Senin, 07 September 2009

Terimakasih...

Menengok kembali ke hari-hari yang telah terlewati, tak tahu apa rasa yang pasti di hati. Menyapa kembali kisah-kisah yang singgah dalam setahun terakhir ini. Ya, setahun ini bukan sebuah jalan yang mudah. Masih, ada lubang-lubang yang membuatku terjatuh, meringis dan kerap tak sanggup menahan airmataku. Namun seperti biasa, aku bangkit lagi, mencoba meneruskan langkahku meski terkadang sakit itu masih menjadi bayang yang tak mau lepas. Terkadang ingatanku berlari kembali mengingat lubang yang tertinggal di belakang sana. Ada rasa ingin berlari pergi dan melupakan semua itu. Namun separuh sesal tertinggal, bertanya tak mau diam, mengapa kau tak kembali dan menutup lubang yang menganga itu?

Hidup, selamanya bukan persoalan yang mudah untukku. Terutama saat kaki terasa berat dan jiwa terasa sendiri. Dipeluk oleh dinginnya masa lalu dan kabut masa depan yang tak pernah akan jelas terhampar. Siapakah aku ini? Pertanyaan itu selalu mengikutiku, ke mana pun kaki ini melangkah. Kadang bertanya dengan suara lembutnya, mencoba menggapai sesuatu dalam damai. Kadang memojokkanku dengan taring tajamnya, siap merobek-robek jiwaku yang rapuh.

Aku masih manusia biasa, yang selalu mencoba berdiri dengan gagah, menatap dunia dengan senyum. Menebar cinta dan berharap ada sedikit belas kasih yang tersisa di ujung waktu. Kadang terjatuh di rasa sesal dan sakit yang sama. Menyembunyikan diri dalam lorong jiwa yang terdalam. Berusaha menggapai makna diri-Mu. Tak pernah ingin lelah menggapai...

Aku terbuat dari daging dan darah, dengan sepotong napas yang Kau tiupkan. Namun masih sering bertanya pada-Mu, untuk apa aku ada di sini? Inikah jawaban yang mesti kutemukan dalam sepotong hidupku yang terasa panjang namun hanya merupakan sepotong cerita tak berarti ini? Ataukah aku yang telah lupa akan diriku dan diri-Mu di awal penciptaan?

Tak pernah menjadi sempurna, untuk semua pencerahan jiwa yang kukejar. Masih ada noda di sana. Masih ada sebentuk kekerasan hati yang tak kunjung cair. Berharap bila suatu saat nanti aku akan bisa menjadi seperti air, sosok yang begitu lembut, tak pernah angkuh untuk mengubah bentuk, tak pernah ragu untuk mengalir terus tak peduli apa yang kulewati. Berharap suatu saat nanti aku akan bisa menjadi matahari kecil, bersinar tiada lelah dan memberi tanpa harap...

Maaf, ketika kataku menjadi belati yang tajam, mengiris relung-relung hatimu. Ketika aku lupa akan bahasa cinta. Ketika aku membiarkan diriku terlena akan kegelapan telah melangkahkah kaki masuk menghuni hatiku. Meski aku selalu mengirimkan berjuta alasan mengenai ketidaksempurnaan sosokku, masih juga aku harus berkata maaf... Aku tahu, jiwaku tak pernah menjadi selugu itu. Tak pernah menjadi tak berdosa...

Namun, pagi ini membuka mataku, langitku masih biru... Terima kasih, sebuah syukur menyelinap masuk memenuhi seluruh rongga jiwaku. Memercikkan sebuah kesegaran yang tak terlukiskan. Untuk semua sentuhan jiwa yang kuterima sepanjang tahun ini. Untuk semua uluran tangan yang hangat, yang menguatkan langkahku. Untuk semua tawa dan bahagia yang tercipta dan menggoreskan sejarah yang tak akan pernah pudar dimakan waktu. Dan untuk semua pahit dan sakit yang mengajarkanku tentang arti ketegaran dan kebijaksanaan. Meski kuakui masih tak mampu jiwaku menyentuh makna terdalam dari sebuah kata bijak.

Tuhan...
Aku kerap lupa akan diri-Mu. Engkau yang selalu ada di sana, mengikuti setiap langkahku, meniupkan harapan dan cinta di sepanjang jalanku. Mengajarkanku tentang begitu banyak arti hidup. Menitipkan sosok-sosok indah dalam setiap kesempatan untuk menolongku, membimbingku, mencerahkan hidupku. Juga menitipkan begitu banyak jiwa-jiwa sepertiku untuk kusentuh dan kubagi cinta. Karena selamanya, memberi menjadi sebuah hadiah terindah bagi jiwaku sendiri. Satu hal yang tak pernah kulupa tentang-Mu.

Teman...
Aku kerap sibuk dalam duniaku sendiri. Dalam sempitnya pikiran dan galaunya hati ini. Kerap tak melihat sosokmu selalu mengikuti, menyanjung, memberi semangat, melemparkan senyum, menggenggam erat tanganku dan memeluk jiwaku yang selalu merasa tak cukup cinta ini...

Terima kasih...
Terima kasih untuk-Mu, Tuhan. Terima kasih untuk kalian semua, orang-orang yang kucintai. Yang telah hadir, singgah, berada dan pergi. Terima kasih untuk kebesaran hati kalian menorehkan sebuah kisah di sini, di dalam hidupku. Selamanya hidupku tak pernah berarti tanpa kisah-kisah itu. Selamanya aku bukan siapa-siapa tanpa dirimu memberi arti untukku. Aku hanya bisa mengirimkan sebuah doa setulus hati untukmu semua. Dan cinta yang aku punya. Berharap esok kita masih bersama. Dan berharap bila langkah kita terpisah, bayangku tetap ada di sana, merestuimu...

Karena selamanya, kau selalu berarti bagiku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya