Rabu, 10 Juni 2009

Jangan pernah berhenti mencintaiku...

Bercerita tentangnya, aku selalu bingung harus mulai dari mana. Entah mengapa, gambaran akan dirinya dalam ingatanku selalu kabur. Begitu juga perasaan hatiku ini. Apakah aku membencinya? Atau malah terlalu mencintainya? Aku tak pernah yakin. Bahkan bila kutanyakan dalam senyap, jawaban itu tak pernah muncul juga. Hambar. Tak bergejolak. Kutanya sekali lagi dan sekali lagi, masih hening yang menjawabku. Kuperiksa seluruh relung hatiku, hingga sudut-sudut terkecil dan tersembunyi, mencoba memaksakan sebuah kejujuran agar dapat terungkap, aneh... Tak ada sesuatu pun di sana. Bahkan kejujuran pun membisu. Apakah ini penyangkalanku akan dirinya? Tidak. Harusnya tidak. Bukankah penyangkalan itu biasanya punya suara? Yang keras dan sarat dengan rasa tak puas? Lalu, apa ini? Penerimaan? Tapi bukankah penerimaan itu selalu menyertai rasa damai? Aku harusnya mengenalinya, damai itu. Ini bukan damai, ini sunyi tanpa rasa...

Apakah ini artinya aku gagal mengenali hubungan kami, seperti halnya aku gagal mengenali dirinya? Dirinya yang terlalu kompleks untuk kumengerti, hingga saat ini pun. Entahlah... Kau dapat mengatakan tentang sesuatu secara yakin ketika kau mengenali sesuatu itu. Ketika kau dapat melihatnya dari sisi yang terang dan netral. Masalahnya, tempat ini tak pernah terang. Dan aku tak pernah bisa membuat diriku netral bila berbicara mengenai dirinya.

Tapi, seharusnya dulu pernah ada cinta di antara kami. Cinta yang lahir alami tanpa harus diusahakan atau dipaksakan. Cinta yang dianugerahkan begitu saja dari Yang Teragung. Namun, aku tak tahu kapan tepatnya cinta itu terlupakan atau hilang ke mana. Bila kau mengatakan cinta itu selalu abadi. Biar aku memberitahumu ini, tak semua cinta itu mampu bertahan dan menjadi abadi. Kadang ia berubah bentuk, kadang ia menjadi lemah dan dikalahkan oleh sosok yang lain. Dan kadang ia tiba-tiba hilang tanpa kau sadari. Entah bersembunyi, melarikan diri atau memang telah mati untuk selama-lamanya.

Itukah yang mungkin terjadi pada kami? Cinta telah mati untuk selama-lamanya? Itukah sebabnya aku merasakan kehampaan ketika memikirkannya? Itukah sebabnya aku merasa begitu jauh darinya, meskipun aku tengah duduk di sampingnya, mendengarnya berbicara? Walau bayangan wajahnya begitu jelas, hingga setiap kerutan waktu yang tergores di sana, aku masih sering bertanya-tanya sendiri, siapa dia? siapa dia?

Kadang aku merasa begitu gagal. Harusnya aku mengenalnya dengan baik. Berapa lama masa yang kuhabiskan bersamanya? Sepuluh tahun masa damai ditambah beberapa tahun masa pergolakan? Sekitar itu aku rasa... Perlu begitu lamakah untuk bisa mengenal seseorang? Kalau ya, lalu mengapa aku masih merasa asing padanya? Harusnya aku mengenalnya lebih daripada aku mengenal orang-orang yang berada di sekitarku saat ini. Toh, rasanya aku tidak memiliki kekurangan dalam memahami jiwa orang lain. Lalu, salahkah jika kini aku merasa gagal?

Dia, selalu menjadi sosok misteri dalam hidupku. Sosok yang susah untuk kujamah dan kudekati. Sosok yang begitu sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata maupun pikiran tertinggi yang aku punya saat ini. Terkadang ingin mengatakan, aku mencintainya... Tapi selalu disertainya pertanyaan yang sama dan sama lagi. Pertanyaan pendek, singkat tapi menggoyahkan seluruh jiwa. Benarkah? Dan akhirnya aku mencoba memaksa diri untuk memberikan jawaban sebagai pembuktian cinta. Namun, alasan-alasan itu tak pernah menjadi murni. Selalu menjadi sebuah kewajiban umum, yang harus dilakukan. Bukankah cinta itu tak pernah lahir dari kewajiban? Kalau begitu, mungkin tak ada lagi cinta di sini...

Aku tak tahu kapan tepatnya dia berhenti mencintaiku. Namun yang aku tahu, ketika aku sadar dia berhenti mencintaiku, duniaku runtuh berkeping-keping. Pernahkah kau patah hati? Ya, aku patah hati. Ini patah hati terparah yang pernah aku lewati. Yang butuh belasan tahun untuk menata hatiku kembali, untuk meredam semua kekecewaan dan keinginan serta harapan yang tak pernah terpenuhi. Harapan akan cinta yang sama darinya.

Kita tak pernah tahu apa yang akan hidup tawarkan untuk kita, itu kata teman baikku kemarin malam. Benar. Aku baru sadar. Dulu, aku tak pernah tahu. Aku pikir hidupku hanya keping-keping hancur yang harus dijalani dengan sisa-sisa keterpaksaan dari napas. Aku tak pernah mengira bahwa hari ini, aku mampu menemukan banyak cinta yang lain, yang memberiku cahaya dan menyanggaku berdiri kembali dengan kepercayaan diri dan harapan akan lebih banyak cinta. Yang menyatukan seluruh kepingan hidupku, merekatkannya dengan erat kembali dalam bentuk kesempurnaan baru. Bukan baru yang sempurna, tapi kesempurnaan yang baru. Dan untuk itu, aku bersyukur, atas semua yang telah terjadi. Karena semua kisah yang terjadi telah membawaku berada di sini, di jalan ini dengan diriku yang sekarang, yang aku cintai.

Tapi, bila aku bisa kembali dan memutar ulang masa lalu. Aku berharap bisa berada di sana, bersamanya, di waktu itu. Sekali lagi. Cukup sekali lagi. Di sana, di saat masih ada cinta di antara kami. Ketika belum ada pertentangan, kebencian, luka dan semua kesalahpahaman. Aku berharap bisa memandang wajahnya, yang tanpa kerutan waktu, yang masih bersinar penuh cinta dan harapan. Memandang ke dalam matanya, dengan tatapanku yang juga hanya berisi cinta. Tersenyum padanya, senyum terbaik yang bisa aku berikan, yang kini tak mampu lagi aku hadirkan bila kami bertemu. Lalu memeluknya dengan erat, seerat yang aku mampu. Dan membebaskan semua rasa jiwa, membiarkan jiwaku telanjang di hadapannya. Jiwa kecil, murni, tanpa ego. Lalu aku akan berbisik di telinganya, "Jangan pernah berhenti mencintaiku..."

Andai, aku mampu memutar waktu kembali...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya