak akan dihentikan Tono, meski tidak bisa mendapatkan bantuan polisi. Dia akan mencari sendiri. Toh, dia punya tangan, kaki, mata dan mulut. Dia yakin akan menemukan Ibunya suatu hari nanti. Dia hanya harus lebih teliti memperhatikan orang-orang yang lewat setiap hari. Suatu hari nanti ibunya pasti akan lewat. Tono percaya akan hal itu.

Lampu merah menyala.

Sedan putih itu berhenti pelan. Tono mendekat.

“Bu…”

Tono mengetuk kaca jendela dan memandang ke arah wanita muda di dalam. Wanita itu menoleh, melihat Tono sekejap dan kemudian melambaikan tangannya. Tanda untuk pergi. Tono mengetuk sekali lagi dan memasang wajah yang lebih memelas. Ini yang diajarkan Mang Asep, jangan cepat menyerah. Selalu minta sekali lagi, bila kau tidak dberi uang.

Mang Asep adalah pimpinan gerombolan mereka. Tono sendiri tidak tahu siapa sebenarnya laki-laki itu. Yang dia tahu hanyalah, setiap petang menjelang gelap, mereka semua pulang ke tempat yang mereka sebut rumah dan harus menyetorkan uang hasil mengemis sepanjang hari itu kepada Mang Asep. Rumahnya, sebenarnya hanya berupa kotak kayu yang berlubang dan penuh tambalan, yang berada di sebuah lorong sempit di belakangan kawasan pembuangan sampah. Dan setelah penyetoran selesai, Mang Asep akan memberikan makian atau pukulan untuk beberapa orang yang membuatnya tak puas dan kemudian diakhiri dengan ceramah singkat agar hasil yang mereka peroleh esok hari bisa lebih banyak.

Wanita bermata belo itu menoleh lagi, tampak sedikit jengkel. Namun kali ini tangannya bergerak ke bawah jendela. Dari lubang jendela yang terbuka sedikit, ia menjatuhkan sebuah uang logam. Tono menadahnya cepat dan mengucapkan terima kasih. Wanita itu tampaknya tak mendengarnya, karena secepat tangan Tono terulur, secepat itu pula kaca mobilnya tertutup kembali.

Sebelum menghampiri mobil belakang, Tono sempat memperhatikan wajah Ibu itu sekali lagi. Harusnya dia bukan ibuku, pikir Tono. Kulit wanita itu kuning langsat, alisnya tebal dan matanya belo. Sementara Tono hampir tak beralis dan matanya tak sebesar mata wanita itu. Kulitnya? Jauh dari kuning langsat. Walau Tono sendiri tidak yakin apa warna kulitnya itu. Coklat kehitaman? Sepertinya. Tapi rasanya, mereka yang mengemis di sana, rata-rata memiliki warna kulit yang sama. Entah karena rusak terbakar matahari atau karena debu yang menempel setiap hari sudah melekat, tak bisa dicuci lagi. Tono bahkan sering tidak mandi.

Mandi adalah sebuah kemewahan di kawasan tempat tinggalnya. Butuh dua ribu perak untuk sekali mandi di WC umum. Kalau dua kali sehari berarti empat ribu perak. Kalau tiap hari dia mengurangi jatah setorannya hanya untuk mandi dua kali, Tono harus mau merelakan telapak tangan Mang Asep yang besar singgah di wajahnya. Rasanya pedas dan panas. Bahkan bisa membuatnya pusing selama berjam-jam. Tono lebih suka dengan bau menyengat tubuhnya daripada merasakan penderitaan itu.

Mobil berikutnya. Seorang wanita lebih berumur dari wanita yang tadi duduk di belakang setir. Wajahnya cantik, dandanannya tebal. Mobilnya bagus. Tono tidak tahu apa namanya. Merk-nya Toyota, tapi bentuknya seperti van hanya saja tampak lebih mewah.

Belum sempat ia mengetuk, kaca mobil telah turun. Harusnya dia kasihan melihat wajah sendu Tono. Atau tubuh ringkihnya. Selembar uang lima ribuan disodorkannya pada Tono. Tak sadar Tono tersenyum lebar.

“Terima kasih, Bu!”

Ia mengangguk dan balas tersenyum. Wangi parfumnya lewat, singgah di hidung Tono. Tono menatapnya lagi. Ah, seandainya dia ibuku… Cantik, kaya, baik… Aku pasti sangat beruntung, bisa ke mana-mana naik mobil mewah. Lagi aku pasti sangat disayang dan dimanjakan olehnya.

Suara klakson bersahutan membuat Tono tersentak. Lampu hijau. Mobil mewah itu perlahan melaju pergi, meninggalkanTono yang masih tertegun di tepi jalan. Sebuah tarikan di sikunya membuat Tono sedikit oleng ke belakang.

“Mau mati lo!” teriak Nuno di telinga Tono.

Tono tak sadar dengan kendaraan-kendaraan yang melaju di depannya.

Mata Nuno membelalak. “Wah, gila lo! Dapat duit lima ribuan! Masih pagi uda dapat banyak!”

Tono segera menyusupkan uang lima ribu tadi di saku celana rombengnya. Takut suara Nuno terdengar oleh yang lain. Bisa-bisa uangnya dirampas. Apalagi oleh Ibu Nuno, yang duduk mengemis di samping pohon itu. Tono tak pernah suka pada Ibu Nuno, walau kadang dia tak mampu menahan iri melihat Nuno memiliki Ibu kandung. Ibu Nuno itu adalah seorang wanita bertumbuh gemuk dengan rambut awut-awutan dan mulut yang senantiasa mencibir. Matanya selalu menatap siapa saja dengan tatapan mencela dan tak suka. Dia punya kebiasaan meludah setiap beberapa menit. Dan Nuno, sahabatnya itu sering menjadi bulan-bulanan makian kasarnya. Tono tak bisa membayangkan seandainya dia punya seorang Ibu seperti itu.

“Nanti aku traktir jajan ya, No,” kata Tono yang disambut Nuno dengan cengiran lebar dan jingkrakan sebelum ia berlalu pergi.

Ketika Tono mundur, dia menabrak seseorang.

“Hati-hati, Dik…”

Tono mengangkat wajah pada suara lembut itu. Dia terpana. Wajah seorang wanita muda yang terlihat begitu sabar dan lembut. Wanita itu tersenyum padanya dan tetap berdiri di tempatnya seraya memperhatikan lalu lalang kendaraan di depannya. Tampaknya dia akan menyeberang. Tono masih menatapnya, tak mampu berkata apa-apa.

Dia menoleh, melihat Tono lagi. Kali ini dia merogoh tasnya dan menyodorkan selembar ribuan pada bocah itu. Mengira Tono tengah menunggu pemberiannya. Tono bahkan tak mampu berkata-kata. Pesona wanita muda itu membuatnya lumpuh. Tapi wanita itu tak mempedulikan Tono lagi.

Tono menguatkan diri. Kalau tidak sekarang, mungkin tak ada kesempatan lain lagi.

“Bu…”

Wanita itu menoleh dengan alis naik sedikit.

“Ngg… Boleh saya bertanya?”

Ia mengangguk dengan senyum lembutnya. Mungkin tersentuh oleh kesopanan Tono.

“Ibu ini Ibu saya bukan?”

Senyuman itu hilang. Ia tampak bingung.

“Saya sedang mencari Ibu saya. Dia meninggalkan saya waktu masih bayi. Saya tidak tahu wajahnya seperti apa.”

Semenit berlalu. Tono berharap dia mengangguk dan mendengarnya berkata, Oh, kebetulan sekali sembilan tahun yang lalu saya membuang anak saya di dekat sini. Kamu pastilah anak itu. Ayo, Nak ikut Ibu pulang…

Tapi perempuan itu menggeleng. “Bukan, Dik. Saya belum menikah dan belum pernah melahirkan anak.” Sekali lagi dia tersenyum sebelum berbalik dan menyeberang. Lampu merah lagi.
* * *

Pencarian Tono rasanya tak akan pernah berujung. Hari demi hari lewat tanpa pernah menemukan dirinya, ibunya itu. Oh, Ibu di manakah dirimu berada? Rasanya begitu banyak orang yang lalu lalang setiap hari, bagaimana dia mampu menemukan wanita itu di antara mereka?

Sampai hari itu ketika Tono berjalan tak tentu arah, meninggalkan tempat bertugasnya sehari-hari jauh di belakang. Ia menemukan banyak lukisan yang tergantung di sepanjang jalan. Tempat para pelukis jalanan mangkal. Tono terpesona akan wajah-wajah yang dilukiskan mereka. Ada wajah-wajah yang dikenalnya. Wajah-wajah yang biasa dilihatnya di layar kaca. Begitu mirip.

Saat itulah terbit ide di kepalanya. Bila saja lukisan wajahnya bisa digantung di sana dan mungkin suatu hari nanti ketika ibunya lewat tempat itu dan mengenali kemiripan wajah mereka, wanita itu akan dapat menemukannya. Bukan lagi cuma dia yang bisa menemukan wanita itu. Itu pikiran Tono. Dia sama sekali tak pernah meragukan kalau ibunya masih menginginkannya. Dan dia masih yakin ibunya membuangnya dulu karena terpaksa.

Dia mendekati seorang lelaki tua yang tengah asyik melukis sebuah wajah yang mirip dengan foto kecil di samping kanvas.

“Pak…”

Lelaki itu menoleh dan matanya langsung menyipit ketika melihat Tono. Kulitnya hitam kasar, begitupun dengan jemarinya yang berbonggol-bonggol. Rambutnya panjang terurai berantakan, sementara sebuah kacamata dengan kaca kekuning-kuningan karena dimakan waktu, bertengger di atas hidungnya yang pesek.

“Saya mau dilukis, Pak,” kata Tono menatap lurus ke mata lelaki itu.

“Kamu punya uang gak?!”

Tono merogoh sakunya dan mengeluarkan semua uang yang dimilikinya. Sebagian uang lembaran seribuan yang lecek dan beberapa uang logam.

Lelaki tua itu menoleh. Matanya membesar. “Edan!!! Pergi sana! Mengganggu kerjaan orang saja!”

Tono setengah terbirit, kaget akan suara lelaki itu yang menggelegar tiba-tiba. Ditinggalkannya tempat itu. Dari sana ia berjalan perlahan, masih mengamati lukisan-lukisan sepanjang jalan. Masih dengan keinginan menggebu untuk bisa memajang foto dirinya di sana. Tapi lelaki tua tadi telah mengagetkannya. Ia tak berani lagi sembarang bertanya.

Tiba di kios terakhir, langkah kaki Tono terhenti. Enggan meninggalkan tempat itu tanpa hasil. Namun dia juga tak tahu harus bagaimana. Seorang lelaki tua, berambut putih menengok ke arahnya. Lelaki itu sedang duduk menghisap sebatang rokok. Tampak menikmati setiap kepulan yang dihembuskannya. Ia menatap Tono. Tatapan Tono dari lukisan beralih ke wajah tua itu. Lelaki tua itu tersenyum. Tono tertegun. Sedetik kemudian ia balas tersenyum sementara kakinya melangkah masuk.

“Permisi, Pak,” sapanya sopan.

“Oh iya, masuk saja. Kamu cari siapa?”

Tono ragu sejenak. Cari Ibu saya, Pak. Bapak bisa bantu?

“Nggg…. Begini, Pak. Nama saya Tono. Saya sedang mencari Ibu saya.”

“Oh… Memangnya ibumu ke mana, Nak?”

“Saya juga tidak tahu, Pak. Kata orang-orang Ibu saya ninggalin saya di pinggir rumah Mang Asep sejak saya masih bayi. Sampai sekarang Ibu tidak pernah kembali.”

Lelaki tua itu berhenti menghisap rokoknya. Ia bangkit sedikit, meluruskan punggungnya tanpa berkedip sedikitpun dari wajah Tono.

Bocah itu kemudian menceritakan usahanya belakangan ini untuk menemukan ibunya. Suara kecilnya atau mungkin ekspresi wajahnya yang polos yang membuat lelaki yang bernama Pak Ghali itu tersentuh. Kepalanya mengangguk-angguk di antara cerita yang dituturkan Tono.

“Jadi maksud kamu mau Bapak melukis wajahmu dan menggantungnya di sini?”

Tono mengangguk cepat. “Boleh, Pak?” tanyanya penuh harap. “Saya punya, tapi memang tidak banyak,” sambungnya lagi seraya merogoh sakunya kembali.

Bapak tua itu tertawa seraya bangkit dari kursinya. “Kamu yakin Ibu kamu akan mengenali wajah kamu?”

Tono mengangguk cepat. “Wajah anak pasti mirip wajah ibunya. Ya kan, Pak?”

Pak Ghali mengangkat bahunya, tak mengiyakan. “Lalu, kalau sampai kamu besar nanti kamu tidak bisa menemukan Ibu kamu, bagaimana?”

“Saya akan terus mencari, Pak. Saya hanya ingin tahu bagaimana wajah Ibu saya.” Ada kesedihan dalam suara Tono. Kepala tertunduk. Pak Ghali menepuk pundaknya.

“Begini saja anak muda,” katanya seraya menatap lurus ke wajah Tono. “Bagaimana kalau Bapak Bantu kamu melukiskan wajah Ibu kamu?”

“Bapak tahu wajah Ibu saya?”

Pak Ghali tertawa.

Tono tercengang. Jantungnya berdetak kencang. “Bapak kenal Ibu saya?”

“Tentu saja tidak. Tapi kan kamu bilang wajah anak pasti mirip wajah ibunya. Berarti wajah kamu mirip wajah ibumu. Mudah untuk melukis wajah ibumu.”

Tono tertegun, masih mencoba mencerna kata-kata Pak Ghali.

“Begini saja,” kata Pak Ghali seraya menggeser sebuah bangku kecil ke arah Tono. “Kamu duduk di sini, Bapak akan lukis wajah ibumu.”

Tono menurut tanpa mampu berkata-kata. Dan lelaki tua itu mengambil kuasnya dan kanvas baru. Beberapa saat kemudian ia mulai melakukan pekerjaannya. Matanya berpindah-pindah dari kanvas dan wajah Tono. Tono menahan napas, takut untuk bergerak. Dia takut merusak karya besar Bapak itu. Wajah ibunya.

“Kamu mau rambut ibumu panjang atau pendek, Nak?”

Tono tersentak, terkejut akan pertanyaan itu. Panjang atau pendek? Bayangan ibunya di kepalanya adalah seorang wanita lembut berambut panjang.

“Panjang, Pak,” jawabnya pelan.

“Rambutnya terurai atau disanggul?”

Kali ini senyum di wajah Tono merekah. “Sanggul, Pak,” jawabnya riang.

Kepala si Bapak terangguk-angguk, kemudian ia kembali larut dalam pekerjaannya. Hening menyelimuti tempat itu.

Entah berapa lama kemudian, yang Tono tahu hanyalah tubuhnya mulai terasa keram karena tidak digerakkan dalam waktu lama, ketika si Bapak berdiri dan berkata, “Sudah selesai.”

Lelaki itu melambai pada Tono. “Mari sini, Nak. Lihat wajah ibumu.”

Dada Tono seakan dipukul palu berat, bertalu-talu. Ia bangkit dengan kaki yang mati rasa dan sedikit gemetar. Akhirnya, untuk pertama kalinya ia akan melihat wajah ibunya.

Tono terpaku melihat lukisan sederhana itu. Wajah wanita di kanvas benar sungguh mirip wajahnya. Hanya saja wajah itu terlihat lebih halus dan tatapan matanya begitu lembut. Wanita itu tengah tersenyum ke arahnya. Tak sadar, airmatanya menitik.

“Jangan nangis, Nak. Nanti Bapak pajang lukisan ini di luar. Setiap hari kamu bisa lewat sini, memandangi wajah ibumu kalau kamu rindu. Dan semoga kalau ibumu lewat sini, dia bisa mengenali wajahnya dan singgah untuk menanyakanmu.”

Si lelaki tua menepuk-nepuk pundak Tono.

Tono berusaha tersenyum di antara tangisnya. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak…”

Dirogohnya kantong celananya dan dikeluarkannya semua uang hasil mengemis hari ini. Dia bermaksud memberikan semua uang itu pada Bapak tua yang baik hati itu. Dia tak peduli lagi bila nanti sore mesti mendapat pukulan Mang Asep. Sakit itu tak akan ada artinya dibandingkan bahagia hatinya saat ini.

Pak Ghali tertawa melihat uang yang disodorkan Tono.

“Simpan saja, Nak. Bapak mau melukis wajah ibumu karena Bapak tahu sedih hatimu. Bapak ingin membantumu.”

Tono terperangah. Tak percaya ada seseorang yang tak menginginkan uang. Tak percaya ada orang yang ikhlas dalam dunia ini.

“Tapi, Pak…”

Pak Ghali mengambil lukisan yang telah jadi itu dan menggantungnya di sudut depan kios tersebut.

“Bagaimana? Kamu suka?”

Tono mengangguk cepat, seraya menyeka sisa airmatanya. Hatinya penuh dengan rasa bahagia.

“Sudah sore, pulanglah,” kata Pak Ghali seraya menepuk kedua tangannya.

Tono mengangguk. Sekali lagi mengucapkan terima kasih dan sekali lagi memandangi wajah ibunya dengan senyum terlebar yang dimilikinya. Kini, ia tak perlu mencari-cari wajah ibunya di antara orang-orang yang lewat. Kini ia telah tahu wajah ibunya. Wajah Ibu yang selama ini dicari-carinya.

* Naskah Pemenang Utama Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR 2009) Tingkat Nasional Kategori C (Umum/ Guru/ Mahasiswa) yang diselenggarakan PT. ROHTO LABORATORIES INDONESIA & RAYA KULTURA.

* Terima kasih saya ucapkan khusus untuk G.Lini Hanafiah (Guru, Kakak dan Sahabat saya) dengan rumah Yuk Nulis yang selama ini telah banyak men-support saya hingga bisa menulis kembali. Juga kepada Mbak Henny Listyowati yang telah memberi info LMCR 2009, juga pada teman-teman yuk nulis dengan jempolnya. Dan tak lupa teman-teman di facebook yang juga telah memberikan banyak dukungan. Tanpa kalian semua, prestasi ini tak akan pernah ada...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya