
Beberapa bulan terakhir ini aku jarang bertemu dengan Anik, pegawaiku yang selama ini setia bekerja dengan rajin. Masalahnya beberapa bulan ini aku punya kesibukan di luar. Aku pergi beberapa minggu, pulang beberapa hari dan masuk kantor kemudian pergi lagi beberapa minggu. Begitu terus. Lagipula waktu yang sedikit di kantor itu, aku benar-benar sibuk, tak punya kesempatan berbicara lama-lama pada Anik. Dia pun mungkin merasakan kesibukanku sehingga tidak berani mengajakku berbicara tentang hal-hal yang tidak penting. Padahal dulu kami sering ngobrol layaknya seorang teman baik. Dan Anik adalah seseorang yang punya banyak cerita menarik.
Suatu hari aku memanggilnya untuk memberitahu kabar baik bahwa perusahaan akan menaikkan gajinya bulan ini. Dan saat itulah dia memberitahuku sebuah kabar yang benar-benar mengejutkanku. Anik bilang bulan depan mengundurkan diri karena akan menikah. Aku sempat protes, bukan apa-apa, kenapa kabar itu diberitahukan pada saat-saat terakhir? Lagipula setahuku beberapa bulan yang lalu Anik putus dengan pacarnya. Sekarang menikah? Dengan siapa?
Anik pun bilang bahwa dia melihatku begitu sibuk. Sebentar masuk kantor, sebentar menghilang dalam waktu lama. Sebenarnya dia ingin menyampaikan berita ini sudah lama, kira-kia dua bulan yang lalu. Hanya saja dia merasa tidak punya kesempatan untuk mengatakannya. Lagi pula dia tidak berani mengatakannya ketika melihat aku tenggelam dalam kesibukan kerjaku.
Ternyata setelah putus dari pacar lamanya, Anik yang umurnya sudah mendekati kepala tiga, mendapat pernyataan cinta dari sahabat dekatnya yang ternyata diam-diam sudah menyukainya sejak lama. Dan mungkin karena Anik itu seorang perempuan sederhana yang tidak banyak menimbang, atau mungkin juga karena desakan orangtuanya, Anik akhirnya memutuskan menerima lamaran sahabatnya itu. Sedikit tidak masuk akal buatku yang selalu berpikir dasar pernikahan harusnya cinta dari dua pihak. Tapi itulah keunikan Anik. Hidupnya simple, dijalaninya seperti air yang mengalir.
Kemarin dulu adalah hari terakhir Anik bekerja. Saat jam pulang akan melepasnya, rasanya begitu berat. Bukan apa-apa, aku sudah terbiasa melihat Anik setiap hari. Aku sudah telalu nyaman dengan kehadirannya. Aku juga sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Juga telah sangat percaya akan kejujuran dan sikapnya yang selalu bertanggungjawab atas pekerjaan yang dilakukannya. Dan yang terpenting, hal sederhana yang kelihatan tidak penting namun sebenarnya sangat aku sukai adalah senyuman Anik selalu membawa kehangatan dan keceriaan di kantorku.
Anik menyalamiku dan tanpa melepaskan tanganku dia mengucapkan beribu-ribu maaf bila telah banyak melakukan kesalahan, juga sekaligus mengucapkan terima kasih karena selama ini telah menerimanya bekerja. Dia bahkan sangat berterima kasih atas pesangon yang aku berikan yang sebenarnya jumlahnya tidak terlalu besar. Satu lagi sebuah sikap yang sangat aku kagumi dari Anik, dia selalu bisa mensyukuri apa saja yang diterimanya. Dan saat melepasnya di depan pintu sekali lagi Anik menyalamiku dan menempelkan pipi kiri dan kanan ke pipiku. Membuatku terharu. Ingin rasanya memeluknya. Matanya berkaca-kaca. Aku bilang padanya bahwa aku tidak mau bersedih karena aku tidak menganggap ini sebagai sebuah perpisahan. Aku bilang bahwa aku yakin dia akan kembali lagi setelah menikah nanti, tentu saja bila suaminya menyetujui. Padahal sebenarnya aku sangat sedih. Aku juga khawatir bahwa dia tak akan kembali lagi.
Tadi sore, Anik tiba-tiba muncul di depan pintu. Aku sempat terkejut. Ternyata dia ingin mengembalikan buku yang dipinjamnya dariku. Lalu yang lebih mengejutkan, dia membawa sebuah kado untukku. Aku tanya mengapa dia memberiku sebuah kado? Dia hanya tersenyum malu dan bilang dia ingin memberikan sesuatu untukku. Aku terharu menatap sebuah kado yang dibungkus cantik dengan kertas kado ungu dan pita ungu (langsung teringat pada Ibu Kost-ku yang suka warna ungu....). Tak peduli apapun isinya, niatnya itu telah membuatku tersentuh.
Tiba-tiba hidup ini terasa begitu singkat. Teringat olehku pertemuan pertamaku dengan Anik beberapa tahun yang lalu. Aku tidak terkesan atas senyumannya. Sepertinya baru kemarin terjadi. Dan kini tiba-tiba ia harus pergi meninggalkanku. Saat ada pertemuan, selalu ada perpisahan. Perpisahan sering membawa kesedihan, saat kita tak rela melepas orang yang kita sayangi. Tapi aku mengingatkan diri untuk ikut bahagia atas kebahagiaan Anik. Untuk merestui jalan yang telah dipilihnya. Dan tak lupa untuk memanjatkan sebuah doa untuk hidup barunya. Semoga Tuhan memberinya sebuah kehidupan baru yang bahagia dan seorang suami yang mampu melihat keindahan Anik seperti aku selalu melihatnya...
Photo Link: http://stamping.thefuntimesguide.com/images/blogs/handmade-farewell-card.jpg