Kamis, 14 Januari 2010

Sebuah Kisah Tentang Dirinya...


Wajah yang dihiasi kerutan-kerutan itu terlihat begitu sedih. Mata indah bulat yang biasanya memancarkan ketegasan diri kini berkaca dan mulai memerah. Bibir tipisnya gemetar, menceritakan kisah puluhan tahun yang lalu, yang membuatku terpaku tak bisa berkata-kata.

Dia menikah karena perjodohan keluarganya. Suaminya adalah seorang lelaki tampan, anak pertama yang dalam adat keluarga Tionghoa merupakan penerus keluarga. Karenanya setelah menikah, dia ikut bersama suaminya tinggal di dalam rumah mertuanya.

Ibu mertuanya adalah seorang wanita kolot yang sangat menjunjung tinggi aturan-aturan lama. Karena itu, sebagai menantu yang baik, dia harus melayani sang Ibu mertua dalam kesehariannya. Mulai dari menyiapkan air cuci muka di pagi hari, air panas untuk mandi sang Ibu dan juga menu makanan yang sesuai dengan kemauan wanita itu.

Kesehariannya adalah bekerja. Dari sejak ia membuka mata hingga menutup mata lagi di malam hari, ia harus membereskan semua pekerjaan rumah dan membuat ibu mertuanya tenang. Bila tidak, ia harus siap menerima segala kemarahan sang Ratu keluarga. Terkadang ia menginginkan sebuah hiburan, pergi melihat dunia luar bersama sang Suami, namun kerutan di dahi mertuanya dan tatapan yang tak suka membuatnya sering mengurungkan niatnya. Baginya kata 'kebebasan' adalah sebuah kata asing yang tak akan pernah mampu diraihnya.

Kebahagiaan terbesarnya datang ketika ia melahirkan seorang puteri cantik. Walaupun itu berarti pekerjaannya semakin bertambah banyak. Meskipun juga, sebenarnya kehadiran puterinya tersebut tak disambut dengan baik dalam keluarga karena sesuai dengan kepercayaan dan adat orang-orang mereka, anak perempuan tidak lah seberharga anak laki-laki. Seandainya saja ia melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia akan mendapat perlakuan istimewa, begitupun dengan sang Anak.

Namun malang, anak tersebut kemudian sakit. Ia tak mengerti sakit apa yang diderita anaknya itu. Suatu hari ia menemukan puteri cantiknya itu tak bernapas lagi. Yang lebih menyedihkan lagi ketika mertuanya melarang dirinya ikut pada penguburan anak tersebut. Ia hanya bisa melihat jasad anaknya dibawa oleh orang-orang yang tak dikenalnya dengan kepasrahan total seorang menantu. Tak pernah ada acara penguburan seperti yang biasa dilakukan bila seorang anggota keluarga telah berpulang. Seakan-akan bayi mungil itu tak juga mendapat pengakuan dari keluarga besarnya. Dan ketika ia bertanya pada orang-orang di rumahnya di mana anak tersebut dikuburkan, tak ada yang dapat memberinya sebuah jawaban. Meski suaminya sendiri. Hingga hari ini, dia masih terus bertanya-tanya sendiri, di mana tubuh puterinya berada. Ia ingin bisa berziarah ke makam sang Puteri seperti yang biasa ia lakukan pada kerabat-kerabat yang telah pergi, namun bagaimana mungkin itu dilakukannya? Ia takut bila saja jasad puterinya itu telah dibuang begitu saja, di tempat yang tidak layak. Dan itu membuat kecemasan dan kesedihan hatinya tak pernah berakhir.

Hari ini tiba-tiba dia mengisahkan sepotong kisah pahit itu dengan linangan airmata. Aku tak mampu berkata-kata. Tertegun, tak pernah menyangka kisah masa lalunya begitu keras dan kejam. Selama ini aku mengenalnya sebagai wanita yang keras dan selalu mampu memutuskan segala sesuatunya sendiri. Yang seakan-akan mampu menggenggam dunia di tangannya. Sosok yang membuatku segan namun juga menaruh hormat padanya. Tak pernah kubayangkan dirinya pernah hidup dalam tekanan aturan keras yang telah menorehkan luka dalam hatinya.

Terkadang aku protes akan sikap kerasnya dan begitu banyak larangan-larangan yang dikeluarkannya. Terkadang aku tak mengindahkan aturan-aturan yang diterapkannya. Namun ada juga banyak saat di mana aku luluh melihat betapa besarnya hati dan cintanya untuk kami. Di balik semua sikap kerasnya, dia masih punya selautan perhatian dan kasih sayang yang diberikannya. Bahkan tak pernah sekalipun dia berkeinginan mengulang kisah yang sama, kisah dulu, di mana menantu menjadi jajahan mertua.

Aku tak pernah dituntutnya untuk melayani. Bahkan kerap kali ketika aku mengunjunginya, yang memang hanya bisa kulakukan beberapa kali dalam setahun karena jarak yang memisahkan kami antar negara, dia yang menyiapkan semua makanan untukku. Bahkan dia tahu apa saja makanan kesukaanku. Tiap kali aku datang, makanan-makanan tersebut sudah terhidang di meja makan. Membuatku merasa begitu dicintai sekaligus membuatku merasa malu dan tak enak, mengingat statusku ini. Bahkan dia sering melarangku mengerjakan pekerjaan rumahnya. Namun aku selalu senang membantunya, melihat wajahnya yang bahagia ketika aku mau meringankan bebannya meski hanya dengan pekerjaan-pekerjaan rumah yang ringan dan sepele.

Ya, dia Ibu mertuaku. Wanita bersosok mungil yang sering kali terlihat susah untuk dimengerti dan banyak menuntut. Namun juga merupakan wanita penyayang yang punya banyak cinta dan kasih sayang. Ia selalu tampak tegar. Selalu tampak kuat di mataku. Namun hari ini dia menangis di hadapanku. Aku hanya bisa mengelus pundaknya, menggenggam tangannya. Tak mampu menghiburnya dengan kata-kata penghiburan apapun. Aku hanya memanjatkan sebuah doa kepada Tuhan. Berharap Dia menyembuhkan luka hati dan memberi sebuah ketenangan jiwa pada wanita hebat ini. Karena bagaimanapun juga, apapun yang telah terjadi di masa yang lalu tak bisa lagi untuk diubah. Namun satu hal yang aku temukan di matanya, cinta seorang Ibu pada puteri mungilnya hingga kini masih ada di hatinya yang lembut. Cinta itu tak pernah berubah, meskipun empat puluh tahun telah lama berlalu...

Photo Link: http://www.luminousplayhouse.com/wp-content/uploads/mother-daughter3.jpg

Senin, 11 Januari 2010

Sadness...


Aku menolak untuk menangis. Tidak aku tidak sedang ingin menangis. Aku juga menolak untuk marah. Marah tak baik untuk diriku. Aku percaya bahwa bila hati masih memiliki harapan dan keyakinan, pasti ada jalan untuk mencerahkan semua yang keruh ini.

Tapi ketika kata tak lagi berguna. Ketika ketulusan dan kejujuran tak lagi menjadi sesuatu yang dihargai, lalu bagaimana kekeruhan bisa dijernihkan kembali? Dan ketika kepercayaan hanyalah sebuah kata kosong tak bermakna, apa lagi yang bisa kau agungkan?

Diam? Ya, kini aku memilih untuk diam. Diam seribu bahasa. Karena telah habis seluruh kata-kataku kugunakan. Telah kutumpahkan semua ketulusan dan kejujuran hati yang pada akhirnya harus pulang kembali padaku dengan wajah lesu bak seorang pejuang yang kalah di medan perang.

Aku baik-baik saja. Itu kukatakan pada diriku setiap hari. Itu yang kuingatkan pada diriku setiap saat.

Tapi, beberapa hari ini, tubuhku mulai menolak kata-kata itu. Tubuhku mulai mengingkari pernyataan itu. Langkahku mulai goyah. Gerakanku mulai terasa lemah. Dan bahagiaku kini bersembunyi tak mau menampakkan wajahnya.

Tak bisa kubohongi diriku. Tak bisa kuiming-imingkan hari esok yang lebih berwarna. Ya, diriku tengah berduka. Berduka untuk pengkhianatan beruntun yang datang dari orang-orang yang kukasihi. Orang-orang yang selama ini berkata satu hati denganku. Orang-orang yang selama ini begitu manis dan indah bersikap di hadapanku. Namun pada akhirnya mereka jualah yang mematahkan semua harapan dan semangat diriku ini.

Sakit. Hatiku sakit seperti diiris mata pisau yang tajam. Dan kini hatiku terluka. Meski aku menolak untuk mengakuinya, luka itu ada di sana. Menganga dan perih. Meski aku tetap diam dalam ketenangan menjalani hari-hari ini dan berusaha tetap menolak semua rasa sakit dan duka itu, kini tubuhku memberontak, tak mau menurut.

Kini ada yang salah dengan tubuhku. Bukan karena virus atau penyakit yang menjadi penyebabnya. Tapi sakit hatiku lah yang membuatnya ikut melemah dan sakit. Sebuah tanda dari tubuhku untuk membangunkanku dari kepura-puraan diri. Aku seakan mendengarnya berteriak: "Menangislah! Marahlah!"

Mungkin bila aku dapat menangis dan berteriak marah, tubuhku tak perlu ikut sakit. Mungkin bila aku dapat menangisi kekecewaan hatiku ini, mungkin kini aku baik-baik saja. Hanya saja aku terlalu angkuh untuk meneteskan airmataku. Bukan. Bukan angkuh sebenarnya. Mungkin kau pun tak akan mengerti. Terlalu banyak kekecewaan yang tak ingin lagi kubahas dan kurenungkan lagi. Aku hanya ingin melupakan semuanya tanpa perlu mengingatnya lagi. Namun sayang, pikiran dan hatiku kini telah merekam semuanya dengan sangat jelas. Dan hatiku ini, ternyata tak pernah sekuat baja. Kini dia bersembunyi di sudut jiwaku, mengecil dan tak tampak seindah dulu. Ia bak sebuah tanaman yang melayu karena tak mendapatkan siraman cinta.

Tadi malam, aku tiba-tiba teringat pada-Nya. Rindu bercakap-cakap dengan-Nya lagi. Tapi kemudian kututup mataku dan kupaksakan diriku untuk melupakan-Nya juga. Tidak, aku tak ingin mempertanyakan-Nya. Aku tak ingin menyalahkan-Nya. Dan saat ini, aku bukan seseorang yang dapat berbicara dengan baik pada-Nya. Aku tahu bukan diri-Nya yang salah. Akulah yang bertemu orang-orang yang salah. Orang-orang yang tak tahu akan nilai kepercayaan dan ketulusan. Dan itu yang membuat aku tak mengerti. Itu yang membuatku terus bertanya: "Mengapa?" Dan pertanyaan itu tak pernah berjawab. Semua alasan yang ada rasanya tak pernah menjadi logis dan benar. Dan tetap tak bisa kutemukan jawaban yang bisa mendamaikan hatiku. Atau mengikhlaskan rasa sakitku untuk hilang. Tak pernah rela... Tak pernah...

Tapi aku tak ingin mendendam. Aku tak pernah ingin membenci. Namun, aku juga tak pernah bisa mengerti dan menerima. Membuat diriku semakin terpuruk dalam duka yang tak berakhir. Menyalahkan diri sendiri yang tak pernah lelah menyimpan harap yang seakan tak berguna sama sekali. Tak pernah mau menyerah. Terlalu keras kepala...

Penyangkalan rasa ini benar-benar menguras semua energi tubuh dan jiwaku. Aku harus berhenti. Karena tak ada energi yang tersisa untukku bertahan dalam topeng kedamaian ini. Aku butuh untuk menangis. Menangisi semua sakit dan kecewa hatiku. Mengeluarkan semua caci maki yang terpendam, yang selama ini tabu untuk kuucapkan. Dan semoga bila semua telah kulakukan, hatiku akan kembali membesar dan bersinar. Dan semoga, ketika luka telah kututup dan kusembuhkan, bahagia mau kembali menampakkan wajahnya padaku...

Tolong doakan aku...

Photo Link: http://www.desicomments.com/user/2008/03/6177/14277-Sad_butterfly.jpg

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya