Minggu, 20 Desember 2009

Sepiring Nasi Ayam...


Wanita itu menaruh sepiring nasi ayam di hadapan William. Ada enam butir nasi berbentuk bola dan ayam rebus yang telah dipotong-potong. William tak langsung menyantapnya. Lama ia hanya memandangi hidangan itu. Teringat olehnya kisah belasan tahun yang lalu...

Saat itu umurnya masih sangat muda. Siang itu ia berjalan berkeliling, tanpa uang sepeser pun di sakunya. Nasibnya buruk. Ia sudah tidak bekerja beberapa bulan. Dan uang simpanannya, hasil tabungannya dari pekerjaannya yang terakhir sudah dihabiskannya kemarin malam. Tak ada sisa sepeser pun di kantongnya.

Meskipun beberapa bulan ini ia telah berusaha mengirit keperluan sehari-harinya, tetap saja uangnya terus mengalir keluar. Pemasukan kecil-kecilan yang diperolehnya dengan bekerja part time ke sana kemari tak juga mampu menambah simpanan uangnya. Biaya hidup di kota itu terlalu besar. Ia harus membayar sewa kamarnya yang sempit, belum lagi mengisi perutnya dua kali sehari.

Ia belum juga menemukan pekerjaan tetap, meski ia terus mencari. Terkadang ia merasa begitu putus asa, berpikir untuk membeli tiket bus dan kembali ke kota asalnya. Pikirnya, paling tidak di kampung halamannya, masih ada rumah orangtuanya untuknya bernaung gratis. Dan juga makanan untuk mengisi perutnya setiap hari. Namun teringat akan sikap ayahnya yang keras dan keadaan keluarganya yang juga miskin, membuat William tetap bertahan di kota itu. Tak ingin mendengar celaan ayahnya atas usahanya yang tak berhasil. Juga tak ingin membuat ibunya khawatir. Karena itu William bertekad tak akan pulang sebelum ia berhasil.

Namun, seakan langit pun tak merestui langkahnya. Tak ada pintu yang terbuka yang terlihat olehnya. Meski ia tak juga berhenti mencari, kakinya mulai terasa letih melangkah. Begitu pun dengan hatinya yang mulai goyah. Semangatnya mulai hilang dan rasa putus asa mulai merangkulnya. Apalagi dari pagi hingga siang itu ia tak juga menemukan satu pekerjaan pun. Padahal sudah berjam-jam ia berkeliling. Perutnya mulai terasa perih. Kerongkongannya terasa kering, bak padang pasir.

Ia berhenti di sebuah kedai nasi ayam. Kedai itu kedai kecil namun sangat ramai. Pastilah nasi ayam kedai itu enak, sehingga pengunjungnya banyak. Lama William berdiri memandangi orang-orang yang sedang makan. Ia menelan ludah beberapa kali. Perutnya mulai berteriak-teriak tak mau lagi berkompromi. Lama ia terlihat bimbang sampai akhirnya kakinya melangkah, menghampiri meja di sudut, dekat sebuah jalan kecil.

Ia duduk di sana, menatap ke sekeliling dengan gugup. Tangannya yang basah, disembunyikannya di bawah meja, tak sadar meremas celana panjang lusuh yang dikenakannya.

Seorang bapak mendekat dan bertanya padanya. William memesan nasi ayam sepiring tanpa ayam. Hanya nasi saja, tekannya. Bapak itu kemudian bertanya lagi, ia ingin minum apa? William menggeleng cepat. Akhirnya bapak tua itu pun berlalu.

Tak lama kemudian bapak itu kembali dengan sepiring nasi ayam berbentuk bola. Sesaat William masih memandangi nasi ayam itu, masih tampak ragu. Tapi kemudian tangannya terulur, meraih sumpit di meja. Tangannya bergetar, berusaha menahan sumpit agar tak jatuh. Lalu ia mulai makan dengan tergesa. Ia bahkan tak bisa menikmati kelezatan nasi ayam tersebut. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Dan pikirannya terlalu kacau saat itu. Hanya sekejap saja, keenam nasi ayam itu telah lenyap, pindah ke dalam perutnya. William mengangkat wajahnya dengan takut-takut, mencuri pandang ke sekeliling. Dan ketika ia melihat pemilik kedai sibuk melayani orang lain dalam posisi membelakangi dirinya, ia cepat-cepat berdiri dan kemudian berlari sekencang-kencangnya. Ia bahkan tak sadar sudah berlari berapa lama, berapa jauh. Yang ia tahu ia hanya terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Ia takut bila ada suara yang memanggilnya atau ada langkah yang mengejarnya di belakang.

Sampai di sebuah jalan kecil, William menikung masuk dan berhenti dengan napas yang hampir putus. Ketika ia mengintip ke arah jalan di belakangnya dan tak menemukan siapa-siapa di sana, barulah ia bisa menarik napas lega. Kakinya tiba-tiba langsung terasa lemah, membuatnya terjatuh di aspal. Ia terduduk lunglai di sana, dengan keringat yang membasahi seluruh pakaiannya. Kepalanya bersandar pada dinding samping sebuah rumah, menatap ke langit. Tiba-tiba ia menangis. Ia menangis terisak-isak seorang diri.

Sebuah suara membangunkannya dan membawanya kembali dari kisah belasan tahun yang lalu ke masa kini. Seorang wanita berdiri di hadapannya bertanya ia ingin minum apa. William segera menjawab dan pandangannya kembali ke sepiring nasi ayam di hadapannya. Matanya terasa panas dan mulai berkaca-kaca. Semua penyesalannya kini menghambur keluar.

Belasan tahun telah berlalu, namun sepotong kisah di hari itu tetap melekat kuat di ingatannya. Hari di mana ia harus menipu seorang bapak pemilik kedai atas sepiring nasi ayam untuk mengisi perutnya yang kosong. Hari di mana ia sudah begitu putus asa, tak memiliki sebuah harapan pun dan akhirnya kalah atas tuntutan perutnya yang minta diisi. Untuk sepiring nasi ayam yang tidak dibayarnya, telah merampas sisa harga dirinya. Juga telah merampas sebuah kata kejujuran yang selalu dipegangnya teguh. Dan sepotong nasi ayam itu harus dibayarnya mahal dengan rasa bersalah dan penyesalan tak berujung.

Pernah ia kembali mencari kedai bapak tua yang dulu ditinggalkannya dengan diam-diam itu. Namun kedai itu sudah tak ada di sana lagi. William bermaksud datang membayar sepiring nasi ayam itu untuk menebus rasa bersalah yang selalu mengikutinya. Namun kesempatan itu tak pernah datang. Bapak tua itu telah hilang entah ke mana.

Kini, William telah menjadi seorang pengusaha sukses di kota itu. Bahkan kini ia telah mampu pulang menemui Ayah dan ibunya dengan kepala tegak. Ia kini terlihat begitu percaya diri dan mapan. Namun tak seorang pun tahu di balik kisah suksesnya ada sepotong kisah pahit yang selamanya tak mampu dilupakannya.

William menyuap sebutir nasi ayam ke mulutnya, mengunyahnya pelan. Tak ada lagi debaran jantung yang terlalu cepat. Tak ada lagi tangan yang gemetar. Yang ada kini hanya sebuah harap di hatinya. Semoga suatu hari nanti ia dapat menemukan bapak pemilik kedai nasi ayam itu. Semoga suatu hari nanti ia masih diberi kesempatan untuk menuturkan pengakuannya dan meminta sepotong maaf untuk menenangkan hatinya yang tak pernah lagi bisa damai...

(*penuturan seorang teman baik akan sepotong kisah hidupnya, di tengah makan malam...)

Photo Link: http://foodiedoodie.files.wordpress.com/2008/11/melaka-cafe-chicken-rice-ball.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya