
Aku menolak untuk menangis. Tidak aku tidak sedang ingin menangis. Aku juga menolak untuk marah. Marah tak baik untuk diriku. Aku percaya bahwa bila hati masih memiliki harapan dan keyakinan, pasti ada jalan untuk mencerahkan semua yang keruh ini.
Tapi ketika kata tak lagi berguna. Ketika ketulusan dan kejujuran tak lagi menjadi sesuatu yang dihargai, lalu bagaimana kekeruhan bisa dijernihkan kembali? Dan ketika kepercayaan hanyalah sebuah kata kosong tak bermakna, apa lagi yang bisa kau agungkan?
Diam? Ya, kini aku memilih untuk diam. Diam seribu bahasa. Karena telah habis seluruh kata-kataku kugunakan. Telah kutumpahkan semua ketulusan dan kejujuran hati yang pada akhirnya harus pulang kembali padaku dengan wajah lesu bak seorang pejuang yang kalah di medan perang.
Aku baik-baik saja. Itu kukatakan pada diriku setiap hari. Itu yang kuingatkan pada diriku setiap saat.
Tapi, beberapa hari ini, tubuhku mulai menolak kata-kata itu. Tubuhku mulai mengingkari pernyataan itu. Langkahku mulai goyah. Gerakanku mulai terasa lemah. Dan bahagiaku kini bersembunyi tak mau menampakkan wajahnya.
Tak bisa kubohongi diriku. Tak bisa kuiming-imingkan hari esok yang lebih berwarna. Ya, diriku tengah berduka. Berduka untuk pengkhianatan beruntun yang datang dari orang-orang yang kukasihi. Orang-orang yang selama ini berkata satu hati denganku. Orang-orang yang selama ini begitu manis dan indah bersikap di hadapanku. Namun pada akhirnya mereka jualah yang mematahkan semua harapan dan semangat diriku ini.
Sakit. Hatiku sakit seperti diiris mata pisau yang tajam. Dan kini hatiku terluka. Meski aku menolak untuk mengakuinya, luka itu ada di sana. Menganga dan perih. Meski aku tetap diam dalam ketenangan menjalani hari-hari ini dan berusaha tetap menolak semua rasa sakit dan duka itu, kini tubuhku memberontak, tak mau menurut.
Kini ada yang salah dengan tubuhku. Bukan karena virus atau penyakit yang menjadi penyebabnya. Tapi sakit hatiku lah yang membuatnya ikut melemah dan sakit. Sebuah tanda dari tubuhku untuk membangunkanku dari kepura-puraan diri. Aku seakan mendengarnya berteriak: "Menangislah! Marahlah!"
Mungkin bila aku dapat menangis dan berteriak marah, tubuhku tak perlu ikut sakit. Mungkin bila aku dapat menangisi kekecewaan hatiku ini, mungkin kini aku baik-baik saja. Hanya saja aku terlalu angkuh untuk meneteskan airmataku. Bukan. Bukan angkuh sebenarnya. Mungkin kau pun tak akan mengerti. Terlalu banyak kekecewaan yang tak ingin lagi kubahas dan kurenungkan lagi. Aku hanya ingin melupakan semuanya tanpa perlu mengingatnya lagi. Namun sayang, pikiran dan hatiku kini telah merekam semuanya dengan sangat jelas. Dan hatiku ini, ternyata tak pernah sekuat baja. Kini dia bersembunyi di sudut jiwaku, mengecil dan tak tampak seindah dulu. Ia bak sebuah tanaman yang melayu karena tak mendapatkan siraman cinta.
Tadi malam, aku tiba-tiba teringat pada-Nya. Rindu bercakap-cakap dengan-Nya lagi. Tapi kemudian kututup mataku dan kupaksakan diriku untuk melupakan-Nya juga. Tidak, aku tak ingin mempertanyakan-Nya. Aku tak ingin menyalahkan-Nya. Dan saat ini, aku bukan seseorang yang dapat berbicara dengan baik pada-Nya. Aku tahu bukan diri-Nya yang salah. Akulah yang bertemu orang-orang yang salah. Orang-orang yang tak tahu akan nilai kepercayaan dan ketulusan. Dan itu yang membuat aku tak mengerti. Itu yang membuatku terus bertanya: "Mengapa?" Dan pertanyaan itu tak pernah berjawab. Semua alasan yang ada rasanya tak pernah menjadi logis dan benar. Dan tetap tak bisa kutemukan jawaban yang bisa mendamaikan hatiku. Atau mengikhlaskan rasa sakitku untuk hilang. Tak pernah rela... Tak pernah...
Tapi aku tak ingin mendendam. Aku tak pernah ingin membenci. Namun, aku juga tak pernah bisa mengerti dan menerima. Membuat diriku semakin terpuruk dalam duka yang tak berakhir. Menyalahkan diri sendiri yang tak pernah lelah menyimpan harap yang seakan tak berguna sama sekali. Tak pernah mau menyerah. Terlalu keras kepala...
Penyangkalan rasa ini benar-benar menguras semua energi tubuh dan jiwaku. Aku harus berhenti. Karena tak ada energi yang tersisa untukku bertahan dalam topeng kedamaian ini. Aku butuh untuk menangis. Menangisi semua sakit dan kecewa hatiku. Mengeluarkan semua caci maki yang terpendam, yang selama ini tabu untuk kuucapkan. Dan semoga bila semua telah kulakukan, hatiku akan kembali membesar dan bersinar. Dan semoga, ketika luka telah kututup dan kusembuhkan, bahagia mau kembali menampakkan wajahnya padaku...
Tolong doakan aku...
Photo Link: http://www.desicomments.com/user/2008/03/6177/14277-Sad_butterfly.jpg
menangis dan menyalurkan kemarahan dengan cara yang benar, menjaga keseimbangan emosi dan kesehatan jiwa kita.
BalasHapusentah fiksi atau non fiksi, tulisan ini membuatku trenyuh..