Rabu, 16 Desember 2009

Goyah...

Perjalanan ini terasa semakin berat. Langkah kakiku semakin tersendat. Semakin sering kuseret kakiku, memaksanya untuk terus melangkah maju. Terseok-seok, bak seorang pincang yang gemetar, tak punya kepercayaan diri.

Apa itu semangat? Aku kini tak mengerti arti kata sederhana itu. Adakah semangat itu tertinggal di diriku ini? Inikah bukti semangat dalam diriku dengan langkah yang terseok-seok berusaha untuk tetap maju? Ataukah ini bukti dari pupusnya semangat, dan sebentar lagi mungkin akan sirna selamanya? Dan saat itu mungkin aku hanya bisa terpuruk, tak mampu lagi melangkah, bahkan tak mampu lagi berdiri.

Belakangan ini saat mataku membuka kembali, menyambut mentari, mengapa dunia terlihat begitu gelap? Mengapa hidupku terlihat suram, tak berwarna? Mengapa sinar mentari itu tak juga menyinari hidupku ini? Apa gunanya dirinya di atas sana? Bila hanya jadi hiasan indah tak berarti? Ataukah aku yang telah buta? Hatiku yang telah buta tak bisa melihat sinar indahnya? Ataukah sinar itu sebenarnya ada di sana, hanya saja aku telah menutup pintu hatiku, sehingga mataku pun tak berfungsi lagi? Hatiku gelap, hidupku juga ikut menjadi gelap. Mungkinkah?

Berulang kali kudengar kalimat ini, buka pikiran, buka hati. Berulang kali kudengar mereka bilang, pikiran mau seluas samudera, hati mau sebesar langit di atas sana. Bagaimana mungkin aku bisa meluaskan pikiran dan membesarkan hatiku? Dengan cara apa? Dengan alat apa? Lagipula bagaimana aku tahu seluas apa samudera itu? Sebesar apa langit itu?

Apa aku yang terlalu bodoh, tak mengerti apa yang mereka katakan? Benarkah aku ini bodoh? Kadang aku merasa seperti seorang idiot. Kadang aku merasa seperti orang dusun yang dihadapkan pada tempat dan situasi yang terlalu rumit untuk bisa kuhadapi. Tapi aku tak rela dikatakan bodoh. Aku tak rela dipandang rendah. Tapi semakin aku tak rela, semakin aku merasa orang-orang meremehkanku. Seakan aku ini tak punya apa-apa untuk kubanggakan. Seakan aku ini begitu miskin. Miskin segalanya. Bahkan miskin cinta...

Terkadang aku benci melihat mereka tersenyum dan bahagia. Sebenarnya aku iri pada mereka. Aku tak tahu bagaimana bisa tersenyum dan bahagia. Aku juga ingin. Tapi aku berlagak seakan aku tak tertarik pada hal itu. Berlagak seakan hal itu tidak penting bagiku. Berlagak seakan aku tak kurang suatu apapun. Padahal aku selalu terpuruk di sudut duniaku, selalu kembali meratap sendiri. Meratapi hidupku. Meratapi diriku. Meratapi orang-orang yang seakan tak pernah peduli. Ya, kesombongan diri ini begitu menjerat diriku, mungkin suatu hari nanti akan membunuhku...

Sebenarnya aku butuh mereka. Aku butuh cinta dari mereka semua. Aku butuh ditolong. Aku butuh seseorang memegang tanganku untuk menguatkan kaki dan langkahku yang goyah ini. Hanya saja aku tak tahu bagaimana harus meminta. Bukan. Aku terlalu sombong untuk meminta. Tidak... Sebenarnya bukan karena kesombongan semata, tapi lebih karena aku tak punya kepercayaan diri. Aku tak punya cukup kepercayaan bahwa diriku ini berharga di mata mereka. Juga tak punya cukup kepercayaan pada mereka. Aku takut mereka akan menolakku. Aku takut mereka akan mengecewakanku. Terlalu banyak luka hatiku yang tak sanggup kurawat dan belum mampu kurelakan untuk sembuh. Karena aku tak berani untuk percaya bahwa ada bahagia di depan sana untukku. Bahwa aku ini pantas untuk dicintai...

Photo Link: http://farm1.static.flickr.com/213/508715784_b6124f74dc.jpg

5 komentar:

  1. Angel...

    Komentarku ada di sini http://www.withhenny.com/2009/06/asa-sumber-hidup/

    :)

    BalasHapus
  2. Aku turut prihatin ama teman Mba Henny. Tulisan di atas mengenai penggambaran ttg keadaan seseorang bila dalam keadaan goyah. Tiba-tiba saja terlintas di benakku...

    BalasHapus

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya