
Semalam Drew bilang ingin bercerai pada suaminya, Vint. Lalu Vint membalas dengan berkata besok dia akan membeli Audi A8, mobil yang diimpi-impikan Drew selama ini, untuk Drew. Tak ada pertanyaan,
Mengapa ingin bercerai dariku? Dan tak ada pembahasan dengan topik,
Kita harus menyelesaikan masalah dalam perkawinan ini. Yang ada hanyalah Vint berlalu, masuk ke kamar tidur dan ketika Drew menyusul setengah jam kemudian, ia menemukan lelaki yang telah mengawininya hampir tiga tahun itu telah mendengkur.
Esoknya, bukannya ke kantor pengacara seperti yang sudah direncanakannya, Drew malah berada di dalam showroom mobil Audi. Dan hanya dalam setengah jam saja semua urusan surat-surat diselesaikan. Pembelian atas nama Drew, pembayaran dilakukan Vint tunai. Benar-benar menunjukkan ketulusan hati Vint tanpa cela dan tanpa celah. Yang artinya bila Drew melangkah keluar dari showroom itu dan menjual mobil itu serta kembali mengajukan tuntutan cerai, Vint tak bisa bebuat apa-apa. Yang artinya juga, cinta Vint tak bersyarat. Namun Drew tidak luluh sama sekali ketika menerima kwitansi pembayaran itu. Tak ada ekspresi di wajahnya. Tawar.
Seminggu kemudian mobil itu siap, Vint mengantar Drew menjemput impiannya. Wajah Vint berseri-seri, merasa begitu bangga bisa menghadiahkan sesuatu yang sangat berharga untuk wanita yang dicintainya. Tapi wajah Drew datar, meski si sales mobil menatapnya penuh rasa iri. Dia tidak merasa seberuntung seperti yang dipikirkan si sales mobil.
Drew mengendarai sendiri mobil barunya keluar dari showroom. Sampai di lampu merah kedua, Drew mengambil handphonenya, memencet tuts-tutsnya dengan cepat dan berbelok ke tikungan yang berbeda dengan arah pulang ke rumah mereka. Isi sms-nya singkat:
Aku perlu udara segar. Malam baru pulang. Jangan tunggu aku. Dan Drew kemudian menginjak gas lebih dalam, meninggalkan sedan hitam yang dikendarai Vint di belakang. Ya, dia benar-benar butuh udara segar. Dadanya mulai terasa sesak meski dalam mobil baru yang masih berbau baru itu.
Di cafe Geographer, Drew berhenti. Mengambil tempat di sudut, memesan tequila, meskipun sebenarnya masih terlalu siang untuk minuman seperti itu. Handphone-nya berbunyi beberapa kali. Ia hanya mengecek sebentar dan mengacuhkannya. Vint. Pesan singkat, misscall. Akhirnya Drew memutuskan mematikan handphone-nya. Biarkan saja lelaki itu stress memikirkannya. Drew tiba-tiba merasa marah sekali, dia merasa begitu bodoh.
Permintaan cerai dipatahkan dengan sebuah Audi? Dia merasa seperti seorang anak kecil yang baru saja dibohongi seorang dewasa dengan sebuah permen. Dan bagaimana bila manis permen itu telah habis???
Vint mengira bisa membeli cinta dan dirinya dengan materi. Pertukaran ini benar-benar tidak layak dan pantas. Lagipula, kenapa juga dia menyetujuinya? Harusnya malam itu juga dia menolak dengan tegas dan mengunjungi lawyer pada hari berikutnya. Mengajukan tuntutan cerai, menyeret Vint ke pengadilan dan memintanya atau memaksanya menandatangani surat cerai. Dan beberapa bulan dari sekarang dia sudah bebas dari kemelut ketidakbahagiaannya selama ini. Bagai burung gereja di luar sana, bisa terbang ke mana saja dan berkicau sesukanya. Tapi sekarang? Drew menatap Audi-nya yang terparkir di seberang jalan. Kilat dan mewah. Ia tiba-tiba merasa begitu benci pada mobil itu.
Mobil sialan! Dari siang hingga malam, Drew berpindah-pindah dari cafe yang satu ke cafe yang lain. Entah sudah berapa macam minuman alkohol yang diteguknya. Dan entah sudah berapa banyak. Drew merasa menjadi perhatian beberapa laki-laki yang datang sendirian dan sepertinya punya misi mencari pasangan.
One night stand? Meski pikirannya sedang kacau, begitupun dengan hubungannya dengan Vint, Drew tak pernah berpikir sedikitpun untuk mencari perhatian atau cinta sesaat dari laki-laki lain. Drew tahu semua itu tidak berarti. Hanya akan membawa kerumitan yang disertai penyesalan tak berujung. Bukan itu yang dicarinya. Bukan. Dia mencari kebahagiaannya yang hilang. Bahagia yang dulu miliknya.
Entah mengapa, belakangan ini Drew terus menerus merasa telah membuat pilihan yang salah dengan memilih Vint sebagai suaminya. Vint yang baik, Vint yang sukses, Vint yang tampan. Apa yang kurang dari dirinya? Harusnya tidak ada. Tapi memang ada yang kurang bagi Drew. Hanya saja Drew tak mampu mengatakannya secara langsung, walaupun ia berencana mengatakannya bila Vint menanyakannnya. Namun sialnya, Vint tak pernah menanyakannya.
Mengapa kau terlihat tidak bahagia bersamaku? Mengapa kau ingin bercerai? Drew sendiri bingung tak pernah dikejar dengan pertanyaan semacam itu. Vint tak pernah menuntut penjelasan, meski mereka berdua tahu ada yang salah di antara mereka. Seakan-akan perkawinan mereka adalah drama membosankan yang tidak boleh dicemari oleh keributan dan perselisihan bodoh.
Drew merasa pantas marah pada Vint. Marah karena Vint tak benar-benar peduli akan rasa dan keinginannya untuk bahagia. Vint yang mengira materi bisa membuat Drew tinggal di sisinya. Ia bahkan tak peduli bila hati Drew sebenarnya tak ada di sana. Drew merasa Vint bukan seorang lelaki yang pantas untuk dikagumi atau dicintai. Tidak. Dulu cintanya belum ada pada lelaki ini, sampai kapanpun tak akan diberikannya juga.
Drew membayangkan Vint yang menunggunya seharian. Mungkin dengan kemarahan terpendam yang akhirnya akan ditumpahkannya. Bayangkan saja bila kau baru menghadiahkan isterimu sebuah Audi A8, lalu isterimu itu menghilang seharian hingga larut malam, dengan kondisi tak dapat dihubungi, dan kemudian dia pulang dalam keadaan setengah mabuk dan kembali minta cerai? Tiba-tiba Drew merasa puas dengan imajinasi di dalam kepalanya. Wajah Vint yang memerah menahan marah, ekspresi seakan-akan dia baru saja dikhianati... Itu bayaran yang setimpal setelah lelaki itu tidak menggubris permintaan cerai-nya, malah berusaha membeli cintanya dengan sebuah Audi.
Akhirnya Drew tiba juga di rumah. Seperti dugaannya, Drew bahkan tidak perlu repot-repot memasukkan kunci rumah, karena Vint yang membukakan pintu untuknya. Drew bahkan tak menatap wajah laki-laki yang sebentar lagi bukan suaminya itu. Ia berlalu begitu saja, meski hatinya menunggu sebuah pertanyaan atau tuntutan penjelasan dari Vint. Karena dengan satu pertanyaan itu saja, Drew berencana akan menuntaskan drama membosankan ini dengan cepat dan sesuai dengan apa yang telah diputuskannya. Tak boleh ada yang salah lagi kali ini. Tak boleh termakan rayuan materi. Kali ini tak ada yang bisa dibeli Vint. Drew telah bersumpah pada dirinya sendiri!
Ketika Drew masuk ke kamar, Vint mengekorinya. Drew melempar kunci Audy-nya ke meja rias, menimbulkan bunyi keras. Ia sengaja, memancing reaksi Vint. Tak sabar menunggu pertanyaan Vint. Namun masih sunyi. Tak sabar Drew berbalik menghadapi Vint yang tengah berdiri diam memperhatikan dirinya. Mata mereka bertemu. Ada kemarahan di sana, bukan di mata Vint, tapi di mata Drew.
"Aku ingin bercerai," kata Drew membuka suara dengan tegas.
Tak ada reaksi.
Drew mulai tak sabar. Emosinya naik lebih tinggi.
"Kau boleh tidak menanyakan mengapa. Tapi aku tetap mau bercerai. Audi-mu? Aku kembalikan. Aku tak mau. Aku tak suka lagi Audi. Aku lebih suka kebebasanku, tanpamu. Tak peduli kau tak mengerti dan tak mau mengerti. Aku juga tak peduli lagi bila kau menolak. Karena aku telah putuskan ingin bercerai darimu. BERCERAI," kata Drew berapi-api dengan menekankan kata terakhir dengan penekanan yang kuat.
Kembali hening. Vint masih berdiri di sana, tanpa suara, tanpa gerakan.
Drew semakin tak tahan. Benar-benar manusia berhati batu!
"Kau..." kata-kata Drew tertahan. Ia menghentakkan kakinya dengan kesal. "Sudahlah! Aku tak mau lagi berbicara denganmu. Tak berguna! Semua ini memang tidak perlu dibicarakan! Aku tidak perlu menjelaskan apapun, karena memang kau tak butuh penjelasan itu. Semua ini tidak penting!"
Drew berbalik, masuk ke dalam kamar mandi, membanting pintu kamar mandi dan terduduk di toilet, menangis. Ia menangis terisak-isak. Harusnya ia merasa bahagia dan menang telah melontarkan kembali keputusannya untuk bercerai, namun mengapa ia malah menangis? Apa yang ditangisinya? Drew sendiri tak tahu, namun ia merasa ia begitu tidak bahagia. Padahal ia mengira setelah mengumumkan keinginan bercerai ia akan bisa lepas dari ketidakbahagiaannya. Drew tiba-tiba merasa begitu gagal dan merasa begitu kesepian. Seperti dirinya berada seorang diri di dunia ini, tak punya siapa-siapa. Tak punya cinta. Dan di luar sana ada seorang lelaki yang telah mengawininya, berjanji selalu menemaninya sampai maut memisahkan mereka. Tapi sebelum maut itu datang, Drew sudah merasa terpisah darinya ribuan tahun. Tak terjangkau lagi.
Entah berapa lamanya Drew berada di dalam kamar mandi itu. Dia sendiri tak menyadari waktu yang telah berlalu, hingga airmatanya telah mengering. Dan ia merasa begitu lelah. Dan ruangan itu masih sesunyi sebelumnya, seakan hanya dia satu-satunya manusia yang ada di rumah itu. Pikirannya kembali teringat pada Vint, yang kini harusnya tengah tidur lelap, tak mengerti dengan kesedihan dan kemarahan wanita yang sebentar lagi bukan isterinya itu. Vint yang baik, Vint yang sukses, Vint yang tampan. Vint yang tak pernah benar-benar jadi miliknya. Vint yang tak pernah benar-benar menyentuh hatinya dengan cinta.
Pintu kamar mandi dibukanya dan betapa terkejutnya Drew mendapati Vint berdiri tepat di depan pintu. Baru saja Drew akan akan membuka mulut ketika Vint tiba-tiba memeluknya. Pelukan yang begitu erat yang membuat Drew hampir tak bisa bernapas. Terlalu erat, seakan-akan ingin berkata bahwa ia tak ingin melepaskan Drew lagi. Tak pernah rela untuk itu.
"Jangan tinggalkan aku, Drew. Ajari aku bagaimana membuatmu bahagia."
Drew tertegun. Jantungnya seakan berhenti saat itu juga. Berapa lama ia menunggu sebuah kalimat itu keluar dari mulut Vint? Dan ketika Vint melepaskan pelukannya dan mata mereka bertemu, saat itulah Drew jatuh cinta pada Vint untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya cinta Vint menyentuh hatinya.
Photo Link: http://images.google.com