
Wajah yang dihiasi kerutan-kerutan itu terlihat begitu sedih. Mata indah bulat yang biasanya memancarkan ketegasan diri kini berkaca dan mulai memerah. Bibir tipisnya gemetar, menceritakan kisah puluhan tahun yang lalu, yang membuatku terpaku tak bisa berkata-kata.
Dia menikah karena perjodohan keluarganya. Suaminya adalah seorang lelaki tampan, anak pertama yang dalam adat keluarga Tionghoa merupakan penerus keluarga. Karenanya setelah menikah, dia ikut bersama suaminya tinggal di dalam rumah mertuanya.
Ibu mertuanya adalah seorang wanita kolot yang sangat menjunjung tinggi aturan-aturan lama. Karena itu, sebagai menantu yang baik, dia harus melayani sang Ibu mertua dalam kesehariannya. Mulai dari menyiapkan air cuci muka di pagi hari, air panas untuk mandi sang Ibu dan juga menu makanan yang sesuai dengan kemauan wanita itu.
Kesehariannya adalah bekerja. Dari sejak ia membuka mata hingga menutup mata lagi di malam hari, ia harus membereskan semua pekerjaan rumah dan membuat ibu mertuanya tenang. Bila tidak, ia harus siap menerima segala kemarahan sang Ratu keluarga. Terkadang ia menginginkan sebuah hiburan, pergi melihat dunia luar bersama sang Suami, namun kerutan di dahi mertuanya dan tatapan yang tak suka membuatnya sering mengurungkan niatnya. Baginya kata 'kebebasan' adalah sebuah kata asing yang tak akan pernah mampu diraihnya.
Kebahagiaan terbesarnya datang ketika ia melahirkan seorang puteri cantik. Walaupun itu berarti pekerjaannya semakin bertambah banyak. Meskipun juga, sebenarnya kehadiran puterinya tersebut tak disambut dengan baik dalam keluarga karena sesuai dengan kepercayaan dan adat orang-orang mereka, anak perempuan tidak lah seberharga anak laki-laki. Seandainya saja ia melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia akan mendapat perlakuan istimewa, begitupun dengan sang Anak.
Namun malang, anak tersebut kemudian sakit. Ia tak mengerti sakit apa yang diderita anaknya itu. Suatu hari ia menemukan puteri cantiknya itu tak bernapas lagi. Yang lebih menyedihkan lagi ketika mertuanya melarang dirinya ikut pada penguburan anak tersebut. Ia hanya bisa melihat jasad anaknya dibawa oleh orang-orang yang tak dikenalnya dengan kepasrahan total seorang menantu. Tak pernah ada acara penguburan seperti yang biasa dilakukan bila seorang anggota keluarga telah berpulang. Seakan-akan bayi mungil itu tak juga mendapat pengakuan dari keluarga besarnya. Dan ketika ia bertanya pada orang-orang di rumahnya di mana anak tersebut dikuburkan, tak ada yang dapat memberinya sebuah jawaban. Meski suaminya sendiri. Hingga hari ini, dia masih terus bertanya-tanya sendiri, di mana tubuh puterinya berada. Ia ingin bisa berziarah ke makam sang Puteri seperti yang biasa ia lakukan pada kerabat-kerabat yang telah pergi, namun bagaimana mungkin itu dilakukannya? Ia takut bila saja jasad puterinya itu telah dibuang begitu saja, di tempat yang tidak layak. Dan itu membuat kecemasan dan kesedihan hatinya tak pernah berakhir.
Hari ini tiba-tiba dia mengisahkan sepotong kisah pahit itu dengan linangan airmata. Aku tak mampu berkata-kata. Tertegun, tak pernah menyangka kisah masa lalunya begitu keras dan kejam. Selama ini aku mengenalnya sebagai wanita yang keras dan selalu mampu memutuskan segala sesuatunya sendiri. Yang seakan-akan mampu menggenggam dunia di tangannya. Sosok yang membuatku segan namun juga menaruh hormat padanya. Tak pernah kubayangkan dirinya pernah hidup dalam tekanan aturan keras yang telah menorehkan luka dalam hatinya.
Terkadang aku protes akan sikap kerasnya dan begitu banyak larangan-larangan yang dikeluarkannya. Terkadang aku tak mengindahkan aturan-aturan yang diterapkannya. Namun ada juga banyak saat di mana aku luluh melihat betapa besarnya hati dan cintanya untuk kami. Di balik semua sikap kerasnya, dia masih punya selautan perhatian dan kasih sayang yang diberikannya. Bahkan tak pernah sekalipun dia berkeinginan mengulang kisah yang sama, kisah dulu, di mana menantu menjadi jajahan mertua.
Aku tak pernah dituntutnya untuk melayani. Bahkan kerap kali ketika aku mengunjunginya, yang memang hanya bisa kulakukan beberapa kali dalam setahun karena jarak yang memisahkan kami antar negara, dia yang menyiapkan semua makanan untukku. Bahkan dia tahu apa saja makanan kesukaanku. Tiap kali aku datang, makanan-makanan tersebut sudah terhidang di meja makan. Membuatku merasa begitu dicintai sekaligus membuatku merasa malu dan tak enak, mengingat statusku ini. Bahkan dia sering melarangku mengerjakan pekerjaan rumahnya. Namun aku selalu senang membantunya, melihat wajahnya yang bahagia ketika aku mau meringankan bebannya meski hanya dengan pekerjaan-pekerjaan rumah yang ringan dan sepele.
Ya, dia Ibu mertuaku. Wanita bersosok mungil yang sering kali terlihat susah untuk dimengerti dan banyak menuntut. Namun juga merupakan wanita penyayang yang punya banyak cinta dan kasih sayang. Ia selalu tampak tegar. Selalu tampak kuat di mataku. Namun hari ini dia menangis di hadapanku. Aku hanya bisa mengelus pundaknya, menggenggam tangannya. Tak mampu menghiburnya dengan kata-kata penghiburan apapun. Aku hanya memanjatkan sebuah doa kepada Tuhan. Berharap Dia menyembuhkan luka hati dan memberi sebuah ketenangan jiwa pada wanita hebat ini. Karena bagaimanapun juga, apapun yang telah terjadi di masa yang lalu tak bisa lagi untuk diubah. Namun satu hal yang aku temukan di matanya, cinta seorang Ibu pada puteri mungilnya hingga kini masih ada di hatinya yang lembut. Cinta itu tak pernah berubah, meskipun empat puluh tahun telah lama berlalu...
Photo Link: http://www.luminousplayhouse.com/wp-content/uploads/mother-daughter3.jpg