Sabtu, 10 April 2010

Rasa Yang Terpenjara...


Bila nurani membisu dan rasa meraja, aku akan bisa menemukanmu di sini. Di sisi menjadi milik diri, bukan angan semata. Akankah ada akhir dari perjuangan batin ini, dengan diri sendiri sebagai lawan? Babak belur diri ini. Berdarah-darah. Pukulanku menjadi sakit dan lukaku sendiri. Hanya demi sebuah rasa. Hanya demi seseorang. Dirimu...

Tak pernah menjadi yakin apakah rasa ini begitu pantas aku perjuangkan. Hanya ketika kau ada di sini, tersentuh oleh jiwa dan raga, akalku menjadi lemah. Tak lagi mampu meneriakkan banyak tanya. Inikah kekuatan cinta? Cintakah ini?

Terkadang seperti seorang diri di dunia ini. Tak berteman. Bahkan dengan diri sendiri. Adakah yang bisa mengerti? Adakah yang akan mengerti? Adakah yang mau mencoba untuk mengerti? Sementara diri pun terkadang masih keras menyangkal. Seakan tak pernah rela melepaskan sedikit iba untuk rasaku.

Berharap kau punya jawab yang pasti. Yang bisa kupegang erat untuk jadi pelita jalan ini. Tak peduli pelita itu tak pernah menjadi seterang adanya pelita. Sungguh, aku tak peduli. Meski sinarnya redup, namun harapku ia tak akan pernah padam. Cukup untukku. Cukup untuk menerangi jalan sempit tak mudah ini. Jalan kecil milikku bersamamu. Karena hanya di jalan ini aku bisa menemukanmu. Dirimu menjadi milikku.

Salahkah aku? Salahkan aku. Tak akan kubela diri. Akan kududuki kursi dakwaan itu dengan kepasrahan. Bila memang ini yang harus kulakukan sebagai penebusan rasa. Rasaku ini yang terpenjara di hati. Yang mungkin selamanya tak akan pernah mendapatkan sayapnya untuk bisa terbang bebas.

Photo Link: http://images.google.co.id/imglanding?q=heart in jail photo&imgurl

Senin, 05 April 2010

Tentang Djuna

Namanya Djunaedi. Aku sempat bingung harus memanggilnya apa. Waktu aku bertanya, dia menyuruhku memanggilnya dengan nama Edi. Edi? Hmmm... Kayaknya tidak sesuai dengan tampang. Teman-temannya malah memanggilnya dengan panggilan Suneo (temannya Nobita dalam cerita Doraemon). Alasannya? Mungkin karena wajahnya yang mirip Suneo. Mirip? Sedikit, cuma ini Suneo versi Jawa, bukan Jepang.

Pertama kali bertemu dia, jujur aku tidak terkesan sama sekali. Malah aku sempat berpikir, benar mau diterima bekerja orang ini? Masalahnya, tampangnya itu tidak meyakinkan. Rambutnya kriwil, lebih ke arah acak-acakan. Matanya besar, tapi tidak berani menatap ke arah orang yang mengajaknya bicara. Suaranya? Serak dan tidak jelas. Saat wawancara saja, aku merasa agak kesal dengan sahutannya yang terdengar buru-buru, sebelum mendengar habis apa yang aku katakan. Satu lagi, tampangnya lesu, seperti orang yang tidak cukup gizi dan semangat hidup. Maaf...

By the way, akhirnya Djuna diterima juga bekerja (akhirnya aku memanggilnya Djuna, karena memang rasanya lebih cocok!). Hari pertama dia naik ke lantai dua, mau ke toilet. Ia membungkuk dengan tangan di depan, sikap minta permisi. Dia melihatku lalu menunduk, mengeluarkan suara tak jelas. Aku menatapnya bingung. Begitupun dengan yang lain. Dia mengeluarkan suara tak jelas lagi dengan kikuk (ini pengaruh gugup), membuatku bertanya: apa??? Akhirnya dia menunjuk ke belakang, yang membuat kami semua bergumam: ooooh... Dan meledaklah tawa kami setelah itu. Benar-benar manusia aneh bagiku. Membuat aku semakin ragu dengan keputusan menerima dirinya, karena aku tipe orang yang suka pada orang yang percaya diri.

Aku tidak terlalu memperhatikan cara dia bekerja, soalnya dia bekerja di lantai satu, sementara aku sibuk di lantai dua. Cuma sesekali ketika aku turun, aku selalu menemukan dia sedang mengerjakan ini dan itu dengan serius. Tapi pikirku, biasalah anak baru masih fresh jadi selalu rajin...

Sampai satu hari aku mesti turun langsung ke bawah, mengawasi pekerjaan di lantai satu. Aku melihat Djuna bekerja dengan cepat, lebih cepat dari teman-temannya yang lain. Dan ketika aku mencari sesuatu dan bertanya tanpa menujukan pertanyaanku pada satu orang, si Djuna yang langsung berdiri dan mencari sesuatu itu dan memberikannya padaku. Hmmm... Not bad! Sangat bertolak belakang dengan kesan lesu dari wajah dan tubuhnya yang kurus. Dan seharian itu aku mengamati keseriusannya bekerja. Dia malah mengingatkan teman-teman lainnya untuk bekerja lebih cepat. Bahkan ketika ada yang bermalas-malasan, si Djuna langsung mengambil sekarton barang baru dan meletakkan karton itu di depan si pemalas. Dan ternyata tampang Suneo-nya (galak) bisa keluar juga. Aku sempat mendengar dia mengomeli temannya yang melakukan kesalahan. Padahal saat berhadapan denganku, si Djuna selalu tampak gugup dan pasrah pada nasib, alias tidak punya ketegasan sama sekali.

Suatu hari saat pulang kerja, aku berada di luar, melihat Djuna menyalakan motornya. Suara motornya ampuuuun! Bisa membuat orang-orang se-erte bangun. Ada yang salah di motornya, mengeluarkan suara seperti sapi sedang disembelih. Si Djuna terlihat gelagapan dengan wajah merah padam. Lama dia hanya duduk berjongkok di samping motornya dan memegang motor itu, tampak prihatin seperti tengah menjagai orang sakit. Aku akhirnya bertanya dan mendengarkan cerita motor yang mengalami kecelakaan dan kemudian baru keluar dari bengkel itu dengan keadaan yang tak baik juga. Akhirnya karena iba, aku memberi si Djuna kasbon untuk membawa motornya ke bengkel esok hari. Wajahnya langsung cerah bak langit biru.

Kemarin saat menerima gaji pertamanya, dia tersenyum lebar. Tetap terlihat jelek...hahaha... Maaf... Aku pesan padanya, kerja yang rajin. Dan dia mengiyakan dengan cepat (khas Djuna, yang tidak bisa basa-basi). Tapi kesan pertamaku kini berubah terhadap Djuna. Yang aku lihat kini adalah seseorang yang rajin, jujur dan punya semangat kerja yang tinggi. Walaupun tampangnya masih lesu, juga tubuh kurusnya masih selalu terlihat melengkung, namun bila aku butuh sesuatu, aku yakin dia akan tergopoh-gopoh datang untuk segera membantuku. Membuatku jadi bersyukur akan satu lagi orang baik yang dikirimkan Tuhan untuk membantuku. Terima kasih Tuhan. Dan terima kasih Djuna... ^0^

Palsu

Kau tak seindah kau yang terlihat. Kau juga tak sebaik kau yang terucap. Wajahmu, senyummu itu... Semua palsu. Kau tutupi bopeng dan parut di sana dengan sebuah topeng malaikat polos tak berdosa. Dan seringai kejammu, kau gantikan dengan senyum manis bersahabat.

Kau selalu ingin terlihat sempurna. Baik raga maupun jiwamu. Selalu memberi. Selalu berbagi. Selalu memiliki hati yang besar. Namun dibalik semua yang terlihat itu, hatimu lebih kecil dari pasir di pantai. Dan pemberianmu hanya wujud pemenuhan kesombongan diri. Dan sikap berbagimu selalu disertai sebuah alasan tersembunyi. Alasan yang selalu ada hanya untuk kepentingan diri dan egomu sendiri.

Kau terlalu palsu. Selalu palsu. Tak punya ketulusan dan kejujuran. Namun dalam katamu selalu kau ucapkan kata kejujuran. Dan dalam tindakan serta sikapmu kau pamerkan ketulusan. Agar orang-orang memuja dan memujimu. Agar orang-orang terpesona akan dirimu. Dan memang banyak yang akhirnya cinta padamu.

Tapi aku tidak. Dulu iya. Dulu aku begitu lugu mengira itulah dirimu yang sejatinya. Sebelum akhirnya kutemukan topeng wajah malaikatmu terlepas dari buruk wajahmu. Sebelum akhirnya aku terjerat dalam keserakahan hatimu. Sebelum akhirnya aku terpuruk jatuh dalam kecewa akan kepalsuan dirimu.

Tidakkah kau lelah berpura-pura? Tidakkah kau ingin lepaskan topengmu? Biarkan dunia melihat wajahmu yang sesungguhnya. Meski tak seindah yang kau inginkan namun tetap saja parut di wajahmu itu lebih indah karena mengandung kejujuran.

Kau tersenyum padaku dan bilang bahwa dirimu padaku selalu akan menjadi sahabat selamanya. Aku tak setuju. Maaf. Aku tak suka kepalsuan. Dan dirimu hanya pernah menjadi sahabat dalam lembar cerita hidupku yang telah kututup dengan paksa. Ya, telalu banyak kecewa dan sakit di sini, di hatiku. Yang kau hadiahkan tanpa ada rasa kasihan sedikitpun. Dan bagiku itu bukan perbuatan seorang sahabat.

Kau masih begitu palsu di hadapanku. Berbicara mengenai ketulusan dirimu. Mengira aku akan sekali lagi terperdaya. Mengira aku akan sekali lagi terbuai. Tidak. Aku tak sebodoh itu. Cukup sudah sekali salah langkahku. Cukup sudah asaku untukmu. Cukup sekali saja kau porak porandakan hati dan hidupku.

Aku tak punya maaf untukmu. Percuma kau katakan maaf berkali-kali. Karena tak kutemukan ketulusan dalam katamu itu. Hanya kosong tak bermakna. Hanya sebuah kata yang tak punya martabat lagi ketika kau ucapkan. Sumbang. Hampa. Kelam.

Pergilah. Jangan dekati aku lagi. Obralan kata dan senyum palsumu tak lagi akan kubeli. Juga tak akan kuterima meski kau berikan gratis. Kecuali bila telah datang kesadaran dirimu yang murni dengan semua parut dan borokmu. Kecuali bila kerendahan hatimu telah berhasil mengalahkan kesombongan dan ego kesempurnaan dirimu. Bila saja kau yang sebenarnya menawarkan kata persahabatan itu, mungkin, mungkin akan kubuka hatiku sekali lagi untukmu...

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya