Rabu, 18 Mei 2011

Masih...

Saat kekosongan itu menjadi kebisuan yang panjang, tiba-tiba aku seakan dibangunkan dari mimpi yang tak berjudul. Dan terduduk aku di sana, di ranjangku yang dingin. Menatap ke sekeliling dengan rasa asing, tak bisa mengingat di manakah aku sekarang ini? Apa yang terjadi padaku? Apa yang terjadi pada hidupku?

Bak kilatan petir yang menghilang dalam satu kedipan mata. Ketika kubuka kembali mataku semua telah lenyap tak bersisa. Hanya tinggal bayang yang semakin menipis dan menjauh. Dan ketika ingin kugapai dengan tangan ini, mengapa tak mampu kuulurkan tangan ini?

Kukatakan ingin kutinggalkan pintu yang tertutup itu. Kutiupkan asa ke hatiku, akan selalu ada pintu lain yang terbuka dengan cahaya terang menerangi. Kukuatkan langkah yang gemetar dengan berjalan lebih cepat dan tak menoleh ke belakang lagi. Kutulikan telingaku, mencoba membisukan duniaku ini. Sesulit inikah Tuhan hidup untukku?

Dan ketika kekosongan itu kembali datang, setelah membawa lari semua, aku terbaring diam masih di ranjang yang sama, ranjangku yang dingin. Aku hanya ingin menangis...

Http://www.google.co.id

Kamis, 24 Februari 2011

Senandung Sunyi....


Bibirnya terkatup rapat. Telah habis kata. Bahkan rasa pun enggan berbicara lagi. Keberaniannya telah terkoyak, keyakinannya telah sirna. Hilang entah ke mana... Mungkin dia lelah. Mungkin dia telah patah asa, terus menerus hanya mendengar gaung suaranya sendiri. Memantul sia-sia kembali padanya.

Apa lagi yang penting untuk dikatakan? Apa lagi yang perlu untuk diucapkan? Bukankah kata-kata telah kehilangan makna? Bahkan rasa pun kini malu, menyembunyikan wajahnya. Tak mampu lagi ia bersorak dan menari-nari dengan wajah gembira. Ia merasa bak seorang aktor tanpa penonton. Di atas panggung megah berlawan dengan kursi kosong yang tak pernah terisi.

Lalu satu persatu pintu dikuncinya dengan rapat. Dikuburnya kunci-kunci itu jauh ke dalam. Berharap dengan tak melihatnya, ia akan lupa. Berharap pintu-pintu yang tertutup itu akan memutuskan semua ingatannya akan mimpi-mimpinya yang patah.

Dipejamkannya matanya. Tubuhnya menggigil, terangkul erat oleh sepi. Dibisikkannya sebuah pinta. Seandainya saja bisa, semua menghilang begitu saja saat mata kembali terbuka. Dan ada wajah dunia yang baru muncul di hadapannya. Yang punya warna, bukan hanya kelam. Yang hangat, tanpa dingin sepi...

Dan saat dibukanya kembali matanya, napasnya tertahan... Terdengar olehnya sebuah senandung lirih yang menyayat hatinya. Wajah sunyi tersenyum padanya, bersenandung dengan bahagia. Perlahan airmatanya menetes. Di sana, sendiri dalam kegelapan ia menikmati senandung sunyinya...


Photo Link: www.google.com

Selasa, 08 Februari 2011

Jerat Rindu...


Aku rindu... Kerinduan ini telah menyusup dan menyebar dengan cepat ke seluruh diriku. Bukan hanya hatiku yang telah tercemari kerinduan itu, tapi juga seluruh sudut pikiranku. Ia telah mengusir semua hal lain dengan garangnya, dan bertahta menjadi raja di sana. Menggantikan wajah dunia hanya dengan sebuah wajah. Wajahnya...

Dan ketika dunia berbicara, yang kulihat hanyalah bibir-bibir bisu yang bergerak. Ruang kepalaku telah dipenuhi gaung suara yang lain. Yang tak pernah mau diam atau hilang. Suara yang selalu mempesonaku di setiap nada yang terdengar. Suaranya...

Bahkan malam-malam lelap dan panjang kini pun bukan milikku lagi. Di sana, ada bayangnya, bergerak, berkata, tertawa... Dan ketika aku terbangun dengan tak rela untuk melepaskan mimpi tentangnya, aku masih tetap belum terjaga juga dari kerinduanku. Terperangkap di sini, dalam bayangnya yang telah menjadi tembok yang memisahkan jiwa dan ragaku dari sang hari. Bahkan kini wajah mentari dan rembulan pun terlihat sama di mataku...

Lalu kumohon pada hati, tolong lepaskan kerinduan ini. Buang jauh dariku. Tak ingin lagi ku dibelenggu olehnya. Jeratnya mulai membuatku sesak dan kehilangan napas hidup. Telah lelah diri ini bermimpi tanpa henti di terang dan gelapnya hari.

Hatiku yang merana berbisik, Mimpi adalah mimpi, Sayang... Selamanya bukan nyata...

Photo Link: www.google.co.id

Rabu, 12 Januari 2011

Sometimes I Forget...


Sebatang rokok di tangannya masih menyala. Dihisapnya perlahan. Entah ini sudah batang yang ke berapa. Matanya dari tadi terus menatap lelaki di hadapannya. Lelaki yang sedari tadi terus berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tak ingin didengarnya saat itu. Namun ia tetap tinggal dalam diamnya, tak menyanggah atau menghentikannya. Ia hanya menghisap rokoknya, tanpa bisa menikmati setiap hisapan yang ada.

Ia mendengar hatinya mencoba membujuknya. Merayunya untuk membuka mulut dan menumpahkan semua isi hatinya itu. Ia tergoda, ingin sekali menyela lelaki itu. Namun bibirnya tetap terkatup rapat. Ditelannya kembali semua kata yang telah berada di ujung bibirnya, yang telah lama menunggu kesempatan untuk berlari keluar dengan bebas. Tidak. Kebebasan itu bukan miliknya...

Lelaki itu menatapnya, masih berbicara. Sesekali lelaki itu berhenti, bertanya padanya, meminta persetujuan lewat anggukan atau sekedar gumaman. Dan saat mata mereka bertemu, ia mencoba mencari sesuatu di sana. Tapi entahlah, ia tak pernah yakin akan apa yang ditemukannya di sana. Ia takut salah mengartikannya. Ia takut terlalu percaya diri atau terlalu putus asa untuk mengartikan tatapan itu.

Dihisapnya lagi rokok di tangannya yang telah memendek. Dihembuskannya asapnya perlahan. Masih ditatapnya wajah lelaki itu lewat asap tipis di hadapannya. Ditelusurinya perlahan wajah itu. Mata itu. Hidung itu. Dan bibir itu... Tak sadar ia mendesah perlahan. Mengapa begitu sulit untuk menanggalkan keraguan dan membiarkan kejujuran menunjukkan wajahnya?

Jarinya menekan sisa rokok di permukaan asbak. Diputarnya perlahan, hingga semua bara yang ada mati dan lenyap. Berharap seandainya ia pun dapat mematikan bara yang ada di dalam dadanya dan melenyapkannya selamanya. Dan saat itulah ia mendengar hatinya berbisik pelan pada lelaki itu: Sometimes i forget i'm not supposed to love you...

Photo Link: http://www.google.com

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya