
Bibirnya terkatup rapat. Telah habis kata. Bahkan rasa pun enggan berbicara lagi. Keberaniannya telah terkoyak, keyakinannya telah sirna. Hilang entah ke mana... Mungkin dia lelah. Mungkin dia telah patah asa, terus menerus hanya mendengar gaung suaranya sendiri. Memantul sia-sia kembali padanya.
Apa lagi yang penting untuk dikatakan? Apa lagi yang perlu untuk diucapkan? Bukankah kata-kata telah kehilangan makna? Bahkan rasa pun kini malu, menyembunyikan wajahnya. Tak mampu lagi ia bersorak dan menari-nari dengan wajah gembira. Ia merasa bak seorang aktor tanpa penonton. Di atas panggung megah berlawan dengan kursi kosong yang tak pernah terisi.
Lalu satu persatu pintu dikuncinya dengan rapat. Dikuburnya kunci-kunci itu jauh ke dalam. Berharap dengan tak melihatnya, ia akan lupa. Berharap pintu-pintu yang tertutup itu akan memutuskan semua ingatannya akan mimpi-mimpinya yang patah.
Dipejamkannya matanya. Tubuhnya menggigil, terangkul erat oleh sepi. Dibisikkannya sebuah pinta. Seandainya saja bisa, semua menghilang begitu saja saat mata kembali terbuka. Dan ada wajah dunia yang baru muncul di hadapannya. Yang punya warna, bukan hanya kelam. Yang hangat, tanpa dingin sepi...
Dan saat dibukanya kembali matanya, napasnya tertahan... Terdengar olehnya sebuah senandung lirih yang menyayat hatinya. Wajah sunyi tersenyum padanya, bersenandung dengan bahagia. Perlahan airmatanya menetes. Di sana, sendiri dalam kegelapan ia menikmati senandung sunyinya...
Photo Link: www.google.com