Jumat, 11 September 2009

Being Single


Ini bukan kejadian pertama. Udah sering banget terjadi, hanya berbeda versi. Berbeda latar

belakang dan tokoh. Intinya tetap aja sama. Topiknya juga sama.

“Hai, apa kabar?”

“Baik. Apa kabarmu?”

“Baik juga. Lama gak bertemu, ya? Udah berapa, nih?”

“Hah?” Pura-pura bego.

“Anak.”

“Oh…” Pura-pura baru mengerti. Cengengesan. “Belum.”

“Belum?” Matanya sedikit membelalak. “Belum punya?” ulangnya dengan nada tak percaya yang terlalu kentara. "Belum merit?"

Menggeleng, seraya melirik ke kiri kanan, mencari arah yang tepat untuk segera melarikan diri.

“Oh…” Dia masih tersenyum, namun beda dengan yang sebelumnya. Senyum yang ini sedikit dipaksakan. Seakan-akan jawaban belum membuatku menjadi makhluk aneh. Dan tiba-tiba atmosfer di sini berubah menjadi aneh juga. Harus cepat-cepat diakhiri! Kabuuuur…..

Itu bukan kejadian yang pertama atau yang terakhir, kecuali kalo besok bisa aku temukan seorang lelaki yang tampan, kaya, baik dan bersedia merit denganku. Ya, kejadian menyebalkan itu terus saja berulang tiap kali aku bertemu dengan teman atau kerabat yang lama tak berjumpa. Anggaplah mereka ingin tahu. Mereka curious. Mereka care. Whatever-lah! Tapi aku selalu terganggu dengan pertanyaan mereka itu. Kenapa belum merit? Ayo, tunggu apa? Uang gak akan habis dicari, Non! Kamu terlalu milih kali… Ya, iyalah, kalau tidak aku pilih, sudah aku kawini si Asep, tukang rujak keliling itu! Yang penting bisa kubungkam semua pertanyaan-pertanyaan usil itu!

Ada lagi yang bilang, “Non, kepala tiga itu sudah lampu merah. Hati-hati…” Ya, Tuhan… Tolonglah hambamu yang menderita lahir batin ini! Sebenarnya, the truth is, mau beneran lampu merah, ijo, kuning atau pink, sebenarnya aku gak peduli-peduli amat. Memang kenapa kalau lampunya sudah menyala? I’m happy! No matter what happens… Gak peduli ada suami atau gak. Mau forty baru merit kayak kisah si siapa tuh di serial Sex & The City, keren-keren aja menurutku. Lagian aku ini gak jelek. Maaf, ini bukan menghibur diri. Ini penilaian teman-temanku. Paling kurang nilai wajahku delapan. Maaf sekali lagi, bukan menyombongkan diri. Mataku belo, hidungku mancung, kulitku putih, tubuhku padat berisi, kata teman-teman laki-lakiku, aku ini sexy! Dan aku gak bodoh. Aku lulusan universitas ternama dengan jurusan dan nilai yang top. Dan sekarang aku bekerja pada sebuah perusahaan internasional. Hebat, bukan? (Sedikit imbas dari frustasi di depan, jadinya sedikit memamekan diri sekarang…hehehe)

Kuper? Pasti itu tebakan kalian kemudian, mencoba mencari-cari apa salahku sampai kini masih men-jomblo. Maaf beribu-ribu maaf, aku ini anak gaul. Teman wanitaku segudang dan teman laki-lakiku ngantri untuk mengajakku keluar. Lalu masalahnya apa? Lihat, kau mulai ikut frustasi memikirkanku. Kau membuatku tambah frustasi!!!

Masalahnya, aku tidak menemukan someone itu. Ribuan nasehat telah kudengarkan sampai telingaku ini mulai sedikit budek. Dan bermacam-macam buku telah kubaca untuk memahami lebih dalam cara-cara mencari pasangan hidup. Dan aku merasa di sinilah letak masalahnya. Terlalu banyak yang kudengar. Terlalu banyak yang kubaca. Dan aku menjadi seorang pakar yang terlalu ahli. Kencan kini bagiku adalah bertemu, menilai, mengamati, menimbang….bla bla bla… Selama kencan aku tak bisa rileks, karena aku harus menajamkan mata, telinga dan rasa. Gimana? Feels good? Biasa aja? Ah, hidungnya sedikit miring. Kok matanya jelalatan mulu ya? Eh, bajunya kurang rapi. Kayaknya pelit nih, kok aku gak ditawarin minum?

Dan setelah pulang kencan, aku tidak bisa tidur semalaman, karena aku harus memutar ulang kembali moment kencan tadi. Menilai ulang dari sisi sini, dari atas sana, dari sudut ini…. Waaaaah! Capek!!! Dan biasanya pada akhirnya aku putuskan, coret saja dari daftar! Berkurang satu, bagus! Tapi besok bertambah lima lagi!!!

Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak-kakak tercintaku yang semuanya lelaki, sudah memiliki pasangan hidup masing-masing. Mestinya aku lebih mudah menemukan pasangan hidupku ya, karena sedari kecil aku lebih banyak bergaul dengan para lelaki, ayah dan saudara-saudaraku. Tapi pengaruh ibuku sangat besar juga terhadapku. Mungkin karena aku adalah kesayangannya, makanya hidup single di usia tiga puluh ini benar-benar sebuah beban bagiku! Hhhhhh…..

Ibuku adalah seorang wanita sedikit kuno dengan banyak aturan-aturan lama yang masih menempel di kepalanya. Dia menikah di awal dua puluh, salah satu kenyataan yang membuatnya selalu khawatir akan nasibku. Tapi masalahnya, ibuku bukan seseorang yang bersikap nrimo akan pilihanku. Setelah melalui proses panjang menimbang apakah seorang pria akan kukencani untuk kedua kalinya, tibalah proses kedua, pengujian dari ibuku. Dan ini lebih berbelit-belit dan sulit dilewati. Ibuku memiliki tiga mata, empat telinga dan enam indera. Bayangkan, bila kau salah sedikit saja dalam bertindak, dia akan langsung merasakannya. Ini proses yang menguras banyak energiku. Karena aku tak pernah yakin bagaimana cara ibuku menilai seseorang. Kau ingin tahu berapa yang pernah lolos dalam penilaiannya? Tunggu, biar kuingat-ingat dulu…. Tidak ada! Ya, tak seorang pun. Pasti kini kau tak merasa heran kalo aku masih single, bukan???

Setidaknya ibuku pernah menyetujui dua orang lelaki untuk mendekatiku. Namun kedua-duanya adalah anak kenalannya, yang berusaha dijodohkannya padaku. Kau pasti mau tertawa, kan? Bayangkan di jaman begini masih ada acara jodoh menjodohkan, diapit kedua orangtua, dipertemukan dalam makan malam. Kami, domba-domba korban ini hanya bisa diam, sementara kedua orangtua kami saling bertukar info, seakan-akan kami ini barang dagangan yang lagi ditaksir harganya. Bah! Memalukan sekali! Menginjak-injak habis harga diriku yang memang dasarnya sudah tidak tinggi ini! Aku, seorang tenaga ahli yang cantik di perusahaan internasional mesti dijodohkan! Mau taruh di mana mukaku ini kalo orang-orang sekantorku tahu? Tapi, apa hendak dikata, demi ibuku tercinta, demi memuaskan keinginannya, aku jalani juga perjodohan gagal itu.

Dulu aku pernah jatuh cinta pada seorang lelaki, cinta pertamaku. Indah? Ya, lalu sakit. Kami putus di tengah jalan karena ketidakcocokan. Lalu aku jatuh cinta lagi untuk kedua kalinya. Namun sayang, lelaki pilihanku ini tidak memenuhi kualifikasi ibuku yang amat tinggi. Jadi aku terpaksa backstreet untuk beberapa lamanya. Membuat cintaku semakin dalam, karena pengorbanan yang kulakukan. Namun akhirnya ibuku tahu juga dan memberikan ultimatum untuk putus saat itu juga. Kau pasti mau bilang harusnya aku berjuang atas nama cinta. Huh, andai kau punya Ibu seperti ibuku. Andai kau adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Andai kau satu-satunya anak perempuan dalam keluargamu. Andai kau lihat airmata ibuku yang tak henti-hentinya mengalir saat aku membangkang. Andai kau punya hati lembek sepertiku. Andai rasa cintamu pada ibumu sebesar rasa cintaku pada ibuku… Andai saja…

Aku tak pernah tega melihat ibuku yang tua itu menangis, apalagi karena diriku. Aku tak pernah tega menolak apa yang dipintanya, karena aku tahu betapa sayangnya dia padaku. Meski kadang aku tak setuju. Bukan bukan kadang, tapi sering tak setuju. Aku bahkan ingin sekali berteriak marah, melampiaskan kesedihanku ini. Tapi aku tak mampu. Hanya bisa menangis diam-diam ketika berada sendirian dalam kamarku. Merasakan sakit hatiku sendiri, tanpa pernah bisa membaginya pada siapa saja.

Sejak putus dari pacar keduaku, hubunganku dengan laki-laki tak pernah bisa mulus. Mungkin aku sendiri yang menyebabkannya. Karena kini aku bukan pake rasa, tapi lebih memakai timbangan. Timbang dulu dari segi finansialnya, bagus? Timbang dulu sikap gentle-nya, oke? Timbang dulu latar belakang keluarganya, broken home? Oh, tidaaak! Bukan sosok pria itu sendiri yang jadi penilaian pertamaku. Bukan dirinya, bukan pribadinya. Tapi lebih dari dirinya dulu yang terpenting. Maaf, tapi ini yang disuntikkan ibuku ke otakku. Aku merasa ini tidak benar, tapi aku tak bisa membersihkan otakku seperti semula. Racunnya sudah menyebar ke seluruh jaringan.

Padahal aku rindu jatuh cinta. Ya, jatuh cinta… Ketika kau bertemu seseorang dan merasakan atmosfer yang berbeda, ketika sebuah tatapan meluluhkanmu tanpa dapat dijelaskan oleh logika. Ketika kau menganggukkan kepala tanpa berpikir dan mengikuti langkahnya meski kau tak mengenalnya. Kau hanya tahu, itu dia!

Hhhhhh…. My life is so complicated! Anyway, aku tak mau terus bekeluh kesah dan menambah suram hidupku yang sudah mendung ini. Sebenarnya aku baik-baik saja, menikmati masa lajangku ini. Aku hanya terganggu dengan pandangan orang-orang, komentar-komentar mereka seakan aku manusia tak berkemampuan hanya karena belum menikah. Dan mungkin harus kuakui aku sedikit stress dengan tekanan dari ibuku tentang kapan aku akan menikah. But, di samping semua itu I’m happy being single. Daripada terus melakukan kencan-kencan yang tidak didasari ketulusan hati, aku lebih suka menikmati hidupku sendiri seperti ini, apa adanya. Aku tak peduli lampu merah, bahkan bila lampu itu pecah berkeping-keping saking panasnya karena terlalu lama menyala! Aku hanya sering berkhayal, semoga suatu hari nanti entah forty, fifty, atau ketika gigiku sudah tanggal semua, akan kutemukan seseorang itu. The right guy! Ya, kekasih hidupku! Dia yang selama ini aku cari-cari.


Photo link:http://www.amazon.com/gp/product/images/B000RHRGCQ/ref=dp_image_text_0?ie=UTF8&n=5174&s=music

3 komentar:

  1. hehehe... Dulu juga pernah ngerasain menjadi single. Sisanya adalah kisah dari seorang teman. So, yup, true story :-D

    BalasHapus
  2. sudah menemukan belum sekarang? ;-)

    BalasHapus

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya