Rabu, 12 Januari 2011

Sometimes I Forget...


Sebatang rokok di tangannya masih menyala. Dihisapnya perlahan. Entah ini sudah batang yang ke berapa. Matanya dari tadi terus menatap lelaki di hadapannya. Lelaki yang sedari tadi terus berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tak ingin didengarnya saat itu. Namun ia tetap tinggal dalam diamnya, tak menyanggah atau menghentikannya. Ia hanya menghisap rokoknya, tanpa bisa menikmati setiap hisapan yang ada.

Ia mendengar hatinya mencoba membujuknya. Merayunya untuk membuka mulut dan menumpahkan semua isi hatinya itu. Ia tergoda, ingin sekali menyela lelaki itu. Namun bibirnya tetap terkatup rapat. Ditelannya kembali semua kata yang telah berada di ujung bibirnya, yang telah lama menunggu kesempatan untuk berlari keluar dengan bebas. Tidak. Kebebasan itu bukan miliknya...

Lelaki itu menatapnya, masih berbicara. Sesekali lelaki itu berhenti, bertanya padanya, meminta persetujuan lewat anggukan atau sekedar gumaman. Dan saat mata mereka bertemu, ia mencoba mencari sesuatu di sana. Tapi entahlah, ia tak pernah yakin akan apa yang ditemukannya di sana. Ia takut salah mengartikannya. Ia takut terlalu percaya diri atau terlalu putus asa untuk mengartikan tatapan itu.

Dihisapnya lagi rokok di tangannya yang telah memendek. Dihembuskannya asapnya perlahan. Masih ditatapnya wajah lelaki itu lewat asap tipis di hadapannya. Ditelusurinya perlahan wajah itu. Mata itu. Hidung itu. Dan bibir itu... Tak sadar ia mendesah perlahan. Mengapa begitu sulit untuk menanggalkan keraguan dan membiarkan kejujuran menunjukkan wajahnya?

Jarinya menekan sisa rokok di permukaan asbak. Diputarnya perlahan, hingga semua bara yang ada mati dan lenyap. Berharap seandainya ia pun dapat mematikan bara yang ada di dalam dadanya dan melenyapkannya selamanya. Dan saat itulah ia mendengar hatinya berbisik pelan pada lelaki itu: Sometimes i forget i'm not supposed to love you...

Photo Link: http://www.google.com

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya