Minggu, 24 Januari 2010

Sebuah Cerita Cinta...



Lelaki itu mengelus-elus kepala anak perempuan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sudah hampir dua minggu. Tak ada kemajuan yang telihat, bahkan sebaliknya, wajah mungil itu semakin terlihat menderita. Mengiris-iris hati lelaki itu, berharap seandainya saja ia bisa menggantikan tempat anak itu dan mengambil semua deritanya.

Chika, nama anak perempuan berumur sembilan tahun itu. Dia adalah anak tunggal dari sebuah keluarga berada. Chika termasuk anak yang beruntung, papa dan mamanya adalah orang-orang yang hangat dan selalu ada menemani hidupnya. Namun sayang, dalam usianya yang begitu muda Chika mengidap penyakit yang kemudian membuatnya harus berhenti bersekolah dan tinggal di rumah sakit. Penyakit yang mengambil seluruh keceriaan masa kecilnya.

Chika mengerang, sesekali terdengar suara kecilnya yang memanggil-manggil dengan susah payah. Lelaki yang adalah papanya itu mendekatkan telinganya ke mulut Chika, berusaha menangkap kata-kata yang keluar. Sesaat, Chika membuka matanya. Mulutnya yang kering dan bergerak lambat, memanggil sang Papa.

"Iya, Nak? Papa di sini."

Tangan Chika tergerak, berusaha menggapai papanya. Namun segera tangan itu terjatuh lagi. Lelaki itu segera mengambil kedua tangan anaknya dan merangkulkannya erat ke lehernya. Ditempelkannya pipinya ke pipi sang Anak. Merasakan kulit halus itu masih hangat. Sebuah rasa syukur mengaliri jiwanya yang merana.

"Papa di sini, Nak. Papa sayang padamu," bisik lelaki itu dengan suara bergetar. Sesetes airmata jatuh mengalir dari sudut matanya.

Ia teringat sembilan tahun lalu ketika ia sedang merencanakan pernikahan dirinya dan kemudian mendapati bahwa calon isterinya hamil dan bukan benih dari dirinya. Ia sangat terpukul akan kenyataan itu. Tak pernah menyangka bahwa kekasihnya yang telah empat tahun menjalin hubungan dengannya melakukan kesalah bodoh bersama lelaki lain dalam keadaan tak sadar. Sebagai lelaki, egonya menyuruhnya untuk membatalkan pernikahan dan melupakan wanita itu. Namun ia terlampau mencintai wanita itu. Mereka telah menjalin hubungan yang baik selama tiga tahun pertama, hanya saja pada tahun keempat ia mesti meninggalkan sang Kekasih dan pergi bekerja di luar negeri. Tak pernah disangkanya kepergiannya membuahkan sebuah tragedi yang hampir membuatnya depresi.

Ketika ia pulang dan mendengarkan sebuah kejujuran pahit dari sang Kekasih yang meminta maaf dan merelakannya untuk pergi, ia tak mampu meninggalkan wanita itu. Berhari-hari ia terombang-ambing tak mampu mengambil keputusan. Ia ragu. Apakah ini akan menjadi keputusan yang benar atau salah. Separuh dirinya mempertanyaan kepercayaannya pada kekasihnya itu. Separuh dirinya lagi menangis mengingat semua tragedi yang telah menimpa kekasihnya.

Dan ketika kekasihnya melahirkan, mula-mula ia dipenuhi dengan kemarahan dan penyesalan. Ia merasa kalah dan merasa telah dikhianati oleh kekasih, dunia dan Tuhan. Tapi entah mengapa, ia pergi juga menjenguk wanita itu dan bayi perempuannya. Saat itulah semua kemarahan dan penyesalannya hilang entah ke mana. Ia jatuh cinta pada bayi cantik itu. Ia melihat sosok kecil tak berdosa itu begitu rapuh dan hatinya tergerak untuk melindunginya. Ia akhirnya menyerah pada cinta. Cinta pada sosok kecil yang bahkan belum membuka matanya untuk melihat dunia. Dan cinta pada wanita yang telah menawan hatinya sejak bertahun-tahun silam. Ya, ia masih mencintai wanita itu. Dan akhirnya ia memutuskan untuk memberi maaf dan menerima wanita itu dengan keadaannya yang tidak sesempurna seperti yang ia harapkan. Memutuskan untuk berada di samping mereka berdua, dua sosok yang telah menyentuh hatinya. Juga memutuskan untuk melepas semua ego dan keraguan yang masih tersisa.

Ia ternyata mampu mencintai Chika seperti darah dagingnya sendiri. Bahkan mungkin lebih. Chika adalah sumber kebahagiaan dan tawanya. Yang kemudian membuat hidupnya lebih hidup dan bermakna. Namun, tiga tahun kemudian, sang Isteri akhirnya pergi duluan, meninggalkan dunia ini karena penyakit turunan yang di deritanya. Ia patah hati. Kesedihannya terasa begitu panjang dan menyakitkan. Namun, kehadiran Chika-lah yang membuatnya mampu bertahan dan tersenyum kembali.

Setiap hari dalam hidupnya, ia melihat Chika sebagai anugerah terbesar yang diberikan Tuhan padanya. Ia tak pernah lagi mengutuki tragedi dulu yang membuat pernikahannya menjadi tak sempurna. Ia kini bahkan melihat sebuah kesempurnaan dari takdir hidupnya.

Kini, permata hatinya itu pun sakit. Ia tak mampu berbuat apa-apa. Segala macam pengobatan telah diusahakannya. Namun sekali lagi ia harus pasrah pada nasib. Hatinya patah sekali lagi, namun ia masih tak mengutuk takdir hidupnya. Setiap hari ketika ia membuka mata dan masih menemukan gadis kecilnya bernapas, ia mengucap sebuah syukur dari hatinya yang terdalam. Masih ada satu hari lagi bersamanya. Dan dalam setiap tarikan napasnya, ia memanjatkan sebuah harap dan doa untuk diberikan kebersamaan yang lebih panjang dengan buah hatinya itu...

Photo link: http://media.photobucket.com/image/daughter with father on the bed photo/Lil_d_shorty/father-daughter.jpg

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya