Senin, 05 April 2010

Palsu

Kau tak seindah kau yang terlihat. Kau juga tak sebaik kau yang terucap. Wajahmu, senyummu itu... Semua palsu. Kau tutupi bopeng dan parut di sana dengan sebuah topeng malaikat polos tak berdosa. Dan seringai kejammu, kau gantikan dengan senyum manis bersahabat.

Kau selalu ingin terlihat sempurna. Baik raga maupun jiwamu. Selalu memberi. Selalu berbagi. Selalu memiliki hati yang besar. Namun dibalik semua yang terlihat itu, hatimu lebih kecil dari pasir di pantai. Dan pemberianmu hanya wujud pemenuhan kesombongan diri. Dan sikap berbagimu selalu disertai sebuah alasan tersembunyi. Alasan yang selalu ada hanya untuk kepentingan diri dan egomu sendiri.

Kau terlalu palsu. Selalu palsu. Tak punya ketulusan dan kejujuran. Namun dalam katamu selalu kau ucapkan kata kejujuran. Dan dalam tindakan serta sikapmu kau pamerkan ketulusan. Agar orang-orang memuja dan memujimu. Agar orang-orang terpesona akan dirimu. Dan memang banyak yang akhirnya cinta padamu.

Tapi aku tidak. Dulu iya. Dulu aku begitu lugu mengira itulah dirimu yang sejatinya. Sebelum akhirnya kutemukan topeng wajah malaikatmu terlepas dari buruk wajahmu. Sebelum akhirnya aku terjerat dalam keserakahan hatimu. Sebelum akhirnya aku terpuruk jatuh dalam kecewa akan kepalsuan dirimu.

Tidakkah kau lelah berpura-pura? Tidakkah kau ingin lepaskan topengmu? Biarkan dunia melihat wajahmu yang sesungguhnya. Meski tak seindah yang kau inginkan namun tetap saja parut di wajahmu itu lebih indah karena mengandung kejujuran.

Kau tersenyum padaku dan bilang bahwa dirimu padaku selalu akan menjadi sahabat selamanya. Aku tak setuju. Maaf. Aku tak suka kepalsuan. Dan dirimu hanya pernah menjadi sahabat dalam lembar cerita hidupku yang telah kututup dengan paksa. Ya, telalu banyak kecewa dan sakit di sini, di hatiku. Yang kau hadiahkan tanpa ada rasa kasihan sedikitpun. Dan bagiku itu bukan perbuatan seorang sahabat.

Kau masih begitu palsu di hadapanku. Berbicara mengenai ketulusan dirimu. Mengira aku akan sekali lagi terperdaya. Mengira aku akan sekali lagi terbuai. Tidak. Aku tak sebodoh itu. Cukup sudah sekali salah langkahku. Cukup sudah asaku untukmu. Cukup sekali saja kau porak porandakan hati dan hidupku.

Aku tak punya maaf untukmu. Percuma kau katakan maaf berkali-kali. Karena tak kutemukan ketulusan dalam katamu itu. Hanya kosong tak bermakna. Hanya sebuah kata yang tak punya martabat lagi ketika kau ucapkan. Sumbang. Hampa. Kelam.

Pergilah. Jangan dekati aku lagi. Obralan kata dan senyum palsumu tak lagi akan kubeli. Juga tak akan kuterima meski kau berikan gratis. Kecuali bila telah datang kesadaran dirimu yang murni dengan semua parut dan borokmu. Kecuali bila kerendahan hatimu telah berhasil mengalahkan kesombongan dan ego kesempurnaan dirimu. Bila saja kau yang sebenarnya menawarkan kata persahabatan itu, mungkin, mungkin akan kubuka hatiku sekali lagi untukmu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya