Rabu, 23 Juni 2010

Sepeda Tua


Teguh memandangi bapaknya yang sedang mengelap sepeda tuanya. Tak habis pikir dia, sepeda itu sudah kelihatan sangat tua, meskipun selalu dirawat bapaknya dengan baik selama ini. Namun sudah banyak bagian yang berkarat dan aus di makan waktu. Tapi bapaknya begitu menyayangi sepeda tua itu. Bukan apa-apa, kalau dulu mereka tinggal di kampung, bagi orang-orang kampung, sepeda tua itu adalah pemandangan biasa. Namun kini, meski sudah setahun ikut dengan Teguh, tinggal di perumahan elit, bapaknya masih tetap lengket dengan sepeda itu. Ke mana-mana mengendarai sepeda itu. Membuat orang-orang se-kompleks berbisik-bisik. Lama-lama Teguh menjadi risih juga. Setengah malu, setengah takut kalau-kalau orang menilainya sebagai anak yang tidak berbakti. Membiarkan orangtuanya mengendarai sepeda butut sementara dirinya sendiri memiliki rumah megah dan mobil yang bagus.

"Pak, sepedanya sudah tua. Ganti, ya?"

Tangan keriput lelaki itu terhenti. Bapak mendongak, menatap Teguh.

"Teguh beli motor buat Bapak, ya? Kan capek mesti ngayuh sepeda terus."

Bapaknya tersenyum. "Bapak tidak tahu cara naik motor, Nak. Lagipula kelihatannya bahaya."

"Kalau begitu Teguh beli mobil saja. Nanti pakai supir, jadi ke mana-mana ada yang mengantar. Bapak tidak perlu repot lagi."

Bapak bangkit, duduk di samping Teguh. "Mobil? Mobil itu mahal. Lagipula naik mobil itu membosankan. Kalau dengan sepeda, Bapak bisa menikmati tiupan angin. Hitung-hitung juga sebagai olahraga."

Teguh mendesah. Jalan buntu. Bapak tetap bersikeras bersama sepeda tuanya. Tidak ada cara membujuknya lagi.

Bapak balik memandangi Teguh. Diamatinya wajah teguh lama.

"Kamu malu dengan sepeda Bapak?"

Teguh menelan ludah, wajahnya merona merah mendengar pertanyaan bapaknya yang seakan bisa membaca keresahan hatinya.

"Bukan begitu, Pak...," Teguh berusaha mengelak. "Hanya saja Teguh sekarang sudah mapan. Tak sepantasnya Teguh membiarkan Bapak naik sepeda tua. Bapak juga sudah tua, harusnya bisa menikmati sisa hidup yang ada."

Lelaki itu terdiam mendengar kata-kata anaknya. Ia memandangi sepeda tuanya. Ada kesedihan terpancar di wajahnya, seperti seseorang yang sebentar lagi akan dipisahkan dari kekasih hatinya.

"Sepeda ini menemani Bapak melewati banyak hal bersama-sama," katanya perlahan dengan pandangan menerawang, seakan bisa menembus masa lalu. "Saat ibumu akan melahirkanmu, Bapak mengantarnya ke Bidan dengan sepeda ini. Juga saat pertama kali kamu pulang ke rumah. Sepeda ini juga yang mengantar Bapak setiap hari ke sawah dan pulang dari sawah. Sudah banyak yang dilakukan sepeda tua ini untuk kita. Bapak merasa sayang untuk melepasnya, Nak..."

Teguh tertegun mendengar kata-kata bapaknya. Bayangan masa lalu tiba-tiba terhampar di hadapannya. Saat ia kecil, ia selalu merasa begitu senang ketika Bapak memboncengnya dengan sepeda itu. Ia duduk di belakang, tertawa girang sambil memegangi baju Bapak kuat-kuat. Teguh kecil bahkan sering tak sabar menanti saat di mana ia boleh mengayuh sendiri sepeda itu. Dan ketika hari itu tiba, ketika kaki-kaki kecilnya telah memanjang dan Bapak memperbolehkannya membawa sepeda itu berkeliling, Teguh merasa sangat bahagia. Dikayuhnya sepeda itu cepat-cepat dan ia menikmati hembusan angin di wajahnya. Ya, hembusan angin itulah yang dibicarakan bapaknya tadi! Teguh baru tersadar. Dan waktu telah bergulir dengan begitu cepat. Ia sendiri telah lupa akan rasa itu. Juga telah lupa dulu ia pernah begitu mengagumi sepeda itu. Saat sepeda itu masih muda, belum setua hari ini.

Teguh menatap sepeda tua itu, yang kini terlihat menyedihkan, seakan tahu dia tak diinginkan lagi. Kemudian tatapannya beralih pada lelaki di sampingnya, yang juga kini telah menua. Lelaki yang telah mendampingi dirinya dan membesarkannya dengan penuh kasih. Tiba-tiba Teguh merasa begitu malu pada dirinya sendiri. Hanya karena memikirkan gengsi dan rasa malunya, ia telah mengesampingkan perasaan bapaknya.

"Kalau memang menurut kamu sepeda ini tidak pantas lagi, ya sudah," kata Bapak perlahan dengan wajah pasrah, memecah kesunyian di antara mereka.

Teguh menggeleng cepat. "Maafkan Teguh, Pak. Teguh lupa akan jasa-jasa sepeda Bapak ini. Teguh juga sekarang mengerti mengapa Bapak begitu menyayangi sepeda ini. Karena sepeda ini membawa begitu banyak kenangan dalam hidup Bapak. Kenangan hidup yang tidak ingin Bapak lupakan."

Bapak menoleh, menatap Teguh dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya terlihat gemetar ketika sebuah senyuman tipis terbentuk. Ditepuk-tepuknya bahu Teguh.

"Kamu memang anak yang baik, Guh. Bapak bangga punya anak sepertimu."

Bapak lalu bangkit berdiri dan menghampiri sepeda tuanya. Dielus-elusnya kembali sepeda itu dengan rasa sayang.

Kini, sudah hampir setahun Bapak pergi meninggalkan Teguh, namun sepeda tua itu masih terparkir di halaman rumahnya yang luas. Dan kini setiap sore Teguh selalu terlihat asyik mengelap sepeda itu, sama seperti yang dikerjakan bapaknya dulu. Bahkan sesekali Teguh mengayuh sepeda itu berkeliling kompleks dengan wajah ceria. Ia tak peduli tatapan aneh dari tetangga-tetangganya. Ataupun bisikan-bisikan celaan mengenai sepeda tuanya yang terlihat tak sedap lagi dipandang mata. Biarlah mereka bicara. Mereka hanya menilai penampilan luar dari sepeda itu saja. Mereka tak pernah tahu kalau sesungguhnya sepeda itu menyimpan begitu banyak kenangan berharga yang mahal harganya. Yang tak akan pernah bisa digantikan dengan uang...


Photo Link: http://www.google.co.id/imglanding?q=foto sepeda tua&imgurl

Selasa, 22 Juni 2010

Inikah Persimpangan Itu?


Inikah persimpangan itu?

Kau mungkin tak pernah tahu apa yang telah kulewati. Jalan ini tak pernah menjadi mudah bagiku. Meski mungkin terlihat mudah di matamu. Tidak. Aku telah jatuh dan bangun berulangkali dalam usahaku untuk tetap bertahan. Namun perih di luka-lukaku ini tak tertahankan lagi. Meski aku selalu berharap luka-luka itu bisa sembuh dan aku dapat kembali kuat melangkah. Tapi tidak seperti itu adanya.

Kau tak pernah benar-benar ada di sini. Ketika aku butuh sebuah tangan untuk kupegang, hanya udara kosong yang dapat kugapai. Dan ketika langit hidupku begitu gelap dan membuat langkahku gentar, aku berharap ada sebuah pelita yang kau hadirkan di sini. Namun selalu, kembali aku hanya mampu sendiri memaksa diri meredam kegentaran jiwa ini. Memaksa untuk terus melangkah maju. Berharap bisa menemukanmu di depan sana. Mungkin tinggal beberapa langkah lagi. Atau hanya tinggal selangkah lagi...

Namun kau tak pernah ada di sini ataupun di sana. Seperti seorang pemimpi yang tak pernah ingin bangun dari tidurnya, aku pun terus melangkah dan berdendang, menghibur laraku sendiri. Membisikkan kata-kata penghiburan untuk telingaku sendiri. Dan meniupkan doa ke atas sana. Tuhan, tolong pertemukan kami...

Tapi, kakiku terasa begitu lelah kini. Tak mampu kuseret lagi. Meski masih ada sedikit asa yang tertinggal yang bercampur dengan ketidakrelaan untuk melepas impian hati. Tapi aku sungguh tak mampu lagi melangkah. Dan meskipun telah kuhabiskan waktu di sini, merenungkan perjuangan ini, berusaha mengumpulkan kembali semangat yang menyala seperti dulu, tak ada yang berubah. Tak ada yang terjadi. Masih, hanya aku di sini. Sendiri dalam lelahku. Di mana kau? Akankah ada hari di mana kau datang membawa pelita itu dan menggenggam tanganku untuk berjalan bersama?

Penantian ini serasa tak memiliki akhir. Seperti juga jalan ini, seakan tak berujung. Aku tak ingin lagi melangkah. Tak mampu. Jiwaku telah berontak. Meminta sebuah pembebasan untuk memilih jalan yang lain. Jalan yang dinaungi terang. Begitu menggoda. Begitu ingin kulepaskan jiwaku berlari serta mengajak ragaku ikut bersamanya. Meninggalkan jalan berliku ini, tempat kuberharap menemukanmu. Tapi aku masih tak rela. Tak rela melepaskan semua rasa dan asaku tentangmu. Tahukah kau? Rasakah kau apa yang kurasakan ini?

Apa itu bahagia? Bila hati dan jiwa terpenjara pada ikatan janji yang entah kapan menjadi nyata. Bagaimana mungkin bahagia itu bisa kugapai? Dan bila penjara ini kudobrak dengan paksa, akankah kusesali suatu hari nanti? Siapakah yang tahu? Kau? Tapi bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan jawab darimu, sementara dirimu sendiri tak mampu kutemukan di sini.

Inikah persimpangan itu? Bila akhirnya aku melangkah di jalan yang berbeda, akankah kecewa dirimu ketika kau tak menemukanku di sini, setia menunggumu? Bila kulakukan semuanya untuk bahagia diri ini, akankah kau tahu bahwa telah kuhabiskan ribuan malam menantimu di sini? Bahwa akhir seperti ini tak pernah kuinginkan terjadi?

Photo Link: google

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya